"Kok kamu hafal ulang tahunku sih, Rai?" tanya Gendhis penasaran, ia amati gerak tubuh Rai yang terampil memasak di dapur. "Hafal, dulu di buku nikah ada, pas daftarin cerai kan juga pasti disebut," gumam Rai, masih sibuk dengan masakannya. "Oh," Gendhis senyum dikulum. Ia perhatikan lagi gerak-gerik Rai yang cekatan itu.Entah sudah berapa menu yang dihidangkan oleh Rai, setidaknya ada sekitar 8 piring yang sudah disajikan di meja makan. Macam lauk dan sayur terlihat didominasi menu khas Jepang, sedangkan nasinya masih di tanak secara manual. "Padahal aku punya rice cooker," ucap Gendhis melirik Rai yang tengah mengaduk nasi. "Seninya masak nasi ada di sini," ucap Rai. "Apa yang kamu nggak bisa Rai?" tanya Gendhis nyeletuk, matanya tampak kagum. "Mempertahankan kamu sebagai istriku," jawab Rai cepat. "Ahh," Gendhis tertawa. "Nggak suka yang begini, jangan dibawa ke yang sedih-sedih, kan ini hari ulang tahunku," tandasnya protes. "Oke, my bad," sahut Rai. "Aku nggak bisa nyetr
"Jadi, sudah jelas kan? Pernikahan dibatalkan," sebut Ben begitu dingin. Kini, memutari meja makan di sebuah restoran fancy ibukota, kedua keluarga Wisanggeni dan Suharjo mengadakan pertemuan. "Kami datang karena menghormati undangan keluarga Suharjo, bukan untuk kembali membicarakan perjodohan," lanjut Ben, matanya tajam menatap Wildan tanpa berkedip. "Aku malu untuk balik kerja lagi, Om," desis Kiara jujur. "Undangan kami yang udah disebar itu, 90 persen adalah orang-orang di rumah sakit," katanya. "Ada nama Christ juga dalam undangan itu, dia tetep kerja dan dia juga sendirian ngejelasin ke orang-orang mengenai pembatalan pernikahan kalian. Semua udah aman kan, Dokter Christopher?" gumam Ben menoleh anak angkatnya yang duduk diam. Rai mengangguk angkuh, hanya melirik Kiara sekejap kemudian fokus menatap ponselnya lagi. Pikirannya sudah melayang jauh, ia baru teringat bahwa hari ini, Gendhis berulang tahun. "Serius? Dengan bilang ke orang-orang kalau kamu adalah seorang duda d
"Harus ada pesta rumah baru dong!" seru Danisha di pintu rumah baru Gendhis, ia datang bersama rombongan, mengejutkan pemilik rumah dan juga Rai. "Udah di sini duluan?" serunya menunjuk Rai sambil tertawa pada Ann. "Kok nggak kasih kabar?" sambut Gendhis tampak berseri wajahnya, senang dengan kedatangan para tamunya itu. Ia peluk Danisha serta Ann, erat sekali. "Kangen," ujarnya sangat akrab. "Mama mertua akrab ya sama mantu," cengir Rai senang. "Gendhis bakalan dapet jodoh lain yang lebih baik," ujar Ben datang membawa rombongan para lelaki, di tentengan tangan mereka banyak sekali barang yang sengaja disiapkan untuk pesta. "Bukan ketua klan pengecut kayak anak angkatku," tandasnya dingin sekali. "Makasih Ben, sindiran yang nembus sampe punggung," balas Rai masih dengan wajah tersenyumnya. "Kamu nggak diundang, Christ. Boleh pergi lho sekarang," usir Ann tega. "Enggak," sambar Gendhis baik hati. "Aku undang Rai, kamu juga keluarga Wisanggeni, di sini ikut dulu yaa," pintanya sa
"Aku beli rumah ini pake uang tabunganku, bukan pake dana dari asetnya Papa," sebut Gendhis saat memandu Rai untuk melihat-lihat isi rumahnya. Sebuah rumah besar berlantai dua sengaja dipilih Gendhis sebagai istananya. Ia tak lagi mau berhubungan dengan orang-orang dari rumah bordil, pun dengan para mantan pelanggannya dulu. "Kenapa nggak kamu manfaatin uang yang kamu punya dari sana? Udah bisa dicairin kan?" tanya Rai. "Ada sebagian yang udah bisa kuakses. Tapi beberapa ada yang harus nunggu rapat direksi," sebut Gendhis. "Lagian, beli rumah sendiri pake uang yang kukumpulin adalah impianku Rai. Nginget bahwa aku harus dilempar ke sana-sini pas sakit kemarin dan ngrepotin banyak orang, rasanya lega banget pas bisa punya rumah ini," tukasnya sambil sesekali menyentuh perabotan baru yang memang dipesannya. "Kamu pernah ada di posisi sebagai nyonya di rumahku, satu hal yang setelahnya ngebuat aku sadar kalau tanpa kamu rumahku sepi kayak kuburan. Aku juga balik lagi ke rumah lamaku,
"Kamu saking nganggurnya jadi ketua sampe ada waktu buat nganter aku pindahan?" tanya Gendhis heran, ia tatap sopir mobil tampan di sebelahnya dengan mata sedikit memicing. "Sengaja nyempetin waktu buat nganter kamu. Kan udah kubilang, aku bakalan ngejar kamu, ke ujung dunia sekalipun," tandas Rai santai sekali. "Sekarang terang-terangan ya Pak?" "Ugal-ugalan malah."Gendhis tertawa, ia toleh lagi Rai yang tenang mengemudi. Ikatan mereka memang tak lagi hitam di atas putih, tapi, setelah banyak halangan dan cobaan yang dihadapi, Gendhis memilih untuk membiarkan semua mengalir apa adanya. "Soal akuisisi, sampe mana prosesnya?" tanya Rai tiba-tiba. "Aku nggak mantau sih, kuserahin semua ke Axel aja," jawab Gendhis. "Kiara gimana? Ngamuk nggak?" "Dia ambil cuti dari rumah sakit semenjak kuumumin kalau pernikahan kami batal. Banyak rumor menyebar, tapi masa bodoh sih.""Kalian jadi topik pembicaraan satu rumah sakit pasti," gumam Gendhis. "Pasti nggak nyaman banget rasanya," tambahn
"Ini laporan soal gimana Wildan Suharjo berkhianat ke papanya Gendhis," Rai menyerahkan berkas yang didapatnya dari tim hukum Ben pada Taka-Sama. "Jadi, apa pembatalan pernikahan udah bisa ditetapkan, Kek?" tanyanya. "Kamu nggak mencintai Kiara?" tanya Taka-Sama balik. "Kek, ayolah!" dengus Rai. "Kiara bukan tipeku," tandasnya. "Jadi, tipemu yang dibilang Eriska sebagai pelacur itu?" "Iya, dia hebat di ranjang," sambar Rai vulgar. "Anak nakal!" cecar Taka-Sama. Meski hanya berbaring di ranjang karena masalah kesehatannya, ia masih tetap dihormati karena posisinya. Jadi, apapun yang terjadi dengan masa depan perkumpulan wajib dilaporkan padanya. "Aku nggak bohong, kalau nggak dipisahin sama Kakek pas kami masih SMA, aku nggak akan nyakitin dia sampe separah ini. Kutidurin dia pas dia masih perawan, kunikahin dia dan kuceraiin buat nikah sama Kiara demi dapetin posisi Ketua, sekarang, aku kehilangan dia karena ambisi menjijikkan yang nggak kusadari. Kalau Kakek masih berusaha ngeh
"Jadi cuma aku yang nggak tau soal ini, Ndhis?" tanya Rai setelah dirinya dan Gendhis saling mendiamkan cukup lama. Sengaja meluangkan waktu untuk mengobrol berdua, Rai membawa Gendhis ke taman tengah di rumah besar milik Ben. Semua orang berkumpul di aula untuk merayakan kesuksesan mereka mengacak-acak persiapan pernikahan Rai dan Kiara dengan makan bersama dan minum sake."Aku nggak mau koar-koar sebelum semuanya jelas. Lagipula kamu kan lagi sibuk ngurus pernikahanmu, kerjaanmu dan jabatan barumu sebagai ketua. Pun kita udah bukan suami-istri lagi, Rai," sindir Gendhis nyelekit. "Kalau udah gitu aku nggak berhak tau soal hidupmu ya, Ndhis? Semati rasa inikah kamu ke aku di saat aku nyakitin kamu di luar kesadaranku yang nggak punya kenangan atas kita?" "Itu bukan alasan pembenar, Rai," desis Gendhis melawan. "Kalau kamu nggak mengingatku tapi nggak nuduh aku lain-lain, nggak ngelawan keluargamu dan sampai pada akhirnya kita cerai, rasanya nggak akan sesakit ini.""Jadi ini bentu
"Nggak, bukan dibatalin, Taka-Sama bilang kalau ditunda," bantah Kiara tak terima. "Why?" gumam Rai mengitarkan pandangan. Ia coba mencari jawaban dari wajah-wajah orang di sekitarnya. "Kita liat aja, siapa yang akan menang kali ini!" Wildan masih jumawa. "Kalian meremehkan keluarga Suharjo!" bentaknya seraya meraih pergelangan tangan Kiara, menyeret anak perempuannya itu keluar dari venue diikuti oleh beberapa anggota keluarga yang lain. "Jangan mempermalukan diri dengan mengemis pada orang-orang bodoh itu Ki!" teriaknya masih menggema meski ia sudah berlalu menuju lobi utama. Sepeninggal Wildan dan keluarga besarnya, tersisa internal keluarga Takahashi dan Wisanggeni, Eriska dan para petugas WO yang juga terlihat syok. Bastian tampak membisiki Rai mengenai apa yang terjadi, membuat sang ketua klan itu melebarkan mata tak percaya. Jelas tergambar binar bahagia di mata Rai setelah tahu kronologi yang terjadi. "Hubungi tamu undanganmu, Christ. Kasih tau kalau pernikahan dibatalkan!
"Nggak mungkin!" sebut Wildan Suharjo—papa Kiara, melotot. "Ini nggak bisa terjadi!" tegasnya."Berkas kami legal, resmi, nggak diragukan kekuatan hukumnya," ucap Benji bertindak sebagai juru bicara Gendhis. "Pewaris Robby Januar masih hidup, asetnya yang berjumlah trilyunan itu harus segera dikembalikan dalam jangka waktu 2x24 jam!" tegasnya. "Benji, apa-apaan ini?" tanya Taka-Sama, bingung. "Papa perlu tau soal ini Pa. Kekayaan yang dimiliki oleh Wildan Suharjo bukan berasal dari jerih payahnya, mereka merampas hak seorang anak perempuan dan membuatnya hidup sebatang kara. Sekarang, mereka yang menikmati kerja keras seorang Robby Januar, bukan anak kandungnya," terang Benji penuh keyakinan. "Nggak mungkin pelacur ini anaknya Robby Januar!" elak Kiara ikut-ikutan. "Semua berkas yang membuktikan kalau Gendhis adalah anak kandung Robby Januar ada pada kami, Bu," ucap Mala tampil. "Silakan, kami punya salinan aslinya, bisa Ibu lihat dan pastikan kebenarannya," katanya. "Tim hukum k