Oh tidak, seseorang akan menemukanku.
Semua orang yang berada di dalam toko itu pun menoleh ke sumber suara. Sudah jelas, sumber suara itu ialah aku yang menjerit setelah mendengar suara dobrakan meja yang cukup mengerikan.
"Suara apa itu?" Pemabuk itu merupakan orang pertama yang bertanya setelah keheningan mereka.
Spontan, tanganku bergerak untuk menutup mulut dengan rapat, sambil berpikir, 'Tidak!'
'Kenapa aku harus berteriak di saat seperti ini!?' Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini, juga ingin rasanya aku menggunakan kekuatan purnama merah untuk berpindah tempat. Namun sayangnya, kekuatanku tak kunjung muncul semenjak kejadian aku melarikan diri bersama pengkhianat itu.
"Sedang apa kau di sini?!"
Tubuhku membatu begitu mendengar suara seseorang dari belakang. Ia berdiri dan tubuhnya menutupi cahaya matahari yang berada di belakangku. Apa itu artinya aku ketahuan?
Perlahan dengan tubuh gemetar dan jantung berdetak tidak karuan, aku memutarkan tubuhku dengan senyum kaku untuk menetralkan emosi. Namun, dugaanku benar ... pria yang juga berbadan besar dengan kulitnya penuh dengan bekas luka sedang berdiri tepat di belakangku. Tatapannya tidak enak, aku pun gelagapan.
"Apa yang kau lihat dari tempat itu?"
Suaranya yang lantang membuatku terlonjak kaget. Aku ketakutan. Sudah jelas, karena seorang wanita tidak dapat mengalahkan kekuatan pria. Yah, kecuali wanita itu memiliki kekuatan di luar nalar. Lupakan.
"Ah, itu ...." Mulutku mulai gelagapan. Apa yang harus kukatakan?
"Apa yang kau lakukan di sini?" Nadanya semakin menekan, tatapan tajam darinya seolah meminta penjelasan lebih mendetail.
"I–itu ...."
"Hei! Bukankah dia wanita terkutuk?"
Aku terperanjat kaget begitu mendengar suara pria yang kukenal mendekati tempat ini. Dia pemabuk yang sangat suka menghina seseorang. Kakinya melangkah ke depan dan semakin mendekatiku dengan botol alkohol berada di genggaman tangan kanannya.
Deg.
Degupan jantung tidak karuan membuatku merasa tidak nyaman. Aku mengangkat pandangan untuk melihat pria kekar yang masih berdiri tepat di hadapanku.
"Wanita terkutuk?" tanyanya.
Mataku sukses melebar. 'Wanita terkutuk?' Tak pernah kupikirkan bahwa kehidupanku kali ini sama saja dengan kehidupanku sebelumnya.
"Huh?" tanya pria tersebut.
Dia mendekatkan tubuhnya, lantas aku mundur. Tentunya memberi jarak kepadanya. Namun sialnya, sebelum aku kabur dari tempat itu, tangan kekar pria itu berhasil menarik rambut ini, membuatku menjerit kesakitan karenanya.
"Kau telah membunuh kehidupan kami semua," ucapnya.
Aku mengernyitkan kening, sambil meronta untuk diminta dilepas dari tangannya. Tarikannya begitu kuat hingga membuat kepalaku terasa begitu sakit.
"A–apa maksud Tuan ...."
Tubuhku gemetar mendengar kata 'membunuh' dari mulutnya. 'Kenapa mereka mengatakan hal yang kejam?' pikirku.
"Hei!" Seseorang berseru dan ternyata merupakan orang yang sama–pria pemabuk. "Jangan dekat-dekat dengannya!"
Aku sungguh tidak mengerti keadaan saat ini.
"Dia dapat mengutuk orang-orang lemah seperti kita!"
Apa–
"Sial!"
Tiba-tiba, tarikannya lepas dan membebaskan rambutku, tetapi dengan jahatnya ia mendorong tubuhku sampai tersungkur ke depan. Aku meringis kesakitan dan merasa malu akan keadaan saat ini. Namun, bukankah ini sama saja dengan perlakuan sebelum aku dieksekusi mati?
'Apa maksud mereka semua?' pikirku. Dalam rasa kesakitan yang luar biasa, aku mendongak hanya untuk melihat reaksi orang-orang yang aku saksikan.
Ah, tentunya mereka semua sedang terkejut mendengar ucapan pemabuk tadi. Pemabuk itu datang mendekati tempat aku terjatuh, lalu menggantikan profesi pria kekar tadi. Ya, dia menjambak rambutku lebih kuat dari pria sebelumnya.
"Lihatlah tubuh indah itu," ucapnya. Dia mendekati mulutnya ke telingaku, lalu melanjutkan perkataannya dengan berbisik, "Sangat indah sampai aku ingin menikmatinya."
Darahku berdesir hebat, tubuhku merinding, dan perasaan jijik dan waspada menjadi satu dalam diriku. Aku meronta untuk minta dilepaskan, sedangkan semua orang yang sedang menyaksikan tontonan gratis ini tertawa terbahak-bahak.
"Bajingan sepertimu ternyata tidak kenal mati!" Disela tawa yang menggelegar, seseorang berteriak dari kejauhan.
"Persis seperti pengembara itu!" Dan seseorang yang lain melanjutkan perkataannya.
Semua orang semakin tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Dua orang menjadi objek tawa yang keji. Aku hanya bisa memberontak untuk melepaskan diri dari jambakannya. Namun, hasil yang sia-sia lah yang kudapati.
"Kutukan itu hanya akan membawa kami sengara, kalau begitu, kenapa tidak kita nikmati saja tubuhnya!"
Ah, sial. Lagi-lagi mulut hina dari pria penuh nafsu terdengar jelas di telingaku. Alhasil, aku menggeram disamping dan aku berpikir, 'Apa pemilik tubuh ini juga mendapati kekuatan purnama merah?'
Tapi, itu tidak mungkin terjadi, bukan?
Sebelum aku mengetahui siapa nama asli pemilik tubuh ini ....
"Dia wanita yang bernama Ophelia itu!?" Pria kekar yang merupakan orang pertama mendapati kehadiranku berteriak penuh dengan rasa terkejut.
Mataku melebar, mengangkat wajah yang sedang terkejut. 'Ophelia?'
"Kau bodoh!" Sekali lagi aku meringis ketika pemabuk itu dengan sengaja menarik rambutku ketika ia mengumpati pria kekar. "Hanya berbadan besar saja kau sombongi! Lihat dari wajahnya yang jelita, sudah jelas dia itu wanita yang kita hindari!"
"Sial! Aku terkutuk!" Berkali-kali aku mendengar umpatan mereka, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri, tapi bukan berarti aku terfokus pada umpatan mereka, melainkan kata ... terkutuk.
"Bodoh! Gunakan dia untuk mengutuk pria berjubah ini!" titah sang pemabuk itu.
"Apa-apaan–"
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, seseorang menendang pinggangku cukup keras. Aku terjatuh dan sebagian rambutku rontok di tangan pemabuk tersebut. Rasa sakit di kepala dengan rasa sakit di pinggang begitu menyakitkan sampai mataku menitikkan air.
"Hei, wanita jalang."
Siluet seseorang menutupi cahaya yang ku lihat. Dia berdiri di depanku dengan ucapan yang menyakitkan. Mataku yang berair mau tidak mau menatapnya meskipun ringisan tetap keluar dari bibirku.
"A–apa maksud Tuan mengatakan–"
Sekali lagi aku ditendang walaupun tidak sekeras tadi.
"Gunakan kekuatanmu untuk memakmurkan desa ini."
Pandanganku semakin buram. Wajahnya yang seharusnya sudah dapat kulihat dengan jelas kini berakhir menjadi samar-samar. Kutebak bahwa pria yang sedari tadi menendangku secara tidak berperikemanusiaan ialah seorang pemilik toko yang susah payah menjaga wibawanya.
Aku membuka mulutku yang gemetaran, "A–aku tidak mengerti ... apa yang Tuan maksud–"
"Sekarang, kau justru berpura-pura hilang ingatan?"
Tidak ada kesempatan untuk berbicara, ini sama saja seperti saat di mana aku akan dieksekusi mati. Tidak diizinkan untuk membela diri dan disiksa dengan sangat kejam.
'Aku benar-benar tidak mengetahuinya!' Pada akhirnya, aku hanya bisa menjerit kesakitan dari dalam hati.
"Untuk apa kau mengintip toko kami?" tanya pemilik toko. Dia juga ikut menjambak rambutku. "Bukankah kau merasa tertarik pada orang baru seperti dia?"
Aku berusaha untuk menggelengkan kepala, tetapi rasa sakit di kepala semakin parah setiap kali aku bergerak. "Aku tidak tahu–bahkan tahun saja–"
"Tahun 451 kalender Kerajaan Ilios."
Seseorang mengetahui pertanyaanku yang sebenarnya. Pria berjubah itu telah berdiri tidak jauh dari hadapanku dengan tatapaan tidak percayanya.
Ah, apa-apaan dengan tatapan yang mengejutkan itu?
"Untuk apa kau mengintip toko kami?"Pertanyaan tersebut berhasil membekukan tulang belulangku. Sambil menatap pemilik toko yang menunjukkan sorot mata tajam, mulutku mencoba untuk menjawab."Bukankah kau merasa tertarik pada orang baru seperti dia?"Namun, mulut ini tak kunjung bergerak dengan tenang seperti membiarkan omongan keji dari pria tua tak beradab itu. Gemetar karena ketakutan, aku berusaha untuk menggelengkan kepala, tetapi rasa sakit di kepala malah semakin parah. "Aku tidak tahu–bahkan tahun saja–""Tahun 451 kalender Kerajaan Ilios."Aku bungkam setelah mendengar jawaban dari pria berjubah–juga sedang mengalami nasib yang sama denganku. Tetapi, tatapannya terlihat tidak mempercayai apa yang sedang ia dengar.Ah, apa-apaan dengan tatapan yang mengejutkan itu?"Kerajaan Ilios ...." Tanpa sadar mulutku bergerak sebelum kesadaranku kembali begitu mendengar para bandit menepuk tangan mereka. Ya, mereka bert
"Wanita jalang! Tidak berguna! Apa gunanya hidup sebatang kara!? Pembunuh orang tuanya sendiri dengan kekuatannya hanya demi memuaskan diri!" Mulutku melongo setelah mendengar hardikannya yang tidak ada titik-koma. Mendengar sumpah serapahnya yang sudah tentu tertuju padaku. 'Aku ... membunuh orang tuaku?' Tidak habis pikir dengan kejutan akan kenyataan-kenyataan. Dalam sekejap, otakku bekerja memberikan bayangan akan senyum Yang Mulia yang hangat–bukan tertuju padaku, melainkan kepada putra mahkotanya. Masa lalu kelam yang tidak patut untuk terus diingat, aku beralih pada dunia yang saat ini sedang kutempati. Lalu, menundukkan pandangan dengan tangan bergerak untuk menutupi telinga. 'Aku tidak membunuhnya, tapi dia membunuhku!' Ingin rasanya aku melontarkan kalimat pembelaan itu, tapi mulutku tak bisa. Gemetar hebat akan kejadian di masa lalu tidak bisa kuhilangkan dalam sekejap. "Dia yang jahat ...." Pada akhirnya, hanya kata tersebut yang d
"Dia pembunuh!" Bentakan dari suara wanita kekar itu masih saja menggelegar. Mengumpat diriku yang bernasib malang. "Sudah sepantasnya dia mati di atas panggung eksekusi!" Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak setiap kali mendengar kata 'eksekusi' yang selalu tertuju padaku. Mataku membulat untuk menatap wanita kekar. Di sekitarku seakan berputar, telunjuk yang hampir sama dengan ibu jarinya menunjuk-nunjuk ke arah wajahku. Dia menatap sinis, sedang aku hendak mengeluarkan suara seperti pada saat eksekusi. 'Apa ini akhirnya?' pikirku. Tapi, rasanya sangat aneh jika aku baru saja hidup di dunia ini, lalu beberapa jam kemudian dieksekusi dan mati. Dalam sekejap, tubuhku gemetar, suaraku tak kunjung keluar untuk memberikan pembelaan. Seperti pada saat ekskusi–kematian pertamaku–yang hanya bisa mempasrahkan diri menerima kematian yang sudah ditentukan oleh Yang Mulia. "Tunggu!" Suara seseorang seakan memberi harapanku untuk tetap
Langkah kakinya kian cepat, cengkraman tangannya semakin menyakitkan."Um ... Tuan."Aku mencoba memanggil namanya, tapi kerikil kecil membuatku tersandung dilangkah yang cepat. Aku tersandung dan cengkramannya semakin erat.Tidak ada jawaban dari pria berjubah itu.Hingga, membuatku meringis kesakitan ketika semua tubuh terasa ingin remuk sambil berkata dengan nada yang sedikit tinggi dari sebelumnya."Tuan, Anda membuat tangan saya sakit," ucapku.Tangan kananku begitu sakit dan pergelangan tanganku sukses memerah. Jika terus-terusan seperti ini, bisa saja tangan ini menjadi lumpuh."Oh, maafkan aku."Kali ini, panggilanku didengar olehnya. Dia menghentikan langkah kakinya, begitu juga denganku–menghentikan langkah kaki tepat di depannya. Aku menatap punggungnya yang lebar, lalu tiba-tiba pria itu membalikkan tubuhnya yang membuatku terperanjat kaget.Tangan yang dicengkramnya kini ia lepas. Tampak terkejut, dia
Aku mengeluarkan kata jujur pada kenyataan pahit, lalu membuat hatiku semakin pedih."Tak ada tempat pulang yang pantas untukku," jawabku, disertai dengan senyum kecut. Semampuku untuk mengernyit dan menahan air mata yang akan keluar dari kelopak mata.Aku tahu siapapun yang mendengar jawaban tersebut akan terdiam, tidak berkutik.Ilkay menunjukkan eskpresi tidak percaya dan berkata, "Lalu ...." Dengan sangat hati-hati dia melanjutkan ucapannya. "Sekarang, kau akan ke mana?"Dia terlihat canggung, tapi mencoba untuk menepis nasib malang yang baru saja aku katakan. Aku menggeleng hebat untuk membalas pertanyaannya."Aku tidak tahu," balasku. "Hanya bertahan hiduplah tujuanku saat ini."Kutatap matanya yang indah, berwarna biru langit dan menenangkan. Seakan-akan warna teduh itu seharusnya berwarna hijau permata.'Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi,' pikirku. Semakin merasa sendu dan menyakitkan. 'Untuk membalas dendam kepada Kerajaa
"Kalau begitu, ada syaratnya."Kedua alisnya terangkat menunjukkan bahwa semua yang dikatakan Ilkay telah terencana. Tanpa sadar, aku menggertakkan gigiku dan mengepalkan kedua tangan dengan erat."Akan kuikuti seluruh permintaanmu," ucapku penuh lantang, dengan tatapan penuh keyakinan akan jawabanku.Tempat yang sepi. Tidak ada manusia yang menampakkan batang hidungnya di sini. Tepi desa yang telah ditinggalkan, Ilkay berdiri dengan mata menyipit."Baiklah," ucapnya.Pergerakan tangannya membuatku curiga. Ia merentangan kedua tangannya, seakan memberi isyarat untuk segera mendekatinya."Sekarang, peluk aku," sambungnya dengan santai.Seketika, tubuhku membeku mendengar ucapannya. Tangan yang merentang itu kutatap dengan tidak percaya, lalu beralih pada wajahnya. Tak ingin memeluknya, aku menunjukkan raut wajah penuh jijik kepadanya.Ah, aku menyesal mengatakan tawaranku kepadanya.Namun, kulihat dia menurunkan tangannya
"Karena tidak ada alasan untuk membantu orang-orang dalam kesulitan."Dia mengenakan jubah yang mewah, juga membawa kuda putih pada saat itu. sekantung koin emas selalu ia bawa ke sana kemari. Matanya indah seperti dewa–atau mungkin juga bisa setampan malaikat.Ilkay tersenyum, meskipun aku hanya melihat tudung kepalanya yang menyebalkan.'Dia mengingatkanku pada perlakuan para bandit kepada wanita tua waktu itu,' pikirku. 'Seharusnya, aku membantunya.'Lalu, penyesalan menghantuiku pada saat itu juga.-oOo-Langkah kaki kian menjauh dari kerumunan, kini berganti dengan rumah dan toko yang banyak. Bau amis ada di mana-mana, bunyi ombak terdengar jelas dari sini.Perjalanan semakin jauh dan sekarang aku yang terus-menerus ditarik olehnya akhirnya sampai di pelabuhan.Kepalaku menengadah di saat aku terus dibawa pergi oleh Ilkay. Mataku menatap kapal-kapal yang tinggi yang membuatku merasa ngilu ketika berada di atas sana.
"Percepat langkah kakimu!" titahnya."B–baik!"Langkah kaki kami kian cepat. Berlari di bawah langit berwarna jingga, menatap matahari yang akan terbenam, lalu tatapan orang yang beragam tertuju hanya padaku.'Pelarian ini ....' Apakah pantas disebut pelarian?Tak ada rasa khawatir seperti pada saat berlari bersama seorang pemberontak. Membebaskan diri dari kurungan sangkar emas.Sangat berbeda.'Apa pilihanku kali ini ialah benar?' pikirku.Kuabaikan seluruh rasa khawatir yang samar, lalu memilih untuk memfokuskan pandangan pada pelabuhan yang indah ini. Matahari akan tenggelam dan tentu berganti dengan bulan. Malam mengerikan di istana dulu mungkin akan tergantikan dengan malam yang penuh dengan rasa bahagia.Berlari di bawah langit senja dengan suasan yang hangat bersama seorang pria yang belum terlalu kukenal.-oOo-Derap langkah kaki terdengar jelas. Suara napas pendek kesulitan untuk menarik udara. Ilk