"Demi Tuhan, kamu boleh membenciku, Ane-san," ucap Rai masih enggan bangun dari posisi berlututnya. Air matanya menetes, kali ini sedikit membanjir. Gendhis yang masih berusaha mengumpulkan nyawa karena kantuknya, seketika bangun. Ia tangkup kedua sisi rahang sang suami, ditariknya Rai agar duduk di ranjang. "Hei, aku udah maafin," ulang Gendhis penuh pengertian. Perang terbuka yang tadinya cukup seru karena mereka beradu argumen, kini terasa sedikit pilu karena tangis Rai. Karena ucapannya tak jua memunculkan raut tenang di wajah Rai, Gendhis otomatis memeluk suaminya itu. Didekapnya erat, memberi rasa hangat dan nyaman untuk menenangkan sang ketua klan. "Ada hal besar yang harus kukasih tau ke kamu," ungkap Rai, perlahan ia dongakkan kepala hingga Gendhis melepas dekapan. "Awal mula kesakitan yang harus kamu tanggung karena mengenalku," katanya. "Apa sih? Iya aku tau, aku emang emosi banget pas kamu nggak terkesan ngebelain aku. Tapi ya udah lah, masakan kamu enak, Rai. Permint
"Akomodasi buat ke Banda Neira udah siap, berangkat dua hari lagi," ucap Ardi datang melapor pada Rai malam harinya. "Belum tentu berangkat, Nyonya ngambek, susah ngebujuknya," kata Rai. "Ada perkembangan lain?" "Rumah bordil resmi dilepas. Untung udah kita kosongin jauh-jauh hari, jadi pas ada penyelidikan, meskipun masih atas nama Ane-san, mereka bisa diajak ngobrol," ungkap Ardi. "Ada kabar soal si Mario? Masih nggak ada jejak?""Gue udah minta orang kita yang di sana ikut ngelacak. Dia pindah-pindah lokasi, jadi pas kita kejar, dia udah pindah lagi. Terakhir jejaknya adalah di bandara. Gue minta orang kita buat waspada, dia bisa aja pindah ke negara lain lagi. Tujuan yang paling mungkin kalau nggak Singapura ya malah ke Hongkong," sebut Ardi. "Kalau bisa, temuin sebelum orang-orang KPK nemuin dia dulu. Gue denger udah ngelibatin interpol karena masalah pelecehan seksualnya. Korbannya banyak yang nambah, mereka mulai berani bikin laporan," ucap Rai. "Ane-san gimana? Mau nambah
"Terus mau makan apa? Beneran nggak laper?" tanya Rai sebelum istrinya masuk ke dalam kamar. "Udah kenyang baper!" sengal Gendhis, ia banting pintu kamar di belakangnya, kesal sekali. Untuk pertama kalinya, setelah menikah, Gendhis merasa Rai tak bisa memahami perasaannya. Gendhis sudah berusaha untuk memahami posisinya, berdamai dengan kelakuan Kiara dan orang-orang di sekitar suaminya yang cenderung meremehkannya. Namun, rasa lelah itu benar-benar terasa menghimpitnya di saat Rai tidak memberikan dukungan penuh padanya. "Kenapa juga kamu pengin banget dingertiin gini sih, Ndhis," keluh Gendhis bermonolog. "Padahal biasanya juga kamu cuek aja," dengusnya. Sambil merebahkan diri di ranjang, mata Gendhis menerawang, menatap langit-langit kamar. Rai sebenarnya tidak bersalah 100 persen. Namun, karena Gendhis sudah terlanjur kesal sejak pulang dari rumah sakit, kekecewaannya pada sang suami seakan menumpuk jadi satu. Pening menjalari kepalanya, perutnya lapar tapi mulutnya gengsi unt
Rai masih mematung tak paham dengan maksud ucapan pelanggan gado-gado di depannya. Ia melirik sang istri yang hanya diam, ikut menunggu reaksinya. Namun, seperti tak sabar mendapat jawaban sapaan dari sang dokter tampan, perempuan bernama Anggi ini mendekat, ia mengulur tangannya untuk mengajak berjabat. Ragu, Rai menoleh Gendhis lagi, seolah meminta ijin. Ia balas uluran tangan Anggi sekejap, kemudian ia tarik kembali cepat-cepat. "Masih lupa ya Dok?" tanya Anggi tetap mematri senyuman mautnya yang sangat manis. "Saya pasien K.E.T yang pernah dokter tangani, waktu itu saya pendarahan banyak sekali dan sudah mau menyerah tapi Dokter Christ ngasih semangat ke saya buat nggak menyerah. Habis itu, saya sempat kirim paket makan siang untuk seluruh tim di divisi obgyn," terangnya. Mendengar penuturan Anggi, Gendhis tersenyum gamang. Tambah lagi saingan menyebalkan yang punya kuasa seperti Anggi, dan hal ini cukup menambah kekesalannya. "Oh, iya," Rai manggut-manggut sok kenal, meski se
"Kenapa kamu ngelarang aku buat ngelawan Kiara, Rai?" sergah Gendhis begitu mobil melaju meninggalkan rumah sakit. Sejak merasa baikan dan tangannya yang terluka sudah lebih sering digunakan, Rai memang lebih memilih untuk menyetir mobil sendiri."Aku nggak mau terjadi keributan yang nggak perlu," balas Rai tenang sekali."Tapi dia yang mulai nampar aku duluan!" "Tapi udah kamu bales, kan?" "Tapi dia bikin aku malu di rumah sakit udah berkali-kali. Oh, kamu belain dia?" lengking Gendhis benar-benar marah kali ini. "Kamu ada di pihaknya? Nggak suka kalau aku menang dari dia nantinya?" "Sejak awal kamu udah menang, Ane-san. Kamu nggak perlu buktiin apa-apa ke Kiara. Dan aku ada di pihakmu, ngapain aku belain dia, ya aku di pihak istriku, lah!" "Kenapa kamu ngelarang aku buat berantem, satu lawan satu sama Kiara? Kalau cuma adu mulut, dia jelas menang telak Rai, kami beda level, aku bekas pelacur dan dia calon dokter spesialis.""Padahal aku nggak ngebahas soal level lho, Ndhis," san
"Kamu cuti aku jadi rada keteteran, Christ," sebut Dokter Andri akrab, ia mengajak ngobrol Rai sambil memeriksa layar komputer di depannya."Maaf Dok, aku udah hubungi Dokter Raka dari rumah sakit daerah, kuminta dia isi jadwalku buat sebulan ini. Emang belum jalan?" tanya Rai. "Udah, tapi mereka asing sama Raka karena mungkin anaknya pendiem. Dia kalau nggak ditanya, ngasih penjelasan ke pasien seperlunya," tandas Dokter Andri. "Jadi gini, kamu pasti udah tau gimana caranya ngejaga tubuhmu dan Nyonya biar promil ini signifikan dan berhasil. Pola makan, pola tidur, olahraga yang pasti juga harus rutin," jelasnya. "Beneran udah aman kan Dok? Dia soalnya suka parno, takut nanti kalau dia hamil, ada penyakit yang nular ke bayinya," kata Rai menunjuk Gendhis yang masih berbaring di ranjang periksa. "Ini, soal kemungkinan B20, Dok," ungkapnya hati-hati. "Menurut kamu gimana Christ?" tanya Dokter Andri balik. "Dia bersih di pemeriksaan keseluruhan, menurutku kemungkinan buat tiba-tiba m