Setelah menjelajahi lorong yang seolah tak bertepi. Vana berpikir Fiona mengerjainya karena ketika gadis remaja itu mengatakan kalau akan segera sampai di ruangan sang nenek, usai berbelok itu masih harus berjalan menyusuri lorong dan Vana tak yakin seberapa panjang itu.
Berbelok ke arah kiri, sisi kanan dan kirinya hanya dindin marmer dengan sentuhan putih dan pink pastel. Warna yang tak begitu terang tapi cukup hangat dan terkesan manis.
“Maaf, tapi rumah ini selalu banyak lorong dan tangga. Yeah, dan kamar, serta ruang lain,” terang Fiona memberi tahu Vana.
Gadis itu hanya mengangguk saja sudah bosan dengan langkah kakinya yang mulai pegal.
Ada sebuah pintu dengan bingkai putih gading di depan sana. Seorang penjaga menyambut mereka dan membukakan pintu. Kali ini pelayan pria dengan setelan jas hitam.
“Ayo masuk,” ajak Fiona pada Vana yang memperhatikan sekitarnya. Masih elegand dengan tema putih dan pink.
Melangkahkan kakinya melewati pintu, Vana terpesona dengan tempat itu. Nuasa yang sederhana dan klasik itu menyambutnya lembut. Dekorasi dinding dengan motof bunga- bunga kecil dan lembut berwarna ungu. Mereka berbelok ke kanan lalu memasuki sebuah pintu lagi dan sekarang Vana bisa melihat keberadaan yang lain terngah duduk di sofa yang melingkari ruangan luas itu.
Sofa putih gading, meja kayu dengan vas bunga, bupet yang menampung banyak aksesoris ruangan. Dahi Vana mengerut ketika mendapati dua orang asing.
“Vana,” Nenek menyambut dengan senyum hangatnya tanpa beranjak dari singgasana. Sofa yang hanya menampung satu orang itu teletak di tengah, di antara sofa lain menegaskan kalau wanita tua itu adalag ratu di sana.
Vana balas tersenyum, dia lepas dari samping Fiona dan bergerak mendekati wanita tua itu. Tanpa sengaja Vana menatap wajah dingin yang datar di salah satu sofa panjang, tak jauh dari posisi sang nenek.
Tangan tua yang keruput itu terentang untuk menyambutnya, Vana mendekat dan menyentuh tangan itu tanpa membuat sang ratu bangun dari duduk nyamanannya.
“Duduklah,” titah sang ratu lembut menunjuk sofa di dekatnya. Vana menurut dan perhatiannya tertuju pada seorang wanita muda yang tersenyum.
“Halo,” Dia menyapa dengan ramah.
“Hai,” balas Vana kikuk. Dia jelas tidak terbiasa dengan orang asing.
Rambut hitam panjang yang digerai dengan bebas jatuh di belakang punggungnya. Sapuan make up natural mempercantik wajahnya yang tampak sempurna dengan paduan sepasang alis hitam tipis di atas sepasang mata kecil yang lembut tapi tatapannya tajam, dua pipi mulus yang meninjolkan sedikit tulang pipinya, tampak begitu tirus. Hidung mancungnya mirip sekali dengan sang tuan rumah, tinggi. Dagu yang indah mempertegas karakternya. Ah, bibir merah yang dipoles liptink nude tampak mereka.
Tungguh! Bibir itu … seketika pandangan Vana beralih pada sosok pria di sampingnya. Wajah datar tanpa senyuman, dan pandangan Vana jatuh ke bibir tebal yang terkatup rapat. Bibir itulah yang menempel dengan mikiknya beberapa saat lalu di taman. Otomatis Vana mengalutkan mulutnya, mengulum kedua benda lunak miliknya. Tiba- tiba ruangan terasa begitu panas membuat pipinya sedikit merah.
“Oh ayolah Vana, jangan sekarang. Memalukan!” bisik hatinya.
Sementara itu Altafandra, pria yang menjadi pusat perhatian Vana kini, juga tengah menatapnya dalam diam. Dia mengawasi setiap gerik gadis itu, bahkan tatapannya tak lepas darinya.
“Kenapa bibirnya merah?” Batinnya bertanya ketika pandangannya memperhatikan bibir Vana. “Aku rasa tadi tidak. Tidak mungkin karena ….”
“Halo Vana,” Suara lembut dan riang dari sampingnya mengalihkan fokus Fandra.
Bangun dari duduknya hanya untuk melewati Fandra dan memeluk Vana yang duduk di seberang meja, jelas saja itu membuat sang tuan muda tak percaya karenanya.
Langkahnya yang anggun dan hati- hati membuat Vana terkagum, dengan wedges hitam berhak sekitar lima cm. Dia menghampiri Vana dan memeluknya lembut tampak begitu senang meskipun baru saja beberapa menit saling bertatapan. Jelas saja apa yang dilakukan wanita asing bagi Vana itu membuatnya cukup terkejut tapi dia membalas pelukannya.
“Fika, sudah, kasihan Vana,” tegur sang ibu kepada anak sulungnya itu.
Fika melepaskan pelukannya setelah mendengar teguran sang ibu yang duduk anggun bersama sang pangeran di sampingnya. Vana melihat tautan tangan dari keduanya itu terlihat begitu hangat.
“Vana, ini adalah Alifika Alatas, Kakak dari Fandra dan Fiona,” terang Sang Ratu memperkenalkan wanita itu.
“Halo,” sapa Vana lagi dengan sedikit salah tingkah. Dia merasa begitu rendah diri ketika bersama kakak pria itu.
“Santai saja, aku tidak akan mengigit,” guraunya sambil menuntun Vana untuk kembali duduk. Senyuman tak sekalipun luput dari wajahnya yang cantik sampai membuat Vana malu karenanya. “Namamu Vivana Rosiana, bukan?” tanyanya.
“Ya,” sahut Vana pelan.
“Nama yang cantik,” puji Alifika yang kerap disapa Fika.
Pipi Vana menghangat mendengar pujian itu dan otomatis mengucap terima kasih padanya. Lain dengan Fandra yang mendengus tak percaya melihat sikap keluarganya yang berubah drastis, katakanlah 180 derajat hanya karena penghuni baru yang bagi Fandra terlihat begitu kampungan.
“Menyebalkan,” desisnya tajam yang menarik semua perhatian tertuju padanya.
“Astaga. Lihat, ada yang cemburu,” goda sang kakak melihat adiknya yang tampak kesal.
Tawa di ruangan itu berderai mengejek Fandra.
“Katakan saja kalau kalian memang ingin bicara atau aku akan pergi saja,” ancamnya dingin.
“Bukannya kau tadi pergi, kenapa kembali?” balas sang nenek menyindirnya telak.
“Aku ketinggalan dompet,” dustanya mulus dengan ekspresi yang tetap datar dan suara berat yang dingin.
“Ooooh. Bukan karena penasaran?” Fiona tampaknya tak ingin ketinggalan. Dia kini menyimpan sebuah senjata pamungkas untuk menggoda sang kakak. Senyum puas mengembang di wajah Fiona kala Fandra melotot padanya.
Nenek berdeham cukup keras meminta perhatian semua orang yang hadir di sana.
“Terima kasih sudah berkumpul di sini, juga kedatanganmu Fika, juga Haikal, terutama untuk Fandra, terima kasih sudah memutuskan ikut berkumpul,” kata sang nenek yang terdengar jelas kalau itu sindiran untuknya.
Bagaimanalah Fandra bisa menyempatkan diri. Biasanya dia selalu punya alasan untuk pergi melarikan diri karena tahu apa yang akan mereka bahas kalau bukan pernikahannya. Tapi entah mengapa kali ini lain. Apakah karena adanya Vana atau hal lain?
“Karena kau di sini sekarang, jadi tolong diam dan dengarkan,” pinta sang nenek menatap tajam Fandra sebagai peringatan untuknya.
“Baiklah.” Fandra membalas dengan enggan. Dia melipak kedua tangannya di depan dada, menyandarkan punggung ke sofa dan mendatarkan sekali lagi ekspresi wajahnya tapi tatapannya tertuju pada Vana.
Haikal, sang kaka ipar yang duduk tak jauh darinya bergeser sebagai antisipasi kalau Fandra berontak. Pria dengan wajah bangsawan itu merangkul pundak Fandra akrab.
Kedua pasang mata Vana lurus ke depan, menatap pada Fandra yang diam. Entah kenapa dia merasa sesuatu menyusupi hatinya, terasa hangat menjalari sekujur tubuhnya hanya dengan tatapan tajam nan dingin dari seberangnya. Berbeda ketika dia pertama kali bertemu pria itu di depan kamar barunya. Lantas, apa artinya itu?
Rungan itu hening meskipun banyak orang di sana, diam sampai sang ratu memberikan instruksi untuk memulai.“Baiklah, kita mulai,” ujar sang ratu memberi perintah pada sekretarisnya.Seorang pria paruh baya menghampirinya. Sejak tadi berdiri tak jauh dari kursi sang ratu. Vena memperhatikannya, pria itu menaruh sebuah berkas di depan nenek.Semua pandangan tertuju pada berkas di atas meja itu yang entah apa isinya.“Ini berisi peraturan untuk keluarga ini, terkhusus untuk Vana,” kata nenek.Mendengar namanya di sebutkan Vana menatap sang ratu bingung tapi wanita tua itu hanya tersenyum lembut padanya lain dengan Fandra yang mendengus.“Pertama, Nenek akan memperkenalkan Vana sebagai anggota baru kita,” lanjutnya dengan tangan kanan mengarah pada Vana. “Untuk semua orang yang ada di sini, berlaku untuk para pelayan dan penjaga perlakukan Vana seperti tuan kalian,” tegasnya mengumumkan.Di ruangan itu tak hanya terdapat keluarga tapi juga kepala pelayan, sekretaris, dan kepala lain yang
Masih dalam suasana tegang karena perdebatan Vana dan Fandra, keduanya sama-sama memalingkan muka setelahnya membuat penonton merasa geli. “Sudah, simpan dulu pertikaian kalian. Nenek sengaja memanggil bukan untuk melihat kalian bertengakar,” ujar nenek. Nada suaranya tidak ada kemarahan, malah terlihat begitu senang. Vana melirik Fandra dari balik bulu matanya tapi hanya sekilas lalu memalingkan muka, kesal sekali karena sang tuan muda. “Baiklah. Nenek akan mulai, kalian dengarkan dengan baik, Vana …” Nenek menatapnya Vana mengangguk. “Bagus. Maka kita akan mulai,” lanjutnya. Semua orang mendengarkan dengan baik, termasuk Vana. Nenek mengumpulkan semua orang untuk memperkenalkannya juga tapi Fandra justru mengacau dengan mendebatnya. Menyebalkan sekali bukan. “Baik. Pertama, kamu akan tinggal di rumah itu untuk waktu yang tak tentu, tapi selama tinggal di sini kamu harus melakukan serangkaian latihan untuk menjadi bagian dari keluarga Alatas,” jelas sang ratu untuk aturan pertama
“Sudah. Kamu bisa pergi ke kamarmu sekarang, Vana. Kita akan makan siang bersama,” kata nenek.“Ah. Baik. Terima kasih,” balas Vana seramah mungkin.Gadis itu melirik sekitarnya beberapa saat. Mulai dari sang ratu, lalu menatap putra dan menantunya yang merupakan orang tua dari Fandra, lalu pada saudaranya kakak dan adik juga kakak ipar dari Fandra mereka semua tersenyum pada Vana. Senyum tulus yang menyambut hadirnya dengan baik. Meskipun bingung, Vana menundukan kepalanya sekilas dan bangun dari duduknya.Tiga pelayan yang berdiri tak jauh dari nenek itu bergerak memberi jalan pada Vana sambil tetap menundukan. Begitu Vana lewat ketiganya mengekor. Entah akan pergi ke mana dia karena yang lain masih tetap di sana.Berjalan melewati pintu yang tadi Vana lalui bersama Fiona. Tapi langkahnya terhenti ketika pembahasan mulai terdengar lagi dari arah depan. Entah apa yang menahan langkah Vana sampai gadis itu tak bergerak. Untunglah dia tersembunyi begitu juga tiga pelayannya.“Nenek su
Ruang ballroom itu ada banyak pilar, tapi di tengahnya kosong melompong hanya ada gambar bunga teratai dari lantai marmer dan meja bundar di tengah. Lampu hias Kristal yang cukup besar terdapat tiga menggantung di langit- langit. Tangga berlapis karpet merah selebar tiga meter menuju atas, di samping tangga itu terdapat sebuah sofa. Dari balik pilar rupanya terdapat beberapa pintu dan entar datangnya dari pintu mana Fandra ada di sana.Kedua tangan kekarnya melingkar di pinggung Vana yang kecil berbalut dress. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Tatapan Fandra juga tertuju pada wajah Vana.Ketiga pelayan yang menyaksikan masih tegang tapi menonton apa yang terjadi dengan diam. Dua dari mereka bahkan menahan senyumnya.Yang pertama kali sadar adalah Vana. Dia segera melepaskan tangan Fandra dari pinggangnya dan mundur dua langkah sambil menundukan pandangannya dari pria itu. Bagaimanapun juga Vana malu.“Woah. Siapa ini?” Suara baritone dari arah belakang Fandra mengusik keduanya untuk
Kembali turun mengelilingi ruang demi ruang yang ada di mansion itu, Vana nyaris bosan tapi dia memperhatikan ruangan dan merekamnya dalam otak. Mungkin dia yang akan pergi sendirian nanti, bagaimana kalau tersesat.Ruang makan itu berada di bangunan utara sementara kediaman nenek berada di barat begitu juga kediaman, maksudnya kamar ibu dan ayah Fandra berada di barat supaya bisa mengontrol nenek dengan mudah. Tentu saja, setiap ruangan itu ukurannya besar dan luas, Vana tidak bisa mengira-ngira berapa luasnya yang pasti seukuran orang kaya raya.Bila kediaman sang ratu di barat, ruang makan dan dapur di utara, ballroom dan segala macam untuk penyambutan tamu di timur, maka kediaman pangeran arogan di selatan.“Banyak sekali ruangannya,” desah Vana tanpa suara ketika kakinya terus berjalan sementara otaknya mengingat-ingat di mana saja para penghuni berada. “Selatan itu adem seharusnya, bukan panas. Tapi, dia dingin, masuk akal juga,” lanjutnya mendumel sendiri.“Lewat sini, Nona,” t
Ruang makan itu akhirnya hening dari semua kegiatan karena baru saja selesai menyantap hidangan yang tampaknya sangat enak sekali. Namun tidak bagi Vana yang sepanjang makan itu dia melamun. Barulah mengangkat wajah ketika semua orang selesai makan.“Nenek, ada yang ingin aku sampaikan,” katanya sebelum nenek bangun dari duduknya.Wanita tua yang menjadi ratu di rumah itu menatap Vana dengan heran begitu juga yang lain.“Ada apa, Vana? Apakah kamu tidak nyaman?” tanya nenek khawatir.“Ah, tidak. Bukan itu,” aku Vana sedikit salah tingkah.“Lalu, apa?”Tapi Vana ragu, dia mengitari meja makan itu yang semu piringnya kosong, hanya menyisakan lemak dan hiasannya.“Ah, kita bisa pindah ke ruang tengah. Kebetulan juga ada yang masih ingin kami sampaikan padamu,” ujar nenek yang mengerti. Vana tersenyum kecil. “Tolong siapkan buah untuk cemilan di depan,” titahnya pada pelayan.Seorang kepala pelayan mengangguk menyanggupinya.“Mari. Tapi, ini untuk yang mau mendengar saja, sekalian mengobr
Hening. Semua orang diam setelah mendengar apa yang Vana katakan dan dia pun ikut diam, berpikir kembali apakah perkataannya salah atau tidak? Entahlah. Yang pasti, suasana hening itu membuat Vana merasa bersalah dan dia menundukan kepalanya.“Ekhem. Vana,” panggil Alifika melirik padanya.Vana mengangkat wajahnya, menatap.“Bolehkah bertanya sesuatu padamu?” lanjut Alifika masih menatap gadis itu.“Ya. Tentu, silakan,” jawab Vana.Senyum Alifika hadir dan mengangguk namun dia diam untuk beberapa saat lamanya tampak menimbang-nimbang sesuatu kemudian menarik napasnya dan menatap Vana sekali lagi, lebih intens dari sebelumnya.“Apakah, kamu sungguh, tidak apa-apa bertunangan dengan Fandra?” tanyanya hati-hati.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan itu Vana terdiam. Pertanyaan yang membuat Vana sendiri mempertanyakan keputusannya untuk datang ke mansion itu. Untuk apa dia berada di sana dan apa keputusannya? Vana sama sekali tidak atau mungkin belum menjelaskannya. Masih ada banyak yang
Aturan yang disebutkan kali ini adalah tentang pelatihan menjadi seorang putri. Keluarga Alatas adalah kalangan atas yang sering kali mendapat sorotan media. Bagai keluarga kerajaan. Setiap perempuan yang ada di keluarga itu harus digambarkan sefeminim mungkin bak putri bangsawan.Vana yang menyimak semua penuturan akan aturan yang berlalu menatap dirinya sendiri, menilainya. Apa yang salah dengan tampilannya? Apakah harus berubah menjadi seseorang yang bahkan bukan dirinya? Vana nyaman menjadi dirinya sendiri, sedikit tomboy dan ala kadarnya serta sesungguhnya, dia tidak mau diatur.“Asal kalian bisa menjaga keselamatan Ibu dan adik, aku bersedia.” Mata Vana terpejam ketika dia teringat kembali alasannya berada di sana. Bukan karena desakan keluarga Alatas, atau ibunya, melainkan keputusannya sendiri dengan gantinya yang lebih mudah.Dia sadar, tidak akan bisa melindungi keluarga kecilnya yang tinggalkan dua pria gagah, ayah dan kakeknya yang selalu ada kala mereka masih hidup. Namun