Wulan yang masih berjongkok di atas tanah, perlahan menaikkan pandangannya. Dari sendal selop pink, ke daster warna senada dengan si sandal, kemudian akhirnya sampai di wajah bu Selly.
Wanita berumur sekitar empat puluhan itu berkacak pinggang, dengan mimik wajah begitu terlihat tak ramah di mata Wulan. Sudah tentu akan begitu. Orang mana yang tak akan kesal, jika yang ditagih kewajibannya malah berniat ingin kabur.
"Bangun, Wulan," imbuh bu Selly lagi, menyuruh Wulan agar berdiri.
Meringis kuda, gadis itu pun menuruti apa yang bu Selly katakan.
"Heee, iya, Bu," cicit Wulan sudah dalam mode pasrah, setelah kepergok langsung oleh bu Selly hendak melarikan diri dari wanita berdaster itu.
Bu Selly menggeleng pelan atas kelakuan Wulan. Ini bukan kali pertama Wulan melakukan hal seperti itu. Setiap telat bayar uang kos, Wulan memang tiba-tiba jadi seperti ninja. Main lompat-lompatan, panjat pagar, kabur-kaburan, hanya demi menghindari omelan bu Selly.
"Mau kabur lagi, kamu?" desak bu Selly, sudah dengan dua lengan yang ia lipat ke depan dada. Mata belo itu sudah menyipit sinis menatap Wulan.
"Maaf, Bu. Tapi saya bener-bener lagi enggak ada uang hari ini. Saya juga baru keluar dari pekerjaan. Boleh, ya, kalau tunggakan bulan kemarin jangan ditagih dulu," pinta Wulan pasang ekspresi memelas.
Tapi itu benar-benar hal yang tidak akan bisa membujuk bu Selly.
"Enggak ada, Wulan. Pokoknya kalau sampai malam nanti kamu belum melunasi tunggakan kamu, mendingan kamu pergi aja dari sini. Cari tempat kos lain!" ketus bu Selly terdengar begitu serius dengan ancamannya.
"Hah, tapi, Bu." Wulan coba meminta kesempatan berbicara lagi, tapi ucapannya sudah segera dipotong oleh bu Selly.
"Enggak ada tapi-tapian. Ibu tunggu sampai nanti malam. Kalau kamu enggak bisa bayar, langsung aja kamu kemasi pakaian kamu. Ngerti?" Bu Selly mendelikkan matanya pada Wulan.
Rampung memberikan ultimatum untuk Wulan, bu Selly pun pergi. Meninggalkan Wulan dalam kebingungan yang semakin menjadi. Ke mana Wulan harus mencari uang dalam waktu semalam, agar bisa membayar tunggakan uang kos? Lagipula, kenapa bu Selly jadi sesadis itu hari ini.
Walaupun memang benar bu Selly selalu sadis setiap menagih uang kos dari para penyewa, tapi baru kali ini dia langsung mengancam akan mengusir Wulan jika sampai tidak segera melunasi tunggakannya. Ini keterlaluan.
Sekali lagi rencana Hendar juga berjalan lancar. Ya, termasuk dengan ancaman bu Selly, itu juga ulah Hendar. Setelah berhasil mengumpulkan informasi tentang seperti apa kehidupan seorang Wulandari, Hendar segera melancarkan aksinya menyuap bu Selly untuk menekan Wulan. Dengan begitu, Hendar yakin Wulan tidak punya pilihan lagi selain datang pada Rion.
"Terima kasih untuk kerja samanya, Bu," ucap Hendar, meletakkan amplop cokelat berisi uang ke atas meja. Supir Rion itu kini sudah duduk bersama bu Selly di ruang tamu, rumah dari pemilik tempat kos yang ditinggali oleh Wulan.
Tampak sumringah wajah bu Selly, ketika mendapatkan amplop uang itu dari Hendar. Uang memang selalu bisa membeli semua yang Rion inginkan.
"Ah, iya, Pak. Sama-sama. Tapi tolong, kalau bisa jangan sakiti Wulan. Kasihan, dia hidupnya susah," cicit bu Selly yang baru saja meraih amplop dari atas meja.
Senyuman terbit di kedua sudut bibir Hendar, "Menyakiti? Justru kami akan membuat hidup Wulan jadi lebih baik dari sekarang. Tapi ngomong-ngomong, apa Wulan punya saudara atau keluarga di sini?" timpalnya, sekaligus mengorek lebih dalam lagi informasi tentang Wulan. Sebagai orang yang cukup mengenal Wulan, Hendar yakin jika bu Selly pasti mengetahui kehidupan pribadi Wulan.
"Setau saya sih enggak ada, Pak. Wulan sebatang kara di kota ini. Kalau enggak salah ingat, Wulan pernah cerita bahwa ayah dan bibinya tinggal di desa," tutur bu Selly menceritakan apa yang dia tau dari diri seorang Wulan.
Baguslah. Hendar pun menganggukkan kepala, cukup puas dengan jawaban bu Selly. Jika sudah begini, tujuan Hendar selanjutnya adalah ayah dan bibi Wulan yang berada jauh di kampung halaman Wulan. Ini semakin mudah saja.
***
Lantang-lantung Wulan di pinggir jalan, dengan tas ransel yang dibawanya. Mau datang pada siapa juga, nyatanya Wulan hanya memiliki Owen sebagai sahabatnya. Dan sampai saat ini, laki-laki itu belum menghubungi Wulan lagi.
Tin.
Suara klakson mobil yang berhenti tepat di samping Wulan, membuat gadis itu menghentikan langkah. Kepalanya menoleh ke arah sebuah mobil jeep hitam yang baru saja membunyikan klakson untuknya. Tampak alis Wulan berkerut, penasaran dengan siapa pemilik mobil tersebut.
"Hallo, Mbak Wulan, kita ketemu lagi."
Sapaan itu datang dari Hendar, yang baru saja turun dari mobil jeep itu. Senyumnya ramah, seiring dirinya yang berjalan mendekat ke tempat Wulan berdiri di trotoar jalan.
"Loh, ini … supirnya Pak Rion, 'kan?" sahut Wulan mengacungkan jari telunjuknnya ke arah Hendar. Hanya sebentar, karena segera diturunkan oleh Hendar sendiri.
"Iya, benar. Mbak Wulan ngapain di sini? Beneran udah enggak kerja di hotel lagi?" Basa-basi Hendar saja. Padahal sebenarnya, dialah dalang di balik lantang-lantungnya Wulan saat ini.
Wulan menggeleng, "Enggak, Pak," lirih Wulan menjawab.
Kruyuk… Kruyuk…
Benar-benar membuat malu. Di saat begini, kenapa malah perut Wulan berbunyi. Saking laparnya, sampai suara perut kosong itu terdengar oleh Hendar.
Meringis, Wulan memeluk sendiri perutnya dengan dua tangan. Sedangkan Hendar mengulum senyumnya. Lucu, jika melihat ekspresi Wulan saat ini. Hendar pun tau, jika saat itu Wulan dalam keadaan lapar. Itulah sebabnya, diam-diam Hendar membuntuti Wulan, begitu ia melihat gadis itu keluar dari rumah kos ibu Selly.
Selain karena tak tega jika Wulan kelaparan, Hendar juga harus memastikan tidak ada satu pun orang yang akan membantu Wulan keluar dari kesulitannya saat ini. Sesuai perintah dari Rion--bossnya.
"Masuklah ke mobil, Mbak. Saya juga belum makan," ajak Hendar semakin ramah.
Kata-kata masuk ke mobil, mendadak saja jadi mengingatkan Wulan atas kejadian di hotel hari itu. Ketika Rion memaksa dirinya untuk ikut pergi ke apartemen. Apa mungkin akan terjadi lagi?
Mendapati wajah Wulan tampak panik, Hendar terkekeh, "Hehehe, tenang saja, Mbak. Tidak ada Mas Rion di dalam mobil itu. Dia saat ini sudah sibuk dengan pekerjaannya di kantor," sambung Hendar mengusir pikiran-pikiran negatif Wulan.
Fiyuhhh….
Langsung saja, Wulan mengembuskan napas lega.
"Ayo, Mbak … saya lagi free, kita cari tempat makan di dekat-dekat sini aja." Sekali lagi Hendar mengajak Wulan.
Sebab terdesak keadaan perut, akhirnya Wulan pun menerima ajakan Hendar. Soal perut harus di-nomer satukan, soal yang lain bisa dipikirkan nanti. Begitu pikiran dangkal Wulan sekarang. Dia bahkan lupa jika malam ini juga dia harus menyediakan uang tunggakan sewa kos untuk bu Selly. Jika tidak, say bye-bye dengan kasur empuk, dan bersiap menjadi penghuni kolong jembatan.
***
Di ruang kerjanya, Rion tak bisa menahan senyum, tatkala menerima laporan Hendar berupa pesan singkat yang dikirimkan padanya.
Hendar
[Semuanya berjalan sesuai rencana, Mas. Dan sekarang saya sedang makan siang bersama Wulan]Tak.
Ponsel itu kini sudah Rion letakkan ke atas meja. Selangkah lagi untuk bisa berhasil menjerat Wulan. Dan masalahnya akan segera beres.
Kembali pada Hendar dan Wulan yang sedang makan di sebuah restauran makanan cepat saji, dengan cepatnya Hendar sudah bisa merebut hati Wulan. Tak sungkan, gadis itu juga menceritakan tentang desakan bu Selly tadi padanya.
"Mas Rion bisa membantu membereskan masalah kamu. Datang saja padanya," timpal Hendar, setelah Wulan selesai berkeluh-kesah.
"Kamu diam, saya anggap kamu setuju untuk tidak berkomunikasi lagi sama Owen. Satu hal yang harus kamu ingat, Wulan. Setelah kita menikah nanti, maka terputus sudah hubungan pertemanan kamu dengan lelaki mana pun. Termasuk Owen," tegas Rion. Suara beratnya mengisyaratkan sebuah keseriusan untuk kalimat yang baru saja ia ucapkan. Sekaligus menjadi peringatan tegas bagi pihak Wulan."Apa harus seperti itu, Pak?" cicit Wulan mengerutkan keningnya, "Owen itu satu-satunya teman yang saya punya," imbuhnya mencoba memberikan penjelasan pada Rion, tentang seperti apa hubungannya dengan Owen."Kamu tidak butuh Owen ataupun orang lain lagi, selama kamu memiliki saya." Sekelumit jawaban dari Rion yang terdengar begitu sombong di telinga Wulan.Tak menjawab lagi, Wulan hanya memilih untuk menjauh dari Rion. Percuma berdebat, karena hasilnya akan tetap sama--Wulan tak akan pernah unggul dari Rion.Setelah sedikit drama perdebatan yang nyaris membuat Rion marah,
Tak nyaman melihat ponselnya ada di tangan Rion, Wulan segera menghampiri laki-laki itu.Grep.Serupa kecepatan cahaya, Wulan merenggut ponselnya dari tangan Rion. Mata pun terlihat sengit menatap laki-laki di depannya. Kontras dengan Rion, yang nampak santai saja meski sudah kepergok melihat isi ponsel Wulan tanpa izin."Ini privasi saya loh, Pak. Kok Bapak gitu sih, main buka-buka HP orang tanpa izin?" ketus Wulan sembari mengecek apa saja bagian ponsel yang sudah Rion bajak.Rion mencebirkan bibir, "Hm, kamu sama Owen itu sebenarnya berteman apa pacaran? Sepeduli itu Owen sama kamu. Well … di dunia ini, enggak ada yang namanya sebatas teman antara laki-laki dan perempuan. Pasti, akan dan selalu ada salah satunya yang memiliki perasaan lebih dari teman," sahut Rion, langsung saja mengatakan isi pikirannya saat itu."Itu bukan urusan Bapak!" sungut Wulan menimpali pertany
Wulan berdecak, "Ck! Bukan gitu, Pak. Tapi saya juga ada urusan lain. Kenapa malah dibawa ke apartemen Bapak lagi, sih? Kan baru setelah Bapak selesai kerja, kita akan pergi ke rumah Ayah saya," tutur Wulan. Sebenarnya dia ingin sekali lepas dari Rion hari ini, karena harus menemui Owen. Sejak pagi tadi, Owen terus memberondong ponsel Wulan dengan pesan-pesan singkatnya."Kayaknya kamu memang ingin sekali lepas dari pengawasan saya, ya?" tanya Rion, menatap Wulan curiga, "mau ke mana? Kalau mau pergi, nanti biar diantar sama Hendar, setelah dia antar saya ke kantor," lanjutnya.Di kursi kemudi, Hendar tampak tersenyum. Entah apa juga yang membuat laki-laki itu merasa lucu mendengarkan obrolan Rion dan Wulan.Terang saja Wulan pun gusar atas jawaban Rion. Belum sah menikah saja, Rion sudah menunjukkan sikapnya yang suka mengatur. Sebenarnya lebih ke mengekang."Ih, apaan sih, Pak? Saya itu belum jadi
Grep.Rion memegangi kedua pergelangan tangan Wulan, menurunkannya perlahan."Rileks, Wulan," bisik Rion lagi, "kalau kamu terus bersikap kaku seperti ini, itu hanya membuat saya semakin tertantang. Atau, memang kamu memang berniat menantang saya?" imbuhnya mencetak senyum devil di wajah.Wush!Bereaksi cepat, Wulan menepiskan pegangan tangan Rion dari lengannya, lalu mendorong cukup kencang dada laki-laki itu. Kontan, Rion mundur beberapa jengkal dari posisinya, membuat jarak di antara mereka pun tercipta. Wulan merasa aman. Sesaat tadi, ia hampir saja menendang bagian bawah Rion--kalau saja ia tidak ingat sedang membutuhkan laki-laki itu."Bapak ini, ya, benar-benar udah enggak bisa diselametin lagi," sungut Wulan. Hanya bisa berprotes lewat kata-kata, saat Wulan tak bisa memberikan aksi atas ucapan Rion tadi."Apanya?" Rion menyahut, sembari bersidekap di depan dada."Pikiran Bapak!" Jawaban ketus dari Wulan, sebelum ia beralih pos
Berpikir sejenak, Wulan coba menelaah dengan baik maksud dari pernyataan Rion tentang pernikahan mereka. Sebab, bagi Wulan sendiri, pernikahan yang akan ia lakukan dengan Rion tidak ada bedanya dengan kawin kontrak yang belakangan marak terjadi. Tapi, hal itu sepertinya berlawanan dengan statement Rion."Kalau pernikahan ini benar-benar sebuah pernikahan, apa itu artinya aku juga harus hamil dan ngasih Bapak anak?" cicit Wulan. Pertanyaan itu terdengar begitu polos, dan membuat Rion digelitik oleh rasa gemas."Iya, Bi … aku udah bilang dari tadi, 'kan?" Rion mengusap lagi sisi kepala Wulan, "Opa bilang, dia ingin sekali gendong anak kita. Ya, walaupun sebenarnya aku juga belum kepikiran untuk jadi seorang Ayah, sih. Tapi … mau gimana lagi? Keadaan kadang tidak sejalan sama pikiran kita, Wulan. Pernikahan ini aku lakukan untuk keluarga. Jadi, ya … kamu emang harus melahirkan seorang penerus untuk keluarga ini," paparnya p
Sementara itu, Rion telah sampai di dalam kamarnya. Di sana, ada Wulan yang sedang duduk di tepian tempat tidur--berkutat dengan ponsel.Brugh.Rion duduk menjejeri Wulan, sampai gadis itu pun menoleh kepadanya."Selamat Wulan, kamu berhasil merebut hati orang tua saya. Mereka sangat menyukai kamu," ujar Rion dengan seulas senyum.Mendengar itu, ada sedikit kelegaan yang Wulan rasakan. Sebenernya ia juga merasa diperlakukan dengan sangat baik oleh Nastiti, Kresna, dan Tyo. Meski semua anggota keluarga memang terlihat menerima Wulan, tapi ketiga orang itulah yang paling tampak jelas menyukai dirinya. Terutama Nastiti."Syukurlah, Pak. Saya lega," sahut Wulan ringkas.Grep.Rion meraih satu tangan Wulan, "Mulai sekarang, berhenti memanggil saya Bapak. Sekalipun kita sedang berdua seperti ini, biasakan memanggil saya dengan sebutan sayang. A