Share

Bagai di Penjara

"Dasar tolol! Bisa-bisanya dia nyimpen sepatu di sini. Kurang ajar banget tuh anak."

Baru saja Rumi akan terlelap dari tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara gaduh hingga membuat matanya kembali terjaga.

Iya.

Suara itu tak lain dan tak bukan, milik dari seorang wanita penguasa di rumah ini.

Dia terdiam di tempat tidurnya sambil terus memasang telinganya dengan jeli.

Apa saja yang akan ibunya katakan di bawah sana.

Lagipula apa masalahnya? Rumi hanya menyimpan sepatu di rak sepatu yang biasa dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan alas kaki.

Entah itu sandal ataupun sepatu.

Apa hanya karena rak sepatu itu dipenuhi oleh sepatu mahal milik ibunya sehingga sepatu miliknya tidak boleh mengisi tempat kosong itu?

Apakah sampai seketat itu peraturan di rumah ini?

Dengan berani Rumi membuka pintunya lalu turun ke bawah.

Dia mengambil sepatu sekolahnya yang sudah berantakan di mana-mana. Untung saja ada bi Nia di sana yang membantu Rumi untuk membereskan sepatu-sepatu miliknya.

"Sabar ya dek." ujar Bi Nia menguatkan.

Pria itu mengangguk kecil lalu berdiri. "Lho, yang ini sebelah lagi mana ya?"

Wanita itu juga ikut mencari.

"Bentar. Mungkin ada di bawah kursi."

"Makan sana!" entah dari arah mana, tiba-tiba ibunya melempar sepatu yang dimaksud Rumi ke arah sang anak. "Nyari itu pake mata, bukan pake dengkul!"

Rumi hanya terdiam.

Dia tidak mengatakan apa-apa selain mengambil sepatu yang tadi dilempar oleh ibunya itu.

Tapi baru saja dia akan kembali ke atas, Rumi seketika ingat jaket barunya yang hilang entah kemana.

Jaket itu menurut bi Nia sudah dibakar oleh sang ratu.

Jadi dirinya dengan penuh keberanian meminta kepastian apakah yang dikatakan bi Nia itu benar atau tidak.

Rumi berjalan ke ruang tamu.

Tempat ini meskipun rumahnya, tapi dia benar-benar merasa asing karena jarang sekali menginjakkan kaki ke ruang tamu apalagi untuk sekedar menonton televisi.

Toh letak tangga kamarnya juga ada di belakang, berdekatan dengan dapur.

Jadi kalau mau pulang ataupun pergi, Rumi tak pernah masuk ke depan rumah karena di sana selalu ada ibunya.

"Ngapain lu ke sini?" belum juga berbicara, dirinya sudah ditanya ketus oleh sang ibu yang sedang memakan cemilan mahal.

"M-maaf, Bu. Rumi mau tanya."

"Tanya apa? Cepetan!" dia benar-benar kasar sekali. Padahal dirinya sendiri tahu bahwa saat ini, dia sedang berhadapan dengan seorang anak kesayangan suaminya sendiri.

"Ibu udah bakar jaket Rumi yang baru?" tanyanya pelan sekali dengan suara gemetar.

"Emang kalo iya kenapa? Lu engga terima?"

"B-bukan gitu, Bu. Tapi kan itu jaketnya masih baru. Ngumpulin uangnya juga lama. Rumi aja belum pake. Kalo em-"

"Kenapa?" emosi ibunya meninggi hingga membuat wanita itu melemparkan cemilannya. "Lu nggak terima jaketnya gua bakar, ha? Inget woi. Lagipula gua nggak peduli jaket itu mau baru atau engga, mau duitnya hasil ngumpul atau nyuri, gua nggak peduli. Cuma lu harus sadar diri. Sebenarnya lu tinggal di rumah siapa? Lu jadi anak nggak ada untungnya sama sekali ya. Beban malahan." Letty pergi meninggalkan sang anak yang dengan usaha sekuat tenaganya menahan amarah.

Seperti biasa wanita itu selalu teriak-teriak tak jelas hingga membuat seisi rumah seperti kapal pecah.

Kata anjing, babi, monyet, sudah biasa dia dengar ketika ibunya tengah memaki-maki dirinya.

"Bersihin bi!" layaknya babu, Letty dengan senangnya menyuruh orang seenak jidatnya sendiri.

Dia sama sekali tak mau memikirkan perasaan orang lain. Dia hanya ingin orang lain saja yang memikirkan perasaannya.

Egois.

"Sabar dek." seperti biasa, Bi Nia selalu datang dan menjadi penenang dirinya.

Rumi yang sedari tadi sudah mengepalkan tangan seperti siap melayangkannya ke segala penjuru, tiba-tiba meluluh ketika mendengar ujaran lembut dari seorang Bi Nia.

Dia tidak bisa mengatakan apa pun selain air matanya yang meluruh.

"Jangan diambil hati ya. Nyonya emang begitu."

Rumi tersenyum tipis kemudian berlari ke atas untuk segera masuk ke dalam kamarnya.

Di sana dia menangis dan benar-benar menangis seperti seorang anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh kedua orang tuanya.

Suara tangisannya memang tidak terdengar. Justru benda-benda sekitar yang mungkin menjadi saksi bisu atas kesakitan hati dari seorang Rumi terhadap keluarganya sendiri.

Bayangkan saja betapa sesak dan gelapnya hidup dia.

Tidak ada orang yang bisa memahami keadaan anaknya seperti apa.

Bahkan tak ada satupun teman yang mau berteman dengan dirinya.

Apakah benar kata ibunya bahwa Rumi adalah satu-satunya anak yang paling tak beruntung di dunia ini?

Kenapa Tuhan? Kenapa?

"Kalo boleh memilih, aku mending nggak usah dilahirkan dirahim siapapun daripada harus hidup semenderita ini." ujarnya lirih ketika sadar bahwa kedua tangannya yang kurus tadi sudah menghancurkan segala yang ada di kamarnya.

Setelah puas meluapkan seluruh kekesalannya, Rumi membuka jendela kamarnya lebar-lebar agar udara dingin yang ada di luar sana bisa masuk dan menghangatkan kamar yang terasa pengap, penuh luka.

Dia lantas duduk di meja belajarnya kemudian mengambil salah satu diary, yang mana diary itu  sudah menjadi tempat dirinya menyuarakan suara yang tak bersuara sejak dulu.

Diary memanglah benda mati yang tidak bisa berbicara.

Tapi setidaknya ketika dia menuliskan semua kesakitannya itu, Rumi seperti sudah bercerita dari hati ke hati kepada seseorang yang nyata.

Padahal semua itu hanyalah ilusi semata.

...

'Aku melihat seorang babi yang kemudian dimaki oleh ibunya sendiri.

Katanya, dia adalah hewan tolol yang enggak ada untungnya sama sekali.

Aku hanya terdiam ketika melihat babi kecil nan malang itu diperlakukan buruk.

Layaknya kertas usang, yang kemudian tidak ada siapapun orang yang mau memungutnya lagi.

Bahkan untuk seorang pengemis saja, mereka tak mau.

Untuk apa kertas usang dibawa pulang? Untuk apa seekor babi buruk dipelihara?

Mereka, orang yang menemukannya pun akan berpikir beribu-ribu kali untuk bisa melakukan hal sebodoh itu.

Lagi-lagi aku tidak tahu harus berbuat apa ketika melihat babi kecil itu hanya bisa menangis dan meratapi nasibnya.

Kasihan sekali kamu.

Sudah tidak ada yang peduli, dan hidup layaknya penjara gelap berantai baja yang mana tak akan ada satu orang pun yang mau masuk ke dalamnya.

Mati saja kamu, hai babi.

Hidupmu sudah tidak lagi diharapkan oleh siapapun.

Untuk apa dan untuk siapa kamu memperjuangkan hidup?

Menanti keadilan? Mengharap pemberian hak? Mana ada.

Kamu sudah terlalu buruk untuk ukuran seorang babi.

Maaf. 

Bukan aku yang mengatakan semua itu. Tapi justru keluargamu sendiri.

Kamu hebat, sayang.

Tapi malangnya kehebatanmu tidak ada satu orang pun yang bisa mengakuinya.

Bak melati yang harum baunya, tetap saja tidak akan ada yang mau memungutnya ketika mereka tahu bahwa melatinya sudah busuk dan layu.

Aku di sini hanya bisa menuliskan semuanya untuk kamu.

Kamu, yang selalu berharap dihadirkannya ke damaian abadi.

Kamu, yang selalu berharap bisa menghilang dari bumi.

Dan kamu, yang selalu berharap dianggap ada setelah sekian lama ditiadakan.'

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status