Share

Ricuhnya Keadaan Rumah

Kamu akan kembali pada Sang Pencipta ketika sudah waktunya.

Percayalah.

Kamu harus tetap menjadi dirimu yang kuat.

Kamu boleh menangis.

Tapi jangan sampai kamu menyerah.

...

Setelah selesai meluapkan seluruh kekesalan dan kesesakan yang ada di dalam hati, Rumi menutup buku diary-nya dan memutuskan untuk kembali beristirahat di atas kasur.

Perlu digarisbawahi.

Keluarga Rumi adalah keluarga kaya yang hartanya melimpah karena dulu, ayahnya bekerja di pertambangan dan sudah menduduki jabatan tertinggi di sana.

Kehidupan istri dan anaknya pun pasti terjamin.

Namun siapa sangka dibalik kemelimpahan harta itu, ada seorang anak yang terabaikan bahkan selalu terpojokan.

Rumi tak pernah mendapat kebahagiaan.

Bahkan untuk kasur tidurnya saja, sudah tidak bisa kita katakan lagi sebagai kasur yang layak.

Anak itu tak pernah meminta. Lagipula dia tidak peduli mau tidur tanpa alas atau di lantai sekalipun.

Dia hanya ingin menemukan kedamaiannya sendiri. Dia hanya ingin diperlakukan selayaknya seorang anak dan seorang manusia.

Tak rumit.

Tapi justru sekeliling yang merumitkan keinginannya itu.

Krekk!! 

Suara pintu terbuka tiba-tiba ia dengar.

Rumi yang sedari tadi berusaha menutup kedua matanya, lagi-lagi kembali terjaga karena suara itu begitu mengganggu telinganya.

Iya.

Suara pintu itu tepat sekali berada di samping kamarnya.

Krekk!! Krekk!! 

"Argh!" pria itu terbangun dan melirik jam dinding yang berdenting dan menunjukkan pukul satu malam.

Karena penasaran, ia lantas turun dari tempat tidurnya untuk memeriksa siapakah orang yang masuk ke kamar sampingnya.

Rumi jalan berjinjit agar suara derap kakinya tidak terdengar. Dia sengaja melakukan itu karena hanya ingin memastikan saja.

Setelah tahu siapa yang masuk nanti, dia akan kembali masuk ke kamarnya untuk tidur.

"Sayang, kamu mau pulang kapan?" suara itu membuat Rumi tergugah untuk mendekati pintu dan menempelkan telinganya ke sana.

"Aku bener-bener rindu kamu. Aku rindu dengan kenangan kita yang begitu indah. Apalagi sebelum kedatangan anak pembawa sial itu. Jujur, sayang. Sampai saat ini aku masih mencintai kamu. Nggak tahu gimana caraku untuk bisa melupakan semua kenangan kita. Karena kamu adalah satu-satunya pria yang mampu mengisi kekosongan di hatiku sampai sekarang. Kenapa dengan mudahnya kamu pergi tanpa meminta pamit kepadaku?" terdengar suara getir dari Letty, wanita kesepian yang kini sedang berbincang dengan foto suaminya di bekas kamar mereka berdua. Air matanya meluruh ketika mendapati foto yang terus saja ia ciumi setiap hari.

Hatinya tak bisa berpaling.

Walaupun sudah ditinggalkan beberapa tahun yang lalu, tapi cinta dan kasih sayangnya masih tetap sama.

"Kamu egois, sayang. Dulu kamu memintaku jangan pergi ataupun berjalan beriringan tanpa genggamanmu. Seberusaha mungkin aku mengikuti apa katamu. Tapi kenapa? Kenapa kamu yang justru meninggalkanku sendirian di sini? Kenapa kamu membiarkanku terluka setiap harinya? K-kamu jangan membahas siapapun selain kita. Meskipun kamu benar-benar menyayangi anak itu, tapi selamanya aku akan tetap menganggap dia sebagai anak pembawa sial yang tak ada untungnya di keluarga kita. Dia bukan manusia, sayang. Kamu harus tahu. Dia layaknya titisan Azazil yang sengaja aku sematkan nama itu kepada dirinya, karena anak itu seperti iblis. Dia iblis pembawa keburukan bagi kita. Dan kenapa kamu masih tetap menyayanginya? Cobalah kamu bisa memahami keadaan anak itu. Andai kamu masih ada di sini. Mungkin kamu akan mengerti semuanya."

Rumi terduduk lesu ketika mendengar ucapan ibunya yang terisak. Bahkan dia sendiri tak kuat mendengarkan lagi ucapan sang ibu yang begitu menyakitkan hatinya itu.

Sebegitu burukkah dia sehingga ibunya sendiri menyematkan namanya dengan nama iblis?

Dia baru paham sekarang.

Pantas saja waktu itu ketika pertama kali masuk ke sekolah, dan guru agamanya mengabsen nama siswa-siswa yang ada di kelas itu, dia keheranan dan menanyakan kebenaran dari nama tengahnya Rumi.

Karena anak itu tak tahu, dia membenarkan ucapan gurunya bahwa nama tengahnya memang Azazil.

Rumi Azazil Mauza.

Pantas saja gurunya keheranan. Mungkin dia berpikir apakah ada orang tua yang tega menyematkan nama iblis kepada anaknya sendiri? 

Rumi sudah mengerti sekarang.

Hidupnya benar-benar tabu dan tak ada satu orang pun yang bisa menganggapnya lebih dari sekedar abu.

"Heh! Ngapain lu ada di sini?!"

Dirinya sontak terkejut ketika mendapati Ibunya sudah ada di belakang dengan wajah yang tak bersahabat.

Wajah itu adalah wajah yang setiap hari Rumi lihat ketika wanita itu menatapnya.

Seperti jijik, muak bahkan benci.

Rumi seketika berdiri.

"Bu, j-jadi Azazil itu nama iblis?" tanya sang anak dengan suara gemetar.

Wanita itu memelototinya. "Iya. Kenapa? Bagus kan? Lu emang pantas dapetin nama kayak gitu."

"Tapi kenapa ibu tega ngasih nama iblis ke Rumi? Apa salah Rumi sama ibu? Nama adalah doa dan kenapa Ibu tega-teganya memberiku nama yang tak baik? Seberapa jahatnya Rumi emang, Bu? Rum-"

Plakkk!!!

Satu tamparan keras melayang tepat ke arah pipi sang anak.

"Jangan pikir lu bisa megang tangan gue, babi! Lu bukan anak gua dan jangan pernah sekali-kali lagi ngomong ibu ke gua. Gua jijik ngelihat wajah lu tau nggak?! Bahkan kalau bisa milih, gua lebih mending liat tai anjing daripada lu!"

Darah Rumi tiba-tiba bergejolak panas. Dia benar-benar tak terima dikatakan seperti itu apalagi oleh ibunya sendiri.

Tangannya mengepal hebat. Suara gemeretak gigi yang menahan amarah semakin terdengar.

Ibunya hanya berlalu saja tanpa pernah memikirkan perasaan sang anak bagaimana ketika dirinya mengatakan hal itu.

Bukan lagi air mata kesesakan yang turun dari mata sang anak.

Air mata itu, adalah air mata kemarahan yang semakin meluap dan membakar dirinya.

Bugg!!!

Prangg!!!

Sebuah pukulan ia lesatkan ke jendela kamar yang membuat kaca jendela itu hancur berkeping-keping.

Ibunya yang sedang menuruni tangga, kembali naik ke atas dan berlari menghampiri sang anak lalu menamparnya sekali lagi.

Tamparan itu membuat Rumi jatuh tersungkur.

Hidungnya berdarah karena tersantuk ujung meja yang ada di depan kamarnya.

"Kurang ajar lu ya!" wanita itu menarik kerah baju sang anak dan mencengkramnya dengan erat.

Tak peduli anaknya mau berdarah sekalipun, tingkat kemarahan dia tidak akan menurun.

"Lu nantang gua, hah? Lu bisa apa?" teriaknya dengan keras hingga membuat seisi rumah bangun.

Bi Nia yang sedang tertidur lelap di kamar belakang, tiba-tiba terbangun karena mendengar ada suara kaca pecah dan dilanjut dengan suara teriakan dari majikannya.

Wanita setengah baya itu seketika berlari untuk melihat apa yang terjadi.

Dan ternyata apa yang dia khawatirkan itu benar.

Kondisi Letty dan Rumi tengah memanas.

"Gua iblis!" balas Rumi dengan teriak tanpa menghiraukan ucapan aku, kamu, atau ibu lagi. 

Dia sudah benar-benar muak dengan semuanya.

"Gua iblis dan jangan salahin kalau sikap gua juga kayak iblis! Siapa? Siapa orang tua yang berani ngasih anaknya dengan nama iblis selain lo, hah?"

Bi Nia terkejut ketika mendengar ucapan Rumi yang tak seperti biasanya.

Dia lantas berlari ke atas untuk bisa menenangkan hati sang anak kesayangan tuannya itu.

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status