Gendhis mengerang kecil, sudah hampir 2 hari ini ia kepayahan karena tubuhnya mengalami perubahan. Rasa mual menyergap dirinya tak kenal waktu, tiap menit, apapun yang masuk ke mulutnya pasti akan membuatnya memuntahkan isi perutnya lagi."Aku hamil," ucap Gendhis menoleh Danisha yang datang mengunjunginya ke rumah bordil. "Hah?" Danisha melongo kaget, kalimatnya tercekat di tenggorokan. "Hamil?" desisnya syok. Gendhis mengangguk lemah, ia kepayahan. Dimintanya Danisha mengulur tangan untuk memapahnya keluar kamar mandi dan berbaring di ranjang."Terus gimana?" tanya Danisha bingung."Tetep mau kurawat Kak, nggak pa-pa," jawab Gendhis. "Jangan bilang Rai," pintanya. "Dia bapaknya! Harus tau dong!""Enggak! Jangan, aku nggak mau ngrecokin langkahnya. Tinggal selangkah lagi dia jadi ketua, jangan diganggu, Kak," kata Gendhis tak setuju.Danisha menghela napas panjang, ia tak bisa memahami arah pikiran Gendhis kali ini. Hamil dengan gejala morning sickness saja sudah sangat menyulitka
Menatap wajah pucat Gendhis yang bungkam padanya, Rai melipat kedua tangannya di depan dada. Hanya mata Gendhis yang seakan bicara bahwa Rai tak perlu lagi peduli perihal dirinya. "Bu Gendhis sudah memperlihatkan tanda-tanda dehidrasi, Dok," lapor Dokter Una pada Rai, dokter yang berjaga di IGD.Rai manggut-manggut, meski kesulitan karena memorinya hilang, ia tak bisa mengabaikan laporan Dokter Una yang masih terlihat menghormatinya itu. Dokter Una memang mendengar alasan cuti Rai adalah karena masalah kesehatan, tapi ia tidak paham jika Rai kehilangan ingatan. "Perlu rawat inap?" tanya Rai berdehem, matanya melirik tajam pada Gendhis. "Kalau saya menyarankan rawat inap Dok, mengingat tubuh Bu Gendhis yang sangat lemah. Asupan satu-satunya yang masuk ke tubuh adalah dari infus. BP rendah sekali," ucap Dokter Una. "Ikut kebijakan Dokter Rai saja," tambahnya. "Ada yang berbahaya nggak kalau dibawa pulang?" gumam Rai. "Riwayat K.E.T pada Mbak Gendhis harus jadi perhatian kan Dok? Ap
"Argh… Sakit, sakit banget!" "Mbak, Mbak masih bisa denger suara saya?" Sekuat tenaga Gendhis berusaha mengangguk saat guncangan di Pundak dan pertanyaan itu ditujukan padanya. “Sakit sekali, Dokter.” Lagi-lagi, hanya erangan kesakitan yang Gendhis beri sebagai tambahan jawabannya. Tangannya tergerak mencengkeram perut bagian bawahnya, keringat dingin membasahi sekujur tubuh. "Dari kapan sakitnya?" tanya perawat di sebelah Gendhis. Gendhis menggeleng, "Semalam…" gumamnya tak yakin. "Ada bercak darah?" Gendhis mengangguk kali ini, ia berusaha membuka matanya. Tak jauh dari ranjangnya sekarang, seorang perempuan berusia 40 tahunan tengah menatapnya dari kejauhan. Tampak cemas, tapi juga tak berani mendekat. "S-saya hamil. Test pack saya positif," ungkap Gendhis terbata. Tak ada jawaban, semua orang yang menangani Gendhis di Instalasi Gawat Darurat itu tampak sibuk melakukan tugasnya masing-masing setelah mendengar pengakuannya. Air mata Gendhis menetes, ia ingin men
Gendhis menyipitkan pandangannya, rasa haus yang amat sangat memenuhi mulut dan tenggorokannya. Samar ia dengar suara orang tengah mengobrol, tapi kantuk yang menggantung di matanya memaksa Gendhis kembali memejamkan mata. "Semisal saya tinggal pulang dan nggak ada yang nemenin, apa aman, Dok?" Suara berisik di sebelahnya semakin terdengar jelas oleh Gendhis. Seseorang tengah mengobrol dengan dokter, membicarakan kondisinya. "Silakan, ada perawat kami yang bisa diandalkan. Pasien juga baru boleh makan setelah lewat tengah malam," balas suara berat lain. Gendhis mengenal suara bariton seksi ini, milik sebuah nama yang menghuni sisi lain hatinya. Kali ini, Gendhis berusaha lagi membuka mata. Kantuk seketika menyerang, tapi ia tak menyerah. Ia harus tahu, siapa pemilik suara berat yang mengobrol di sampingnya. "Kalau gitu, gue balik dulu, bisa berantakan kerjaan kalau gue lama-lama di sini. Nanti gue kirim orang buat jagain lo," pamit si perempuan paruh baya berdandan men
"Ada yang mau ditanyakan?" Gendhis bungkam, ia hanya menatap tajam pada sosok tampan berjas snelli dengan masker menutupi separuh wajahnya itu. Tiga hari pasca operasi, Gendhis dipindahkan ke ruang perawatan setelah kondisinya dipastikan stabil. "Kapan dia bisa dibawa pulang, Dok?" Wida—perempuan berpenampilan mencolok yang tak pernah berada jauh dari sisi Gendhis, sang mucikari veteran. "Harus dilihat perkembangannya Bu," jawab dokter di sebelah ranjang Gendhis, Dokter Christ, atau Gendhis mengenalnya sebagai Rai. "Kamu jijik sama aku?" tanya Gendhis tiba-tiba, menatap tajam pada Rai. "Ya?" Rai mengernyit tak mengerti. "Ah, aku bener. Sikapmu yang begini… aku paham kok,” ujar Gendhis terdengar kecewa. “Kupikir malam itu aku emang cuma mimpi." "Sepertinya sudah tidak ada pertanyaan lagi. Kalau gitu, saya permisi.” Menatap punggung Rai yang berlalu, hati Gendhis seakan runtuh bak gletser di kutub. Perih menyayat bukan hanya pada bekas luka operasinya, tapi di dalam da
"Ada tindakan medis yang perlu saya lakukan?" tanya Rai seraya berdiri dari kursinya. Gendhis tertegun, ia amati Rai yang sibuk memberesi beberapa barangnya, pun juga mengganti masker di wajahnya dengan yang baru. Untuk sepersekian detik, Gendhis terhenyak. Pria di hadapannya ini benar-benar Rai-nya 13 tahun lalu, cinta pertamanya. "Terima kasih sudah mendonorkan darah untuk saya," sebut Gendhis terbata, berubah dalam mode formal yang canggung. "Juga, terima kasih sudah menyelamatkan nyawa saya.” "Sudah kewajiban saya," balas Rai singkat. "Suster Tiwi akan mengantar Mbak kembali ke kamar rawat," ucapnya sembari memberi kode pada perempuan di pintu, perawat yang dimaksud. "Gendhis Kemuning Btari, nama saya," ujar Gendhis. "Barangkali Dokter lupa," tandasnya menusuk. Kini giliran Rai yang mematung, gerakannya yang sudah siap menenteng tas, terhenti. Tatapan matanya berubah, menusuk pada sang pasien yang masih berusaha menahan tangis di kursi rodanya itu. Lelaki itu memberik
"Banyak staf perawat bertanya ke saya, apa hubungan Dokter dengan pasien K.E.T itu," sebut Suster Tiwi mengiringi langkah Rai menuju parkiran di hari lain seusai praktik di poli. "Terus Mbak Tiwi jawab apa?" balas Rai tak acuh. "Rumor tersebar, mereka pikir Dokter Christ adalah salah satu pelanggannya di rumah bordil," kata Tiwi hati-hati. "Ya biar aja mereka nganggap begitu." "Tapi banyak yang nggak rela, Dokter kan maskot ketampanan rumah sakit kita, masa jajan di rumah bordil. Nggak mungkin kan Dok?" Rai tersenyum, "Menurut Mbak Tiwi, saya begitu nggak?" tanyanya. "Enggak," tegas Suster Tiwi. "Dok, jangan ya," pintanya sudah seperti kakak bagi Rai. "Iya," sahut Rai geli. "Gendhis, hari ini dia bisa pulang. Mbak sudah buatkan surat kontrolnya untuk dua minggu ke depan?" tanyanya. "Siap, sudah Dokter!" balas Suster Tiwi. Rai mengangguk, lantas melambai ringan pada Tiwi sebelum akhirnya keduanya berpisah di simpang antara lobi dan arah IGD. Seolah takdir me
Rai menghela napas panjang sambil meneguk air putihnya bernafsu. Ia meraup wajahnya untuk mengusap peluh, sengaja menghindari bersitatap dengan Ben, sang ayah angkat. "Tumben kalah," gumam Ben justru duduk di sebelah Rai. "Ada isinya apaan itu kepala?" tanyanya. "Otak dan organ lainnya, Ketua," balas Rai sekenanya. "Perempuan," tebak Ben sangat tepat. "Ada satu perempuan di kepalamu, tapi bukan Kiara, Christ," ulangnya. "Selalu ada Ane-san," balas Rai tersenyum. "Siapa? Setelah sekian lama, hatimu tergerak?" "Ben," Rai lagi-lagi meneguk air putihnya. "Aku pusing," keluhnya. "Aku tau, kalah dariku membuktikan kalau sesuatu terjadi dengan kepalamu.""Gimana dong?" "Selesaikan. Sejak kapan klan Wisanggeni lemah sama perempuan?" tantang Ben. "Dia beda, dan iya, dia memang kelemahanku," ungkap Rai jujur. "Sampai apa?" tanya Ben sambil menyulut rokoknya. "Melibatkan perasaan? Ranjang?" "Aku harus ke rumah sakit," balas Rai menghindar. "Ah, aku harus bilang Ane-san kalau anak kes
Menatap wajah pucat Gendhis yang bungkam padanya, Rai melipat kedua tangannya di depan dada. Hanya mata Gendhis yang seakan bicara bahwa Rai tak perlu lagi peduli perihal dirinya. "Bu Gendhis sudah memperlihatkan tanda-tanda dehidrasi, Dok," lapor Dokter Una pada Rai, dokter yang berjaga di IGD.Rai manggut-manggut, meski kesulitan karena memorinya hilang, ia tak bisa mengabaikan laporan Dokter Una yang masih terlihat menghormatinya itu. Dokter Una memang mendengar alasan cuti Rai adalah karena masalah kesehatan, tapi ia tidak paham jika Rai kehilangan ingatan. "Perlu rawat inap?" tanya Rai berdehem, matanya melirik tajam pada Gendhis. "Kalau saya menyarankan rawat inap Dok, mengingat tubuh Bu Gendhis yang sangat lemah. Asupan satu-satunya yang masuk ke tubuh adalah dari infus. BP rendah sekali," ucap Dokter Una. "Ikut kebijakan Dokter Rai saja," tambahnya. "Ada yang berbahaya nggak kalau dibawa pulang?" gumam Rai. "Riwayat K.E.T pada Mbak Gendhis harus jadi perhatian kan Dok? Ap
Gendhis mengerang kecil, sudah hampir 2 hari ini ia kepayahan karena tubuhnya mengalami perubahan. Rasa mual menyergap dirinya tak kenal waktu, tiap menit, apapun yang masuk ke mulutnya pasti akan membuatnya memuntahkan isi perutnya lagi."Aku hamil," ucap Gendhis menoleh Danisha yang datang mengunjunginya ke rumah bordil. "Hah?" Danisha melongo kaget, kalimatnya tercekat di tenggorokan. "Hamil?" desisnya syok. Gendhis mengangguk lemah, ia kepayahan. Dimintanya Danisha mengulur tangan untuk memapahnya keluar kamar mandi dan berbaring di ranjang."Terus gimana?" tanya Danisha bingung."Tetep mau kurawat Kak, nggak pa-pa," jawab Gendhis. "Jangan bilang Rai," pintanya. "Dia bapaknya! Harus tau dong!""Enggak! Jangan, aku nggak mau ngrecokin langkahnya. Tinggal selangkah lagi dia jadi ketua, jangan diganggu, Kak," kata Gendhis tak setuju.Danisha menghela napas panjang, ia tak bisa memahami arah pikiran Gendhis kali ini. Hamil dengan gejala morning sickness saja sudah sangat menyulitka
Ketegangan yang terjadi di meja makan dan sempat membuat Gendhis merasa dipojokkan akhirnya cair karena Bastian dan Benji beserta anak dan istrinya datang. Kiara tak lagi bersuara, ia tahu semakin banyak ia bicara, semakin Rai ilfeel padanya. "Ngeliat Christ bawa Kiara ke sini pasti melukaimu," kata Bastian duduk menemani Gendhis merokok di serambi depan. "Sebentar lagi, pengambilalihan aset bakalan selesai prosesnya, keluarga Kiara nggak akan berkutik, ini bakalan jadi pukulan keras buat para tetua juga. Siapkan diri kamu buat tampil dan bikin Christ menyesal," katanya. "Kalau aset yang dikuasai keluarganya Kiara berhasil kita akuisisi, apa semua kekayaannya juga bisa jadi milikku, Bang?" tanya Gendhis. "Bisa jadi, karena kekayaan yang mereka kumpulkan selama 13 tahun ini adalah hasil dari keuntungan atas aset keluargamu yang mereka kuasai dari hasil menipu dan menjebak papamu.""Ada dua himpunan pengacara yang kita rekrut di pihak kita," kata Benji ikut menimpali, ia datang memba
"Kami resmi bercerai," desis Gendhis sambil menyesap teh hangat yang disajikan Ann untuknya. "Maaf ya, Gendhis," kata Ann turut prihatin. "Sekarang, kalau kamu butuh bantuan apapun, langsung ke kami aja," ucapnya. "Tolong jangan kasih tau Rai soal masalah aset keluargaku dulu, Ane-san," pinta Gendhis. "Aku nggak mau dia tau soal aku yang minta bantuan ke Mario juga.""Enggak, aku sama Ben sepakat buat nggak bahas apapun soal kamu ke Christ, jadi kamu tenang ya."Gendhis mendesah lega. Hari ini, setelahl putusan cerainya dengan Rai terbit tiga minggu yang lalu, ia sengaja memenuhi undangan Ann untuk datang ke rumah besar. Katanya, Ben berulang tahun dan setelah selesai perayaan ulang tahun Ben, posisinya sebagai ketua akan segera digantikan oleh Rai. "Kalau Rai dateng ajak Kiara, aku harus gimana?" desis Gendhis khawatir. "Aku yang ngundang kamu, jadi kamu tamuku, nggak ada hubungannya sama mereka, ya?" ujar Ann menenangkan. "Tapi gimana aku bakalan nyelametin hatiku, Ane-san?" G
"Ke mana aja?" tanya Rai, meminta untuk mengobrol berdua saja dengan Gendhis. "Ada," jawab Gendhis. "Sibuk kerja," katanya. "Kamu jalan sama dia?" Rai mengedikkan dagunya ke arah Axel. "Dia banyak bantu aku, bukan hubungan kayak yang ada di pikiranmu. Lagian, seharusnya kamu nggak usah peduli soal sama siapa aku jalan setelah kita cerai kan, Rai?" "Aku cuma nanya doang," gumam Rai. "Minggu ini sidang kita sampe di putusan," ujarnya. "Iya," Gendhis mengisap rokoknya dalam-dalam. "Aku juga dapet pemberitahuan dari pengadilan kok," tukasnya. "Ah, iya," Rai manggut-manggut. "Gimana kamu? Apa ada perkembangan soal kapan tahtanya Ben bakalan turun ke kamu?" tanya Gendhis. "Para tetua udah ngobrol kata Kakek, tinggal nunggu keputusan Ben, kapan dia ngelepasin posisinya.""Soal pernikahan kamu sama Kiara?""Nanti kukirim undangan, lagi dalam proses persiapan," kata Rai. Gendhis tersenyum pias, rasa nyeri menjalari ulu hatinya. Ia sudah belajar untuk mengikhlaskan, membiarkan Rai meng
"Sejauh mana proses sidang perceraian kalian?" tanya Danisha saat Rai mampir ke kasinonya. "Tinggal nunggu putusan minggu ini. Verstek," ucap Rai seraya meneguk minumannya. "Di mana dia?" tanyanya mengitarkan pandangan. "Seminggu yang lalu, Gendhis ngundurin diri, dia juga nggak mau tinggal di rumah gue lagi," jawab Danisha. Rai tersedak, terbatuk beberapa kali mendengar kalimat Danisha. Matanya memerah kaget, ia sama sekali tidak tahu perihal kepergian Gendhis dari rumah Danisha. "Kenapa lo nggak ngasih tau gue kalau dia pindah? Pindah ke mana?" tanya Rai. "Emang lo siapanya? Kalian udah cerai kan? Ya ngapain gue laporan ke lo," kata Danisha santai. "Dan nggak tau dia pindah ke mana," tandasnya terlihat sangat puas saat menyadari ekspresi panik dari sang ponakan. "Sha," Rai mendesih kecewa. "Ya paling enggak gue tau harus ngirim akta cerai kami ke alamat mana," tandasnya. "Kasih ke gue, nanti kalau dia hubungin gue, biar gue sampein. Kalau nggak, lo coba ajak dia ketemu, punya
"Kamu harus tetep ada di lingkaran kami dan jangan sampe ketemu sama Eriska," pesan Ann sebelum meninggalkan kasino. Setelah selesai masa cutinya, Gendhis kembali masuk bekerja di kasino. Ia sengaja tak mengunjungi Rai di rumah sakit setelah Ben memaksa mengantarnya pulang kemarin lusa. Akan lebih baik jika ia dan Rai tak saling bertemu lagi ketimbang saling melukai. Apalagi proses perceraian keduanya masih berjalan dan Rai sama sekali tak berniat untuk mencabut gugatan. "Aku ada hal penting, bisa ngobrol?" tanya Axel suatu saat, sengaja menemui Gendhis di kasino. "Aku selesai setelah ini," ucap Gendhis, kini posisinya sudah berubah menjadi banker, 3 hari sebagai pramu dan 3 hari sebagai banker. "Oke, kutunggu di meja 8," pamit Axel menunjuk meja yang dipesannya. Axel tampak serius kali ini, ia terlihat gelisah. Saat minuman yang dipesannya tiba pun, ia meneguknya sembarangan. "Sorry, tadi ganti baju dulu," ucap Gendhis mendatangi Axel, senyum ia kembangkan. "Aku ada temuan pe
"Dia udah nggak pa-pa. Kayaknya reaksi alergi aja," ucap Ann yang baru saja selesai mengurus obat untuk Rai. "Nggak usah panik ya," katanya. "Kalau alerginya kepicu, dia emang suka begitu?" tanya Gendhis sudah bisa menghela napas panjang. "Seringnya iya, tapi kalau kondisi badan Christ lagi bagus-bagusnya, paling bentol doang di muka," ungkap Ann. "Rada kaget ya karena tiba-tiba?" "Iya, kukira kena serangan jantung," ucap Gendhis asal. Ann tertawa, "Saking bangsatnya si Christ sampe kamu doain begitu ya Ndhis," kekehnya. "Nggak gitu Ann," Gendhis memukul bibirnya pelan, menyesali kalimat asal yang keluar dari sana. "Dia tiba-tiba begitu, nggak ada gejala apa-apa. Dia makan sarapan kayak biasa," ceritanya. Ann tersenyum paham, diberinya kode pada Gendhis bahwa menantunya itu boleh menjenguk sang suami. Ben masih ada di dalam ruangan, entah mengobrol serius apa dengan calon penerusnya itu. "Gendhis," sapa Ben saat melihat Gendhis masuk ke dalam kamar perawatan. "Dia baru boleh pu
"Ngapain lo?" tegur Danisha saat melihat sang ponakan datang ke kediamannya, mengantar Gendhis. "Nganter," jawab Rai singkat. "Ngapain lo minta gue puter balik pulang kalau akhirnya lo anter dia ke sini juga!" gemas Danisha berbisik, kesal juga pada tingkah sang ponakan. "Sekalian gue mau main ke sini, lama nggak main ke rumah Tante," cengir Rai sangat tampan. "Bajingan!" umpat Danisha spontan, "lo nggak bisa bohongin gue. Mulai nyesel kan lo ceraiin dia? Dasar bocil!" "Cerewet!" sungut Rai segera berpaling dari Danisha, ia mengekor langkah Gendhis menuju kamar yang disiapkan untuknya. "Jadi, berapa lama kamu bakalan tinggal di sini?" tanyanya penasaran. Gendhis mengedikkan bahunya, "Belom tau," gumamnya sekenanya. "Setelah ini aku nggak bisa sering menghubungimu, biar aja urusan perceraian diurus Danisha sama suaminya," kata Rai. "Oke," balas Gendhis. "Aku mau istirahat, nanti sore harus kerja lagi," ujarnya mengusir Rai secara halus. "Iya," Rai mengangguk. "Makasih udah di