Share

7. Putri?

Di kamarnya Vana berada di kamar mandi. Rusuh sekali dia membasuh wajahnya dengan air, berulang kali berkumur, membersihkan bibirnya seolah telah ternoda. Dia membasuh lagi wajahnya berulang kali.

“Sialan!” Dia mengumpat sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya basah dan memerah. “Kenapa harus dia?” tanyanya tak mengerti.

Terdiam beberapa saat, Vana kembali teringat akan kecerobohannya tadi. Kedua tangannya bertumpu di sisi wastafel. Pintu kamar mandinya tertutup.

Bayangan itu memenuhi pikirannya, memutar kembali kecelakaan yang terjadi dan lagi- lagi mengulang adegan itu bagai film yang di putar lalu di pause, dan kembai di play. Wajah Vana memerah karenanya.

“Sialan! Aku pasti sudah gila!” rutuknya kembali membasuh wajah terutama bagian bibirnya.

Padahal dia tak perlu melakukannya sampai segitunya. Lagian itu hanya kecelakaan, tidak sengaja tapi kenapa Vana merasa begitu marah?

“Kenapa harus dia? Seseorang yang bahkan aku tidak mengenalnya dengan baik,” katanya begitu mengangkat wajah.

Buliran air mentes- netes dari wajahnya yang basah. Vana menarik napas panjang, mengambil handuk dengan kasar dan mengeringkan wajahnya. Dia berbalik dan bersandar pada wastafel, pikirannya lagi- lagi kembali ke tragedi itu. Setidaknya itu bagi Vana.

“Ciuman pertamaku, hilang,” lirihnya kemudian linglung. Kedua tangannya terkulai di sisi tubuh. Tatapannya hampa. “Yang aku jaga untuk cintaku suatu saat nanti,” lanjutnya sedih. Dia berjalan menuju pintu.

Keluar dari kamar mandi, pandangan Vana mengedar menelisik setiap sudut ruangan yang baru dia tinggali semalam. Cukup berat untuknya mengambil keputusan menerima tawaran itu. Dia mendesah kasar, ekspresi sedih masih tergambar di wajahnya yang masih basah.

“Bagaimanalah aku akan bagaia jika kenyataannya akulah yang meninggalkan ibu dan adikku untuk sebuah janji. Aku sendiri melanggar janji itu. Sungguh jahatnya aku. Maaf, Ma,” lirihnya sambil terisak.

Bagaimana ceritanya Vana bisa ada di mansion Alatas padahal nenek dan Ibu Fandra yang mencari kalung pasangan dari mendiang suami nenek itu pasti harus melewati berbagai proses, tapi Vana justru sudah ada di sana.

Suara pintu diketuk dari luar membuat gadis itu menoleh sebelum sempat Vana merajut kembali ingatannya saat dia membuat keputusan untuk tinggal bersama Altafandra, pria arogan yang telah mengambil ciuman pertamanya.

“Ya?” Dia menyahut dengan lantang berjalan secepat mungkin menghampiri pintu tanpa meletakan handuk kecil putih di tangannya itu.

Membuka pintu perlahan, Vana melongokan kepalanya di celah pintu dan mendapati si bungsu Fiona berdiri di depan kamarnya dengan ekspresi khawatir.

Fiona menelengkan kepalanya ke sebelah kanan begitu Vana mencul dari balik pintu. Dia terheran dengan wajah Vana yang basah.

“Kak Vana baik saja?” tanyanya hati- hati.

Mata Vana mengerjap, dia menegakan tubuhnya dan bergerak menghampiri Fiona lalu mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan gadis remaja itu.

“Tapi … ah, sudahlah. Nenek ingin menemuimu,” kata Fiona memutuskan untuk tidak membahas wajah Vana yang sedikit merah, terutama di bagian bibirnya.

“Nenek?” Vana mengulang.

“Ya. Mereka menunggu di bawah,” lanjut Fiona masih menatap Vana.

Terdiam cukup lama, Vana menerka apa yang akan terjadi sekarang? Ah, sepertinya akan ada aturan yang harus dilakukan Vana selama di mansion itu. Dia pikir, tidak mungkin keluarga yang mirip kerajaan ini tak memberlakukannya aturan.

“Baiklah.” Dia memutuskan tapi sebelum pergi dia melemparkan handuk di tangannya ke kamar lalu menutup pintu dan mengekori Fiona yang berjalan di depannya.

Mereka menuruni satu per satu anak tangga yang meliuk setengah lingkaran. Tangan Vana menumpu pada langkan besi berlapiss keemasan yang tampak mewah. Di sisi kirinya menjulang tinggi jendela kaca bertirai merah jambu berbahan sutra yang halus, jatuh dengan cantiknya ke permukaan marmer putih di lantai bawah. Vana baru sadar kalau mereka melewati tangga yang berbeda.

“Kita mau ke mana, Fi?” tanyanya.

“Menemui Nenek,” sahut gadis remaja itu tanpa menoleh.

“Tapi ….”

“Ini ada tangga lain lagi,” kata Fiona yang akhirnya menghentikan langkah. “Ada banyak sekali tangga di sini,” lanjutnya sambil tersenyum kecil pada Vana yang terbengong- bengong membayangkan berapa tangga yang sudah dia lewati.

“Banyak sekali,” gumamnya pusing. Fiona hanya tertawa lalu melanjutkan langkah kakinya menuruni undakan tangga.

Mansion besar bergaya klasik Eropa dan modern itu mustahil hanya ada satu tangga. Sebelumnya Fiona memperkenalkan tangga yang mengarah ke taman belakang dari belakang kamarnya. Vana sampai bingung sendiri.

“Bagaimana kalau aku tersesat?” gumamnya konyol.

Tiba di dasar tangga, Vana disambut oleh beberapa pelayan yang mengenakan seragam hitam putih. Mereka tampak begitu anggun dan berbaris rapi menunduk ketika Vana melewatinya. Ada sekitar enam orang yang dibangi dua sisi, kanan dan kiri.

Pandangannya mengedar ke ruangan itu. Di bawah tangga itu ternyata terdapat sebuah sofa berawna merah jambu, senada dengan tirai yang menjutai menutupi jendela besar, bantal berjajar rapi di sana. Ada vas bunga anggrek di atas meja berbahan kaca itu. Vana tak bertanya ruang apa itu tapi dia menduga mungkin ruang santai.

“Kak?” Fiona memanggil Vana yang masih terpesona dengan ruangan itu.

Dia mengikuti langkah gadis remaja itu yang membawanya melewati lorong panjang dengan pilar- pilar besar yang berawna keemasan dengan jendela kaca besar memperlihatkan taman yang luas. Vana yakin ini adalah bagian taman lainnya, bukan taman yang dia datangi tadi sekaligus menjadi TKP, tempat kejadian pencurian ciuman pertama.

Ugh! Vana mendesah kesal mengingat hal itu lagi. “Sial!” desisnya tanpa sadar.

Langkah Fiona di depannya tampak begitu santai dan rileks, Vana memperhatikannya dan meniru bagaimana gadis itu berjalan.

“Langkahmu berbeda dari sebelumnya,” komentar Vana yang otomatis menghentikan langkah Fiona.

Gadis itu berbalik. “Sungguh?” tanyanya antusias.

Kepala Vana mengangguk. Dia terheran dengan senyum lebar di wajah adik dari Fandra itu.

“Sstttt. Jangan bilang- bilang,” katanya berbisik tapi tatapannya tertuju ke belakang.

Vana baru sadari begitu berbalik mengikuti arah pandang Fiona kalau para pelayan yang tadi menyambut mengikuti mereka meskipun menjaga jarak.

“Di mansion ini aku adalah putri, begitu juga denganmu, Kak Vana,” katanya setelah merangkul lengan Vana mesra.

“Putri?” ulangnya tak yakin.

“Yup! Anggaplah ini adalah kerajaan di Negara ini. Kalau Kak Vana penasaran, search saja Kerajaan Alatas, maka akan muncul berbagai artikel,” celotehnya riang sambil mengapit lengan Vana yang hanya mendengarkannya.

“Baiklah. Nanti aku akan mencarinya. Tapi, apakah ini masih jauh?” tanya Vana saat mengalihkan kembali perhatiannya ke depan, ujung lorong itu masih agak jauh.

“Di depan sana,” tunjuk Fiona. Seketika Vana mendesah, kakinya sakit.

Lorong itu cukup panjang, di ujungnya terdapat dua arah. Sisi kirinya adalah dinding marmer dengan sentuhan keemasan dan merah jambu. Sisi kanannya jendela besar dengan bingkai putih elegan, menampilkan taman luas yang terdapat kolam ikan dan air mancur. Ada pintu yang tertutup tepat di tengah- tengah kaca itu dan balkon kecil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status