LOGIN“Gimana keadaan Fairish, Tan?” tanya Sekar dengan nada mendesak. Raut wajahnya jelas menyimpan kecemasan, takut sesuatu terjadi pada calon cucunya. Sultan tidak langsung menjawab. Ia lebih dulu melepaskan stetoskop dari telinganya, lalu menggantungkannya rapi di leher. Barulah ia menatap ibunya dengan tenang. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ucapnya mantap. “Kondisi Fairish stabil. Bayinya juga baik-baik saja.” Sekar menghela napas lega. “Syukurlah,” “Waktu jatuh,” lanjut Sultan menjelaskan dengan nada profesional, “Tidak ada benturan langsung ke perut atau panggul. Refleks tubuhnya cukup baik, jadi yang terkena lebih ke sisi tubuh dan lengan. Itu sebabnya tidak menimbulkan dampak serius pada kehamilan.” Ia berhenti sejenak, memastikan semua mendengarkan. “Meski begitu, Fairish tetap saya sarankan istirahat dan observasi. Tapi secara medis, tidak ada tanda bahaya.” Sekar mengangguk berulang kali, wajahnya akhirnya sedikit melunak. “Kalau begitu, nanti tetap periksa k
“Sakit, Mas,” lirih Djiwa. Suaranya nyaris tak terdengar, sementara perut bagian bawahnya terasa nyeri hebat, menusuk hingga membuat tubuhnya gemetar. “Bagian mana yang sakit?” tanya Radja. Nada suaranya terdengar dingin, namun jelas terselip kecemasan yang tak mampu ia sembunyikan. Djiwa tak sanggup menjawab. Air matanya jatuh begitu saja. Ia hanya menggeleng pelan, seolah menolak kenyataan bahwa rasa sakit itu semakin menjadi. Tak lama, Sekar, Sultan, dan Inggrit muncul hampir bersamaan. Pemandangan di hadapan mereka membuat Sekar refleks meninggikan suara. “Ada apa ini?” tanyanya panik. Pandangannya langsung tertuju pada Fairish. “Kamu kenapa, Rish?” Fairish yang sudah berdiri dan dirangkul Kaisar menoleh dengan wajah pucat. “Aku jatuh, Mi. Tabrakan sama Djiwa. Jadi kami sama-sama jatuh.” Sekar tanpa menunda langsung menghampiri Fairish. Tangannya mengusap perut menantunya itu penuh perhatian. “Kamu tidak apa-apa, kan? Jangan sampai kenapa-kenapa.” Lalu ia menoleh pad
“Mbak Inggrit, ada apa?” tanya Djiwa sambil mengusap lengannya yang masih terasa sakit usai ditarik paksa Inggrit sebelumnya. “Aku mau tanya sama kamu, harus jawab dengan jujur,” ucap Inggrit dengan nada dingin, tatapannya menusuk. Djiwa mengernyit. “Tanya apa, Mbak?” Inggrit melirik sekitar, berharap tidak ada yang melihat mereka berdua. Lalu kembali menatap Djiwa lagi, “Jawab aku, selain Mas Radja menggunakan obat-obatan terlarang, apa dia juga diem-diem punya wanita lain?” Deg. Bola mata Djiwa seketika membulat kaget, jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Pertanyaan Inggrit seolah tepat sasaran, ya—memang benar tepat pada orang yang merupakan wanita lain di dalam kehidupan Radja saat ini. “Jawab,” desak Inggrit dengan nada tajam, “Kamu diem, itu artinya ada, kan?” tebaknya, saat menyadari perubahan raut wajah Djiwa yang tampak tegang. “Ehm …,” Djiwa mendadak bingung sendiri, lidahnya terasa kelu. “Untuk hal itu, Djiwa bener-bener kurang tahu, Mbak.” “
“Banyu? Bagus, gak?” tanya Kaisar pada Fairish, menyebutkan satu nama yang dia pikirkan untuk calon anak mereka. Fairish mendengus pelan. “Gak ada yang lebih bagus? Masa bagusan nama kamu dibanding anak kita, sih?” ia berdecak pelan, lalu melipat kedua tangannya di dada. Kaisar menghela napas panjang. “Kalau kamu sendiri, mau nama yang kayak gimana?” “Nama Belanda aja, gak usah pake nama kayak gitu,” balas Fairish dingin, hormon kehamilannya sering kali membuat dia sensitif dan mudah badmood. Tapi bagi Kaisar tak ada hari untuk Fairish tidak merasa badmood. Dan entah kenapa, dia masih sangat mencintai wanita itu hingga tak terima dimiliki orang lain. Sayangnya, orang lain itu kakak kandungnya sendiri. “Kasih aku contoh, kamu mau yang kayak gimana?” tanya Kaisar dengan nada lembut, kontras ketika dia bicara seperti itu pada sang istri—Djiwa. “Hm ... semacam Leon, Betrand, atau gak—” “Kalau Bastian gimana?” potong Kaisar yang langsung menemukan nama itu terlintas di kepa
Sepanjang perjalanan menuju kantor, pikiran Djiwa tak lepas dari sikap Radja terhadap Anggita. Ia bisa memahami alasan Radja menjaga jarak dari Inggrit, karena sikap wanita itu memang kerap tak pantas dijadikan teladan. Namun Anggita? Anak kecil itu sama sekali tak bersalah. Tak ada satu pun alasan yang cukup kuat bagi seorang ayah untuk bersikap sedingin itu pada darah dagingnya sendiri. Meski Radja tak lagi mencintai istrinya, Anggita tetap anak kandungnya. Fakta itu tak seharusnya berubah. “Kalau memang ini ada sangkut pautnya sama aku,” gumam Djiwa lirih sambil menatap lurus jalanan di depan. “Aku harus lurusin semuanya sama Mas Radja.” Ia mengepalkan jemarinya pelan. “Dia yang minta kita jalanin ini pakai perasaan. Tapi kalau perasaan itu justru bikin dia melukai anaknya sendiri …,” Djiwa menghela napas panjang. “Aku gak mau jadi alasannya. Aku gak mau jadi alasan Anggita gak punya peran ayah.” Di sisi lain, di dalam ruang kerjanya, Radja berdiri tegak di depan jende
“Ada alasan kamu merasa begitu?” Sekar menatapnya lurus, tajam, penuh desakan. “Atau jangan-jangan ini semua efek dari barang terlarang yang kamu pakai?” tebaknya tanpa basa-basi. Radja melirik ibunya dengan mata menyipit. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring, mematikan sekaligus berbahaya. “Barang terlarang?” ulangnya pelan. “Mami cukup berpendidikan untuk tahu efek samping dari penggunaan barang itu, kan?” Sekar menelan ludah. Kalimat itu terasa seperti tamparan halus—dingin, menyindir, tapi tepat sasaran. Namun ia tetap menegakkan dagu, tak mau terlihat goyah. “Jawab Mami,” desaknya. “Apa benar kamu pakai obat-obatan terlarang itu?” Radja menghela napas panjang. Kali ini senyumnya menghilang. Ia menatap ibunya lurus, tanpa berkedip sedikitpun. “Tidak,” jawabnya tegas. “Saya tidak menyentuh apa pun yang Mami maksud.” Sekar mengamati wajah putranya, mencoba mencari kebohongan. “Lalu kenapa kamu berubah? Sikap kamu, kebiasaan kamu, bahkan ke anak-anak kamu ju







