Untuk beberapa saat, Gendhis yang tadinya siap mengajak Rai untuk beranjak ke kamar, akhirnya memilih duduk termangu tanpa suara. Ia menatap ke garis-garis lantai marmer yang ia pijak, sedangkan Rai pun tampak galau, ia isap rokoknya berkali-kali, tanda pikirannya sedang tidak tenang. "Aku udah duga, dia pasti bakalan berani datengin kamu, Rai," tandas Gendhis setelah menarik napas dalam-dalam. "Dia segila itu," urainya. "Nggak pa-pa, aku masih bisa ngatasin sendiri," balas Rai. "Aku cerita karena aku nggak mau ngerahasiain semuanya. Tadinya kupikir aku bisa mendam semuanya tanpa ngasih tau kamu, ternyata akan lebih tenang rasanya setelah kukasih tau ke kamu," ungkapnya. "Makasih udah ngasih tau aku, meski sebenernya aku pun nggak bisa kasih solusi," ucap Gendhis. "Dia ngancam apa?" tanyanya. "Ya biasa, kayak yang sering dia lakuin ke kamu. Ngancam soal reputasinya. Tapi dia lupa kalau reputasinya jauh lebih penting.""Aku harus gimana Rai? Apa kutemuin dia aja ya?"Rai seketika m
"Hai!" Gendhis segera menyambut kedatangan suaminya yang sedikit terlambat itu. "Rada malem pulangnya Rai?" tanyanya. "Iya, tadi ada partus dan retensio placenta, jadi aku harus bantu keluarin," cerita Rai terlihat lelah sekali. "Mau kubikinin teh hangat?" tawar Gendhis. "Nanti dulu, ke sini dulu, Ane-san," pinta Rai. "Aku pengin meluk kamu bentar," tukasnya. Gendhis yang sudah siap melangkah menuju dapur akhirnya berbalik dan menyusup masuk ke dalam lengan Rai yang terbuka. Suami tampannya ini memeluknya erat, hangat, seolah tak rela melepasnya lagi. "Kenapa? Pasti capek banget ya? Kamu sampe sebegini lemesnya," gumam Gendhis sengaja menangkup kedua pipi Rai dengan telapak tangannya. "Kasus partus tadi, kalau sampai telat bisa bahaya dan mengancam nyawa," dusta Rai. "Tapi udah bisa Dokter Rai atasi kan? Kamu emang seterampil itu, aku nggak pernah ragu," puji Gendhis. "Tadi jadi jenguk Ann kan? Gimana?" "Kayak yang Ben bilang pas ngabarin, Ann udah siuman, udah bisa balas ob
"Berhasil menikahinya?" Mario tertawa meremehkan, ia sengaja menemui Rai ke rumah sakit, tepat sebelum praktik poli Rai dimulai. "Kenapa? Satu hal yang nggak bisa lo lakuin kan?" balas Rai, ia tetap sibuk bersiap untuk pekerjaannya, tak menganggap kedatangan Mario sebagai tamu penting. "Kalian cuma menikah, masih bisa gue hancurin itu.""Dengan reputasi anggota dewan lo yang lagi ada di dasar jurang? Lo nggak takut gue bikin semua pelanggaran lo selama menjabat naik ke permukaan dan diselidiki?" ancam Rai serius. "Mengancam tanpa bukti?" gumam Mario tak gentar. "Nikmati waktu lo memiliki Gendhis sepanjang waktu ini, sembari gue beresi masalah gue dulu. Nanti kalau udah waktunya, bakalan gue minta dia.""Berasa lo yang punya tubuhnya Gendhis. Men, gue suaminya. Dengan kedatangan lo ke sini tanpa takut gini, menurut lo aman buat reputasi lo? Ijin praktek gue udah nggak bisa lo jadiin ancaman ke Gendhis. Dia nggak berutang apapun ke lo karena utangnya udah gue lunasi pas gue ke tempat
Gendhis terbangun tengah malam dan mendapati Rai tak ada di sampingnya. Sedikit panik, seketika Gendhis beranjak dari ranjang, terhuyung karena nyawanya masih belum sepenuhnya terkumpul, ia hampir jatuh saat menuruni tangga. Beruntung, Rai sigap memeluknya begitu menyadari Gendhis masih setengah sadar. "Kenapa, Sayang? Kamu mimpi buruk?" tanya Rai ikut panik. "Kukira kamu pergi," balas Gendhis sembari mengatur nafas, matanya terlihat melebar, ia benar-benar ketakutan. "Aku haus, minum sama ngerokok bentar di bawah," jawab Rai. "Lagian aku kalau pergi pasti pamit sama kamu," ujarnya. "Aku takut kalau kamu bertindak tanpa ngasih tau aku, Rai.""Nggak mungkin aku begitu, soal Kiara dan pelaku penabrakan mobilnya Ann udah kusuruh anak-anak buat ngurus, dibawah komando Bang Ardi sama Benji," jawab Rai. "Tenang ya," katanya sembari membopong tubuh mungil istrinya kembali ke kamar. Gendhis mempererat pelukannya di leher Rai, sambil ia tempelkan kepalanya di dada sang suami. Dunianya ter
Tiba di Indonesia setelah penerbangan panjang yang melelahkan, Rai dan Gendhis langsung dijemput menuju rumah sakit tempat Ann dirawat. Jauh di lubuk hati Gendhis, rasa bersalah itu muncul. Sasaran utama adalah Ane-san, dirinya. Namun, karena pelaku salah informasi, penyerangan dilakukan pada mobil Ann, Ane-san yang lama. "Ben!" seru Rai tak sabar. "Gimana Mommy?" tanyanya untuk pertama kalinya Gendhis dengar menyebut Ann dengan panggilan Mommy."Udah di ICU," kata Ben, wajah lelahnya tampak khawatir, tapi tak ia tunjukkan di depan Rai dan Gendhis. "Habis selesai operasi," tambahnya. "Pelakunya?" sergah Rai. "Lagi dikejar, mereka salah sasaran," tukas Ben melirik Gendhis. "Jangan ngerasa bersalah, Ane-san," lanjutnya seolah berusaha menghilangkan nada menuduh di suaranya. "Aku nggak menyalahkanmu," tandasnya. Sadar bahwa Gendhis pasti sudah merasa tak enak hati sejak dari Jepang, Rai buru-buru memeluk pundak istrinya. Saat itulah bulir-bulir mutiara di wajah sang Ane-san jatuh. Ke
"Udah selesai belanjanya?" tanya Rai menyambut sang istri yang baru keluar dari sebuah outlet pakaian merk terkenal, di sekitar Shibuya Crossing."Udah, takut susah bawa pulang ke Indonya kalau aku kalap," ujar Gendhis nyengir kuda, cantik. Rai tertawa. Ia berdiri, meraih barang belanjaan dari tangan istrinya, lantas membawakannya sambil tetap menggenggam jemari Gendhis dengan tangan kanannya. Hari terakhir di Jepang sebelum kembali ke tanah air, Rai sengaja membebaskan jiwa belanja istrinya. Namun, Rai tidak tahu apa yang ada di dalam tas belanjaan itu. Separuh lebih isinya adalah pakaian yang Gendhis pilihkan untuk sang suami. "Penerbangan masih enam jam lagi. Kita mau beli apa lagi ini sebelum jalan ke bandara?" tanya Rai. Menyusuri ramainya jalan Shibuya yang ikonik itu, Gendhis tak fokus memperhatikan pertanyaan Rai. Ia lebih asik mengitarkan pandangan, melihat-lihat kiri dan kanannya yang benar-benar memanjakan mata. "Ane-san," panggil Rai. "Hem? Yosh?" balas Gendhis baru a