"Apa pilihannya cuma menikahi Kiara?" tanya Gendhis setelah selesai mengatur napasnya yang terengah. Masih sama-sama belum berpakaian lengkap, Rai dan Gendhis membungkus tubuh di dalam selimut yang sama. Perasaan cinta yang semula terbina manis dan diperjuangkan sekuat tenaga, kini hampir menguap tak bersisa karena hilangnya kenangan di kepala Rai atas istrinya. Namun, hati Rai sepertinya tahu bahwa Gendhis adalah perempuan yang dipilihnya, bukan penjebak seperti yang ia tuduhkan selama ini. "Pengaruh keluarga Kiara di bisnis keluarga Takahashi cukup gede, iya, harus menikahi Kiara," balas Rai dengan nada suara datar. "Aku bakalan membayarmu atas jasa tidur bersama ini, berapa yang kamu minta?" "Jadi, sekarang aku bakalan jadi pelacur profesionalmu? Kamu nggak ngerasa kujebak lagi?" lirih Gendhis tertawa pias. "Aku susah-payah melepasmu, Rai. Tapi aku nggak berdaya kamu jamah begini," desisnya. "Tubuhku menginginkanmu," ungkap Rai jujur. "Otakku yang nggak punya empati buat kamu,
Rai-Gendhis, momen pertama kali, 13 tahun lalu ...."Aniki," Gendhis duduk mendekat pada Rai, tak tega juga melihat Rai sudah kepayahan karena terlalu banyak menenggak bourbon-nya. "Udah ya, kamu udah kepayahan, Rai," pintanya lembut. Mendengar suara Gendhis, Rai menaikkan pandangannya. Senyum tampannya terbit, tangannya terulur dan dengan berani mengusap pipi Gendhis."Kamu kerja?" tanya Rai masih dengan senyuman khasnya yang menggoda iman. Gendhis mengangguk lemah, "Aku diminta Kak Dini buat ke sini nemenin kamu. Ayok, sopir kamu udah nunggu, kuanter kamu ke hotel. Kata Kak Dini kamu biasa pulang ke hotel," jelasnya. Rai manggut-manggut, cara duduknya sudah sempoyongan. Ia amati lagi wajah Gendhis yang mulai menarik lengannya, membawa ia untuk dipapah keluar dari ruangan. Disambut Axel yang adalah petugas keamanan bar, Rai dibimbing menuju mobil. "Lo pastiin Aniki sampe di hotel dengan selamat. Bos Arino pesen buat jangan ngebiarin Aniki pergi ke manapun selain pulang ke hotel,"
"Apa reaksi Ben pas tau berkas kami udah masuk ke Pengadilan?" tanya Gendhis pada Ann yang datang mampir di malam harinya. Ia sengaja mengambil cuti dua hari kerja hingga besok pada Danisha. "Tanpa reaksi. Ben kalau udah muak sama kelakuan Christ bakalan kayak gini, Ndhis. Nggak mau tau dia," balas Ann. "Aku minta maaf untuk udah segampang ini nyerah, Ane-san," ucap Gendhis sambil menyesap rokoknya dalam-dalam. "Mempertahankan rumah tangga kami yang dari awal emang udah nggak sehat ternyata ngehancurin aku banget. Aku nggak mau masalah ini sampe kedengeran sama para tetua dan Rai makin dibuat susah. Ambisi Rai buat mewarisi tahta Ben udah nggak terbendung, bahkan di kekosongan memorinya, ambisi itu tetep kuat banget, ngalahin besar perasaannya ke aku," desisnya pasrah. "Ben tau kamu bakalan bersikap begini, makanya dia ngumpulin orang-orang kita. Kemarahan Ben yang nggak bisa asal ngehukum Christ akhirnya terlampiaskan pas mereka duel kemarin. Kamu jangan merasa bersalah karena Chr
"Aku nggak akan dateng, biar verstek, jadi cepet prosesnya," ucap Gendhis saat Rai mengingatkannya perihal sidang pertama perceraian mereka. "Dan aku pindah dari rumah hari ini," tambahnya membuat Rai yang tengah mengunyah sarapan, menghentikan aktivitasnya. "Nggak ada tuntutan, nggak hadir mediasi, rela pake alasan perselingkuhan dan jadi pihak bersalah, Ben pasti bakalan membunuhku karena bikin kamu ada di posisi itu," gumam Rai menghela napas panjang. "Kamu mau prosesnya berbelit-belit? Biar lama? Mau aku bikin tuntutan balik biar para tetua tau masalah ini?" desis Gendhis muak. "Enggak, makasih," ucap Rai kalah. Gendhis tak bicara lagi, ia memilih untuk membereskan bantal sofa yang berantakan. Diabaikannya Rai yang lanjut menyantap sarapan sendirian. "Kamu nggak sarapan?" tanya Rai, membuka lagi percakapan. "Aku udah goreng telur tadi," jawab Gendhis. "Aku mau mandi dulu, nanti kalau Danisha dateng, tolong suruh tunggu," pintanya. "Kuanter aja ke sana," ucap Rai segera berd
"Ngapain lo?" tegur Danisha saat melihat sang ponakan datang ke kediamannya, mengantar Gendhis. "Nganter," jawab Rai singkat. "Ngapain lo minta gue puter balik pulang kalau akhirnya lo anter dia ke sini juga!" gemas Danisha berbisik, kesal juga pada tingkah sang ponakan. "Sekalian gue mau main ke sini, lama nggak main ke rumah Tante," cengir Rai sangat tampan. "Bajingan!" umpat Danisha spontan, "lo nggak bisa bohongin gue. Mulai nyesel kan lo ceraiin dia? Dasar bocil!" "Cerewet!" sungut Rai segera berpaling dari Danisha, ia mengekor langkah Gendhis menuju kamar yang disiapkan untuknya. "Jadi, berapa lama kamu bakalan tinggal di sini?" tanyanya penasaran. Gendhis mengedikkan bahunya, "Belom tau," gumamnya sekenanya. "Setelah ini aku nggak bisa sering menghubungimu, biar aja urusan perceraian diurus Danisha sama suaminya," kata Rai. "Oke," balas Gendhis. "Aku mau istirahat, nanti sore harus kerja lagi," ujarnya mengusir Rai secara halus. "Iya," Rai mengangguk. "Makasih udah di
"Dia udah nggak pa-pa. Kayaknya reaksi alergi aja," ucap Ann yang baru saja selesai mengurus obat untuk Rai. "Nggak usah panik ya," katanya. "Kalau alerginya kepicu, dia emang suka begitu?" tanya Gendhis sudah bisa menghela napas panjang. "Seringnya iya, tapi kalau kondisi badan Christ lagi bagus-bagusnya, paling bentol doang di muka," ungkap Ann. "Rada kaget ya karena tiba-tiba?" "Iya, kukira kena serangan jantung," ucap Gendhis asal. Ann tertawa, "Saking bangsatnya si Christ sampe kamu doain begitu ya Ndhis," kekehnya. "Nggak gitu Ann," Gendhis memukul bibirnya pelan, menyesali kalimat asal yang keluar dari sana. "Dia tiba-tiba begitu, nggak ada gejala apa-apa. Dia makan sarapan kayak biasa," ceritanya. Ann tersenyum paham, diberinya kode pada Gendhis bahwa menantunya itu boleh menjenguk sang suami. Ben masih ada di dalam ruangan, entah mengobrol serius apa dengan calon penerusnya itu. "Gendhis," sapa Ben saat melihat Gendhis masuk ke dalam kamar perawatan. "Dia baru boleh pu
"Kamu harus tetep ada di lingkaran kami dan jangan sampe ketemu sama Eriska," pesan Ann sebelum meninggalkan kasino. Setelah selesai masa cutinya, Gendhis kembali masuk bekerja di kasino. Ia sengaja tak mengunjungi Rai di rumah sakit setelah Ben memaksa mengantarnya pulang kemarin lusa. Akan lebih baik jika ia dan Rai tak saling bertemu lagi ketimbang saling melukai. Apalagi proses perceraian keduanya masih berjalan dan Rai sama sekali tak berniat untuk mencabut gugatan. "Aku ada hal penting, bisa ngobrol?" tanya Axel suatu saat, sengaja menemui Gendhis di kasino. "Aku selesai setelah ini," ucap Gendhis, kini posisinya sudah berubah menjadi banker, 3 hari sebagai pramu dan 3 hari sebagai banker. "Oke, kutunggu di meja 8," pamit Axel menunjuk meja yang dipesannya. Axel tampak serius kali ini, ia terlihat gelisah. Saat minuman yang dipesannya tiba pun, ia meneguknya sembarangan. "Sorry, tadi ganti baju dulu," ucap Gendhis mendatangi Axel, senyum ia kembangkan. "Aku ada temuan pe
"Sejauh mana proses sidang perceraian kalian?" tanya Danisha saat Rai mampir ke kasinonya. "Tinggal nunggu putusan minggu ini. Verstek," ucap Rai seraya meneguk minumannya. "Di mana dia?" tanyanya mengitarkan pandangan. "Seminggu yang lalu, Gendhis ngundurin diri, dia juga nggak mau tinggal di rumah gue lagi," jawab Danisha. Rai tersedak, terbatuk beberapa kali mendengar kalimat Danisha. Matanya memerah kaget, ia sama sekali tidak tahu perihal kepergian Gendhis dari rumah Danisha. "Kenapa lo nggak ngasih tau gue kalau dia pindah? Pindah ke mana?" tanya Rai. "Emang lo siapanya? Kalian udah cerai kan? Ya ngapain gue laporan ke lo," kata Danisha santai. "Dan nggak tau dia pindah ke mana," tandasnya terlihat sangat puas saat menyadari ekspresi panik dari sang ponakan. "Sha," Rai mendesih kecewa. "Ya paling enggak gue tau harus ngirim akta cerai kami ke alamat mana," tandasnya. "Kasih ke gue, nanti kalau dia hubungin gue, biar gue sampein. Kalau nggak, lo coba ajak dia ketemu, punya
Rai duduk tercenung di sofa, pandangannya nanar ke arah lantai. Sementara, di ranjang kamar perawatan, Gendhis sudah terlelap. Sudah hampir dini hari, tapi rasa syok akibat kabar yang tiba-tiba tadi sore membuat Rai benar-benar kesulitan mencerna kenyataan-kenyataan lainnya. "Dia nggak bilang kalau itu anakku. Gendhis bersikeras kalau aku nggak ada hubungannya sama janin itu. Aku marah, Ann," ungkap Rai lirih, sengaja tak ingin mengganggu Gendhis beristirahat. "Sekarang udah nggak ada lagi, nggak perlu kamu sesali. Seharusnya kalau kalian sempat berhubungan, kamu mikir lebih jauh Christ. Gendhis nggak mungkin berkhianat sama ikatan pernikahan kalian. Kami nikahin kalian itu dalam ikatan yang suci lho, menurut ritual keluarga yang sakral, jangan kamu remehin," omel Ann mengurut kepalanya gemas. "Berantakan semua gara-gara kepalamu nggak inget sama sekali ke dia," desisnya kesal. "Tinggal dua minggu lagi penyerahan posisi Ben, aku terlalu fokus sama itu," ucap Rai menyesal. "Bukan sa
"Apa yang dirasain, Ndhis?" tanya Ann sedikit panik. Pasalnya, dalam perjalanan menuju rumah sakit, Gendhis muntah-muntah hebat. Ia mengeluhkan rasa sakit yang amat sangat di bagian kakinya. Saat tiba di rumah sakit pun, Gendhis segera ditangani, dilakukan cek darah dan cek kondisi janin. "Kaki sakit banget, Ann," keluh Gendhis. "Lemes banget badanku," tambahnya. "Oke, istirahat aja ya, kamu udah ditangani," ucap Ann perhatian. Ia memberi kode pada Danisha untuk menghubungi Rai, mengingat Gendhis tengah mengandung benih sang calon penerus ketua klan. Selama proses observasi, Gendhis beberapa kali muntah lagi. Hasil cek lab darahnya menunjukkan adanya infeksi tifus. Saat hendak dibawa pulang lagi seusai diperiksa, Gendhis justru perdarahan hebat, ia mengeluh tak bisa berjalan sama sekali. "Nggak pa-pa, janinnya aman," ucap Dokter Rangga, dokter jaga di IGD. "Ibu, harus rawat inap ya," tambahnya. "Iya Dok," jawab Ann yang selalu setia mendampingi Gendhis. "Lakuin yang ter
"Semenjak dikasih anti mual rasanya lumayan, nggak terlalu teler aku," gumam Gendhis saat menemui Ann bersama Rena dan Danisha yang mengajak untuk bertemu. "Axel tau soal kehamilanku?" tanyanya. Rena mengangguk, "Dia kukasih tau soal pernikahan lo dan Abang, jadi dia nggak salah paham soal kondisi lo," terangnya. "Terus masalah pemindahan aset, apa ada tanggapan dari orang-orang yang berkubu sama keluarganya Kiara, Ren?" tanya Gendhis penasaran. "Sejauh ini, kita masih pergerakan senyap, Ndhis," ucap Arino, suami Danisha yang ikut dalam pertemuan. "Kalau kamu udah siap, kamu harus ketemu sama tim hukum kita, habis itu bakalan kita susun pertemuan para pemegang saham. Mereka harus tau kalau keturunan Robby Januar masih ada," terangnya. "Apa aku bisa?" tanya Gendhis lirih. "Aku cuma lulusan sarjana, itu aja bukan dari perguruan tinggi ternama. Jurusanku bukan di bisnis sama sekali," lirihnya rendah diri. Selama menjadi pelacur, Gendhis memang tak melupakan pendidikan. Ia mengambil
Menatap wajah pucat Gendhis yang bungkam padanya, Rai melipat kedua tangannya di depan dada. Hanya mata Gendhis yang seakan bicara bahwa Rai tak perlu lagi peduli perihal dirinya. "Bu Gendhis sudah memperlihatkan tanda-tanda dehidrasi, Dok," lapor Dokter Una pada Rai, dokter yang berjaga di IGD.Rai manggut-manggut, meski kesulitan karena memorinya hilang, ia tak bisa mengabaikan laporan Dokter Una yang masih terlihat menghormatinya itu. Dokter Una memang mendengar alasan cuti Rai adalah karena masalah kesehatan, tapi ia tidak paham jika Rai kehilangan ingatan. "Perlu rawat inap?" tanya Rai berdehem, matanya melirik tajam pada Gendhis. "Kalau saya menyarankan rawat inap Dok, mengingat tubuh Bu Gendhis yang sangat lemah. Asupan satu-satunya yang masuk ke tubuh adalah dari infus. BP rendah sekali," ucap Dokter Una. "Ikut kebijakan Dokter Rai saja," tambahnya. "Ada yang berbahaya nggak kalau dibawa pulang?" gumam Rai. "Riwayat K.E.T pada Mbak Gendhis harus jadi perhatian kan Dok? Ap
Gendhis mengerang kecil, sudah hampir 2 hari ini ia kepayahan karena tubuhnya mengalami perubahan. Rasa mual menyergap dirinya tak kenal waktu, tiap menit, apapun yang masuk ke mulutnya pasti akan membuatnya memuntahkan isi perutnya lagi."Aku hamil," ucap Gendhis menoleh Danisha yang datang mengunjunginya ke rumah bordil. "Hah?" Danisha melongo kaget, kalimatnya tercekat di tenggorokan. "Hamil?" desisnya syok. Gendhis mengangguk lemah, ia kepayahan. Dimintanya Danisha mengulur tangan untuk memapahnya keluar kamar mandi dan berbaring di ranjang."Terus gimana?" tanya Danisha bingung."Tetep mau kurawat Kak, nggak pa-pa," jawab Gendhis. "Jangan bilang Rai," pintanya. "Dia bapaknya! Harus tau dong!""Enggak! Jangan, aku nggak mau ngrecokin langkahnya. Tinggal selangkah lagi dia jadi ketua, jangan diganggu, Kak," kata Gendhis tak setuju.Danisha menghela napas panjang, ia tak bisa memahami arah pikiran Gendhis kali ini. Hamil dengan gejala morning sickness saja sudah sangat menyulitka
Ketegangan yang terjadi di meja makan dan sempat membuat Gendhis merasa dipojokkan akhirnya cair karena Bastian dan Benji beserta anak dan istrinya datang. Kiara tak lagi bersuara, ia tahu semakin banyak ia bicara, semakin Rai ilfeel padanya. "Ngeliat Christ bawa Kiara ke sini pasti melukaimu," kata Bastian duduk menemani Gendhis merokok di serambi depan. "Sebentar lagi, pengambilalihan aset bakalan selesai prosesnya, keluarga Kiara nggak akan berkutik, ini bakalan jadi pukulan keras buat para tetua juga. Siapkan diri kamu buat tampil dan bikin Christ menyesal," katanya. "Kalau aset yang dikuasai keluarganya Kiara berhasil kita akuisisi, apa semua kekayaannya juga bisa jadi milikku, Bang?" tanya Gendhis. "Bisa jadi, karena kekayaan yang mereka kumpulkan selama 13 tahun ini adalah hasil dari keuntungan atas aset keluargamu yang mereka kuasai dari hasil menipu dan menjebak papamu.""Ada dua himpunan pengacara yang kita rekrut di pihak kita," kata Benji ikut menimpali, ia datang memba
"Kami resmi bercerai," desis Gendhis sambil menyesap teh hangat yang disajikan Ann untuknya. "Maaf ya, Gendhis," kata Ann turut prihatin. "Sekarang, kalau kamu butuh bantuan apapun, langsung ke kami aja," ucapnya. "Tolong jangan kasih tau Rai soal masalah aset keluargaku dulu, Ane-san," pinta Gendhis. "Aku nggak mau dia tau soal aku yang minta bantuan ke Mario juga.""Enggak, aku sama Ben sepakat buat nggak bahas apapun soal kamu ke Christ, jadi kamu tenang ya."Gendhis mendesah lega. Hari ini, setelahl putusan cerainya dengan Rai terbit tiga minggu yang lalu, ia sengaja memenuhi undangan Ann untuk datang ke rumah besar. Katanya, Ben berulang tahun dan setelah selesai perayaan ulang tahun Ben, posisinya sebagai ketua akan segera digantikan oleh Rai. "Kalau Rai dateng ajak Kiara, aku harus gimana?" desis Gendhis khawatir. "Aku yang ngundang kamu, jadi kamu tamuku, nggak ada hubungannya sama mereka, ya?" ujar Ann menenangkan. "Tapi gimana aku bakalan nyelametin hatiku, Ane-san?" G
"Ke mana aja?" tanya Rai, meminta untuk mengobrol berdua saja dengan Gendhis. "Ada," jawab Gendhis. "Sibuk kerja," katanya. "Kamu jalan sama dia?" Rai mengedikkan dagunya ke arah Axel. "Dia banyak bantu aku, bukan hubungan kayak yang ada di pikiranmu. Lagian, seharusnya kamu nggak usah peduli soal sama siapa aku jalan setelah kita cerai kan, Rai?" "Aku cuma nanya doang," gumam Rai. "Minggu ini sidang kita sampe di putusan," ujarnya. "Iya," Gendhis mengisap rokoknya dalam-dalam. "Aku juga dapet pemberitahuan dari pengadilan kok," tukasnya. "Ah, iya," Rai manggut-manggut. "Gimana kamu? Apa ada perkembangan soal kapan tahtanya Ben bakalan turun ke kamu?" tanya Gendhis. "Para tetua udah ngobrol kata Kakek, tinggal nunggu keputusan Ben, kapan dia ngelepasin posisinya.""Soal pernikahan kamu sama Kiara?""Nanti kukirim undangan, lagi dalam proses persiapan," kata Rai. Gendhis tersenyum pias, rasa nyeri menjalari ulu hatinya. Ia sudah belajar untuk mengikhlaskan, membiarkan Rai meng
"Sejauh mana proses sidang perceraian kalian?" tanya Danisha saat Rai mampir ke kasinonya. "Tinggal nunggu putusan minggu ini. Verstek," ucap Rai seraya meneguk minumannya. "Di mana dia?" tanyanya mengitarkan pandangan. "Seminggu yang lalu, Gendhis ngundurin diri, dia juga nggak mau tinggal di rumah gue lagi," jawab Danisha. Rai tersedak, terbatuk beberapa kali mendengar kalimat Danisha. Matanya memerah kaget, ia sama sekali tidak tahu perihal kepergian Gendhis dari rumah Danisha. "Kenapa lo nggak ngasih tau gue kalau dia pindah? Pindah ke mana?" tanya Rai. "Emang lo siapanya? Kalian udah cerai kan? Ya ngapain gue laporan ke lo," kata Danisha santai. "Dan nggak tau dia pindah ke mana," tandasnya terlihat sangat puas saat menyadari ekspresi panik dari sang ponakan. "Sha," Rai mendesih kecewa. "Ya paling enggak gue tau harus ngirim akta cerai kami ke alamat mana," tandasnya. "Kasih ke gue, nanti kalau dia hubungin gue, biar gue sampein. Kalau nggak, lo coba ajak dia ketemu, punya