Share

[1] 3 - Sepatu terkutuk

Kami bertiga membicarakan kebodohan Sally di kantin tadi siang ketika berjalan limbung ke rumah Cindy karena kami saling merangkul.

Aku tak tahu mengapa seseorang seperti Sally diperbolehkan sekolah di sini dan bukannya sekolah khusus.

Maksudku tidak jahat, tapi ada kalanya kemampuan Sally tidak cukup.

Apalagi orang-orang bodoh semacam Brittany dan Lacey senang mempermainkan orang lain. Aku tak paham mengapa Brian berpacaran dengan cewek semacam itu.

"Hei, Cindy," sapa suara yang akhir-akhir ini begitu familiar di telingaku. Nanda menatapku sebelum menambahkan, "Hei juga, Cath."

Aku tidak melepaskan pandanganku darinya. Memerhatikan Nanda duduk di sofa dengan laptop dan buku berhamburan di meja persis di hadapannya.

Yang membuatku tersenyum adalah senyum di balik kacamatanya.

Itu pertama kali aku melihatnya dengan kacamata.

Lebih manis.

Sebelum aku sempat membalas, Lithia lebih dulu menginterupsi.

"Namaku Lithia, Nan. Atau Lith, terserah saja. Tapi jangan pernah melupakan keberadaanku."

Nanda tertawa.

"Maaf, Lith. Lain kali, aku tak akan melupakannya."

Kami melepas sepatu dengan tergesa, sebenarnya aku yang terlalu tergesa sehingga agak kesulitan. Cindy lebih dulu selesai.

"Tidak perlu merengek, Lith. Bukankah Brian cukup mengingat keberadaanmu hingga dia selalu berpacaran di dekatmu."

"Jangan lupakan dia yang tak pernah menganggapku ada," tambahku tak lupa ikut mengejek.

Lithia memerah, tapi tidak menghiraukan kami. Dia berdiri mendekat pada Cindy.

"Sepertinya kau sudah cukup akrab dengan Cath, Nan."

Kali ini gantian aku yang memerah, aku selalu lupa untuk tidak pernah bilang orang yang kusuka pada mereka.

Lagi pula, kenapa hari ini sepatuku jadi sulit dilepas.

"Sepertinya kau memberitahuku kedatanganmu bukan hanya sekedar karena ingin bertemu denganku." Cindy juga ikut mengejekku.

Oh, tentu saja mereka melakukannya.

"Mungkin saja," balas Nanda tersenyum.

Membuatku merah padam.

Untung saja sepatuku sudah lepas—sepatu terkutuk.

Nanda mengarahkan wajahnya kembali pada meja di hadapannya.

"Aku ingin meminta bantuanmu dengan kertas-kertas ini."

Cindy menarik Lithia berjalan meninggalkanku.

"Aku dan Lith benci menyentuh buku. Kau dan Cath saja."

Sebelum aku sadar maksud Cindy, Nanda lebih dulu mendesah dan menanyakanku untuk membantunya.

Aku berhasil menjaga mimik wajahku ketika sadar tujuan Cindy, tersenyum tipis.

"Selama tidak ada yang mendeskripsikan darah, zombi atau semacamnya."

"Tidak akan."

Kakiku melangkah mendekatinya dan duduk di seberangnya. Memerhatikan lembar-lembar kertas yang diletakkan di hadapanku.

"Yang perlu kau lakukan hanyalah membacanya, dan menandai tingkah laku tidak wajar orang-orang di dalamnya."

Aku mengangguk, mengambil pulpen yang tergeletak di atas meja juga kertas-kertas yang disodorkan padaku.

Mataku menangkap sosok Nanda yang sedang serius mengetik, sesekali menoleh buku di sampingnya.

Aku tak tahu seseorang yang serius juga terlihat manis.

"Apa ini semacam mengidentifikasi penyakit apa yang diderita orang-orang ini?"

"Yup. Kurang lebih.”

Nanda mengangkat wajahnya, mata kami bertemu.

"Kau tau, Cath. Kau tak perlu melakukannya, jika tidak ingin. Aku akan meminta Cindy membantuku lagi nanti."

Aku memutuskan pandangan kami dan melihat tulisan di kertas. Ternyata lumayan banyak.

"Aku yang memutuskan akan tetap membantu atau tidak."

Pandanganku fokus pada tulisannya, setidaknya bahasanya tidak berbelit-belit. Penggambaran isinya pun mudah dipahami.

"Lagian, sepertinya bacaan ini didesain seperti novel," tambahku, kembali mengangkat wajahku.

Mendapati Nanda yang masih menatapku bimbang, jadi aku kembali berbicara.

"Jika aku lelah membacanya, pasti aku bilang."

"Baiklah. Thanks, Cath."

Nanda tersenyum lalu menundukkan wajahnya kembali menatap laptop.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status