Tak ada yang istimewa dari hidup seorang Wulan, selain paras cantik dan otak cerdas. Hidup tanpa figur seorang Ibu, Wulan diperlakukan tidak baik oleh sang Bibi yang menumpang di rumahnya. Terdesak kebutuhan hidup, ketika sang Ayah jatuh sakit, Wulan terpaksa pergi ke kota untuk mengadu nasib. Dan di sanalah segalanya bermula. Semua berawal dari bertemunya Wulan dengan seorang pewaris hotel berbintang, bernama Askarion. Seorang cassanova impian para kaum hawa. Tak sengaja menjadi saksi mata kebejadan seorang Rion, membuat Wulan terjerat pada laki-laki itu. Tak akan mudah melepaskan diri dari Rion, sebab Rion telah melingkarkan tali emasnya di leher Wulan. "Aku tau hidupmu susah. Cukup jadi menantu untuk orang tuaku, maka semua yang kamu inginkan akan aku kabulkan." __Askarion__ Akan tetapi, itulah titik awal kacaunya hidup Wulan. Setelah menikah dengan Rion, Wulan harus tahan banting dengan kehidupan yang berputar di istana Mahendra. Persaingan para kakak ipar, intrik para anggota keluarga untuk mendapatkan tahta. Semua terus menekan Wulan, agar ikut terlibat di dalamnya. Belum lagi kelakuan Rion yang tak pernah berubah, bermain dengan para barbie mainannya. Bagaimana Wulan harus mengatasi cinta yang tumbuh di tengah kemelut yang terjadi? Ketika hadir orang-orang dari masa lalu, akankah mampu membuat Rion sadar akan cintanya pada Wulan? Sebab cinta yang berawal dari uang dan materi, kini berubah menjadi sebuah obsesi yang menuntut sebuah pencapaian.
View MoreRuangan dengan nuansa warna putih dan abu yang mendominasi, terlihat luas dengan segala properti-nya yang senada dengan warna cat dinding.
Di meja kebesaran dengan papan nama Direktur Askarion.K.M, sudah duduk seorang laki-laki yang tak lain ialah dia si pemilik nama tersebut.
Duduk bersandar pada kursi yang ia duduki, tatapan Direktur muda itu tampak lurus mengarah pada sosok gadis yang sejak beberapa menit lalu sudah berdiri di depan mejanya.
"Tidak menyangka akan semudah ini saya menemukan kamu. Wulandari Naafa Pauline. Bener itu nama kamu, 'kan?" celetuk Rion, tersenyum penuh arti pada sosok di depannya.
Sungguh kelu lidah Wulan, nyaris tak bisa mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab perkataan dari pimpinan hotel tempatnya bekerja. Ia tak menduga sama sekali, bahwa ternyata dirinya sudah bekerja di hotel milik seorang laki-laki yang sangat ia hindari selama ini.
Sia-sia saja Wulan berhenti bekerja di hotel sebelumnya. Ini malah seperti Wulan keluar dari kandang macan, lalu masuk ke kandang buaya. Apes. Begitu singkatnya.
Wulan menundukkan wajah, meremas kedua tangannya sendiri yang saling bertaut. Gugup yang Wulan rasakan, ketika ia sadar tak akan bisa lari lagi dari lelaki di depannya. Ini jalan buntu.
"Maafkan saya, Pak. Tapi saya bener-bener enggak sengaja," cicit Wulan lirih. Ia menyesal sekali, karena harus menjadi saksi mata dari ketidak-beradaban seorang Rion di sebuah kamar hotel.
Adegan-adegan erotis Rion bersama seorang wanita pada malam itu, masih benar-benar segar dalam ingatan Wulan. Mana mungkin dia akan lupa, setiap suara merdu yang keluar dari wanita di bawah kuasa Rion.
Rion tampak santai saja menanggapi jawaban Wulan. Karena baginya, apa yang sudah Wulan lihat merupakan hal biasa baginya. Detik selanjutnya, Rion lalu berdiri menuntun dirinya mendekat pada Wulan.
"Enggak masalah. Namanya juga enggak sengaja. Saya enggak akan marah atau memecat kamu kok. Hanya saja, harus ada timbal balik untuk kemurahan hati saya ke kamu, 'kan?" ujar Rion seraya meraih kedua lengan Wulan agar menghadap padanya.
Wulan terhenyak. Matanya melebar, ketika merasakan dua telapak tangan itu memegangi masing-masing pangkal lengannya.
Rion tersenyum datar, kemudian berbisik pelan di dekat telinga Wulan.
"Saya tau hidup kamu susah. Dan saya ada penawaran. Anggaplah ini kompensasi dari saya untuk kamu. Saya janji enggak akan menuntut apapun atas kelancangan kamu malam itu. Tapi ada satu syarat." Karena bisikan itu, Wulan sampai merinding dibuatnya.
"Maksud Bapak, apa?" lirih Wulan mengangkat kepalanya yang sedari tadi terus tertunduk.
Kembali Rion menyunggingkan senyuman, "Menikah dengan saya," desisnya tepat di depan wajah Wulan.
Makin membola kedua mata Wulan, tatkala kalimat itu terlontar dari mulut Rion.
Menikah? Laki-laki itu memang tidak waras.
Wushhhh!
Wulan menurunkan paksa kedua tangan Rion yang masih menempel di lengannya. Tatapan segan dari Wulan pada Rion, kini berubah menjadi tatapan kesal. Tak terima dengan cara Rion merendahkan harga dirinya.
"Bapak pikir saya seperti wanita di kamar hotel itu?" Wulan mendengus jengkel, "Maaf, Pak. Tapi akan lebih baik bagi saya dipecat, daripada saya harus menjadi Istri dari laki-laki playboy seperti Bapak. Saya permisi," pungkas Wulan segera membawa dirinya pergi dari ruang kerja Rion.
Di tempatnya berdiri, Rion hanya tersenyum lugas seraya bersedekap, menyaksikan gadis berseragam cleaning service itu melenggang pergi darinya.
****
Setelah berganti pakaian, cepat-cepat Wulan keluar dari Moonlight hotel tempatnya bekerja. Tak ingin lagi dia berlama-lama di sana. Apalagi setelah ia mendapatkan ultimatum berupa tawaran menjijikkan dari Askarion, pemilik sekaligus pimpinan Moonlight hotel. Semakin ilfeel saja Wulan pada laki-laki itu.
"Orang gila. Dia pikir gue cewek murahan atau gimana sih? Dasar playboy sialan. Mentang-mentang tajir, mau seenaknya dia sama gue," gerutu Wulan sambil terus berjalan melewati lobby.
Baru saja dia membuka pintu lobby, terlihat seorang lelaki berseragam supir menghampiri dirinya. Wulan pun menghentikan langkah.
"Mbak Wulan?" sapa supir paruh baya itu dengan suara pelan.
Wulan pun tersenyum ramah, "Iya," sahutnya.
"Silahkan naik ke mobil, Pak Rion sudah menunggu. Ada yang ingin beliau bicarakan dengan Mbak Wulan," tutur supir itu lagi menunjuk mobil sedan yang terparkir tepat di depan lobby.
Tercenganglah Wulan. Laki-laki itu rupanya belum menyerah juga. Dia bahkan sampai nekad menghadang dirinya seperti ini. Sudah jelas, Wulan tak akan mau merundingkan apapun lagi dengan Rion.
"Enggak, Pak. Maaf. Saya udah harus pulang soalnya. Bilang aja sama Pak Rion kalau saya enggak tertarik sama tawaran yang dia kasih ke saya," tolak Wulan terus terang.
Namun, supir itu malah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pelan dua kali.
Wung!
Seketika tubuh Wulan terangkat, setelah tiba-tiba datang dua orang laki-laki yang mengangkat masing-masing lengannya. Dua laki-laki yang datang dari arah belakang itu sama sekali tidak disadari oleh Wulan. Sepertinya hal tersebut benar-benar sudah direncanakan oleh Rion dan si supir.
"Eh, apa-apaan nih? Lepasin gue!" pekik Wulan menoleh ke kanan dan kiri, di mana dua laki-laki itu sudah mulai berjalan membawa dirinya ke arah mobil Rion.
Wulan coba berontak, ingin melepaskan diri dari kedua orang itu. Tapi percumah saja, sebab tenaga kecilnya benar-benar tidak berpengaruh untuk dua tubuh kekar yang mengangkat tubuhnya.
Brugh!
Wulan-pun dimasukkan paksa ke dalam mobil oleh kedua laki-laki asing itu, yang kemungkinan besar adalah orang suruhan Rion.
"Kamu ya, saya coba ngomong baik-baik, malah minta main kasar. Kamu suka sistem paksa-paksa kayakgini?" cetus Rion yang duduk di sebelah Wulan. Sungguh gemas sekali dia pada Wulan yang sulit diajak bicara.
Wulan memicingkan tatapannya pada Rion. Satu malam sial harus berbuntut panjang seperti ini. Bagi Wulan, berurusan dengan Rion adalah hal yang sangat menjengkelkan.
"Mau lo apa sih? Gue udah bilang ya, gue enggak mau nikah sama lo. Kenapa masih ganggu gue?" protes Wulan meradang. Dia bahkan sudah tidak peduli lagi statusnya dan Rion adalah atasan dan bawahan. Hilang sopan dan segan gadis itu pada si Direktur muda, sebab dirinya yang sudah terlanjur kesal.
Supir yang baru saja kembali duduk ke kursi kemudi tersenyum geli melihat tingkah Wulan. Tak berbeda jauh dari Rion. Laki-laki itu juga terkekeh melihat bagaimana cara bicara Wulan yang terdengar seperti auman anak macan. Menggemaskan.
"Ayo, Ndar. Kita ke apartemen," ucap Rion memberikan instruksi kepada supirnya.
Hendar-pun mengangguk, "Baik, Mas Rion," jawabnya diikuti menyalakan mesin mobil, dan langsung melesat meninggalkan hotel menuju apartemen yang dimaksud oleh sang Boss.
Mendelik jengkel, Wulan kembali melayangkan protes pada Rion.
"Lo udah sinting, ya! Turunin gue! Gue enggak mau ikut sama lo. Gue masih di bawah umur, dasar om-om sialan!" Wulan mendaratkan pukulan-pukulan kecil dari kedua kepalan tangannya pada lengan Rion. Semakin geli saja Rion menyaksikan polah Wulan. Gadis itu terlihat semakin menggemaskan saat sedang marah.
Dari kaca dalam mobil, Hendar si supir ikut tersenyum melihat kemarahan Wulan yang justru malah seperti sebuah hiburan lucu bagi Rion.
"Kamu ini, saya ini belum om-om loh. Kamu tenang aja, saya enggak pernah meniduri cewek bodoh kayak kamu kok. Saya cuma mau ngomong baik-baik, enggak usah berpikiran buruk dulu," bela Rion menahan kedua lengan Wulan yang hendak memukulinya lagi.
Wulan terus berontak, semakin berang karena Rion tetap tak mau melepaskannya.
"Kalau kamu enggak mau diem, akan saya langgar prinsip saya untuk enggak tidur sama cewek di bawah umur. Kamu mau kayakgitu?"
Glek!
Diteguknya ludah dengan kasar oleh Wulan. Horor sekali makna kalimat Rion ini. Dia ini pedofil atau bagaimana? Membuat bulu-bulu roma Wulan merinding disco saja.
Maka, diamlah Wulan sekarang. Daripada nanti malah membuat Rion melakukan hal yang tidak-tidak, ya sudahlah … Wulan akan mengalah dulu. Mencari aman saja tepatnya.
****
"Ayo duduk. Kamu enggak pegel berdiri terus kayakgitu?"
Wulan yang masih berdiri tertegun mengagumi kemewahan apartemen milik Rion, seketika tersadar. Ia menoleh ke arah di mana Rion sudah duduk di sofa bersilang kaki.
"Ya udah, terserah kamu aja kalau enggak mau duduk. Saya cuma mau bernegosiasi sama kamu," imbuh Rion lagi menyimpulkan sebuah senyuman pada Wulan.
Tetap diam di posisinya, Wulan benar-benar tak ingin membahas apapun dengan Rion.
"Saya tau, kuliah kamu tersendat karena masalah biaya, 'kan? Saya juga tau, kalau Ayah kamu sedang sakit keras. Tinggal katakan saja berapa yang kamu mau, akan saya penuhi semuanya. Asal kamu mau menikah dengan saya. Bagaimana, Wulan?"
"Kamu diam, saya anggap kamu setuju untuk tidak berkomunikasi lagi sama Owen. Satu hal yang harus kamu ingat, Wulan. Setelah kita menikah nanti, maka terputus sudah hubungan pertemanan kamu dengan lelaki mana pun. Termasuk Owen," tegas Rion. Suara beratnya mengisyaratkan sebuah keseriusan untuk kalimat yang baru saja ia ucapkan. Sekaligus menjadi peringatan tegas bagi pihak Wulan."Apa harus seperti itu, Pak?" cicit Wulan mengerutkan keningnya, "Owen itu satu-satunya teman yang saya punya," imbuhnya mencoba memberikan penjelasan pada Rion, tentang seperti apa hubungannya dengan Owen."Kamu tidak butuh Owen ataupun orang lain lagi, selama kamu memiliki saya." Sekelumit jawaban dari Rion yang terdengar begitu sombong di telinga Wulan.Tak menjawab lagi, Wulan hanya memilih untuk menjauh dari Rion. Percuma berdebat, karena hasilnya akan tetap sama--Wulan tak akan pernah unggul dari Rion.Setelah sedikit drama perdebatan yang nyaris membuat Rion marah,
Tak nyaman melihat ponselnya ada di tangan Rion, Wulan segera menghampiri laki-laki itu.Grep.Serupa kecepatan cahaya, Wulan merenggut ponselnya dari tangan Rion. Mata pun terlihat sengit menatap laki-laki di depannya. Kontras dengan Rion, yang nampak santai saja meski sudah kepergok melihat isi ponsel Wulan tanpa izin."Ini privasi saya loh, Pak. Kok Bapak gitu sih, main buka-buka HP orang tanpa izin?" ketus Wulan sembari mengecek apa saja bagian ponsel yang sudah Rion bajak.Rion mencebirkan bibir, "Hm, kamu sama Owen itu sebenarnya berteman apa pacaran? Sepeduli itu Owen sama kamu. Well … di dunia ini, enggak ada yang namanya sebatas teman antara laki-laki dan perempuan. Pasti, akan dan selalu ada salah satunya yang memiliki perasaan lebih dari teman," sahut Rion, langsung saja mengatakan isi pikirannya saat itu."Itu bukan urusan Bapak!" sungut Wulan menimpali pertany
Wulan berdecak, "Ck! Bukan gitu, Pak. Tapi saya juga ada urusan lain. Kenapa malah dibawa ke apartemen Bapak lagi, sih? Kan baru setelah Bapak selesai kerja, kita akan pergi ke rumah Ayah saya," tutur Wulan. Sebenarnya dia ingin sekali lepas dari Rion hari ini, karena harus menemui Owen. Sejak pagi tadi, Owen terus memberondong ponsel Wulan dengan pesan-pesan singkatnya."Kayaknya kamu memang ingin sekali lepas dari pengawasan saya, ya?" tanya Rion, menatap Wulan curiga, "mau ke mana? Kalau mau pergi, nanti biar diantar sama Hendar, setelah dia antar saya ke kantor," lanjutnya.Di kursi kemudi, Hendar tampak tersenyum. Entah apa juga yang membuat laki-laki itu merasa lucu mendengarkan obrolan Rion dan Wulan.Terang saja Wulan pun gusar atas jawaban Rion. Belum sah menikah saja, Rion sudah menunjukkan sikapnya yang suka mengatur. Sebenarnya lebih ke mengekang."Ih, apaan sih, Pak? Saya itu belum jadi
Grep.Rion memegangi kedua pergelangan tangan Wulan, menurunkannya perlahan."Rileks, Wulan," bisik Rion lagi, "kalau kamu terus bersikap kaku seperti ini, itu hanya membuat saya semakin tertantang. Atau, memang kamu memang berniat menantang saya?" imbuhnya mencetak senyum devil di wajah.Wush!Bereaksi cepat, Wulan menepiskan pegangan tangan Rion dari lengannya, lalu mendorong cukup kencang dada laki-laki itu. Kontan, Rion mundur beberapa jengkal dari posisinya, membuat jarak di antara mereka pun tercipta. Wulan merasa aman. Sesaat tadi, ia hampir saja menendang bagian bawah Rion--kalau saja ia tidak ingat sedang membutuhkan laki-laki itu."Bapak ini, ya, benar-benar udah enggak bisa diselametin lagi," sungut Wulan. Hanya bisa berprotes lewat kata-kata, saat Wulan tak bisa memberikan aksi atas ucapan Rion tadi."Apanya?" Rion menyahut, sembari bersidekap di depan dada."Pikiran Bapak!" Jawaban ketus dari Wulan, sebelum ia beralih pos
Berpikir sejenak, Wulan coba menelaah dengan baik maksud dari pernyataan Rion tentang pernikahan mereka. Sebab, bagi Wulan sendiri, pernikahan yang akan ia lakukan dengan Rion tidak ada bedanya dengan kawin kontrak yang belakangan marak terjadi. Tapi, hal itu sepertinya berlawanan dengan statement Rion."Kalau pernikahan ini benar-benar sebuah pernikahan, apa itu artinya aku juga harus hamil dan ngasih Bapak anak?" cicit Wulan. Pertanyaan itu terdengar begitu polos, dan membuat Rion digelitik oleh rasa gemas."Iya, Bi … aku udah bilang dari tadi, 'kan?" Rion mengusap lagi sisi kepala Wulan, "Opa bilang, dia ingin sekali gendong anak kita. Ya, walaupun sebenarnya aku juga belum kepikiran untuk jadi seorang Ayah, sih. Tapi … mau gimana lagi? Keadaan kadang tidak sejalan sama pikiran kita, Wulan. Pernikahan ini aku lakukan untuk keluarga. Jadi, ya … kamu emang harus melahirkan seorang penerus untuk keluarga ini," paparnya p
Sementara itu, Rion telah sampai di dalam kamarnya. Di sana, ada Wulan yang sedang duduk di tepian tempat tidur--berkutat dengan ponsel.Brugh.Rion duduk menjejeri Wulan, sampai gadis itu pun menoleh kepadanya."Selamat Wulan, kamu berhasil merebut hati orang tua saya. Mereka sangat menyukai kamu," ujar Rion dengan seulas senyum.Mendengar itu, ada sedikit kelegaan yang Wulan rasakan. Sebenernya ia juga merasa diperlakukan dengan sangat baik oleh Nastiti, Kresna, dan Tyo. Meski semua anggota keluarga memang terlihat menerima Wulan, tapi ketiga orang itulah yang paling tampak jelas menyukai dirinya. Terutama Nastiti."Syukurlah, Pak. Saya lega," sahut Wulan ringkas.Grep.Rion meraih satu tangan Wulan, "Mulai sekarang, berhenti memanggil saya Bapak. Sekalipun kita sedang berdua seperti ini, biasakan memanggil saya dengan sebutan sayang. A
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments