Mungkin bukan contoh yang baik, aku bolos dan membawa diriku ke game center.
Bermain permainan arkade. Satu saja, danz base.
Setidaknya aku bisa menari sambil mengumpat kalau gerakanku salah. Aku tidak peduli jika ada yang memerhatikan atau apa. Rasa maluku telah hilang ketika memainkan ini.
Aku tak terlalu mengindahkan ponselku yang berkedip. Tidak terlalu ingin berbicara sama siapa pun.
"Sudah kuduga," ucap suara di belakangku. "Cindy, dia begini setelah berteriak pada Brian dan Britt."
"Kadang aku tak tahu yang bodoh di sini itu kau atau dia," oceh Cindy jelas mengejek kami.
"Kalau kau udah suka seseorang kau pasti akan sama, Dy."
"Yang jelas aku tidak akan sebodoh kalian."
"Kalian berdua berisik," desisku jelas tak senang dengan kedatangan tamu tak diundang.
Aku sedang tak ingin berbicara atau pun bercanda.
"Terserah, Cath. Aku hanya mau memastikan kau bisa memakai kedua kakimu buat pulang."
Aku tak mengindahkan mereka, bermain lagi dengan latar belakang percakapan Cindy dan Lithia. Aku tak menangkap banyak kata yang mereka ucapkan tentu saja karena musik dari permainanku cukup nyaring.
Cukup nyaring untuk menepis suara-suara di kepalaku.
"Aku tak mau menginterupsi tapi sepupuku sore ini mau berkunjung," teriak Cindy.
Dan aku berhenti bergerak, pikiranku kosong. Sebelum akhirnya mengumpat dan memaki Cindy karena baru bilang padaku.
Aku meninggalkan permainanku menuju kedua temanku itu.
Tentu saja aku sadar jika kedua mataku berbinar.
"Ayo balik."
Lithia tertawa dan memungut tasnya, juga tasku. Lalu melemparkannya kepadaku.
Aku merangkul mereka berdua dan berjalan keluar game center.
"Kok bisa?" tanyaku penasaran.
Nanda, kakak sepupu Cindy. Enam tahun lebih tua dari kami, tentu saja lebih dewasa.
Sebulan yang lalu adalah pertama kalinya aku bertemu Nanda, di ulang tahun Cindy.
Dia baru saja pindah dari Asia Tenggara menuju kota pinggiran Inggris empat bulan yang lalu, lumayan jauh dari London.
Jadi, waktu itu pertama kalinya dia menginjakkan kaki di London.
Aku menyukai matanya yang abu-abu menyipit ketika senyum, sungguh manis.
Kurasa semua cowok Asia memiliki senyum yang manis, terutama Nanda, tentu saja.
"Kubilang kau ingin bertemu dengannya," canda Cindy sambil terkekeh perlahan.
Aku menatapnya tak percaya.
"Kau tak akan pernah dapat pacar sampai kapan pun jika kau benar mengatakan itu."
Lithia tertawa. "Tentu saja tidak, Cath. Dia ada urusan di sini jadi dia mampir sebentar."
Senyumku melebar. Ini akan menjadi ketiga kalinya pertemuanku bersama Nanda.
Aku kembali teringat ketika pertama kali bertemu Nanda, ketika dia datang dan memberikan hadiahnya kepada Cindy. Memeluknya sambil berbisik di telinganya.
Aku tak langsung menyukainya, yang benar saja. Aku tidak senaif itu.
Beberapa hari kemudian, kami bertemu secara tidak sengaja di toko buku, dia mengenaliku dan menyapaku.
Sejujurnya, aku tidak mengingatnya waktu itu tapi aku melakukan ramah tamah karena dia adalah sepupu Cindy. Dia juga mentraktirku minum dan kami bercakap-cakap.
Dia menceritakan tentang dirinya, alasan dirinya pindah, apa yang dilakukannya. Dia lulusan psikologi, sekarang dia bekerja di Wales.
Sebenarnya Nanda tidak benar-benar pindah, hanya untuk setahun. Dia membantu mengurus pasien di salah satu rumah sakit Wales.
Kupikir itu keren.
Jadi aku merasa tertarik padanya, tentu saja.
Belum lagi ketika melihatnya tersenyum saat mendengarkan ceritaku tentang keberadaanku di toko buku seorang diri.
Sudah kubilang, senyumnya manis.
***
Kami bertiga membicarakan kebodohan Sally di kantin tadi siang ketika berjalan limbung ke rumah Cindy karena kami saling merangkul. Aku tak tahu mengapa seseorang seperti Sally diperbolehkan sekolah di sini dan bukannya sekolah khusus. Maksudku tidak jahat, tapi ada kalanya kemampuan Sally tidak cukup. Apalagi orang-orang bodoh semacam Brittany dan Lacey senang mempermainkan orang lain. Aku tak paham mengapa Brian berpacaran dengan cewek semacam itu. "Hei, Cindy," sapa suara yang akhir-akhir ini begitu familiar di telingaku. Nanda menatapku sebelum menambahkan, "Hei juga, Cath." Aku tidak melepaskan pandanganku darinya. Memerhatikan Nanda duduk di sofa dengan laptop dan buku berhamburan di meja persis di hadapannya.
Kami tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Bacaan ini menarik untuk dibaca, aku tidak keberatan. Kebanyakan berkaitan dengan halusinasi. Aku juga tahu beberapa penyakit mental jadi aku menuliskan nama penyakit yang kutahu. Setidaknya membantu Nanda sedikit agar tidak perlu membuang tenaga membaca semua buku ini. Saking asyiknya membaca, aku hampir lupa bahwa Nanda duduk di seberangku. Jika bukan karena Lithia berbicara, aku sudah berada di dimensi lain. "Cath, ibuku menyuruh pulang." Aku mengangkat tanganku, melihat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh lebih sedikit. Lengank
"Kau bertahan pada temanmu sejak awal." Aku menyipitkan mata, menatapnya curiga. "Dari mana kau tahu?" "Cindy. Dia membicarakan segala hal padaku, termasuk kau dan Lith." "Karena mereka selalu menarikku bersama mereka," ungkapku. Aku akhirnya berhasil menenangkan diri, otakku kembali bekerja dengan normal dan kemampuan observasiku juga kembali seperti biasanya. "Tau-tau, itu menjadi kebiasaan." Aku mengamati sekitar. Rumah-rumah dengan cahaya, jalanan yang gelap. Aku hafal daerah ini. Sebentar lagi kami akan sampai.
Keesokan paginya, aku berangkat lebih cepat dari biasanya. Ibu dan adikku berada di meja makan ketika aku keluar rumah. Aku tidak pernah suka bertatap muka dengan ibu, yang ada kami selalu bertengkar. Aku tak ingin membuat keributan di pagi buta, tidak di depan adikku yang nantinya malah akan memperparah masalah yang sepele itu. Kami bertiga ini tidak seharusnya tinggal dalam satu rumah, sangat berbahaya. Aku tidak memakai apapun untuk ke sekolah, rumahku tidak sejauh Cindy atau pun Lithia. Cukup berjalan kaki. Ketika sampai aku hanya meletakkan tasku di kelas dan berjalan menuju kafetaria. Sarapan itu penting. Terutama hari ini. Kelas pertama adalah kalkulus, aku tidak ingin terlihat bodoh di depan Mrs. Nessie. Dia sangat sulit dibuat senang dan aku tidak ingin mengulang pelajaran ini. Roti isilah yang terpilih sebagai sarapanku hari ini, belum termasuk roti bakar dan susu hangat. Aku berusaha menjaga tingkah lakuku ketika Brian dan Britt memasuki kafetaria. Aku sada
"Kudengar kau menolak cowok yang disukai Cindy." James mencegat samping mejaku setelah kelas Mrs. Nessie selesai. Aku hanya diam duduk di kursi, sama sekali tak mengindahkannya. Gosip itu ternyata memang cepat tersebar dan menyampaikan fakta yang salah. Maksudku, jika orang lain tidak tahu tentu mereka juga berpikir yang Cindy maksud adalah cowok yang disukainya. Tentu saja Cindy menyukai Nanda, tapi dalam artian yang berbeda. James menggeser kursi untuk duduk di dekat mejaku. "Aku tau kau memang agak kurang ajar. Tapi yang ini kau terlalu kurang ajar." Aku menatapnya datar. Memerhatikan setiap sudut wajahnya, tak mengerti mengapa aku pernah menyukai cowok ini. Dia memang tampan, tapi dia tidak setampan Nanda. "Coba saja kalau kau berani mengadu tentang Lith padaku nanti." James tersenyum padaku, dia kelihatan agak konyol. "Maaf, aku salah omong." Lanjutnya, tak lupa menghapus senyum bodoh itu dari wajahnya. "Tapi benar kau menolak cowok yang disukai Cindy?" Aku
"Apa-apaan, sialan?!" Aku mengumpat sambil memberontak melepaskan diri. Tapi James lebih kuat jadi aku tetap terseret bersamanya. Dia membawaku ke restoran cepat saji di seberang sekolah. "Aku traktir," katanya. Kemudian seenak jidat memesan makanan untukku. "Aku tidak mau makan." Sampai kapan kau mau melakukan ini .... "Kau belum makan siang," katanya tak mengindahkanku. Dia menyeretku duduk dan membawa makanan ke meja. Kalau dipikir-pikir, sudah lama aku tidak makan di sini. Walau hanya di seberang jalan. Biasanya aku memilih makan di kafetaria atau di rumah Cindy pesan antar. "Sudah kubilang aku tak mau berteman denganmu." James menyodorkan hotdog padaku tapi aku tak mengambilnya. Lalu dia memaksaku, seperti Cindy. Dia selalu memaksaku. "Aku tahu kau tidak akan makan sampai besok pagi di kafetaria, jadi aku akan menemanimu makan siang ini. Makan, Cath." Jadi aku menggigit hotdog-nya sekali. "Cindy sudah cerita padaku," katanya lagi. "Dia memintaku memastikan k
Sebuah sentuhan membuatku menoleh. Petugas perpustakaan menyodorkan tasku, juga tas yang tidak kukenal. "Ini tasmu dan tasnya." Aku tidak berkata apa-apa selain menerima kedua tas itu dengan tangan gemetar. Aku ikut masuk ke dalam ambulans. Archer dibaringkan di kasur dan petugas ambulans sibuk memasang alat pernapasan, juga menghentikan pendarahannya. Tanpa sadar aku menggenggam tangannya dengan tanganku yang masih gemetar. Archer masih dalam keadaan sadar, karena aku merasakan tangannya yang kaget akibat genggamanku. "Kau akan baik-baik saja," kataku pelan. Aku bisa merasakan genggamannya, walau begitu lemah. Pikiranku tidak fokus, tapi kuusahakan agar tidak tampak di wajahku. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Sangat banyak. Aku bahkan tak peduli alasan perasaan aneh ini membawaku pada Archer. Aku tak bisa peduli dalam keadaan ini. Aku menemani Archer di ruang darurat. Menjawab pertanyaan dokter yang bisa kujawab. Aku juga mencoba menghubungi
Lithia mengangkat panggilanku dan memberikan sapaan dengan pertanyaan tanpa habis. Aku tak menjawab satu pun pertanyaannya. "Pinjamkan aku baju, Lith. Tolong antarkan ke rumah sakit." 'Rumah sakit? Apa yang kau lakukan di sana?' "Akan kujelaskan di sini," kataku lalu memutuskan panggilan. Aku kembali memerhatikan tanganku yang berdarah. Ini darah Archer. "Kau berhutang cerita padaku," kataku, menatap Archer yang menutup matanya. Aku tahu dia tidak benar-benar tidur. Aku berjalan menuju toilet untuk membersihkan darahnya dariku. Aku tidak ingin membuat Lithia heboh karena penampilanku. Tidak terlalu lama hingga Lithia datang bersama pakaian bersih. "Apa yang terjadi?" tanyanya berusaha untuk tidak histeris. "Kau berdarah." Aku tersenyum. "Bukan darahku." Aku mengganti seragamku dengan kaos navi polos dan rok putih selutut. Aku ingin protes tentang rok ini, tapi aku mengurungkannya. Setidaknya diriku yang sekarang sudah layak dilihat. "Apa yang terjadi?" tanya Lithi