"Cukup Ches," kata Ben begitu tenang dan pelan, "Ann nggak akan nolak jadi perawatmu, kita bujuk pake cara halus dulu, kalau dia nggak mau, lakukan semaumu," ucapnya lagi.
Bak paham apa yang Ben bicarakan, Chester langsung duduk dan menopang dagunya. Pupil matanya sudah kembali normal, ia menjilat kaki depannya dan sengaja bersikap sangat imut. Sementara Ann tak berani menampakkan diri, nyaman di tempat yang sangat terlindungi. "Jangan pernah nolak Chester atau dia yang bakalan maksa kamu buat nerima dia," ucap Ben menoleh gadis yang masih bersembunyi di punggungnya sembari memeluknya itu. "Dia yang memilihmu, jadi jangan berani-berani buat bikin dia jadi pilihan," katanya ambigu. "Ah," tersadar, Ann segera melepas pelukannya. Ia pura-pura menegakkan dagu, tak ingin diremehkan oleh Ben. "Masa hewan ngeri begini disuruh ngerawat kucing rumah kayak aku. Mas, kamu nggak serius kan?" "Kadang hewan justru lebih manusiawi ketimbang manusia itu sendiri." "Tapi tetep, dia bisa aja nyerang aku dong. Kalau aku dimakan gimana? Kamu mau tanggung jawab?" "Udah kubilang, dia nggak doyan dagingmu. Yang dia lakuin tadi adalah bentuk protes karena kamu nolak buat ngerawat dia," jelas Ben sesekali berdehem. Ada sesuatu bergerak di perutnya saat Ann memeluknya barusan dan ia enggan mengakui itu. "Ini terlalu tiba-tiba dan aku jelas nggak bisa nerima gitu aja!" sangkal Ann terbata. "Ngerawat macan kumbang? Kamu mau ngebunuh aku ya Mas?" desisnya tak habis pikir. "Ada asuransi jiwa yang kamu dapet, Chester juga punya dokter pribadi dan pawang sendiri yang tau banget tabiatnya dia. Tugas kamu cuma mastiin jadwal yang tadi udah kusebutin," ucap Ben memberi penjelasan rinci. "Aku juga punya kegiatan sendiri yang udah terjadwal!" geram Ann berusaha membuat Ben memahami situasinya. "Aku nggak akan punya waktu buat bolak-balik ke sini juga! Jadwal kuliah sama karier modelku padat banget! Belom lagi jalanan Jakarta yang sering banget maxet di jam-jam krusial. Aku nggak akan sanggup ya Mas" "Aku nggak minta kamu bolak-balik ke sini. Kamu harus tinggal di sini," sebut Ben begitu enteng. "Nggak! Kamu pikir aja! Siapa yang mau tinggal satu rumah sama macan kumbang? Ini bukan Wakanda ya! Nggak mau! Siapa yang berani jamin kalau pas malam dia nggak bakalan nyelinap masuk ke kamar dan nyeret aku keluar buat dimakannya!" jerit Ann kalut. "Aku punya kontrakan dan baru aja kubayar, mana bisa aku tinggal di sini juga. Nggak akan!" ucapnya denial. Chester yang tadinya asik menjilati tubuhnya seketika bangun, ia menggeram hebat, mendekati Ann. Tahu bahwa teriakannya memicu reaksi marah dari hewan buas itu, Ann tidak memiliki waktu untuk menyesali sikapnya. "Kamu bikin Chester beneran marah kali ini," gumam Ben mendesah lirih, pura-pura masa bodoh. "Aku harus gimana? Mana mungkin aku nerima kerjaan beginian! Melihara kucing aja nggak pernah, ini suruh ngerawat macan. Bercandanya jangan kelewatan dong Mas! " "Tinggal pilih," ucap Ben mengedikkan bahunya sementara Chester terus mendekat dan menggeram pada Ann. "Balikin pinalti kontrak atau terima tawaranku tanpa banyak protes." "Mas, please! Aku nggak takut sama apapun, tapi jangan macan kumbang juga dong," mohon Ann panik, ia remas kerah jas Ben saking bingungnya. "Big Ben!!" pekiknya spontan memeluk Ben dan menyusup ke dada bidang lelaki di depannya karena ia bisa merasakan embusan napas Chester menyibak dress mininya. "Mas, aku takut beneran lho ini, nggak bohong!" "Dia nggak suka ditolak," jelas Ben. "Kita bisa obrolin, tapi tolong jauhin dulu dia dari aku Mas. Mas Ben ih!" gemas Ann semakin mempererat pelukannya. Ia tenggelamkan wajahnya di dada Ben, enggan menoleh hewan buas yang mengintainya itu. Ben reflek memeluk balik pinggang Ann dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mengusap kepala Chester. Ia biarkan Ann meminta perlindungan padanya. Di sisi lain, Ben tengah membiarkan hatinya merasa tenang untuk sebentar saja. Benar, pelukan Ann memberinya afirmasi yang asing tapi hangat. ###"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha