Share

6. First and Second?

Waktu seolah berhenti untuk beberapa menit ketika kedua benda kenyal itu saling bersentuhan. Dua pasang mata itu saling membulat terkejut tapi sesaat keduanya terpana oleh sorot mata masing- masing yang begitu dekat.

Sementara itu Fiona yang berlari di belakang Vana otomatis menghentikan larinya begitu menyaksikan apa yang terjadi. Dia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, membulatkan matanya. Dia jelas terkejut sekaligus cemas akan keadaan Vana tapi tak berani mendekat ketika sadar siapa yang ditabrak Vana tadi.

Tanpa kata Vana segera mendorong tubuh kekar itu. Meskipun shock, dia tak mengeluarkan suara yang mungkin bisa saja memanggil seluruh penghuni mansion itu. Biarlah Fiona yang menjadi saksi atas insiden itu.

“Apa yang kau lakukan?” Setelah kesadarannya kembali sepenuhnya, Vana protes keras.

“Kau yang salah. Di mana matamu, hah?” balas pria itu tak mau kalah.

“Mana aku tahu kau ada di sana. Iiiiiih, sialan!” sungut Vana sambil melap bibirnya yang masih merasakan kehangatan dari sentuhan tak sengaja itu.

“Apa maksudmu dengan itu, hah?” Telunjuknya mengarah pada Vana yang masih berusaha menghapus jejak seolah yang terjadi itu adalah kesalahan besar.

Tidak ada tanggapan dari Vana, pria itu juga melap bibirnya kasar dengan punggung tangan. Dia mendesis kesal melihat Vana yang berusaha kerasa menghilangkan jejak itu seolah bibirnya itu kotor.

“Apa yang kau lakukan, hah?” Entah mengapa dia lebih murka melihat Vana memainkan bibirnya dengan tangan. Dia mendekat, menahan gerakan tangan Vana di mulutnya. “Ada apa denganmu?” sentaknya.

“Apa? Kau apa, hah? Kau … kau sungguh bajingan!” sungut Vana marah.

Bukan kata terakhir yang membuat Fandra, si pelaku yang Vana tabrak terdiam itu. Tapi hal lain yang seolah menarik baginya. Tiba- tiba sebuah ide hadir di otaknya membuat pria itu mengeluarkan smirk yang bagi Fiona menyebalkan. Tapi sang adik tetap diam seolah dia tak kasat mata dengan ponsel menyala di tangannya. Tentu kakak dan adik sama saja, bukan? Sama- sama menyebalkan.

“Jangan bilang, kau, itu adalah ciuman pertamamu?” tebak Fandra.

Kedua bola mata Vana yang membulat membuat Fandra tersenyum puas.

“Kau gila!” sungut Vana tak terima.

“Kenapa? Reaksimu menjawabnya,” ledek Fandra.

Entah mengapa pria itu berbeda dari wujudnya tadi ketika berada di ruang santai yang seperti ruang sidang.

“Sialan! Tidak mungkin. Itu, bukan yang pertama.” Sialnya pengakuan Vana yang terbata membuat Fandra tergelak. Jelaslah dia tak percaya dengan Vana yang berusaha keras mengelak kalau itu adalah ciuman pertamanya.

“Ckck. Berapa usiamu sampai baru firt kiss? Kuno sekali,” ujar Fandra menghina.

Mendengar apa yang Fandra katakan, mata Vana membulat sempurna. Wajahnya merah padam atas hinaan pria itu. Dia pikir kenapa Vana tak pernah melakukan itu? Sebab dia punya prinsip. Tapi Fandra yang justru mengambilnya tanpa izin meskipun itu adalah kecelakaan.

“Kau pikir hal itu bisa dengan mudah didapatkan, hah? Aku tak peduli apa kata orang! Tapi kau telah menodainya! Mengambil apa yang aku jaga!” tukas Vana. Dia berusaha menahan amarahnya yang terpancing.

Baik Fandra atau Fiona sama- sama terkejut melihat kemarahan Vana. Dia bangun dari duduknya, mendekat pada Fandra lantas memukulinya tanpa ampun. Fandra yang tak menduga akan hal itu berusaha untuk menahan tangan Vana, tapi justru keseimbangan menjadi masalahnya. Untuk kedua kalinya mereka terjerembab ke rerumputan dan sialnya insiden itu terulang lagi untuk kedua kalinya.

“Hei kau!” Seruan Vana menggema mengejutkan Fandra dan Fiona. Wajahnya semakin merah padam karena kedua benda itu kembali beradu tanpa sengaja. “Sialan!” ujar gadis itu lalu mendorong Fandra.

Secepat kilat Vana bangun dari duduknya dan berlari sejauh mungkin dari tempat itu meninggalkan Fandra yang shock sendiri.

“Kak Vana tunggu!” seru Fiona begitu sadar. Dia sempat menatap sang kakak, mengejeknya lalu ikut berlari menyusul Vana.

Fandra yang masih terduduk di tempatnya mencoba mencerna apa yang telah terjadi padanya.

Ini sunggung mengejutkan sekali, “First and second?” gumamnya tak percaya lalu tertawa kecil. Tapi kemudian segera mengubah ekspresinya kembali dingin setelah melihat sekitarnya, sok jaim lagi, berdeham kecil.

Sejak kapan Fandra seperti itu? Tersenyum saja tidak, tapi ini sampai tertawa? “Udah gak waras!” rutuknya bangkit dari duduk dan berjalan menuju mansionnya.

Tidak ada siapapun di sana, tapi sunyinya cukup menjadi saksi bisu dari senyum kecil seorang Altafandra yang dingin dan arogan. Cukup untuk menjadi awal baik baginya, mungkin juga bagi yang lain.

Namun, apakah itu sungguh awal yang baik? Sepertinya tidak. Katakanlah insiden ini menjadi alasan Vana menilai Fandra. Tidak mungkin mereka akan langsung akrab, bukan? Ini baru permulaan akan pertemuan kedua mereka yang berbeda dari yang pertama tadi. Tapi, kenapa Fandra ada di sana? Bukannya Fiona mengatakan kalau pria itu pergi dengan mobilnya tadi? Bagaimana bisa secepat itu kembali?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status