Share

8. Apa Artinya Itu?

Setelah menjelajahi lorong yang seolah tak bertepi. Vana berpikir Fiona mengerjainya karena ketika gadis remaja itu mengatakan kalau akan segera sampai di ruangan sang nenek, usai berbelok itu masih harus berjalan menyusuri lorong dan Vana tak yakin seberapa panjang itu.

Berbelok ke arah kiri, sisi kanan dan kirinya hanya dindin marmer dengan sentuhan putih dan pink pastel. Warna yang tak begitu terang tapi cukup hangat dan terkesan manis.

“Maaf, tapi rumah ini selalu banyak lorong dan tangga. Yeah, dan kamar, serta ruang lain,” terang Fiona memberi tahu Vana.

Gadis itu hanya mengangguk saja sudah bosan dengan langkah kakinya yang mulai pegal.

Ada sebuah pintu dengan bingkai putih gading di depan sana. Seorang penjaga menyambut mereka dan membukakan pintu. Kali ini pelayan pria dengan setelan jas hitam.

“Ayo masuk,” ajak Fiona pada Vana yang memperhatikan sekitarnya. Masih elegand dengan tema putih dan pink.

Melangkahkan kakinya melewati pintu, Vana terpesona dengan tempat itu. Nuasa yang sederhana dan klasik itu menyambutnya lembut. Dekorasi dinding dengan motof bunga- bunga kecil dan lembut berwarna ungu. Mereka berbelok ke kanan lalu memasuki sebuah pintu lagi dan sekarang Vana bisa melihat keberadaan yang lain terngah duduk di sofa yang melingkari ruangan luas itu.

Sofa putih gading, meja kayu dengan vas bunga, bupet yang menampung banyak aksesoris ruangan. Dahi Vana mengerut ketika mendapati dua orang asing.

“Vana,” Nenek menyambut dengan senyum hangatnya tanpa beranjak dari singgasana. Sofa yang hanya menampung satu orang itu teletak di tengah, di antara sofa lain menegaskan kalau wanita tua itu adalag ratu di sana.

Vana balas tersenyum, dia lepas dari samping Fiona dan bergerak mendekati wanita tua itu. Tanpa sengaja Vana menatap wajah dingin yang datar di salah satu sofa panjang, tak jauh dari posisi sang nenek.

Tangan tua yang keruput itu terentang untuk menyambutnya, Vana mendekat dan menyentuh tangan itu tanpa membuat sang ratu bangun dari duduk nyamanannya.

“Duduklah,” titah sang ratu lembut menunjuk sofa di dekatnya. Vana menurut dan perhatiannya tertuju pada seorang wanita muda yang tersenyum.

“Halo,” Dia menyapa dengan ramah.

“Hai,” balas Vana kikuk. Dia jelas tidak terbiasa dengan orang asing.

Rambut hitam panjang yang digerai dengan bebas jatuh di belakang punggungnya. Sapuan make up natural mempercantik wajahnya yang tampak sempurna dengan paduan sepasang alis hitam tipis di atas sepasang mata kecil yang lembut tapi tatapannya tajam, dua pipi mulus yang meninjolkan sedikit tulang pipinya, tampak begitu tirus. Hidung mancungnya mirip sekali dengan sang tuan rumah, tinggi. Dagu yang indah mempertegas karakternya. Ah, bibir merah yang dipoles liptink nude tampak mereka.

Tungguh! Bibir itu … seketika pandangan Vana beralih pada sosok pria di sampingnya. Wajah datar tanpa senyuman, dan pandangan Vana jatuh ke bibir tebal yang terkatup rapat. Bibir itulah yang menempel dengan mikiknya beberapa saat lalu di taman. Otomatis Vana mengalutkan mulutnya, mengulum kedua benda lunak miliknya. Tiba- tiba ruangan terasa begitu panas membuat pipinya sedikit merah.

“Oh ayolah Vana, jangan sekarang. Memalukan!” bisik hatinya.

Sementara itu Altafandra, pria yang menjadi pusat perhatian Vana kini, juga tengah menatapnya dalam diam. Dia mengawasi setiap gerik gadis itu, bahkan tatapannya tak lepas darinya.

“Kenapa bibirnya merah?” Batinnya bertanya ketika pandangannya memperhatikan bibir Vana. “Aku rasa tadi tidak. Tidak mungkin karena ….”

“Halo Vana,” Suara lembut dan riang dari sampingnya mengalihkan fokus Fandra.

Bangun dari duduknya hanya untuk melewati Fandra dan memeluk Vana yang duduk di seberang meja, jelas saja itu membuat sang tuan muda tak percaya karenanya.

Langkahnya yang anggun dan hati- hati membuat Vana terkagum, dengan wedges hitam berhak sekitar lima cm. Dia menghampiri Vana dan memeluknya lembut tampak begitu senang meskipun baru saja beberapa menit saling bertatapan. Jelas saja apa yang dilakukan wanita asing bagi Vana itu membuatnya cukup terkejut tapi dia membalas pelukannya.

“Fika, sudah, kasihan Vana,” tegur sang ibu kepada anak sulungnya itu.

Fika melepaskan pelukannya setelah mendengar teguran sang ibu yang duduk anggun bersama sang pangeran di sampingnya. Vana melihat tautan tangan dari keduanya itu terlihat begitu hangat.

“Vana, ini adalah Alifika Alatas, Kakak dari Fandra dan Fiona,” terang Sang Ratu memperkenalkan wanita itu.

“Halo,” sapa Vana lagi dengan sedikit salah tingkah. Dia merasa begitu rendah diri ketika bersama kakak pria itu.

“Santai saja, aku tidak akan mengigit,” guraunya sambil menuntun Vana untuk kembali duduk. Senyuman tak sekalipun luput dari wajahnya yang cantik sampai membuat Vana malu karenanya. “Namamu Vivana Rosiana, bukan?” tanyanya.

“Ya,” sahut Vana pelan.

“Nama yang cantik,” puji Alifika yang kerap disapa Fika.

Pipi Vana menghangat mendengar pujian itu dan otomatis mengucap terima kasih padanya. Lain dengan Fandra yang mendengus tak percaya melihat sikap keluarganya yang berubah drastis, katakanlah 180 derajat hanya karena penghuni baru yang bagi Fandra terlihat begitu kampungan.

“Menyebalkan,” desisnya tajam yang menarik semua perhatian tertuju padanya.

“Astaga. Lihat, ada yang cemburu,” goda sang kakak melihat adiknya yang tampak kesal.

Tawa di ruangan itu berderai mengejek Fandra.

“Katakan saja kalau kalian memang ingin bicara atau aku akan pergi saja,” ancamnya dingin.

“Bukannya kau tadi pergi, kenapa kembali?” balas sang nenek menyindirnya telak.

“Aku ketinggalan dompet,” dustanya mulus dengan ekspresi yang tetap datar dan suara berat yang dingin.

“Ooooh. Bukan karena penasaran?” Fiona tampaknya tak ingin ketinggalan. Dia kini menyimpan sebuah senjata pamungkas untuk menggoda sang kakak. Senyum puas mengembang di wajah Fiona kala Fandra melotot padanya.

Nenek berdeham cukup keras meminta perhatian semua orang yang hadir di sana.

“Terima kasih sudah berkumpul di sini, juga kedatanganmu Fika, juga Haikal, terutama untuk Fandra, terima kasih sudah memutuskan ikut berkumpul,” kata sang nenek yang terdengar jelas kalau itu sindiran untuknya.

Bagaimanalah Fandra bisa menyempatkan diri. Biasanya dia selalu punya alasan untuk pergi melarikan diri karena tahu apa yang akan mereka bahas kalau bukan pernikahannya. Tapi entah mengapa kali ini lain. Apakah karena adanya Vana atau hal lain?

“Karena kau di sini sekarang, jadi tolong diam dan dengarkan,” pinta sang nenek menatap tajam Fandra sebagai peringatan untuknya.

“Baiklah.” Fandra membalas dengan enggan. Dia melipak kedua tangannya di depan dada, menyandarkan punggung ke sofa dan mendatarkan sekali lagi ekspresi wajahnya tapi tatapannya tertuju pada Vana.

Haikal, sang kaka ipar yang duduk tak jauh darinya bergeser sebagai antisipasi kalau Fandra berontak. Pria dengan wajah bangsawan itu merangkul pundak Fandra akrab.

Kedua pasang mata Vana lurus ke depan, menatap pada Fandra yang diam. Entah kenapa dia merasa sesuatu menyusupi hatinya, terasa hangat menjalari sekujur tubuhnya hanya dengan tatapan tajam nan dingin dari seberangnya. Berbeda ketika dia pertama kali bertemu pria itu di depan kamar barunya. Lantas, apa artinya itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status