Kami tenggelam dalam pekerjaan masing-masing.
Bacaan ini menarik untuk dibaca, aku tidak keberatan.
Kebanyakan berkaitan dengan halusinasi. Aku juga tahu beberapa penyakit mental jadi aku menuliskan nama penyakit yang kutahu.
Setidaknya membantu Nanda sedikit agar tidak perlu membuang tenaga membaca semua buku ini.
Saking asyiknya membaca, aku hampir lupa bahwa Nanda duduk di seberangku.
Jika bukan karena Lithia berbicara, aku sudah berada di dimensi lain.
"Cath, ibuku menyuruh pulang."
Aku mengangkat tanganku, melihat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh lebih sedikit.
Lenganku kugerakkan, berdiri dan meregangkan tubuhku.
Agak heran aku tidak kram karena duduk diam selama lima jam.
"Oke, kita balik," sahutku.
Nanda mengangkat kepalanya.
"Astaga, sudah hampir jam sepuluh malam. Aku tidak tahu akan selama ini. Cath, kau mau pulang?"
"Iya," jawabku mengangguk. "Ayo Lith, sebelum ibumu marah besar."
"Tapi aku harus ke supermarket dulu," rengek Lithia. "Dia menyuruhku belanja lagi!"
Aku tahu dia bohong, dia selalu merengek ketika melakukannya.
Lagi pula aku tahu ibunya sedang di luar kota sampai minggu depan.
"Sejak kapan ka—"
" Nanda!" potong Cindy. "Kau tanggung jawab mengantar Cath pulang. Dia sudah membantumu."
Mataku membulat.
Tak percaya mereka benar-benar mendorongku bersama Nanda.
Mereka sudah siap saja melemparku ke pulau tak berpenghuni berdua dengan Nanda.
Tapi ini sudah terlampau jauh.
Aku bahkan belum memutuskan ingin dekat dengannya atau tidak.
Satu kelemahanku ketika menyukai seseorang, rasa sukaku tidak akan bertahan lama. Sepertinya aku pernah menyebutnya.
Perasaanku terlalu mudah berubah dan itu berakhir menyakiti banyak orang.
"Tapi Lith—"
"Tidak apa, Cath. Aku akan mengantarmu, kau sudah membantuku."
Aku menoleh padanya, senyumnya memang selalu manis.
"Lagian ini sudah malam. Tunggu di sini, aku akan ambil jaketku."
Lalu, Nanda meninggalkan kami bertiga.
Mereka tidak bisa menahan senyumnya ketika Nanda telah pergi. Seolah mereka telah menyelesaikan tugas besar.
"Kalian," desahku capek. "Untuk yang satu ini kalian keterlaluan."
"Keterlaluan bagaimana?" elak Cindy. "Aku hanya ingin kalian dekat saja."
"Tidak mesti istimewa, teman saja tidak masalah," tambah Lithia.
Aku diam.
Mendebat mereka tidak akan menghentikan apapun.
Lithia lebih dulu pulang, karena dia membawa mobil sendiri.
Cindy merangkulku di depan rumahnya setelah membiarkan Lithia pergi.
"Kau benar sudah tidak menyukai James?"
Aku menatapnya tak percaya.
"Apa aku kelihatan seperti masih menyukainya?"
Cindy menggeleng, pandangan kami saling mengunci.
Terakhir kali kami seperti ini saat kami akhirnya tahu Brian sengaja membuat Lithia sakit hati.
"Lith menolak James memang karena dia tidak menyukainya, juga karena dia tahu kau menyukai James. Tapi ini bahkan belum sebulan dan kau sudah menyukai orang lain."
Aku tertawa.
"Sudah kubilang hari ini kalian keterlaluan. Kali ini juga akan sama cepatnya, kalian tak perlu melakukan apapun."
"Kami hanya—"
Cindy menutup mulutnya ketika mendengar Nanda mendekat, dia memakai jaket, tidak, coat panjang coklat polos.
Bulan ini sudah mulai memasuki musim dingin, wajar jika dia berpakaian panjang.
"Ayo, Cath," ujarnya mendahuluiku menuju mobilnya. Aku mengikuti.
Cindy tersenyum melambaikan tangannya dan meminta Nanda mengantarku pulang dalam keadaan utuh dan tanpa luka.
Kami bergerak meninggalkan rumah Cindy dalam sekejap.
*
"Sepertinya mereka ingin kita dekat," kata Nanda tiba-tiba.
Aku menoleh padanya dengan muka memerah.
Dia fokus menyetir.
Mataku memerhatikan kalung yang menggantung di kaca mobilnya.
Liontin berbentuk harpa berwarna emas, selain itu mobilnya terlihat kosong.
"Memang itu yang mereka lakukan," kataku berusaha tenang.
Satu lagi kelemahanku yang paling menyebalkan, aku terlalu blak-blakan.
Dan akan menjadi semakin parah ketika sedang salah tingkah.
"Mereka selalu berlebihan."
Nanda mengalihkan pandangannya padaku, ada raut kaget di wajahnya.
"Kau tak menyukainya?"
"Aku lebih berharap mereka membiarkan aku yang memutuskan."
Saat aku memberitahukan pada mereka tentang James, mereka benar-benar melakukan segala upaya untuk membuatku lebih dekat padanya.
Bukannya tidak berhasil. James sekarang menjadi temanku.
"Kau tahu, Nan. Orang sepertiku ini, aku terlalu cepat bosan. Aku tidak pernah bertahan pada apapun dalam waktu panjang."
***
Yang memenuhi pandanganku hanyalah baju biru polos yang menutupi punggung bidang Brian. Aku bisa mendengar mereka berdebat dengan kalimat memutar-mutar karena Brian yang terus-terusan mengalihkan topik. Bukan berarti Archer tak paham maksud Brian, mereka berteman bertahun-tahun, mustahil jika Archer tak mengenal Brian dengan baik.“Kita tak memerlukan itu.”“Kau tak pernah dengar tentang darling, Arsh?”“Tidak ada makhluk yang omnipoten, menyingkirlah.”“Sepertinya—”Brian berhenti bicara saat aku mengetuk punggungnya dengan telunjukku yang tak berdarah beberapa kali. Dia memalingkan wajahnya dari Archer dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu.“Tak perlu melakukan itu.”Brian mengangkat sebelah alis sesaat, jika aku tak sedang mengamatinya aku akan kelewatan detail itu. Dia diam beberapa sebelum bergeser dari hadapanku sambil berujar, “Kau yang bilang.” Aku tak lagi menanggapinya karena sibuk mengelap mulutku yang berdarah dengan ujung lengan bajuku. Entah kenapa bau amis yan
“Apa kau pikir kami akan mengikuti keinginanmu begitu saja?” “…Tidak.” Tentu saja tidak, dia pikir aku gila? Aku tak pernah sekali pun punya niat begitu! Yang terakhir kuingat tentang mereka itu aku hanya kelahi dari mereka dan mereka menjauhiku! …Atau begitu adanya dari ingatanku. Brian menimpali sambil melirikku. “Dia bahkan berani mengambinghitamkan Uriel.” Aku ingin membantah tapi instingku berteriak keras untuk tidak melakukannya, jadi aku menutup mulutku rapat-rapat bahkan ketika Archer mengalihkan topik dan mulai membahas tentang Pseudotopia. “Kau sama sekali tak mau cerita?” Aku mau… Tidak! Aku tak mau. Meskipun aku tahu mereka tahu apa yang terjadi secara garis besar, mendengarnya langsung dariku tetap saja… Aku tak mau mereka tahu. Beberapa helai rambutku tertiup angin dan nyaris menyakiti mataku, untung saja aku segera merapikannya sambil menatap Archer lurus. Ini pertama kalinya aku benar-benar melihat wajahnya semenjak dari rumah sakit beberapa bulan lal
Aku duduk tegak seperti murid teladan. Sambil menjelaskan apa-apa saja yang kuingat pada dua orang yang terdiam semenjak aku mengutarakan kecurigaan yang sebelumnya kubahas dengan Tahoka. Mereka tahu sekarang separah apa masalah yang sedang aku hadapi—bukan, kita hadapi. “…Karena itu, meski pun ingatanku kacau balau. Jangan beritahu aku, jangan koreksi ingatanku yang salah. Sepertinya ‘aku’ berpikir kemampuanku tak boleh dipakai, setidaknya sampai Ragnarök berakhir.” “Kau pikir mungkin ada seseorang yang memakai visi untuk menebak semua tindakanmu.” Aku mengangguk setuju pada komentar Brian ketika Archer sekali lagi menusukku dengan pertanyaan tajamnya yang sama sekali tak kusangka.
“Kenapa malah kau yang marah?” Aku tertawa, berpikir bahwa pria bersisik di hadapanku saat ini terlihat sangat menggemaskan. Ah, membuatku teringat pada Cindy… Jadinya aku tertawa sambil merengut. “Aku tak suka, hng … valkeri.” Tahoka menatapku curiga. “Kenapa ekspresimu, hng … begitu?” “...Kau terlihat menakutkan saat marah.” “Tentu saja, hng … keturunan hidra harus, hng … terlihat menakutkan!” Tapi kau terlihat menggemaskan? Nyaris saja aku keceplosan mengatakannya melihat mata
Tahoka menepuk meja pelan sambil mengunyah kue kering yang saat ini tinggal setengah. “Ayahku, hng … bilang dunia berwujud, hng … segalanya. Aku tak paham, hng … apa, hng … kau paham?” Aku menggumam mengulang perkataan Tahoka. “Berwujud segalanya…” Mataku berkilat saat bertanya, “Bagaimana orang tuamu bisa tersesat masuk Pseudotopia?” “Katanya, hng … mencari pintu masuk, hng … Shangri-La.” “Pintu masuk? Bukannya satu-satunya cara menyebrang ke Shangri-La itu melalui gerbang dimensi di Lemuria?” “Bukan itu, Cath. Hng … Tapi pintu yang, hng … mengabaikan aturan, hng … hukum Shangri-La.” “Pintu seperti itu benaran ada?” Aku tak percaya. Mengabaikan aturan hukum dunia itu sama saja seperti pencipta semesta dan pencipta semesta itu adalah mitos. Itu sudah seperti rahasia umum. Aku tak paham kenapa orang tua Tahoka senang sekali bepergian dan meninggalkan anak kesayangannya jadi tukang pungut mayat begini. Yang membuatku tak bisa berkata-kata, Tahoka menyukai kegiatannya i
Tahoka merengut. Dia mengamatiku dari atas sampai ke bawah sebelum bertanya yang terdengar seperti menuduh.“Apa yang kau lakukan, hng … hingga tubuhmu, hng … kacau begini?”Aku mengangkat bahu. Dia masih sama, kebiasaannya membuang napas nyaring di tengah-tengah kalimat. Kupikir dia sudah berhenti melakukan itu, ternyata tidak. “Kita bicara di bahteramu saja.”Tahoka membawaku ke kapalnya sambil mengomel. “Berapa kali kubilang, hng … namanya Vila, hng … bukan bahtera.”Aku pura-pura tak dengar, mengikuti di belakangnya sambil mengamati kapal yang sekarang sudah berubah eksterior lagi. Lupakan vila, melihat kapal yang besarnya keterlaluan ini, lebih baik namanya istana saja sekalian. Lihatlah kilauan perak di dindingnya.Saat pertama kali aku masuk ke dalam kapal ini, kupikir interiornya akan serupa dengan kapal pesiar mewah yang sering kulihat dalam iklan. Tapi kenyataan itu kejam.Selain ruang pribadinya yang memakan tempat sekitar seperempat kapal, sisanya merupakan tempat
[BAB V] BERALUR DEMI MENELUSURI RUANG_______________“Hei, Juffrouw! Apa yang kau lakukan di sini? Ini kawasan terlarang.”Seseorang yang kuyakini adalah satpam menepuk bahuku sambil menunjuk papan tanda peringatan. Aku yang sedari tadi fokus mencari fluktuasi gelombang gerbang sambil mengeluh dalam hati menoleh pada satpam itu. Aku tak suka diganggu jika sedang fokus.“Aku tak melihatnya… Kunci kendaraanku terjatuh di sekitar sini. Meneer bisa membantu saya mencarinya juga supaya saya bisa keluar secepatnya?”Kemampuan bicara omong kosong sepertinya ada di dalam darahku. Tapi aku tak peduli. Aku merasakan gerbang yang kucari ada di sekitar sini, hanya tak tahu posisi tepatnya di mana.Dan aku sedang tergesa-gesa karena Brian mungkin saja menemukanku. Tadi saja aku keluar dari rumah sakit diam-diam dan berjalan agak lari menuju stasiun pusat.“Benarkah? Apa ada gantungannya? Deskripsikan seperti apa.” Tapi intuisiku mengatakan yang sedang mencariku bukan Brian. Mau tak mau aku
Lagi, aku melamun tanpa memikirkan apa-apa setelah Nanda pergi dengan alasan menemui pasiennya. Entah berapa lama, saat ponselku berbunyi barulah aku berhenti melamun.Telepon dari nomor tak dikenal.Aku mengangkatnya sambil bersandar ke sandaran kasur. “Ini Cath.”‘Juff Catherine Brunner?’“Benar.”‘Apa Juffrouw terhalang sesuatu sehingga tak bisa ke sekolah?’“Ah…” Aku baru ingat itu. “Maaf, saya lupa mengabari sekolah.”‘Tidak apa-apa. Juffrouw bisa mengabari secara formal maksimal seminggu setelah hari yang tak bisa Juffrrouw hadiri. Telepon ini hanya pengingat secara informal saja.’“Begitu ya… Saya saat ini sedang berada di rumah sakit. Berkas pembuktiannya akan saya kirimkan ke sekolah dalam beberapa jam.”Aku mematikan telepon beberapa saat setelah itu. Intinya aku perlu memberitahu ketika tak bisa ke sekolah agar tak mempengaruhi rapor akhirku.Sekolah yang aneh… Itulah pendapat jujurku karena mendapat telepon seperti ini hanya karena sehari bolos. Aku tak tahu apa itu
Catatan untuk pembaca sebelum memutuskan membaca cerita ini: Akhirnya 30k kata tercapai juga… Karena itu aku buat catatan ini sebagai panduan dalam bentuk QnA untuk pembaca, cerita macam apa sih “Cara Berhenti Menyukai Gebetan dalam 1 Bulan” (CBMGSB) ini. _______________ Q: Kenapa judulnya CBMGSB padahal sampai bab 40an lebih ML-nya aja masih belum ketahuan?! A: Aku gak bisa kasih tau ‘kenapa’ karena itu spoiler di chapter mendatang tapi CBMGSB itu dikutip dari plot yang akan datang yang aku gak yakin kalian masih sanggup nunggunya karena romansanya baru mulai muncul di chapter … sangat jauh. Jadi kalian yang mau baca cerita ini karena tertarik romansa ringan, mikir-mikir dulu deh. Q: Ini kenapa tiap mau menyentuh konflik cerita, MC-nya malah pindah dan ganti konflik lagi? Cerita macam apa ini?! A: Gimana ya ngejelasinnya… Anggap aja cerita yang biasa kalian baca itu kaya garis lurus dengan dua titik, awal dan akhir. Dari awal perkenalan atau langsung konflik lalu bergerak menuju