"Aku beli rumah ini pake uang tabunganku, bukan pake dana dari asetnya Papa," sebut Gendhis saat memandu Rai untuk melihat-lihat isi rumahnya. Sebuah rumah besar berlantai dua sengaja dipilih Gendhis sebagai istananya. Ia tak lagi mau berhubungan dengan orang-orang dari rumah bordil, pun dengan para mantan pelanggannya dulu. "Kenapa nggak kamu manfaatin uang yang kamu punya dari sana? Udah bisa dicairin kan?" tanya Rai. "Ada sebagian yang udah bisa kuakses. Tapi beberapa ada yang harus nunggu rapat direksi," sebut Gendhis. "Lagian, beli rumah sendiri pake uang yang kukumpulin adalah impianku Rai. Nginget bahwa aku harus dilempar ke sana-sini pas sakit kemarin dan ngrepotin banyak orang, rasanya lega banget pas bisa punya rumah ini," tukasnya sambil sesekali menyentuh perabotan baru yang memang dipesannya. "Kamu pernah ada di posisi sebagai nyonya di rumahku, satu hal yang setelahnya ngebuat aku sadar kalau tanpa kamu rumahku sepi kayak kuburan. Aku juga balik lagi ke rumah lamaku,
"Kamu saking nganggurnya jadi ketua sampe ada waktu buat nganter aku pindahan?" tanya Gendhis heran, ia tatap sopir mobil tampan di sebelahnya dengan mata sedikit memicing. "Sengaja nyempetin waktu buat nganter kamu. Kan udah kubilang, aku bakalan ngejar kamu, ke ujung dunia sekalipun," tandas Rai santai sekali. "Sekarang terang-terangan ya Pak?" "Ugal-ugalan malah."Gendhis tertawa, ia toleh lagi Rai yang tenang mengemudi. Ikatan mereka memang tak lagi hitam di atas putih, tapi, setelah banyak halangan dan cobaan yang dihadapi, Gendhis memilih untuk membiarkan semua mengalir apa adanya. "Soal akuisisi, sampe mana prosesnya?" tanya Rai tiba-tiba. "Aku nggak mantau sih, kuserahin semua ke Axel aja," jawab Gendhis. "Kiara gimana? Ngamuk nggak?" "Dia ambil cuti dari rumah sakit semenjak kuumumin kalau pernikahan kami batal. Banyak rumor menyebar, tapi masa bodoh sih.""Kalian jadi topik pembicaraan satu rumah sakit pasti," gumam Gendhis. "Pasti nggak nyaman banget rasanya," tambahn
"Ini laporan soal gimana Wildan Suharjo berkhianat ke papanya Gendhis," Rai menyerahkan berkas yang didapatnya dari tim hukum Ben pada Taka-Sama. "Jadi, apa pembatalan pernikahan udah bisa ditetapkan, Kek?" tanyanya. "Kamu nggak mencintai Kiara?" tanya Taka-Sama balik. "Kek, ayolah!" dengus Rai. "Kiara bukan tipeku," tandasnya. "Jadi, tipemu yang dibilang Eriska sebagai pelacur itu?" "Iya, dia hebat di ranjang," sambar Rai vulgar. "Anak nakal!" cecar Taka-Sama. Meski hanya berbaring di ranjang karena masalah kesehatannya, ia masih tetap dihormati karena posisinya. Jadi, apapun yang terjadi dengan masa depan perkumpulan wajib dilaporkan padanya. "Aku nggak bohong, kalau nggak dipisahin sama Kakek pas kami masih SMA, aku nggak akan nyakitin dia sampe separah ini. Kutidurin dia pas dia masih perawan, kunikahin dia dan kuceraiin buat nikah sama Kiara demi dapetin posisi Ketua, sekarang, aku kehilangan dia karena ambisi menjijikkan yang nggak kusadari. Kalau Kakek masih berusaha ngeh
"Jadi cuma aku yang nggak tau soal ini, Ndhis?" tanya Rai setelah dirinya dan Gendhis saling mendiamkan cukup lama. Sengaja meluangkan waktu untuk mengobrol berdua, Rai membawa Gendhis ke taman tengah di rumah besar milik Ben. Semua orang berkumpul di aula untuk merayakan kesuksesan mereka mengacak-acak persiapan pernikahan Rai dan Kiara dengan makan bersama dan minum sake."Aku nggak mau koar-koar sebelum semuanya jelas. Lagipula kamu kan lagi sibuk ngurus pernikahanmu, kerjaanmu dan jabatan barumu sebagai ketua. Pun kita udah bukan suami-istri lagi, Rai," sindir Gendhis nyelekit. "Kalau udah gitu aku nggak berhak tau soal hidupmu ya, Ndhis? Semati rasa inikah kamu ke aku di saat aku nyakitin kamu di luar kesadaranku yang nggak punya kenangan atas kita?" "Itu bukan alasan pembenar, Rai," desis Gendhis melawan. "Kalau kamu nggak mengingatku tapi nggak nuduh aku lain-lain, nggak ngelawan keluargamu dan sampai pada akhirnya kita cerai, rasanya nggak akan sesakit ini.""Jadi ini bentu
"Nggak, bukan dibatalin, Taka-Sama bilang kalau ditunda," bantah Kiara tak terima. "Why?" gumam Rai mengitarkan pandangan. Ia coba mencari jawaban dari wajah-wajah orang di sekitarnya. "Kita liat aja, siapa yang akan menang kali ini!" Wildan masih jumawa. "Kalian meremehkan keluarga Suharjo!" bentaknya seraya meraih pergelangan tangan Kiara, menyeret anak perempuannya itu keluar dari venue diikuti oleh beberapa anggota keluarga yang lain. "Jangan mempermalukan diri dengan mengemis pada orang-orang bodoh itu Ki!" teriaknya masih menggema meski ia sudah berlalu menuju lobi utama. Sepeninggal Wildan dan keluarga besarnya, tersisa internal keluarga Takahashi dan Wisanggeni, Eriska dan para petugas WO yang juga terlihat syok. Bastian tampak membisiki Rai mengenai apa yang terjadi, membuat sang ketua klan itu melebarkan mata tak percaya. Jelas tergambar binar bahagia di mata Rai setelah tahu kronologi yang terjadi. "Hubungi tamu undanganmu, Christ. Kasih tau kalau pernikahan dibatalkan!
"Nggak mungkin!" sebut Wildan Suharjo—papa Kiara, melotot. "Ini nggak bisa terjadi!" tegasnya."Berkas kami legal, resmi, nggak diragukan kekuatan hukumnya," ucap Benji bertindak sebagai juru bicara Gendhis. "Pewaris Robby Januar masih hidup, asetnya yang berjumlah trilyunan itu harus segera dikembalikan dalam jangka waktu 2x24 jam!" tegasnya. "Benji, apa-apaan ini?" tanya Taka-Sama, bingung. "Papa perlu tau soal ini Pa. Kekayaan yang dimiliki oleh Wildan Suharjo bukan berasal dari jerih payahnya, mereka merampas hak seorang anak perempuan dan membuatnya hidup sebatang kara. Sekarang, mereka yang menikmati kerja keras seorang Robby Januar, bukan anak kandungnya," terang Benji penuh keyakinan. "Nggak mungkin pelacur ini anaknya Robby Januar!" elak Kiara ikut-ikutan. "Semua berkas yang membuktikan kalau Gendhis adalah anak kandung Robby Januar ada pada kami, Bu," ucap Mala tampil. "Silakan, kami punya salinan aslinya, bisa Ibu lihat dan pastikan kebenarannya," katanya. "Tim hukum k
"Mereka semua lagi gladi bersih buat acara pernikahan besok pagi. Rai belom dateng karena masih di rumah sakit, polinya belom selesai," kata Danisha pada Gendhis. Helaan napas panjang muncul dari Gendhis. Ia berpaling menatap kendaraan lain di luar jendelanya, membiarkan pikirannya melaju pelan seiring dengan laju mobil yang ia tumpangi. Perasaannya campur aduk sekarang, tapi ia sudah siap untuk segala kemungkinan. Benar, hari ini, ia siap membuat onar dengan mengacaukan persiapan pernikahan Rai dan Kiara. Berkas pemindahan aset dan surat kepemilikan atas perusahaan dan badan usaha lain yang dikuasai keluarga Suharjo sudah dalam genggamannya, Gendhis siap menuntut haknya. "Kita jaga-jaga bawa kursi roda, kamu masih suka sempoyongan kalau jalan. Masih lemes ya kakinya?" tanya Danisha. Ia bertindak sebagai asisten pribadi Gendhis kali ini, bahkan ia dandani Gendhis seanggun Ann saat menemui para tetua untuk dinikahi Ben dulu. Pakaian yang Gendhis kenakan pun sengaja memperlihatkan ba
"Aku nggak bisa dateng ke pernikahan kamu Rai," kata Gendhis menghela napas panjang. Rai terdiam. Ia mainkan rokok yang tak disulut itu di jemarinya. Tatapannya mengarah pada motif marmer di lantai yang dipijaknya. Tiga hari menjelang pernikahannya dengan Kiara, Rai sengaja menemui Gendhis. Ia tidak bisa diam dan duduk tanpa berbuat apa-apa, pun membatalkan pernikahan sudah di luar kuasanya. "Aku dateng ke sini karena aku kangen, Ndhis," balas Rai. "Jangan salah paham. Aku pengin tau kondisimu, maaf aku nggak bisa ikut jemput pas kamu dibawa pulang kemarin, ada kerjaan yang harus kuselesaiin," sesalnya. "Bukan kewajibanmu buat standby dan jemput aku juga, Rai," ucap Gendhis. "Nggak pa-pa," katanya. "Satu hal yang terus kusesali dan bikin aku nggak henti nyalahin keluargaku adalah mereka nggak ada satu pun yang nunjukin video pernikahan kita buat bikin aku inget sama perasaanku ke kamu.""Udah kok, tapi kamu nolak dan nuduh aku yang menjebakmu, kamu nggak percaya keluargamu. Coba k
Akhirnya, Gendhis dibawa pulang ke rumah Bastian, pemiliknya lebih sering tidur di hotel milik keluarga ketimbang di rumahnya sendiri. Di sana, Gendhis akan dirawat oleh Indri, kenalan Rena yang sudah sangat akrab dengan keluarga Wisanggeni. "Kalau perlu apa-apa, Mbak bisa panggil saya," kata Indri ramah. Mengingat kondisi Gendhis yang memang belum sehat 100 persen dan masih belum kuat untuk berjalan, Indri disiagakan 24 jam nonstop. Semua kebutuhan Gendhis sudah disiapkan, termasuk apabila Gendhis membutuhkan bantuan mengenai keuangan. "Ben," sambut Gendhis yang tak menyangka akan mendapat kunjungan dari mantan mertuanya. "Gimana? Sehat udah?" tegur Ben sedingin biasanya. "Lumayan. Tapi masih belum bisa jalan," tandas Gendhis. "Makanya kubawa tim hukum ke sini," ujar Ben menunjuk ke arah pintu, ada tiga orang lelaki dan seorang perempuan ikut bersamanya. "Mereka yang bakalan ngejelasin soal proses akuisisi aset keluargamu," terangnya. "Makasih Ben," kata Gendhis penuh rasa syu