"Di sini boleh ngerokok nggak?" gumam Rai tampak masih meneliti sekitarnya, tak memedulikan Gendhis yang mematung beku ke arahnya.
"Ha?" hanya kata itu yang keluar dari mulut Gendhis. Ia syok, kaget dan tak menduga bahwa tamu level VIP-nya adalah Rai. "Ruangan ini ber-AC? Aku pengin ngerokok," ucap Rai sengaja bangun dari posisi duduknya dan mendekat ke arah jendela di mana ada pemandangan luar yang langsung mengarah ke taman. "Setelah hari ini, kita bisa pindah ke hotel aja kan? Jangan di sini?" tanyanya berbalik ke arah Gendhis. "Rai, kamu ngapain di sini?" tegur Gendhis setelah menguasai keadaan. Ia sama sekali tak menjawab pertanyaan Rai padanya. "Bu Wida nggak ngomong apa-apa?" gumam Rai, "aku udah urus semuanya ke dia, sampe dua minggu ke depan," tandasnya. "Kamu gila?" mata Gendhis membulat. "Kenapa? Kamu nolak ngelayanin aku?" "Mau kamu apa sih? Setelah bersikap nggak kenal ke aku selama di rumah sakit, sekarang tiba-tiba kamu muncul dan jadi pelangganku?" Rai tersenyum, "Anggep aja aku pelanggan random," katanya meregangkan tubuh santai. "Bisa kita langsung aja?" Gendhis menggigit bibir bawahnya kuat, ini kejutan yang tidak pernah terlintas di benaknya sekalipun. Melihat Rai begitu dekat tapi dalam situasi yang tak pernah diharapkannya, Gendhis tentu tidak bisa berkutik. "Nunggu apa? Kita bisa ke ranjang kan?" tanya Rai sengaja berjalan masuk ke balik bilik kedua. "Rai," Gendhis mengejar. "Apa ini maksudnya?" tanyanya gemas. "Aku nyewa jasa kamu," jawab Rai. "Itu udah ngejawab semuanya kan?" "Setelah semua sikap nggak masuk akalmu di rumah sakit?" "Sugar," Rai menyebut nama panggilan Gendhis selama di rumah bordil. "Kita lagi nggak di rumah sakit," ujarnya sekenanya. "Sini," ia duduk di sisi ranjang besar Gendhis. "Aku perlu tambahan energi, abis praktik banyak pasien dateng hari ini," tukasnya menepuk busa di samping pahanya. Ragu, Gendhis tak langsung mendekat. Bagaimana ini? Kenapa Rai terlihat plin-plan sekali dan bersikap seolah mereka sudah akrab sebelumnya tanpa memedulikan apa yang sudah terjadi di rumah sakit. "Aku nggak dilayani?" Rai tak sabar, ia berdiri dan mendekat pada Gendhis. Diraihnya pergelangan tangan Gendhis agar menurut padanya dan duduk di ranjang. "Kamu ngerendahin aku ya Rai?" tembak Gendhis dengan mata berkaca-kaca. Lelaki ini, sosok yang sampai saat ini masih memegang hatinya dan membawa pergi segenap rasa cintanya. Rai tak membalas, ia justru mendorong pundak Gendhis hingga mau tak mau, Gendhis berbaring di ranjangnya sendiri. Rasa nyeri di luka bekas operasinya membuat Gendhis tidak bisa melawan. "Buka," kata Rai singkat, menunjuk tank-top yang Gendhis kenakan. "Rai," lirih Gendhis terbata. "Tinggal buka kayak yang kamu lakuin biasanya. Apa perlu aku yang bantu bukain?" tantang Rai. "Kalau aku nggak mau?" sergah Gendhis merana. "Aku udah bayar ke Bu Wida, Mami kamu itu," desis Rai. Gendhis tertegun sejenak. Sekuat tenaga ia menahan air mata. Bagaimanapun ia tidak boleh merasa terhina karena kini melayani adalah pekerjaan yang sudah ia pilih untuk jalan hidupnya. Dibukanya atasan bajunya hingga Rai bisa melihat bra berenda warna burgundi itu. "Bawah juga," ujar Rai tak acuh. Tak memiliki pilihan, Gendhis menurut. Ia lucuti circular skirt hitamnya itu tanpa menatap wajah Rai. Harga dirinya terluka, tapi Gendhis tak bisa melawan. Hancur dunianya saat harus menerima kenyataan tentang Rai yang sudah pasti menganggapnya murah karena kini ia menjadi seorang pelacur. "Rai, kamu ...," Gendhis hilang suara saat sentuhan lembut jemari Rai menyentuh perut indahnya. Betapa gerakan tak terduga Rai yang menghangatkan hatinya seketika. ###"Terus mau makan apa? Beneran nggak laper?" tanya Rai sebelum istrinya masuk ke dalam kamar. "Udah kenyang baper!" sengal Gendhis, ia banting pintu kamar di belakangnya, kesal sekali. Untuk pertama kalinya, setelah menikah, Gendhis merasa Rai tak bisa memahami perasaannya. Gendhis sudah berusaha untuk memahami posisinya, berdamai dengan kelakuan Kiara dan orang-orang di sekitar suaminya yang cenderung meremehkannya. Namun, rasa lelah itu benar-benar terasa menghimpitnya di saat Rai tidak memberikan dukungan penuh padanya. "Kenapa juga kamu pengin banget dingertiin gini sih, Ndhis," keluh Gendhis bermonolog. "Padahal biasanya juga kamu cuek aja," dengusnya. Sambil merebahkan diri di ranjang, mata Gendhis menerawang, menatap langit-langit kamar. Rai sebenarnya tidak bersalah 100 persen. Namun, karena Gendhis sudah terlanjur kesal sejak pulang dari rumah sakit, kekecewaannya pada sang suami seakan menumpuk jadi satu. Pening menjalari kepalanya, perutnya lapar tapi mulutnya gengsi unt
Rai masih mematung tak paham dengan maksud ucapan pelanggan gado-gado di depannya. Ia melirik sang istri yang hanya diam, ikut menunggu reaksinya. Namun, seperti tak sabar mendapat jawaban sapaan dari sang dokter tampan, perempuan bernama Anggi ini mendekat, ia mengulur tangannya untuk mengajak berjabat. Ragu, Rai menoleh Gendhis lagi, seolah meminta ijin. Ia balas uluran tangan Anggi sekejap, kemudian ia tarik kembali cepat-cepat. "Masih lupa ya Dok?" tanya Anggi tetap mematri senyuman mautnya yang sangat manis. "Saya pasien K.E.T yang pernah dokter tangani, waktu itu saya pendarahan banyak sekali dan sudah mau menyerah tapi Dokter Christ ngasih semangat ke saya buat nggak menyerah. Habis itu, saya sempat kirim paket makan siang untuk seluruh tim di divisi obgyn," terangnya. Mendengar penuturan Anggi, Gendhis tersenyum gamang. Tambah lagi saingan menyebalkan yang punya kuasa seperti Anggi, dan hal ini cukup menambah kekesalannya. "Oh, iya," Rai manggut-manggut sok kenal, meski se
"Kenapa kamu ngelarang aku buat ngelawan Kiara, Rai?" sergah Gendhis begitu mobil melaju meninggalkan rumah sakit. Sejak merasa baikan dan tangannya yang terluka sudah lebih sering digunakan, Rai memang lebih memilih untuk menyetir mobil sendiri."Aku nggak mau terjadi keributan yang nggak perlu," balas Rai tenang sekali."Tapi dia yang mulai nampar aku duluan!" "Tapi udah kamu bales, kan?" "Tapi dia bikin aku malu di rumah sakit udah berkali-kali. Oh, kamu belain dia?" lengking Gendhis benar-benar marah kali ini. "Kamu ada di pihaknya? Nggak suka kalau aku menang dari dia nantinya?" "Sejak awal kamu udah menang, Ane-san. Kamu nggak perlu buktiin apa-apa ke Kiara. Dan aku ada di pihakmu, ngapain aku belain dia, ya aku di pihak istriku, lah!" "Kenapa kamu ngelarang aku buat berantem, satu lawan satu sama Kiara? Kalau cuma adu mulut, dia jelas menang telak Rai, kami beda level, aku bekas pelacur dan dia calon dokter spesialis.""Padahal aku nggak ngebahas soal level lho, Ndhis," san
"Kamu cuti aku jadi rada keteteran, Christ," sebut Dokter Andri akrab, ia mengajak ngobrol Rai sambil memeriksa layar komputer di depannya."Maaf Dok, aku udah hubungi Dokter Raka dari rumah sakit daerah, kuminta dia isi jadwalku buat sebulan ini. Emang belum jalan?" tanya Rai. "Udah, tapi mereka asing sama Raka karena mungkin anaknya pendiem. Dia kalau nggak ditanya, ngasih penjelasan ke pasien seperlunya," tandas Dokter Andri. "Jadi gini, kamu pasti udah tau gimana caranya ngejaga tubuhmu dan Nyonya biar promil ini signifikan dan berhasil. Pola makan, pola tidur, olahraga yang pasti juga harus rutin," jelasnya. "Beneran udah aman kan Dok? Dia soalnya suka parno, takut nanti kalau dia hamil, ada penyakit yang nular ke bayinya," kata Rai menunjuk Gendhis yang masih berbaring di ranjang periksa. "Ini, soal kemungkinan B20, Dok," ungkapnya hati-hati. "Menurut kamu gimana Christ?" tanya Dokter Andri balik. "Dia bersih di pemeriksaan keseluruhan, menurutku kemungkinan buat tiba-tiba m
Rai menarik napas dalam-dalam, ia memainkan ponsel di tangannya dengan tatapan nanar ke kolam ikan di seberang. Wajahnya tampak serius, seakan masalah yang datang membuatnya enggan mengulas sedikit saja senyum di wajahnya. Sesekali ia menyesap rokoknya, mengembus asapnya ke udara dalam bentuk bulat aestetik yang cantik."Kucariin, ternyata udah turun ke sini," desis Gendhis mendatangi sang suami sambil menenteng gelas tehnya. "Cigarette after sex," kekeh Rai. "Sini, Ndhis," pintanya menepuk kursi kayu di sebelah ia duduk. "Kenapa? Kok kayak serius gitu wajahmu, Rai."Rai tersenyum miring, "Kamu pinter ngebaca ekspresi ya," tandasnya. "Aku udah ketemu sama banyak orang dan pelanggan, aku selalu bisa baca mood mereka," sahut Gendhis. "Ada apa?" tanyanya. "Aku jadi tersinggung kalau abis bercinta, kamu begini, berasa aku nggak kasih pelayanan terbaik," dengusnya. "Bukan masalah itu," elak Rai, ia rangkul pundak sang istri dan ditempelkannya dagunya di sana. "Dony, asistennya Mario k
"Keren banget istriku tadi," puji Rai saat Gendhis masuk ke dalam kamar, menyusulnya seusai mencuci muka. "Iya kan?" Gendhis tertawa. "Aku bikin Mami kamu jadi lebih dendam lagi ke aku," katanya bergidik. "Nggak tau dapet kekuatan dari mana tadi tu, mulutku emang sembarangan banget," desisnya geleng-geleng kepala, tak percaya bahwa dirinya sendiri yang baru saja melakukan perlawanan terhadap Eriska. "Aku jadi nggak perlu keluar tenaga banyak buat membelamu," ucap Rai. Ia raih jemari Gendhis agar sang istri berbaring di ranjang, bersamanya. "Seneng ya kamu, Rai?" "Iya, sekarang, Mami pasti lebih mikir lagi kalau dia mau nyakitin kamu," ujar Rai. "Mana yang katanya binal dan menggoda?" sergahnya spontan menindih Gendhis, matanya menyeringai menggemaskan. "Ih," Gendhis menggeliat malu-malu. "Ya salah siapa Mami Erismu itu terus bawa-bawa soal pelacur di depanku, kan aku nggak tahan juga Rai," dumalnya. Rai tersenyum, terpancing melihat bibir Gendhis yang dimanyun-manyunkan itu, ia