Share

[1] 2 - Senyumnya manis

Mungkin bukan contoh yang baik, aku bolos dan membawa diriku ke game center.

Bermain permainan arkade. Satu saja, danz base.

Setidaknya aku bisa menari sambil mengumpat kalau gerakanku salah. Aku tidak peduli jika ada yang memerhatikan atau apa. Rasa maluku telah hilang ketika memainkan ini.

Aku tak terlalu mengindahkan ponselku yang berkedip. Tidak terlalu ingin berbicara sama siapa pun.

"Sudah kuduga," ucap suara di belakangku. "Cindy, dia begini setelah berteriak pada Brian dan Britt."

"Kadang aku tak tahu yang bodoh di sini itu kau atau dia," oceh Cindy jelas mengejek kami.

"Kalau kau udah suka seseorang kau pasti akan sama, Dy."

"Yang jelas aku tidak akan sebodoh kalian."

"Kalian berdua berisik," desisku jelas tak senang dengan kedatangan tamu tak diundang.

Aku sedang tak ingin berbicara atau pun bercanda.

"Terserah, Cath. Aku hanya mau memastikan kau bisa memakai kedua kakimu buat pulang."

Aku tak mengindahkan mereka, bermain lagi dengan latar belakang percakapan Cindy dan Lithia. Aku tak menangkap banyak kata yang mereka ucapkan tentu saja karena musik dari permainanku cukup nyaring.

Cukup nyaring untuk menepis suara-suara di kepalaku.

"Aku tak mau menginterupsi tapi sepupuku sore ini mau berkunjung," teriak Cindy.

Dan aku berhenti bergerak, pikiranku kosong. Sebelum akhirnya mengumpat dan memaki Cindy karena baru bilang padaku.

Aku meninggalkan permainanku menuju kedua temanku itu.

Tentu saja aku sadar jika kedua mataku berbinar.

"Ayo balik."

Lithia tertawa dan memungut tasnya, juga tasku. Lalu melemparkannya kepadaku.

Aku merangkul mereka berdua dan berjalan keluar game center.

"Kok bisa?" tanyaku penasaran.

Nanda, kakak sepupu Cindy. Enam tahun lebih tua dari kami, tentu saja lebih dewasa.

Sebulan yang lalu adalah pertama kalinya aku bertemu Nanda, di ulang tahun Cindy.

Dia baru saja pindah dari Asia Tenggara menuju kota pinggiran Inggris empat bulan yang lalu, lumayan jauh dari London.

Jadi, waktu itu pertama kalinya dia menginjakkan kaki di London.

Aku menyukai matanya yang abu-abu menyipit ketika senyum, sungguh manis.

Kurasa semua cowok Asia memiliki senyum yang manis, terutama Nanda, tentu saja.

"Kubilang kau ingin bertemu dengannya," canda Cindy sambil terkekeh perlahan.

Aku menatapnya tak percaya.

"Kau tak akan pernah dapat pacar sampai kapan pun jika kau benar mengatakan itu."

Lithia tertawa. "Tentu saja tidak, Cath. Dia ada urusan di sini jadi dia mampir sebentar."

Senyumku melebar. Ini akan menjadi ketiga kalinya pertemuanku bersama Nanda.

Aku kembali teringat ketika pertama kali bertemu Nanda, ketika dia datang dan memberikan hadiahnya kepada Cindy. Memeluknya sambil berbisik di telinganya.

Aku tak langsung menyukainya, yang benar saja. Aku tidak senaif itu.

Beberapa hari kemudian, kami bertemu secara tidak sengaja di toko buku, dia mengenaliku dan menyapaku.

Sejujurnya, aku tidak mengingatnya waktu itu tapi aku melakukan ramah tamah karena dia adalah sepupu Cindy. Dia juga mentraktirku minum dan kami bercakap-cakap.

Dia menceritakan tentang dirinya, alasan dirinya pindah, apa yang dilakukannya. Dia lulusan psikologi, sekarang dia bekerja di Wales.

Sebenarnya Nanda tidak benar-benar pindah, hanya untuk setahun. Dia membantu mengurus pasien di salah satu rumah sakit Wales.

Kupikir itu keren.

Jadi aku merasa tertarik padanya, tentu saja.

Belum lagi ketika melihatnya tersenyum saat mendengarkan ceritaku tentang keberadaanku di toko buku seorang diri.

Sudah kubilang, senyumnya manis.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status