Panas terik matahari siang, ditambah asap kendaraan yang berpacu di jalanan Jakarta terasa membakar seluruh tubuhku. Tenggorokanku terasa sakit, apalagi sudah hampir 12 jam tidak ada setetes air pun yang masuk ke dalam tubuhku. Kupandangi keadaan sekitar trotoar ini, kebanyakan aktivitas yang ada adalah para pekerja yang sedang menikmati makan siangnya. Sudah sewajarnya, karena sekarang adalah jam istirahat mereka. Terasa ada yang menusuk ulu hatiku saat ini, mungkin karena di kantongku tidak ada uang sepeser pun.
Segera saja kupercepat langkahku, meski tidak tahu akan ke mana. Setelah beberapa menit melangkah, mataku tertuju pada kerumunan orang yang sedang antri di depan keran air. Sudah dapat ditebak mereka adalah muslim yang akan beribadah shalat. Tapi bukan itu yang kupikirkan, shalat adalah sesuatu yang jarang kulakukan. Air yang bersih, yang tidak langsung membuatku sakit perut saat meminumnya, itu yang aku inginkan. Yang penting GRATIS. Tidak peduli sudah dimasak atau masih mentah, pH nya berapa, atau mengandung bakteri apa. Aku sudah sangat kehausan.
Kutunggu beberapa saat agar antrian habis. Aku masih punya sedikit malu, datang ke sana hanya untuk meminum air tapi tidak beribadah pada Sang Pemilik Rumah. Saat orang yang berwudhu sudah mulai sepi, segera kulangkahkan kakiku menuju keran yang kosong. Kubuka keran itu dan kuminum air yang keluar menggunakan kedua tanganku, seteguk demi seteguk sampai rasa hausku hilang. Setelah itu kubasuh juga muka dan kepalaku, tangan serta kaki. Orang pasti mengira aku sedang berwudhu. Untung mereka tidak bisa melihat ke dalam hati.
Setelah merasa segar, segera kulangkahkan kembali kakiku untuk keluar dari masjid. Namun baru beberapa langkah, mataku tertuju kembali pada suatu kerumunan. Kali ini bukan antrian wudhu, tapi sekumpulan orang di pelataran masjid. Ada yang sedang duduk dan mengobrol dengan temannya, duduk bersila sambil mengaji atau sekedar istirahat bersandar ke dinding masjid. Bahkan ada yang posisinya telentang entah memang tidur atau hanya memejamkan mata. Kakiku yang memang sudah lelah melangkah seakan meminta untuk ke sana. Segera saja kucari posisi kosong yang tersedia.
Baru beberapa menit merebahkan tubuh, kurasakan ada pergerakan di sampingku yang sebelumnya kosong. Aku tidak terlalu ambil peduli karena yang ada di pikiranku hanya istirahat. Namun pada akhirnya ketenanganku terusik juga karena setelah itu kudengar ia berbicara. Kegusaranku sedikit terobati karena suara yang terdengar sangat sopan.
"Punten 'A, boleh ikut meluruskan badan di sini?"
"Silahkan." Jawabku singkat karena memang tidak ada keinginan untuk mengobrol. Sayangnya keheningan itu hanya beberapa saat.
"Aa asli dari sini, atau perantau juga seperti saya?" Orang itu kembali berbicara. Sepertinya dia tidak ingin tidur, hanya ingin meluruskan badan.
"Perantau." Jawabku tidak sepenuhnya berbohong, karena meski lahir di Jakarta, aku tidak pernah tinggal di sekitar masjid ini. Tergantung konotasi "sini" yang dia maksud.
"Wah, sama dong. 'Aa dari daerah mana? Jangan-jangan dari Bandung juga. Soalnya seperti orang Sunda. O iya, nama saya Asep, 'Aa namanya siapa?"
Aku sedikit terkesiap saat ditanya nama. Tidak tahu mau menjawab apa, yang pasti bukan nama asliku. Tiba-tiba aku teringat cerita mamaku. Dulu aku sempat ingin diberi nama Boy. Kata mama, itu adalah tokoh idolanya saat remaja. Namun papa tidak setuju, katanya nama itu terlalu umum. Padahal sebenarnya papa cemburu karena tokoh idola mama yang bernama Boy itu lebih tampan darinya. Akhirnya kujawab saja pertanyaan itu sekenanya.
"Boy." Jawabku. Tiba-tiba Kang Asep bangkit dari tidurnya. Dia duduk, melihatku dan kemudian tertawa. Setelah puas menertawakanku akhirnya ia berkata.
"'Aa jangan mimpi di siang bolong. Potongan seperti 'Aa ini tidak pantas bernama Boy. Dia kan orang kaya, perlente dan banyak digandrungi wanita. Saya tahu karena waktu saya kecil Si Boy ini dicetak jadi sampul buku tulis. Setelah itu hampir semua teman wanita saya meminta dibelikan buku Si Boy. Dari gambarnya saja terlihat bedanya, jauh dengan keadaan 'Aa."
Aku tidak menyangka bahwa tokoh idola mama juga dikenal oleh Kang Asep. Ternyata di jamannya, Si Boy sangat terkenal sampai ke pelosok daerah. Mungkin mama ingin menamaiku Boy agar aku sepertinya. Dan memang itulah aku dulu. Kaya dan banyak digandrungi wanita. Namun kutinggalkan itu semua demi seorang wanita sehingga jadilah aku seperti saat ini. Dan karena aku tidak ingin masa laluku terungkit, segera saja kukarang cerita sekenanya.
"Nama saya Boi pakai huruf i bukan Boy pakai huruf y." Kukarang itu karena teringat pada film yang hanya sekilas kutonton. Yang pasti Boi di film itu tidak ditujukan pada orang kaya.
"Ooo ada toh Boi pakai huruf i. Saya baru dengar." Kang Asep berkata.
"Ada." Jawabku "Itu panggilan untuk anak lelaki di sekitar Belitung."
"Coba ceritakan kenapa orang tuamu sampai menamakanmu Boi." Kang Asep masih saja mengejarku, mungkin curiga aku berbohong tapi sepertinya hanya penasaran. Untuk lebih meyakinkannya, akhirnya kukarang cerita lagi.
"Tidak ada ceritanya, dulu ayahku pernah kerja di sana dan mendengar anak-anak di sana saling memanggil Boi. Akhirnya pada saat aku lahir dia memberi nama itu padaku. Mungkin karena sangat terkesan, atau saat itu tidak terpikirkan nama lain."
"Ah, ga seru. Lebih seru kisah Si Boy pakai huruf y." Kang Asep berkata sambil merebahkan tubuhnya.
Sepertinya penjelasanku cukup memuaskan rasa ingin tahu Kang Asep. Karena setelah itu dia tidak bertanya apa-apa lagi. Namun rasa lelahku telah hilang. Anganku sudah terlanjur ke mana-mana. Ku teringat lagi saat aku pergi dari rumah, hanya membawa sehelai baju yang dipakai. Bahkan aku lupa membawa dompetku, meski sebenarnya percuma karena isinya hanya kartu kredit yang biasa kupakai. Saat itu egoku terlalu tinggi untuk memakai barang pemberian papa, meski belakangan aku sadar bahwa ego tidak bisa membuat perut kenyang.
Malam pertama keluar rumah kulalui dengan tidur di emperan toko. Saat terbangun perutku sudah mulai keroncongan. Aku sadar aku harus mendapatkan uang. Belum sempat terpikir apa-apa, ada motor datang dan parkir di dekatku. Sepertinya ingin pergi ke ATM karena sepagi itu tidak ada toko yang buka. Sekonyong-konyong muncul ide di kepalaku. Kuambil kardus yang menjadi alas tidurku lalu kuletakkan di atas jok motor tersebut. Kutunggu si pemilik motor keluar dari ATM. Saat dia selesai dan mendekati motornya, kuambil kembali kardus tersebut lalu dia menyerahkan uang kepadaku. Ternyata mencari uang di Jakarta tidak sesulit yang aku pikirkan.
Sayangnya pekerjaanku tersebut tidak berlangsung lama. Setelah motor keempat, aku didatangi olah lelaki separuh baya. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menunjukkan peluit, membelakangiku dan menunjukkan tulisan di punggungnya. "PETUGAS PARKIR". Setelah itu di menghadapku dan menyerongkan tangannya seperti wasit sepak bola yang mengusir pemain setelah mendapatkan kartu merah. Aku dipecat dari pekerjaan pertamaku setelah hanya satu jam bekerja. Gajiku saat itu hanya 2 ribu rupiah yang segera habis untuk membeli sarapan nasi uduk seadanya.
"Boi sudah makan belum?" Kang Asep bertanya dan menghentikan lamunanku. Namun pertanyaan itu hanya mengalihkanku ke ingatan lainnya. Saat itu sering kudengar pertanyaan tersebut dari teman-temanku. Biasanya mereka bertanya karena ingin ditraktir. Karena saat itu aku memang memiliki segalanya. Saat itu aku adalah Si Boy.
"Lang, sudah makan belum?" Tanya Dika setelah kami selesai merencanakan kegiatan akhir pekan ini. Saat itu, seperti biasa, kami berempat duduk-duduk di taman sekolah samping lapangan basket. Di hari sabtu siang setelah jam pelajaran selesai, tidak ada lagi hal menarik yang dibicarakan kecuali mau pergi ke mana nanti malam. Sebenarnya tidak ada yang perlu direncanakan, kegiatannya sama saja. Nongkrong di cafe, diskotik atau konser musik yang menarik. Same Shit Different Place."Belum" Jawabku singkat. Meski perutku tidak lapar, tapi aku mengerti maksud pertanyaan Dika. Itu adalah kode bahwa dia sudah lapar dan mengajak kami untuk makan bersama. Dan seperti semua kegiatan kami, akulah penyandang dananya. Lebih tepatnya papa, aku hanya perlu menggesek kartu pemberiannya. Tidak masalah bagiku, toh papa juga tidak pernah menanyakan tagihan kartu kreditku."Yuks, kit
Di dalam taksi yang meluncur ke rumah Santi, aku baru sadar tidak membawa uang sepeser pun. Tidak apalah, nanti bisa pinjam uang Santi. Pikiranku masih tidak karuan. Emosi saat bertengkar dengan papa masih bergejolak di dada. Aku tak bisa berpikir apalagi merencanakan apa yang ingin kulakukan.Setelah tiba di tempat tujuan aku meminta sopir taksi menunggu sebentar. Aku menekan bel, hal yang sudah ratusan kali kulakukan. Tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda. Kudengar suara pintu dibuka dan muncul wajah Santi dengan senyum kecilnya. Kuminta dia membayar taksi. Santi agak terkejut, tapi dia tidak bertanya apa-apa. Setelah itu kami langsung mengobrol di tempat biasa.Kuceritakan semua yang terjadi sore ini. Santi mendengarnya tanpa menyela perkataanku. Setelah aku selesai, keheningan pun tercipta. Kulihat dia mempermainkan rambutnya, hal yang belum pernah ter
Fajar belum lagi menyingsing. Suasana jalan masih sangat sepi, hanya sesekali ada kendaraan yang lewat. Namun kami sudah memulai aktifitas rutin mencari barang rongsokan. Memang begitulah jam kerja pemulung. Secara kasat mata kami lebih rajin dari pekerja kantoran pada umumnya. Namun sayang kerajinan tidak menentukan besar penghasilan.Pak tua berjalan sedikit di depanku. Kuperhatikan sudah beberapa kali dia terbatuk. Beberapa hari ini kesehatannya memang sedang turun. Aku sudah melarangnya memulung, tapi dia tak mengindahkan. Sudah biasa, katanya.Suara adzan shubuh sayup-sayup terdengar. Tak terasa kami sudah bekerja hampir 2 jam. Rasa khawatirku semakin menjadi, pak tua berjalan makin perlahan dan batuknya pun semakin sering. Akhirnya yang kutakutkan pun terjadi. Pak tua berjalan sempoyongan, karung di genggamannya terlepas, lalu dia pun terjatuh tidak sadar
Matahari sudah mulai tinggi. Hampir semua pegawai pool telah datang. Bukan untuk bekerja, tapi untuk memastikan barang apa saja yang hilang. Beberapa sopir juga telah tiba. Mereka terkejut ketika mengetahui apa yang terjadi semalam.Tentu saja yang pertama tiba adalah pak satpam. Dia sangat kaget saat kuceritakan kejadian semalam. Mukanya langsung pucat pasi, untung saja dia tidak memiliki penyakit jantung. Setelah tenang dia langsung masuk kantor dan menelpon pemilik travel. Orang kedua yang dia telpon adalah Kang Asep. Sudah semalaman aku menyusun alasan apa yang akan kuberikan padanya. Namun saat dia datang aku hanya bisa berkata, "Maaf kang, saya telah membuat akang kecewa."Dan saat ini aku melihat Kang Asep sedang berbicara dengan pemilik travel. Sebelumnya salah seorang pegawai kantor memberikan secarik kertas pada bos. Sepertinya semua barang telah sele
Hari sudah semakin siang. Jalan-jalan juga semakin ramai. Suara bisingnya sayup-sayup terdengar dari lantai 3. Untungnya gedung ini ber-AC sehingga suara dari luar tidak terlalu mengganggu.Kami berdua masih terdiam. Pak Kepala dengan sabar memberikan waktu padaku untuk berpikir. Setelah yakin dengan jawabanku akhirnya aku berkata."Sebenarnya saya tidak terlalu peduli akan diterima atau tidak. Apapun hasilnya saya tetap akan dipenjara, di sini atau di LAPAS. Bahkan saya berpikir lebih baik di LAPAS. Di sana saya bisa bebas melakukan apa saja sedangkan di sini saya harus mengikuti semua aturan yang ada."Pak Kepala hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak tersinggung. Dia kembali bertanya."Jika demikian, kenapa kamu tetap mengajukan pinjaman?"
Suasana sore di kantor pengelola pesantren sudah sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan tempatnya, ada yang pulang ke rumah dan ada juga yang pergi ke masjid. Seperti biasa, hari itu memang ada pengajian sore di masjid dan banyak karyawan yang ikut menghadirinya.Di tengah kesunyian kantor, aku seperti disambar petir mendengar tuduhan bapak itu. Siapakah dia, dan siapa pula anak gadisnya. Aku tak pernah berhubungan intim dengan wanita manapun. Mana mungkin aku bisa menghamili seseorang. Dengan memberanikan diri akhirnya aku bertanya."Maaf pak, siapa nama anak bapak?"Jawaban dari pertanyaanku adalah tamparan di pipi. Dia semakin marah dan berteriak membentakku."Kurang ajar, masih pura-pura lupa. Atau jangan-jangan banyak gadis yang kau nodai sehingga kau tak
"Pak Kyai mengenalku? Dia percaya padaku?""Ya, tentu saja. Bahkan dia memiliki julukan untukmu. Santri Tanda Tangan, katanya. Sebenarnya semua santri di sini diawasi. Biasanya oleh santri yang posisinya dekat. Tapi kamu agak lain. Pak Kyai ingat karena saat ceramah shubuh kau selalu duduk di sudut dan tertidur. Itu di awal-awal. Setelah itu posisi dudukmu bergeser semakin ke depan."Aku tersenyum mendengar penjelasan itu. Ternyata aku diperhatikan. Kelak semua ini akan jadi kenangan indah yang tak terlupakan."Saya juga mengawasimu meski secara tidak sengaja." Pak Kepala melanjutkan. "Setiap lewat depan toko, saya selalu melihatmu sedang membaca. Saya jadi bertanya-tanya, sudah berapa buku yang kamu baca?""Hampir semua." Jawabku
Udara sore di lereng gunung merapi sudah mulai terasa dingin. Matahari sudah tak terlihat, tertutup oleh awan dan debu yang keluar dari kawah gunung. Akhir-akhir ini merapi memang semakin aktif, anjuran untuk mengungsi juga sudah diserukan pemerintah setempat. Tiba-tiba saja terdengar dentuman kencang diiringi oleh semburan abu dan awan vulkanik. Kulihat Mas Rangga keluar dari pondoknya membawa tas ransel. Kami memang sudah mempersiapkan barang bawaan jika memang sewaktu-waktu harus segera mengungsi. "Aku akan menjemput Pak Kyai, kamu jemput Ahmad di masjid ya." Mas Rangga memerintahkan. Aku langsung menuju masjid. Kulihat Ahmad Mustofa sedang berkutat dengan buku. Kuajak dia untuk mengungsi namun dia menolak karena masih ingin memilah buku-buku yang mau dibawa. Aku keluar dari masjid dan bertemu Mas Rangga di ge