Di kamarnya Vana berada di kamar mandi. Rusuh sekali dia membasuh wajahnya dengan air, berulang kali berkumur, membersihkan bibirnya seolah telah ternoda. Dia membasuh lagi wajahnya berulang kali.
“Sialan!” Dia mengumpat sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya basah dan memerah. “Kenapa harus dia?” tanyanya tak mengerti.
Terdiam beberapa saat, Vana kembali teringat akan kecerobohannya tadi. Kedua tangannya bertumpu di sisi wastafel. Pintu kamar mandinya tertutup.
Bayangan itu memenuhi pikirannya, memutar kembali kecelakaan yang terjadi dan lagi- lagi mengulang adegan itu bagai film yang di putar lalu di pause, dan kembai di play. Wajah Vana memerah karenanya.
“Sialan! Aku pasti sudah gila!” rutuknya kembali membasuh wajah terutama bagian bibirnya.
Padahal dia tak perlu melakukannya sampai segitunya. Lagian itu hanya kecelakaan, tidak sengaja tapi kenapa Vana merasa begitu marah?
“Kenapa harus dia? Seseorang yang bahkan aku tidak mengenalnya dengan baik,” katanya begitu mengangkat wajah.
Buliran air mentes- netes dari wajahnya yang basah. Vana menarik napas panjang, mengambil handuk dengan kasar dan mengeringkan wajahnya. Dia berbalik dan bersandar pada wastafel, pikirannya lagi- lagi kembali ke tragedi itu. Setidaknya itu bagi Vana.
“Ciuman pertamaku, hilang,” lirihnya kemudian linglung. Kedua tangannya terkulai di sisi tubuh. Tatapannya hampa. “Yang aku jaga untuk cintaku suatu saat nanti,” lanjutnya sedih. Dia berjalan menuju pintu.
Keluar dari kamar mandi, pandangan Vana mengedar menelisik setiap sudut ruangan yang baru dia tinggali semalam. Cukup berat untuknya mengambil keputusan menerima tawaran itu. Dia mendesah kasar, ekspresi sedih masih tergambar di wajahnya yang masih basah.
“Bagaimanalah aku akan bagaia jika kenyataannya akulah yang meninggalkan ibu dan adikku untuk sebuah janji. Aku sendiri melanggar janji itu. Sungguh jahatnya aku. Maaf, Ma,” lirihnya sambil terisak.
Bagaimana ceritanya Vana bisa ada di mansion Alatas padahal nenek dan Ibu Fandra yang mencari kalung pasangan dari mendiang suami nenek itu pasti harus melewati berbagai proses, tapi Vana justru sudah ada di sana.
Suara pintu diketuk dari luar membuat gadis itu menoleh sebelum sempat Vana merajut kembali ingatannya saat dia membuat keputusan untuk tinggal bersama Altafandra, pria arogan yang telah mengambil ciuman pertamanya.
“Ya?” Dia menyahut dengan lantang berjalan secepat mungkin menghampiri pintu tanpa meletakan handuk kecil putih di tangannya itu.
Membuka pintu perlahan, Vana melongokan kepalanya di celah pintu dan mendapati si bungsu Fiona berdiri di depan kamarnya dengan ekspresi khawatir.
Fiona menelengkan kepalanya ke sebelah kanan begitu Vana mencul dari balik pintu. Dia terheran dengan wajah Vana yang basah.
“Kak Vana baik saja?” tanyanya hati- hati.
Mata Vana mengerjap, dia menegakan tubuhnya dan bergerak menghampiri Fiona lalu mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan gadis remaja itu.
“Tapi … ah, sudahlah. Nenek ingin menemuimu,” kata Fiona memutuskan untuk tidak membahas wajah Vana yang sedikit merah, terutama di bagian bibirnya.
“Nenek?” Vana mengulang.
“Ya. Mereka menunggu di bawah,” lanjut Fiona masih menatap Vana.
Terdiam cukup lama, Vana menerka apa yang akan terjadi sekarang? Ah, sepertinya akan ada aturan yang harus dilakukan Vana selama di mansion itu. Dia pikir, tidak mungkin keluarga yang mirip kerajaan ini tak memberlakukannya aturan.
“Baiklah.” Dia memutuskan tapi sebelum pergi dia melemparkan handuk di tangannya ke kamar lalu menutup pintu dan mengekori Fiona yang berjalan di depannya.
Mereka menuruni satu per satu anak tangga yang meliuk setengah lingkaran. Tangan Vana menumpu pada langkan besi berlapiss keemasan yang tampak mewah. Di sisi kirinya menjulang tinggi jendela kaca bertirai merah jambu berbahan sutra yang halus, jatuh dengan cantiknya ke permukaan marmer putih di lantai bawah. Vana baru sadar kalau mereka melewati tangga yang berbeda.
“Kita mau ke mana, Fi?” tanyanya.
“Menemui Nenek,” sahut gadis remaja itu tanpa menoleh.
“Tapi ….”
“Ini ada tangga lain lagi,” kata Fiona yang akhirnya menghentikan langkah. “Ada banyak sekali tangga di sini,” lanjutnya sambil tersenyum kecil pada Vana yang terbengong- bengong membayangkan berapa tangga yang sudah dia lewati.
“Banyak sekali,” gumamnya pusing. Fiona hanya tertawa lalu melanjutkan langkah kakinya menuruni undakan tangga.
Mansion besar bergaya klasik Eropa dan modern itu mustahil hanya ada satu tangga. Sebelumnya Fiona memperkenalkan tangga yang mengarah ke taman belakang dari belakang kamarnya. Vana sampai bingung sendiri.
“Bagaimana kalau aku tersesat?” gumamnya konyol.
Tiba di dasar tangga, Vana disambut oleh beberapa pelayan yang mengenakan seragam hitam putih. Mereka tampak begitu anggun dan berbaris rapi menunduk ketika Vana melewatinya. Ada sekitar enam orang yang dibangi dua sisi, kanan dan kiri.
Pandangannya mengedar ke ruangan itu. Di bawah tangga itu ternyata terdapat sebuah sofa berawna merah jambu, senada dengan tirai yang menjutai menutupi jendela besar, bantal berjajar rapi di sana. Ada vas bunga anggrek di atas meja berbahan kaca itu. Vana tak bertanya ruang apa itu tapi dia menduga mungkin ruang santai.
“Kak?” Fiona memanggil Vana yang masih terpesona dengan ruangan itu.
Dia mengikuti langkah gadis remaja itu yang membawanya melewati lorong panjang dengan pilar- pilar besar yang berawna keemasan dengan jendela kaca besar memperlihatkan taman yang luas. Vana yakin ini adalah bagian taman lainnya, bukan taman yang dia datangi tadi sekaligus menjadi TKP, tempat kejadian pencurian ciuman pertama.
Ugh! Vana mendesah kesal mengingat hal itu lagi. “Sial!” desisnya tanpa sadar.
Langkah Fiona di depannya tampak begitu santai dan rileks, Vana memperhatikannya dan meniru bagaimana gadis itu berjalan.
“Langkahmu berbeda dari sebelumnya,” komentar Vana yang otomatis menghentikan langkah Fiona.
Gadis itu berbalik. “Sungguh?” tanyanya antusias.
Kepala Vana mengangguk. Dia terheran dengan senyum lebar di wajah adik dari Fandra itu.
“Sstttt. Jangan bilang- bilang,” katanya berbisik tapi tatapannya tertuju ke belakang.
Vana baru sadari begitu berbalik mengikuti arah pandang Fiona kalau para pelayan yang tadi menyambut mengikuti mereka meskipun menjaga jarak.
“Di mansion ini aku adalah putri, begitu juga denganmu, Kak Vana,” katanya setelah merangkul lengan Vana mesra.
“Putri?” ulangnya tak yakin.
“Yup! Anggaplah ini adalah kerajaan di Negara ini. Kalau Kak Vana penasaran, search saja Kerajaan Alatas, maka akan muncul berbagai artikel,” celotehnya riang sambil mengapit lengan Vana yang hanya mendengarkannya.
“Baiklah. Nanti aku akan mencarinya. Tapi, apakah ini masih jauh?” tanya Vana saat mengalihkan kembali perhatiannya ke depan, ujung lorong itu masih agak jauh.
“Di depan sana,” tunjuk Fiona. Seketika Vana mendesah, kakinya sakit.
Lorong itu cukup panjang, di ujungnya terdapat dua arah. Sisi kirinya adalah dinding marmer dengan sentuhan keemasan dan merah jambu. Sisi kanannya jendela besar dengan bingkai putih elegan, menampilkan taman luas yang terdapat kolam ikan dan air mancur. Ada pintu yang tertutup tepat di tengah- tengah kaca itu dan balkon kecil.
Setelah menjelajahi lorong yang seolah tak bertepi. Vana berpikir Fiona mengerjainya karena ketika gadis remaja itu mengatakan kalau akan segera sampai di ruangan sang nenek, usai berbelok itu masih harus berjalan menyusuri lorong dan Vana tak yakin seberapa panjang itu.Berbelok ke arah kiri, sisi kanan dan kirinya hanya dindin marmer dengan sentuhan putih dan pink pastel. Warna yang tak begitu terang tapi cukup hangat dan terkesan manis.“Maaf, tapi rumah ini selalu banyak lorong dan tangga. Yeah, dan kamar, serta ruang lain,” terang Fiona memberi tahu Vana.Gadis itu hanya mengangguk saja sudah bosan dengan langkah kakinya yang mulai pegal.Ada sebuah pintu dengan bingkai putih gading di depan sana. Seorang penjaga menyambut mereka dan membukakan pintu. Kali ini pelayan pria dengan setelan jas hitam.“Ayo masuk,” ajak Fiona pada Vana yang memperhatikan sekitarnya. Masih elegand dengan tema putih dan pink.Melangkahkan kakinya melewati pintu, Vana terpesona dengan tempat itu. Nuasa
Rungan itu hening meskipun banyak orang di sana, diam sampai sang ratu memberikan instruksi untuk memulai.“Baiklah, kita mulai,” ujar sang ratu memberi perintah pada sekretarisnya.Seorang pria paruh baya menghampirinya. Sejak tadi berdiri tak jauh dari kursi sang ratu. Vena memperhatikannya, pria itu menaruh sebuah berkas di depan nenek.Semua pandangan tertuju pada berkas di atas meja itu yang entah apa isinya.“Ini berisi peraturan untuk keluarga ini, terkhusus untuk Vana,” kata nenek.Mendengar namanya di sebutkan Vana menatap sang ratu bingung tapi wanita tua itu hanya tersenyum lembut padanya lain dengan Fandra yang mendengus.“Pertama, Nenek akan memperkenalkan Vana sebagai anggota baru kita,” lanjutnya dengan tangan kanan mengarah pada Vana. “Untuk semua orang yang ada di sini, berlaku untuk para pelayan dan penjaga perlakukan Vana seperti tuan kalian,” tegasnya mengumumkan.Di ruangan itu tak hanya terdapat keluarga tapi juga kepala pelayan, sekretaris, dan kepala lain yang
Masih dalam suasana tegang karena perdebatan Vana dan Fandra, keduanya sama-sama memalingkan muka setelahnya membuat penonton merasa geli. “Sudah, simpan dulu pertikaian kalian. Nenek sengaja memanggil bukan untuk melihat kalian bertengakar,” ujar nenek. Nada suaranya tidak ada kemarahan, malah terlihat begitu senang. Vana melirik Fandra dari balik bulu matanya tapi hanya sekilas lalu memalingkan muka, kesal sekali karena sang tuan muda. “Baiklah. Nenek akan mulai, kalian dengarkan dengan baik, Vana …” Nenek menatapnya Vana mengangguk. “Bagus. Maka kita akan mulai,” lanjutnya. Semua orang mendengarkan dengan baik, termasuk Vana. Nenek mengumpulkan semua orang untuk memperkenalkannya juga tapi Fandra justru mengacau dengan mendebatnya. Menyebalkan sekali bukan. “Baik. Pertama, kamu akan tinggal di rumah itu untuk waktu yang tak tentu, tapi selama tinggal di sini kamu harus melakukan serangkaian latihan untuk menjadi bagian dari keluarga Alatas,” jelas sang ratu untuk aturan pertama
“Sudah. Kamu bisa pergi ke kamarmu sekarang, Vana. Kita akan makan siang bersama,” kata nenek.“Ah. Baik. Terima kasih,” balas Vana seramah mungkin.Gadis itu melirik sekitarnya beberapa saat. Mulai dari sang ratu, lalu menatap putra dan menantunya yang merupakan orang tua dari Fandra, lalu pada saudaranya kakak dan adik juga kakak ipar dari Fandra mereka semua tersenyum pada Vana. Senyum tulus yang menyambut hadirnya dengan baik. Meskipun bingung, Vana menundukan kepalanya sekilas dan bangun dari duduknya.Tiga pelayan yang berdiri tak jauh dari nenek itu bergerak memberi jalan pada Vana sambil tetap menundukan. Begitu Vana lewat ketiganya mengekor. Entah akan pergi ke mana dia karena yang lain masih tetap di sana.Berjalan melewati pintu yang tadi Vana lalui bersama Fiona. Tapi langkahnya terhenti ketika pembahasan mulai terdengar lagi dari arah depan. Entah apa yang menahan langkah Vana sampai gadis itu tak bergerak. Untunglah dia tersembunyi begitu juga tiga pelayannya.“Nenek su
Ruang ballroom itu ada banyak pilar, tapi di tengahnya kosong melompong hanya ada gambar bunga teratai dari lantai marmer dan meja bundar di tengah. Lampu hias Kristal yang cukup besar terdapat tiga menggantung di langit- langit. Tangga berlapis karpet merah selebar tiga meter menuju atas, di samping tangga itu terdapat sebuah sofa. Dari balik pilar rupanya terdapat beberapa pintu dan entar datangnya dari pintu mana Fandra ada di sana.Kedua tangan kekarnya melingkar di pinggung Vana yang kecil berbalut dress. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Tatapan Fandra juga tertuju pada wajah Vana.Ketiga pelayan yang menyaksikan masih tegang tapi menonton apa yang terjadi dengan diam. Dua dari mereka bahkan menahan senyumnya.Yang pertama kali sadar adalah Vana. Dia segera melepaskan tangan Fandra dari pinggangnya dan mundur dua langkah sambil menundukan pandangannya dari pria itu. Bagaimanapun juga Vana malu.“Woah. Siapa ini?” Suara baritone dari arah belakang Fandra mengusik keduanya untuk
Kembali turun mengelilingi ruang demi ruang yang ada di mansion itu, Vana nyaris bosan tapi dia memperhatikan ruangan dan merekamnya dalam otak. Mungkin dia yang akan pergi sendirian nanti, bagaimana kalau tersesat.Ruang makan itu berada di bangunan utara sementara kediaman nenek berada di barat begitu juga kediaman, maksudnya kamar ibu dan ayah Fandra berada di barat supaya bisa mengontrol nenek dengan mudah. Tentu saja, setiap ruangan itu ukurannya besar dan luas, Vana tidak bisa mengira-ngira berapa luasnya yang pasti seukuran orang kaya raya.Bila kediaman sang ratu di barat, ruang makan dan dapur di utara, ballroom dan segala macam untuk penyambutan tamu di timur, maka kediaman pangeran arogan di selatan.“Banyak sekali ruangannya,” desah Vana tanpa suara ketika kakinya terus berjalan sementara otaknya mengingat-ingat di mana saja para penghuni berada. “Selatan itu adem seharusnya, bukan panas. Tapi, dia dingin, masuk akal juga,” lanjutnya mendumel sendiri.“Lewat sini, Nona,” t
Ruang makan itu akhirnya hening dari semua kegiatan karena baru saja selesai menyantap hidangan yang tampaknya sangat enak sekali. Namun tidak bagi Vana yang sepanjang makan itu dia melamun. Barulah mengangkat wajah ketika semua orang selesai makan.“Nenek, ada yang ingin aku sampaikan,” katanya sebelum nenek bangun dari duduknya.Wanita tua yang menjadi ratu di rumah itu menatap Vana dengan heran begitu juga yang lain.“Ada apa, Vana? Apakah kamu tidak nyaman?” tanya nenek khawatir.“Ah, tidak. Bukan itu,” aku Vana sedikit salah tingkah.“Lalu, apa?”Tapi Vana ragu, dia mengitari meja makan itu yang semu piringnya kosong, hanya menyisakan lemak dan hiasannya.“Ah, kita bisa pindah ke ruang tengah. Kebetulan juga ada yang masih ingin kami sampaikan padamu,” ujar nenek yang mengerti. Vana tersenyum kecil. “Tolong siapkan buah untuk cemilan di depan,” titahnya pada pelayan.Seorang kepala pelayan mengangguk menyanggupinya.“Mari. Tapi, ini untuk yang mau mendengar saja, sekalian mengobr
Hening. Semua orang diam setelah mendengar apa yang Vana katakan dan dia pun ikut diam, berpikir kembali apakah perkataannya salah atau tidak? Entahlah. Yang pasti, suasana hening itu membuat Vana merasa bersalah dan dia menundukan kepalanya.“Ekhem. Vana,” panggil Alifika melirik padanya.Vana mengangkat wajahnya, menatap.“Bolehkah bertanya sesuatu padamu?” lanjut Alifika masih menatap gadis itu.“Ya. Tentu, silakan,” jawab Vana.Senyum Alifika hadir dan mengangguk namun dia diam untuk beberapa saat lamanya tampak menimbang-nimbang sesuatu kemudian menarik napasnya dan menatap Vana sekali lagi, lebih intens dari sebelumnya.“Apakah, kamu sungguh, tidak apa-apa bertunangan dengan Fandra?” tanyanya hati-hati.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan itu Vana terdiam. Pertanyaan yang membuat Vana sendiri mempertanyakan keputusannya untuk datang ke mansion itu. Untuk apa dia berada di sana dan apa keputusannya? Vana sama sekali tidak atau mungkin belum menjelaskannya. Masih ada banyak yang