"Kamu nggak dateng di dua kali jadwal kontrol yang kukasih," gumam Rai seraya membuka kemasan kasa waterproof di tangannya. "Kamu ganti sendiri kassa-nya?" tanyanya fokus pada luka bekas operasi di perut bagian bawah Gendhis itu.
Gendhis tak langsung menjawab, sejenak pikirannya melayang jauh, ia seperti ditampar kuat oleh sikap Rai yang di luar ekspektasinya. Rai yang ia pikir akan dengan mudah menidurinya justru memperlakukannya seperti perempuan baik-baik lainnya. "Seharusnya kamu juga harus di USG, biar bisa kucek ada perdarahan nggak di dalam. Tapi aku terbatas bawa alat, cuma buat ganti kassa aja yang bisa kulakuin di sini. Kamu nggak dateng kontrol ke poliku, tapi juga nggak bikin jadwal sama dokter Obgyn lain, kondisimu bisa aja fatal tanpa pengawasan, Ndhis," omel Rai. Gendhis yang mendengar omelan Rai bukannya takut tapi justru tersenyum. Hatinya terasa damai, afirmasi positif dari kalimat Rai membuatnya merasa berharga dan dianggap ada. Kenangan lama mereka tiba-tiba datang menyeruak memenuhi kepala, Rai yang dulu melindunginya. "Dua minggu ke depan, kamu masih dalam pengawasanku!" tegas Rai setelah selesai mengganti kassa milik Gendhis. "Jadi tujuan kamu bikin jadwal sama aku dan urus reservasi sama Mami adalah ini?" tanya Gendhis takjub. "Home service," kata Rai dingin, seperti biasa. "Kamu tanggung jawabku, kalau terjadi apa-apa sama kamu pasca operasi, aku yang bakal kena," terangnya bermuatan gengsi. Gendhis manggut-manggut. Tiba-tiba saja, ia merasa malu saat harus setengah telanjang begini di depan Rai. Namun, belum sempat ia bergerak membenahi pakaiannya, jemari Rai sudah bergerak melakukannya lebih dulu. "Aku sebenernya berhak nolak klien, sebesar apapun bayaran yang dia transfer ke Mami," ujar Gendhis. "Kenapa nggak ditolak?" "Aku udah nggak kerja cukup lama. Udah banyak bookingan yang kutolak karena kehamilanku." "Terima lagi aja lebih banyak, biar lebih cepet matinya," ujar Rai sarkas, terdengar tak berperasaan. Senyum getir Gendhis terbit, "Kamu nggak tau dan nggak ngerasain ada di posisiku, Rai," tandasnya. "Jadi pelacur?" "Iya," desis Gendhis lemah. Ia tahu akan sia-sia membuat Rai memahami situasinya hingga ia berakhir di rumah bordil seperti ini. "Apa karena waktu itu?" tanya Rai memberanikan diri, menahan gemuruh di dada karena rasa bersalah yang meluap-luap itu. Kali ini Gendhis menggeleng, ia tidak mau membawa orang lain sebagai pesalahan dalam takdir yang ia pilih sendiri untuk dijalani. Ia bisa saja menyalahkan Rai atas segala kesakitannya, tapi bukan, Rai bukan penyebab itu semua. Gendhis sudah menderita sejak sebelum mengenal Rai, dan ia menjalani hidupnya yang sekarang murni karena keputusannya, bukan karena Rai. "Aku selalu penasaran ke mana kamu pergi dan ngilang setelah malam itu," sebut Gendhis tersendat, hampir menitikkan air mata tapi ia segera berpaling. "Tapi aku nggak pernah nyalahin kamu atas apa yang terjadi malam itu, Rai," ujarnya. "Kamu punya kapasitas buat nyalahin aku, Ndhis. Yang bikin aku sangat marah sama diriku sendiri adalah kedatangan kamu yang tiba-tiba di IGD malam itu di mana aku nggak punya kesempatan buat kabur lagi. Aku dihadapkan pada pilihan sulit. Setelah selesai operasimu, pikiran gila ini nggak pernah ilang dari kepalaku. Perempuan yang kutidurin dan kuambil perawannya harus berakhir di rumah bordil, tau nggak kamu gimana hampir meledaknya dadaku waktu itu?" Sepi. Gendhis hanya membasahi bibirnya tanpa memberi jawaban. Ia tidak mau tampak lemah lagi di depan Rai. Tak mau lagi Rai merasa iba dan kasihan padanya seperti dulu, saat usia mereka masih belia. "Jadi pelacur adalah jalan yang kupilih secara sadar dan nggak ada hubungannya sama malam itu, kamu nggak perlu ngerasa bersalah," ucap Gendhis setelah menghela napas panjang, tak memberi Rai kesempatan untuk menanggung kesalahan. ###"Ada apa?" Gendhis mengurut keningnya sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, ia masih merasa mengantuk tapi memaksa untuk bangun. Pasalnya, sang suami yang seharusnya terlelap damai di sisi Gendhis tampak sibuk mondar-mandir, membuat panggilan melalui ponsel. Rai tampak tak setenang biasanya, ia gugup, seperti menanggung kekhawatiran yang mendalam. "Tadi petang Mami minta semua kerabatnya ngumpul, dan ada keputusan yang Mami buat sebelum akhirnya meninggal baru aja jam 2 tadi," desah Rai lirih tapi masih bisa terdengar dengan jelas oleh istrinya. Sontak Gendhis membekap mulutnya kaget. Matanya yang semula masih terasa mengantuk terbelalak lebar, tak menyangka. Sungguh akhir hayat seorang Eriska yang jauh dari bayangannya. "Kamu nggak ke rumah sakit?" tanya Gendhis menguasai dirinya, bagaimanapun, Rai adalah adik kandung dari Eriska. "Ndhis, kalau aku muncul dan pulang sebagai pewaris Adhyaksa, aku nggak bisa kembali ke sisi kamu
Gendhis melenguh kecil, ia gigit bibir bawahnya kuat-kuat. Matanya separuh terpejam, ia tancapkan kuku-kukunya di pundak Rai dalam, gelenyar panas menguasai tubuhnya dan meledak di perut. "Rai," rintih Gendhis keenakan, tubuhnya melengkung sementara Rai masih stabil memompanya dengan gerakan yang lama-kelamaan semakin cepat. "Kalau aku terlalu kasar dan sembarangan, dorong dadaku, Ane-san," pinta Rai setengah menggeram, ia kecupi teling istrinya bernafsu. Gendhis hanya menggeleng, pertanda ia tidak keberatan. Menikmati suasana bercinta nan panas seperti saat ini benar-benar jarang terjadi. Sebelumnya, karena dilanda mual hebat akibat kehamilannya, Gendhis hanya sekadar memenuhi kewajiban. Pun dengan Rai yang tak tega membiarkan istrinya merasa tidak nyaman, jadi, jadwal mereka bercinta memang menjadi sangat renggang. "I love you, Ane-san," geram Rai tertahan. Ia sampai di puncak rasa nikmat yang tak terungkapkan, nafasnya tersengal, peluh bertebaran di sekujur tubuhnya.
"Kata Danisha sama Bang Aldi, kamu nggak ngijinin aku dibawa pulang ke sini. Bukannya lebih aman kalau aku di sini pas kamu nggak di rumah?" temabk Gendhis begitu Rai muncul di ruang tamu Danisha, masih dengan wajah lelahnya. "Bentar, kuambil minum dulu," jawab Rai segera menuju ke dapur. Danisha sudah pergi menuju kasino setengah jam yang lalu. Suami dan anak-anak dari bungsu Takahashi itu ada di Jepang sana, mengurus bisnis fashion yang memang sudah dikembangkan cukup besar oleh Danisha semasa muda. Mereka akan berkunjung ke Indonesia sekali dalam sebulan, melepas rindu selama seminggu, kemudian kembali lagi melakukan rutinitasnya di Jepang. Mengingat Arino, suami Danisha adalah asisten Ben yang sangat setia. Jadi, ke manapun Ben pergi, Arino masih sering mendampingi. "Di sini perlindungannya nggak seketat di rumah besar, Ane-san," kata Rai sekembalinya dari dapur. "Tapi di sini ada Danisha, dia punya orang dan anak buah yang bisa ngelindungin aku," bantah Gendhis. "Danisha uda
"Ada cito tiba-tiba. Ane-san diminta Ketua pulang gue antar," kata Aldi muncul di pintu ruang perawatan Gendhis. "Tiba-tiba banget ya Bang?" gumam Gendhis menghela nafas panjang. "Baru aja," balas Ardi. "Ada yang perlu dibawain?" tanyanya mengitarkan pandangan. "Tas kecil itu aja, Bang," kata Gendhis menunjuk sling bag di atas nakas. "Aku pulang ke rumah besar?" desisnya tak mengharap jawaban. "Iya, Ketua minta gue buat nganter Ane-san ke sana. Ada yang perlu gue bantu?" tanya Aldi peka sekali. "Anter ke tempat Danisha dulu aja gimana, Bang? Kok perasaanku nggak enak gini," keluh Gendhis. "Atau aku nunggu Rai selesai operasi aja gimana?" "Cito bisa berlangsung lebih dari 3 jam tergantung kasusnya. Nggak pa-pa nunggu selama itu?" Gendhis mencembikkan bibirnya, "Ya udah, anter aku ke tempat Danisha aja, Bang," pintanya. Aldi mengangguk lemah. Ia raih tas yang Gendhis tunjuk sebelumnya, lantas meminta Gendhis untuk berjalan lebih dulu. Pengawalan dari Aldi sudah leb
Selama Gendhis dirawat di rumah sakit, Danisha berkunjung setiap harinya. Tak lupa ia mengomeli Rai yang sedikit teledor, tak menuruti ucapannya sejak awal. Namun, meski begitu, Danisha tidak menyalahkan sang ponakan, ia tahu Rai berusaha sangat keras untuk membuat Eriska tak lagi menyentuh sang istri. "Har ini udah boleh pulang. Udah kuurus administrasinya, kalau udah beres semua, bisa langsung pulang aja," kata Rai muncul di ruang perawatan istrinya masih dengan jas snelli melekat padanya. "Iya," senyum Gendhis merekah menyambut kedatangan sang suami. "Kamu udah selesai di poli?" "Udah, baru aja. Enak banget kalau aman nggak ada cito atau pasien emergency gini, jadi bisa pulang tepat waktu," kata Rai mendekat ke nakas di sebelah pembaringan Gendhis. "Obat terakhir belom dimakan?" tanyanya. "Enegh banget perutnya. Ntar dulu ya, Dok," kekeh Gendhis lalu nyengir. "Mau makan sesuatu gitu?" tawar Rai sangat memahami sang istri. Gendhis langsung menggeleng, "Enggak. Lagi
"Rai," panggil Gendhis lirih. Sudah hampir dini hari, Gendhis meraba perut bagian bawahnya, tidak ada rasa sakit. Namun, ia merasa dingin mengaliri inti tubuhnya hingga ke paha, membuatnya tersadar bahwa ia mengalami sedikit pendarahan. "Rai," panggil Gendhis lagi, kali ini lebih kencang, sambil mengguncang lengan sang suami. "Hem," balas Rai malas-malas, suaranya parau pertanda ia masih enggan membuka mata. "Kayaknya aku ada flek darah deh," sebut Gendhis tak membuang waktu. "Flek darah?" seketika mata Rai terbuka lebar, ia bangun dalam posisis duduk, ditolehnya sang istri yang duduk di sisi ranjang. "Sakit?" tanyanya langsung panik. Gendhis menggeleng, "Enggak sama sekali, tapi fleknya rada banyak sampe ada yang ngalir ke paha," tandasnya. Tanpa pikir panjang, Rai beranjak, ia minta Gendhis berbaring menggantikannya. Wajahnya masih khas orang bangun tidur, rambutnya sedikit berantakan. Namun, Rai tak tampak peduli pada penampilannya. Ia periksa flek yang dimaksud sa