Manusia itu egois. Sebab, egois sendiri adalah sifat dasar manusia, yang menjadikan manusia bisa bertahan hidup di dunia ini. Menjadi egois juga bukan dosa, selama rasa itu diletakkan di tempat yang tepat. Karena, pada hakikatnya, manusia juga butuh untuk bertahan hidup di dunia yang makin kacau ini.
Seperti Langit yang egois untuk tidak melepaskan Biru. Tidak, bahkan Langit tidak bisa mengatakan kalau ia egois. Ia hanya ingin menjadi seseorang yang penting bagi Biru, sosok yang menjadi penolongnya saat Langit nyaris saja salah jalan. Meskipun mungkin, Biru tak akan tahu, dan tidak mungkin tahu. Langit ingin egois dengan terus menggenggam tangan Biru, tanpa ada niat untuk melepaskannya sama sekali. Langit ingin egois dengan memiliki Biru untuk dirinya sendiri, tanpa harus repot-repot berbagi dengan siapa pun. Hanya itu.Seperti hari ini, lagi-lagi Langit sudah bertengger di atas motornya, tepat di depan rumah Biru. Setelah kejadian Biru demam sekitar sebulan yang lalu, Langit kian gencar mendekati idolanya itu. Biru terpaksa menghela napasnya dan mendekati laki-laki yang berjarak sekitar lima tahun darinya itu.“Ada apa lagi?” tanya Biru dengan menaikkan alis. Langit tersenyum, ia mengambil helm yang dikaitkan di belakang tempat duduknya dan diberikan pada Biru.“Hari ini ada acara book signing untuk buku yang baru launching, ‘kan? Aku anterin aja. Katanya ban motornya bocor.” Tangan Langit masih tergantung memberikan helm ke Biru.“Gua ngeri, sumpah. Berasa kaya lagi ketemu sama sasaeng*, tau!” ucap Biru sembari melotot. Karena kasihan, Biru mengambil helm di tangan Langit.*sasaeng: Dalam kebudayaan Korea Selatan, sasaeng atau penggemar sasaeng adalah penggemar yang sangat obsesif dari idola pop Korea, atau tokoh masyarakat lainnya, yang terlibat dalam penguntilan atau perilaku lain yang merupakan pelanggaran privasi.“Ya nggak mungkin aku jadi sasaeng. Masalah jadwal, kan semua fans-mu tahu kalau hari ini kamu mau book signing sekalian launching seri keduamu dari trilogi Banyu Segara-mu. Novel fantasi yang paling ditunggu pembaca. Jadi nggak mungkin, kan, aku yang seorang fans sejati nggak tahu berita ini,” goda Langit di akhir kalimatnya. Biru mengangguk paham.“Terus, masalah motor?” tanya Biru lagi.“Kan kamu bilang ke kakak kalo motormu bocor. Kakak kasih tahu aku buat jemput kamu. Daripada naik ojol, kan mending dianter calon ayang.” Langit tertawa mengakhiri perkataannya. Biru sendiri memilih memutar bola matanya malas. Ia akhirnya mengalah, memakai helm dan naik ke bangku belakang Langit.“Nggak papa sekarang duduk depan-belakang di motor. Di masa depan, kita duduk bersanding di pelaminan,” gombalnya. Biru yang kesal terus digombali akhirnya menggetok helm Langit yang lagi-lagi ditanggapi dengan tawa olehnya.“Kayanya elu bahagia banget, ya? Setiap ketemu gua, nggak pernah gua lihat lu kesel,” celetuk Biru. Menurut gadis itu, Langit seperti orang tanpa beban dan masalah. Jujur itu sedikit membuat Biru iri.“Bahagiaku itu bersamamu. Mau dunia runtuh, pun, selama aku bersamamu, aku bahagia.”Biru diam. Ia tidak lagi menjawab apa pun meskipun bibirnya gatal untuk membantah.***Biru baru selesai memberikan kata sambutannya. Sesi penandatanganan novel miliknya akhirnya dibuka. Fans yang sudah menunggu dengan semangat mengantre sembari memegang bukunya dengan riang. Untuk event kali ini, Biru membatasi sekitar 150 orang untuk ditandatangani bukunya. Rata-rata, penggemar yang mendapatkan kesempatan ini juga membawa buku karya Biru yang lain untuk dimintakan tanda tangannya. Bahkan Langit ikut berjubel di sana, dengan sebuah buku. Padahal laki-laki itu bisa meminta secara pribadi, mengingat kakaknya adalah editor Biru dan mereka juga sering berjumpa.Di pertengahan acara, tiba-tiba kegaduhan terjadi. Salah seorang penggemar mendorong penggemar lainnya sampai-sampai menabrak meja. Entah bagaimana ceritanya, meja yang berisi beberapa barang pribadi Biru seperti ponsel dan tas kecil yang ada di atas meja terjatuh sehingga isinya berhamburan. Biru yang sedikit terkejut belum sempat bereaksi, lalu seorang lelaki yang tadi ikut antri langsung duduk berjongkok membereskannya. Langit yang berdiri agak jauh langsung mendekat dan ikut merapikannya. Seorang fans perempuan lainnya juga ikut mengumpulkan isi tas yang paling banyak hanyalah ATK seperti pena dan ballpen, stabilo, flashdisk, dan beberapa peralatan kecil lainnya.“Nggak papa, Bi?” tanya Langit sembari menyerahkan ponselnya yang juga jatuh. Biru mengangguk karena memang dia tidak kenapa-kenapa. Lelaki yang tadi mengumpulkan barang-barang yang jatuh dan seorang fans perempuan yang ikut membantu berdiri dan menyerahkan tas kecil tersebut.“Terima kasih, ya.” Biru tersenyum.“Sama-sama. Lagian ini salah saya juga tadi karena nggak sengaja nyenggol mejanya. Maafkan saya, ya?” Pemuda itu meminta maaf bersungguh-sungguh. Sementara fans wanita tadi langsung kembali ke antrean. Situasi agak ricuh sejenak sebelum akhirnya kembali kondunsif.“Nggak papa. Kan udah dibantu juga. Ya sudah, sekarang mana bukunya, Kak. Biar sekalian saya tanda tangani.”Lelaki itu membawa tiga buah buku, yang satu adalah buku yang baru rilis ini, sementara dua lagi adalah buku terbitannya beberapa tahun lalu.“Namanya siapa, Kak? Biar sekalian saya tulis di sini.”“Alfa aja. Kalo sama nama panjangnya panjang banget soalnya.”Biru mengangguk tak lagi memperpanjang. Sebenarnya dirinya hampir salah tingkah karena lelaki di depannya benar-benar tipenya sekali. Aura dewasa menguar, seolah menunjukkan bahwa dirinya berkelas dan berwibawa. Bahkan Biru nyaris terhanyut dengan suara rendah yang keluar dari bibir lelaki itu. Sepertinya dia bukanlah perokok, dilihat dari warna merah muda yang terkesan seksi.“Oke, Kak Alfa. Terima kasih suda mengadopsi karya-karya saya. Semoga suka dan tidak menyesal, ya.”“Nggak, kok. Karya kamu bagus-bagus. Kemarin saya lihat yang diangkat layar lebar, film horor yang judulnya, ‘Dering Pukul Tiga'. Jujur saya langsung kesengsem sama cara produsernya bikin dialognya. Lalu, karena based on novel, saya langsung cari novelnya dan ternyata tidak mengecewakan. Makanya buku ini saya bawa untuk minta tanda tangan. Sebagai bukti kalo buku ini adalah saksi saya bertemu dan mengenal anda.” Senyum manisnya tercetak di wajahnya yang tampan membuat Biru juga ikut tersenyum. Akan tetapi, tak tunggu waktu lama, Langit langsung menggeser Alfa yang terlalu lama berdiri.“Bi, jangan lama-lama. Yang antre banyak,” ucap Langit seraya melirik Alfa dengan tatapan tajam.Alfa tersenyum ke Langit. Pemuda itu langsung membuang muka dan tersenyum ke Biru. Tangan Biru dengan cekatan menandatangani semua novel yang disodorkan Alfa, lalu lelaki itu bergeser sehingga antrean yang di belakang bisa maju ke depan. Langit sendiri kembali ke tempatnya semula. Yang antre setiap lima orang, sisanya menunggu di kursi pengunjung. Dan kebetulan memang Langit yang sedang berada di barisan paling belakang.Sesampainya giliran Langit, pemuda itu melayangkan senyumannya ke arah Biru. Sedangkan Biru gantian mendengkus seraya membuang muka.“Biii, jangan ngambek, ah.”Biru melirik sinis. Setelah kejadian sebulan lalu di mana ia dirawat Langit dan Gita, Langit secara tiba-tiba mengatakan kalau dirinya tidak ingin memanggil Biru dengan sebutan ‘kakak'. Alasannya karena dia bukan adik dari Biru. Masuk akal, sih. Tapi Biru sempat mengernyitkan alisnya mendengar alasan itu dan agak sedikit kagok saat Langit memanggilnya ‘Bi' alih-alih ‘Ru'.“Nih udah. Geser! Gantian yang lain!” Biru menyerahkan setumpuk buku yang ditandatanganinya. Langit menerimanya tanpa banyak protes dan kembali duduk ke kursinya.Beberapa waktu telah berlalu. Tanpa terasa acara mereka akhirnya selesai juga. Gita yang juga sudah selesai dengan pekerjaannya menemui Biru dan Langit yang masih ada di lokasi sementara para penggemar sudah bubar.“Gimana? Lancar?” tanya Gita sembari menyerahkan dua buah kopi dengan brand ternama yang membuat secangkirnya paling murah tak jauh dari angka Rp. 80.000.“Ada om-om deketin Biru!” lapor Langit langsung. Biru hanya menyeruput kopinys karena dirinya benar-benar dalam posisi kekurangan asupan kafein.“Wuih, mantep, tuh! Kan emang tipenya Biru yang om-om.”Biru tak ingin menanggapi pada awalnya. Tapi, tatapan penuh rasa keingintahuan dari Gita mau tak mau membuatnya menjelaskan apa yang terjadi.“Mana ada om-om. Emang ganteng, sih, tadi. Auranya berwibawa. Udah daddy-able lah. Cuma kurang hot aja.”“Standar ‘hot' lo itu yang kaya gimana to, Biruu. Perasaan semua juga lo bilang kurang hot.” Gita kesal.“Kaya Toji. Mantep itu.”Mendadak sebuah pulpen di atas meja menabrak dahinya. Gita yang kesal tak lagi menanggapi ucapan Biru. Ia sudah sangat hapal dengan ketidakwarasan kawan baiknya itu yang terlalu berhalu dengan karakter dua dimensi.Langit berjalan mendekati Gita dan membisikkan sesuatu yang membuatnya yang sedang meminun kopinya tersedak.“Toji se-hot apa emang, Kak? Kok sampe Biru segitunya?”Gita tak menjawab. Gadis itu hanya membuka ponselnya lalu mengetikkan sesuatu di mesin pencarian. Tak lama, gambar sebuah karakter animasi dari negara Jepang keluar dan membuat Langit juga ikut tersedak. Biru sendiri hanya tertawa tanpa beban dan membawa barang-barangnya keluar dari ruangan. Ia ingin segera pulang karena sangat lelah.Sebagai anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang tak akur dan setiap hari hanya ada pertengkaran dalam rumah tangga, Langit memiliki keraguan pada setiap hubungan percintaan yang ia miliki. Mama dan papanya yang sama-sama bekerja dan sukses tak membuat hubungan keduanya baik, justru malah semakin memanas. Papa yang seringkali dinas keluar dan menginap sampai beberapa malam membuat mamanya sering merasa kesepian karena hanya malam lah waktunya pulang ke rumah. Karenanya, mamanya juga berakhir ikut-ikutan jarang pulang ke rumah, menyisakan Gita dan Langit yang saling menghibur satu sama lain. Itu adalah awal mula drama berkepanjangan yang ada di keluarganya dan anehnya keduanya sama-sama tidak ingin melepaskan ikatan yang membelenggu mereka ini. Entah apa alasannya, mereka berusaha mempertahankan ikatan pernikahan padahal tidak ada lagi cinta di dalamnya.Masa remaja Langit hanya berisi pelarian. Beruntung ada Gita yang terus berusaha menuntun Langit untuk tidak keluar dari jalur, s
“Biii, besok keluar, yuk!” ajak Langit dari seberang telepon. Biru yang masih menyicil pekerjaannya mengapit ponselnya dengan bahu. Kedua kakinya ia naikkan ke atas kursi dengan salah satu kaki menekuk ke arah depan, satunya bertekuk seperti sedang bersila“Besok kapan?” tanya Biru. Tangan kanannya meraih potongan brownies yang ada di atas piringnya di sebelah laptop. Mulutnya mengunyah brownies cokelat yang lembut nan lumer itu. Lidahnya seolah dimanjakan dengan kenikmatan yang menyebar di seluruh mulutnya.“Malem Minggu. Gua pengen jalan-jalan sama lo. Dah lama juga nggak jalan-jalan di kota kelahiran.”Biru berpikir sejenak. Ia kemudian membuka whatsapp di laptopnya dan membuka salah satu chat yang ada.“Sayangnya malem Minggu gua udah ada janji keluar.” Langit terdiam sebentar seolah ia sedang berpikir. “Sama Kak Gita?” tanyanya.Biru menggeleng. Tapi ia sadar kalau Langit tak akan tahu gelengannya itu akhirnya menjawab, “Nggak. Sama Alfa.”“Alfa siapa?”“Masa lupa. Pas a
Kedekatan Biru dan Alfa semakin berlanjut. Hampir setiap hari mereka berdua saling mengirim pesan, baik chat maupun telepon. Seperti hari ini. Alfa tiba-tiba mengajaknya mencari makan malam. Pilihan mereka akhirnya jatuh pada sebuah rumah makan yang buka belum lama. Mereka berniat saling berbincang sembari menikmati makan malam mereka.“Gimana sama novel kamu sekarang?” tanya Alfa dengan nada yang cukup manis masuk telinga.“Alhamdulillah lancar. Soalnya beberapa juga udah tinggal antre nerbitnya selain yang memang udah dikontrakkan seriesnya.”Alfa mengangguk. Ia menyeruput lemon tea yang ada di depannya. Suasana rumah makan ini cukup ramai meskipun tidak yang sampai penuh sesak. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar di penjuru rumah makan, pun dengan meja keduanya.“Genre kesukaanmu apa emang?” Alfa meletakkan kembali lemon teanya di atas meja.“Aku paling suka fantasi, thriller, tragedy, hmm, apa lagi, ya? Ah, horor juga suka. Kamu paling suka baca apa?” tanya
Langit berjalan dengan cepat masuk ke dalam rumah setelah turun dari motor dengan buru-buru, melepas sandalnya sambil berlari. Bahkan helm yang masih di kepala ia lepas sambil berlari dan diletakkannya begitu saja di atas rak sepatu. Ia langsung masuk dan mendapati kakaknya sedang berdiri di sudut ruangan dan Biru yang sedang duduk dengan raut wajah yang pahit. Tangan biru sibuk pada ponselnya, sementara Gita yang berdiri sedang berbicara dengan seseorang di seberang ponselnya. “Bii, are you oke?” tanya Langit yang sebenarnya jawabannya dengan jelas ia ketahui. Biru tidak baik-baik saja. Benar-benar tidak baik-baik saja. Langit langsung duduk di sebelah Biru tanpa menunggu jawaban Biru karena ia tahu pertanyaannya tak perlu dijawab. Ia juga mengeluarkan ponselnya, menghubungi sosok yang mungkin bisa ia mintai tolong. Gita yang sudah selesai dengan urusannya langsung kembali mendekati Biru dan duduk di sebelah gadis itu. Kini Biru sedang diapit oleh dua orang kakak beradik. “Biru, bo
“Gua tahu di sini gua yang salah. Tapi gua nggak mau minta maaf. Karena percuma, toh lo nggak bakal maafin gua.” Rahang Biru mengeras. Tangannya menggenggam tangan Gita dan Langit di bawah meja dengan sangat keras. Mereka berdua tidak berbicara apa-apa, begitu pun Biru. Keduanya masih terlalu speechless dengan ungkapan Alfa dan khawatir kalau mereka bertiga membuka suara saat ini, belum sempat lelaki itu menjelaskan semuanya sudah habis karena dihajar mereka bertiga akibat emosi yang lepas kendali. Melihat tidak ada tanggapan dari mereka bertiga, Alfa akhirnya melanjutkan ucapannya. “Kenalin, ini Pak Hilmi, pengacara pribadi gua. Niat kami datang ke sini buat kasih kompensasi atas karyanya Biru yang sekarang udah beralih nama. Gua masih punya perasaan, jadi gua masih mau bayar lo buat ide sama tulisan lo. Jadi seenggaknya lo nggak rugi banget.” “Wah, manusiawi sekali. Kalo emang lo masih ngerasa lo manusia, lo nggak bakal mungkin nyuri karyanya Biru! Sialan emang. Siapa, sih, di be
Seorang laki-laki paruh baya memegang gesper dengan wajah yang merah padam. Aroma alkohol menguar dari mulutnya, dengan mata yang memerah dan omongan yang meracau. Beberapa kali tangannya menyabetkan gesper itu ke tubuh seorang perempuan yang sudah lemah. Ia tak mampu lagi menangis. Di sudut ruangan, seorang anak perempuan dengan tangan dan tubuh penuh lebam yang bajunya baru saja dibuka karena habis mengobati luka di punggung tengah menggenggam tangannya kuat-kuat. Air matanya mengalir menetes dari sudut mata yang sebenarnya diusahakan untuk tidak keluar. Suara isakan kecil terdengar sebagai upayanya menahan tangis.“Wanita jalang! Di mana kau sembunyikan uangmu, ha? Kalo suamimu ini minta uang, kamu kasih! Bukannya malah disembunyiin, lalu berbohong! Sudah berani sekarang bohong, ya?”Lagi. Lelaki itu menyabet ke istrinya yang entah sudah berapa kali ia mendaratkan sabuk kulit itu ke kulit sang istri dengan ayunan yang kuat. Dapat dipastikan kalau di punggungnya akan tersisa lukan
“Kalo gua boleh tahu, lo takut badai malem-malem karena mimpi lo ini?”Biru menggeleng. “Sayangnya bukan. Itu cuma alasan gua nggak bisa nangis aja.”Gita terdiam. Ia tidak ingin bertanya lebih jauh kecuali Biru sendiri yang menjawabnya. Biru menerawang ke depan dengan pandangan yang kosong. Ia kembali menyesap teh chamomile di gelas, lalu menarik napasnya panjang. Biru sedikit bangun dari kasur untuk meletakkan gelasnya di atas meja. Kemudian, ia duduk bersila, menghadap Gita lekat.“Langit ajak ke sini sekalian aja.” Gita mengangguk. Ia memanggil Langit dengan sedikit mengeraskan suaranya. “Langit, sini dulu!”Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Langit masuk dengan mata sayunya. Sepertinya ia tadi tertidur di sofa depan yang tak jauh dari kamar Biru. Rumah Biru memiliki satu lantai dengan dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Jelas kamar mandi luar kamar. Sebuah ruang tamu yang sekalian bergabung dengan ruang keluarga. Sebuah rumah yang cocok untuk orang yang t
Sedih itu cuma untuk sebentar. Bagi Biru, tangisan cukup habiskan di satu malam, lalu besoknya seperti tidak terjadi apa-apa. Pada pagi harinya, Biru langsung kembali seperti semula dan itu menghilangkan rasa khawatir Gita. Gadis itu juga dengan santai menghitung uangnya, membagi-baginya dalam beberapa bagian, lalu kembali menyatukannya tanpa rasa takut akan dicuri atau ditilep orang. Biru memasukkan uangnya dalam brankas yang memang ia punya di lemarinya setelah sebelumnya menyisihkan beberapa lembar untuk ia gunakan.“Langit, Gita!” panggil Biru dari kamar. Gita dan Langit yang masih memakan nasi uduknya langsung masuk ke dalam kamar Biru. Tak perlu khawatir telurnya akan dibawa kucing karena dari awal pintu rumahnya sudah Gita tutup lagi setelah membeli nasi uduk di penjual yang tak jauh dari rumah Biru. Nasi uduk langganan mereka untuk dimakan sarapan. Milik Biru juga masih terbungkus rapi di meja makan karena memang gadis itu sejak tadi sibuk di kamar. Setelah acara tangis-tangi