"Pagi-pagi banget sampe sini," sambut Gendhis saat membuka pintu rumahnya dan Rai sudah menunggu dalam setelan rapi yang sangat tampan. "Kita harus ketemu Danisha kan," jawab Rai. "Kamu udah siap?" tanyanya. "Udah sih, tinggal ganti baju aja. Mau sarapan dulu nggak, Rai?" "Nanti aja sambil jalan, emang kamu masak?" tanya Rai takjub. "Aku? Masak? Kamu menghina ya? Mau kumasakin telur dadar?" kekeh Gendhis sambil berjalan menuju kamarnya. "Mau sarapan yang bersantan boleh nggak?" teriaknya dari dalam kamar. "Boleh," kata Rai, tiba-tiba sudah ada di belakang Gendhis, memeluk sang mantan istri dari belakang. "Lontong sayur, bubur ayam, soto betawi, gulai, pengin apa?" tanyanya sengaja berbisik di telinga Gendhis, sensual. "Ehm, soto betawi enak, itu aja ya?" Gendhis berbalik, ia balas pelukan Rai dengan merangkul lehernya protektif. "Kamu mau liat aku ganti baju?" tanyanya menyeringai. Rai mengangguk cepat, "Mau," ucapnya mengulum senyum. "Bentar," tahannya sengaja meraih perg
"Ahh ...," Gendhis mendesah keras, ia remas kuat rambut Rai, menahan gejolak gairah yang membakar tubuhnya hingga ke ubun-ubun. "Ketua ...," erangnya keenakan. "Janji sama aku nggak bakalan nemuin Mario tanpa sepengetahuanku lagi," bisik Rai tanpa berhenti memompa tubuh Gendhis. "He.em," kata Gendhis mengangguk-angguk, jemarinya berganti meremas lengan Rai, menancapkan kuku-kukunya di sana, sampai meninggalkan jejak khas yang lama hilang. "Pilih aku atau Mario?" tanya Rai membuat Gendhis yang tadi memejamkan matanya, akhirnya melebarkan pandangan. "Kamu! Aku udah setuju, eungh, nikah sama kamu," ujar Gendhis berusaha untuk tidak meracau. "Rai, please...," erangnya terengah. "Urusan si Mario sekarang sama aku, nggak ada urusannya sama kamu!" tegas Rai sambil menghentak kuat tubuh indah Gendhis yang takluk di bawahnya. "Iya, terserahmu," balas Gendhis, ia menoleh ke kanan dan kiri, menahan serangan gelenyar panah yang menguasai seluruh tubuhnya. "Apapun itu, Ketua," tambahnya timb
Gendhis hanya mengangguk, enggan membantah Rai, tak mau mereka berdebat lebih hebat lagi. Melihat Rai hanya diam menatapnya tajam, Gendhis berpindah tempat duduk. Ia sengaja merangkul leher Rai, lantas duduk nyaman di pangkuannya. Mencari kehangatan, Gendhis tempelkan kepalanya di antara ceruk leher Rai, memejamkan mata di sana. "Aku nggak tau gimana caranya biar aku nggak bikin reputasimu hancur. Mario selalu ngancem pake cara itu, aku kehilangan nyali kalau udah menyangkut soal kamu. Power dia nggak main-main. Denger kamu dateng ke tempat dia tanpa bawa bantuan Bang Ardi aja aku udah kalang kabut. Aku takut dia ngapa-ngapain kamu," desis Gendhis manja. "Kamu lupa aku sekarang siapa? Aku ketua klan, Ndhis. Orang-orangku banyak, dan kamu terlalu meremehkan kemampuan dudamu ini. Asistennya Mario nggak ada apa-apanya buatku. Kalau aku mau, kubunuh aja dia tadi, tapi ngebunuh orang yang nggak ada hubungan apapun sama urusanku itu bukan gayaku," balas Rai, ia usap rambut Gendhis yang te
Gendhis menaikkan selimut yang menutupi seluruh tubuh telanjangnya. Di sebelahnya, Rai nampak terlelap tidur, damai sekali wajahnya meski dihiasi luka. Teringat bahwa tadi Rai sempat mengeluh lapar, Gendhis bangkit dan memunguti pakaiannya, lalu mengenakan bra serta celana dalamnya saja. Ia buka lemari Rai dan diambilnya satu kemeja hitam untuk dikenakannya. "Rai," Gendhis berbisik di telinga sang mantan suami. "Aku laper," keluhnya. Seakan bermimpi, Rai bergeming, ia hanya memutar tubuhnya tanpa membuka mata. Tak ingin membangunkan sang mantan suami, akhirnya Gendhis bangkit dan turun ke dapur sendirian. Dibukanya lemari pendingin dan dicarinya bahan makanan yang tersisa. "Ada telur, goreng telur aja deh," desis Gendhis bermonolog.Didesak rasa lapar yang semakin menjalari perutnya, Gendhis memasak untuknya sendiri. Ia sampai tidak sadar bahwa Rai bangun dan menyusulnya turun, hingga tiba-tiba memeluk pinggangnya dari belakang. "Ya Tuhan, Rai!" seru Gendhis setengah memekik, kage
Melihat betapa Gendhis mencemaskannya dan khawatir akan kondisinya, Rai balas memeluk erat tubuh sang mantan istri. Dikecupnya pucuk kepala Gendhis beberapa kali, meluapkan rasa syukur. Betapa kebekuan hubungan mereka selama hampir seminggu ini, lebur sudah dalam hangat pelukan satu sama lain. "Kamu nggak pa-pa kan?" tanya Gendhis mendongak, mengamati wajah tampan lelakinya. "Nggak pa-pa, kita ngobrol sambil jalan pulang," ajak Rai lembut. Dilepasnya pelukannya dari tubuh Gendhis, lantas digenggamnya tangan mungil itu sambil melangkah meninggalkan ruang IGD. "Kita langsung balik ke rumah aja, Bang," katanya memberi perintah pada Ardi. Hanya memberikan anggukan ringan, Ardi membawa mobil ford raptor hitam gagah itu membelah jalanan Jakarta yang sudah hampir menjelang malam. Sementara Rai dan Gendhis tiba-tiba merasa asing, mereka sama-sama bungkam dan tak saling berinteraksi. Gendhis larut dalam pikirannya sendiri meski sesekali ia melirik pada Rai, memperhatikan penampilan sang ket
"Terus gimana kondisinya? Kenapa Abang nggak temenin dia, Bang?" tanya Gendhis gelisah, ia cecar Ardi yang menjemputnya dengan banyak pertanyaan. "Nanti lo liat sendiri aja," balas Ardi singkat, tak menjawab satupun pertanyaan yang Gendhis lontarkan. Gendhis tak lagi bertanya. Kedua sisi jemarinya bertaut, saling meremas cemas. Saat Ardi datang ke rumah untuk menjemputnya, Gendhis baru saja bangun tidur. Ia menyambar baju seadanya, panik karena Ardi berkata bahwa Rai bertemu dengan Mario dan pulang dalam keadaan terluka. "Kenapa Bang Ardi nggak temenin dia sih Bang?" lirih Gendhis masih tak bisa menghilangkan rasa cemasnya."Lo yang lebih tau sistem kerjanya Mario, kan? Mana boleh gue ikut masuk. Ketua boleh masuk pun dengan tangan kosong, nggak bawa apa-apa," terang Ardi. "Apa sih yang ada di pikirannya dia? Belom sembuh juga kan demamnya?" "Yang lebih tau alasannya bukannya lo?" balas Ardi. "Tadi sama sopir langsung dikirim ke IGD, coba cari aja," ucapnya sengaja memarkir mobil