"Lang, sudah makan belum?" Tanya Dika setelah kami selesai merencanakan kegiatan akhir pekan ini. Saat itu, seperti biasa, kami berempat duduk-duduk di taman sekolah samping lapangan basket. Di hari sabtu siang setelah jam pelajaran selesai, tidak ada lagi hal menarik yang dibicarakan kecuali mau pergi ke mana nanti malam. Sebenarnya tidak ada yang perlu direncanakan, kegiatannya sama saja. Nongkrong di cafe, diskotik atau konser musik yang menarik. Same Shit Different Place.
"Belum" Jawabku singkat. Meski perutku tidak lapar, tapi aku mengerti maksud pertanyaan Dika. Itu adalah kode bahwa dia sudah lapar dan mengajak kami untuk makan bersama. Dan seperti semua kegiatan kami, akulah penyandang dananya. Lebih tepatnya papa, aku hanya perlu menggesek kartu pemberiannya. Tidak masalah bagiku, toh papa juga tidak pernah menanyakan tagihan kartu kreditku.
"Yuks, kita cabut" kataku singkat sambil bangkit dan menuju tempat parkir mobil. Teman-temanku segera mengikuti dan tak lama kemudian kami sudah keluar dari area sekolah menuju cafe langganan. Hening sejenak di dalam mobil, namun akhirnya Dika membuka pembicaraan.
"Lang, nanti malam gue boleh ngajak Sisca?" Dika bertanya sambil melirik ke arahku. Aku tidak langsung menjawab. Sisca adalah siswi idola sekolah kami. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Dika naksir padanya. Yang Dika tidak tahu adalah sudah beberapa kali Sisca menelpon rumahku, menanyakan kegiatanku dan jelas menunjukkan ingin aku mengajaknya. Sayangnya, Sisca bukanlah tipeku.
Aku memutuskan tidak menjawab pertanyaan itu. Dikapun mengerti arti diamku. Dan memang hal ini sudah pernah dibahas, untuk tidak mengajak teman wanita di kegiatan akhir pekan kami. Kita memiliki kesempatan untuk berkenalan dengan banyak cewek di tempat yang dituju, untuk apa mengajak cewek yang dikenal? Hanya akan merusak mood, kilahku saat itu. Dan semuapun setuju.
Pernah suatu waktu Dika bertanya, dari sekian banyak siswi yang naksir padaku, kenapa tidak satupun yang kujadikan pacar. Mungkin dia curiga aku tidak normal. Waktu itu aku hanya tersenyum, sengaja tidak menjelaskan agar dia penasaran. Sebenarnya aku memiliki ketertarikan pada mereka, dan memang banyak yang cantik bahkan ada yang jadi model. Tapi entah mengapa tidak ada rasa dalam hatiku. Aku tidak tahu wanita seperti apa yang bisa membuatku tertarik, sampai salah seorang siswi menjuarai lomba pidato tingkat provinsi dan dia berbicara saat upacara.
Namanya Santi, dia satu tingkat denganku bahkan kami pernah satu kelas. Namun seolah-olah baru saat itu aku bertemu dengannya. Mungkin karena wajahnya biasa saja, banyak yang lebih cantik darinya. Dan di kelas kepandaiannya berpidato tentu tidak terlihat. Sekarang, saat dia berpidato di depan kami, aku sungguh terpesona. Dia sungguh penjelmaan Bung Karno versi wanita. Baru kali inilah aku merasakan getaran di hati.
Saat mengobrol dengan teman-temanku, kucoba menggali informasi tentang Santi. Dan seperti dugaanku, tidak banyak yang kudapat. Dunia kami memang berbeda, jadi wajar jika tidak ada yang mengenalnya secara dekat. Hanya satu informasi yang kudapat. Santi sedang bersiap untuk lomba antar sekolah unggulan se-Jakarta.
Kucoba mencari tahu tentang lomba tersebut. Di mading sekolah, obrolan para siswa bahkan bertanya ke guru. Dari seorang guru aku mendapat informasi kalau mereka berkumpul setiap sabtu siang di laboratorium IPA. Dan sabtu berikutnya kuberanikan diri mendatangi ruang tersebut. Setibanya di sana kudengar suara obrolan perlahan. Sepertinya tim lomba sedang merencanakan persiapan. Kuketuk pintu perlahan dan kemudian langsung kubuka pintu ruangan.
"Ada perlu apa Galang, sepertinya kamu salah masuk ruangan." Pak Tejo, guru Fisika yang menjadi ketua tim lomba bertanya saat melihatku. Raut mukanya menunjukkan kalau dia tidak menyukai kedatanganku.
"Maaf pak, saya ingin masuk tim lomba." Aku langsung to the point. Sontak ruangan itu langsung gaduh. Semua orang tertawa mendengar kata-kataku. Anehnya, diperlakukan seperti itu aku tidak malu. Mungkin karena rasa percaya diriku yang tinggi. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ternyata ada satu orang yang tidak tertawa. Santi hanya tersenyum kecil.
"Memang apa kemampuan yang kamu miliki, yang membuatmu pantas menjadi anggota tim?" Tanya Pak Tejo lagi setelah suara tawa mereda.
"Saya memiliki kartu kredit yang limitnya tak terbatas." Jawabku sekenanya. Ruangan kembali gaduh. Namun kali ini ada dua orang yang tidak tertawa. Pak Tejo dan Santi memandangku dengan pandangan menyelidik.
"Baik, begini saja." Kata Pak Tejo lagi. "Buat makalah yang mendeskripsikan dirimu dan point yang membuatmu pantas menjadi anggota tim. Berikan ke saya secepatnya."
"Terima kasih pak." Jawabku dan langsung pergi meninggalkan ruangan.
Dan begitulah aku masuk tim lomba. Ternyata sehari kemudian Pak Tejo menghubungi papa menceritakan keinginanku dan menanyakan apakah beliau bisa menjadi sponsor untuk kegiatan lomba tersebut. Papa setuju dan akupun diterima bahkan tanpa perlu membuat makalah yang diminta. Aku dimasukkan di tim biologi sekaligus jadi bendahara. Meski beda tim, pertemuan dengan Santi cukup sering terjadi. Paling tidak sepekan sekali. Sesekali kami berbincang berdua, dan memang dia adalah teman ngobrol yang asyik.
Siang itu rapat tim sudah selesai. Tiba-tiba Santi menghampiriku dan bertanya.
"Lang kamu sedang buru-buru gak?"
"Engga," jawabku, "Yuk ngobrol di taman."
Memang seperti itulah kami. Tanpa banyak kata bisa langsung saling mengerti.
"Gue mau tanya sesuatu dan lo harus jujur jawabnya." Dia langsung memulai tanpa basa basi.
"Ok tapi gantian ya. Kita main tell the truth."
"Deal, gue duluan. Kenapa lo mau masuk tim lomba?"
"Karena gue mau deket sama lo." Jawabku sambil melihat Santi. Tidak ada wajah tersipu, apalagi rona merah. Hanya senyum kecil, seperti biasanya.
"Sekarang giliran gue. Waktu gue bilang mau masuk tim lomba, kenapa lo ga ikutan tertawa kaya yang lainnya?".
Santi menghela napas sebentar sebelum menjawab.
"Lo itu idola di sekolah kita, tapi punya pacar aja ga. Dua kemungkinannya, mau mencari cewe yang tepat atau memang gay. Di tim lomba tidak ada cowo gay, jadi gue cenderung menebak alasan pertama. Saat mereka menertawai kedatangan lo gue malah mikir apakah ini serius atau cuma bercanda. Makanya gue ga tertawa."
Setelah siang itu hubungan kami semakin dekat. Mungkin bisa dibilang kami berpacaran. Memang tidak ada kata-kata I Love You, Maukah Kau Menjadi Kekasihku, atau kalimat romantis lainnya.
Tapi toh pacaran memang tidak ada akadnya. Bagi kami cukup saling mengerti. Dan memang obrolan siang itu hanya untuk konfirmasi buat Santi. Sepertinya dia sudah tahu, bahkan mungkin sejak aku mencoba masuk tim lomba. Dia memang cewe yang pintar.
Santi tidak melarangku tetap bergaul bersama teman lamaku. Jadi kegiatan akhir pekanku menjadi bertambah, sabtu malam aku nongkrong bersama geng cowo dan keesokan harinya aku ke rumah Santi. Jika sedang ingin keluar, kami ke taman, museum, toko buku atau tempat "Kutu Buku" lainnya. Jika sedang malas, kami hanya mengobrol di rumahnya. Kedengarannya membosankan, tapi dia selalu saja bisa membuatku terpesona. Aku merasa hidupku telah lengkap dengan kehadirannya.
Namun keindahan itu hanya bertahan beberapa bulan. Papa yang selalu memberikan kebebasan padaku, tidak pernah mencampuri urusanku dan selalu memenuhi kebutuhanku tiba-tiba ingin berbicara serius denganku. Saat itu sore hari. Aku baru saja pulang sekolah. Di ruang keluarga ada papa dan mama sepertinya memang sengaja menungguku. Aku hanya diberi kesempatan mengganti pakaian setelah itu diminta ke ruang itu lagi.
"Galang, papa memiliki rekan bisnis yang sangat dekat sudah seperti keluarga sendiri. Dia memiliki seorang putri yang seusia denganmu. Agar kami menjadi benar-benar keluarga, dia mengusulkan agar kalian bertunangan secepatnya dan setelah lulus kuliah kalian bisa menikah".
Tentu saja aku menolak permintaan itu. Aku mencoba mencari berbagai alasan, bahwa hubungan bisnis tidak perlu sampai jadi hubungan keluarga, atau mungkin kami tidak cocok atau alasan apapun untuk membatalkan keinginan papa. Namun sebenarnya yang kupikirkan hanya Santi. Papa berkeras menolak alasan itu, dan akupun tidak kalah keras menentangnya. Dan akhirnya keluarlah kalimat itu.
"Setelah semua yang papa berikan, satu saja permintaan papa tidak mau kamu turuti. Mulai sekarang papa tidak akan memberikan apapun padamu. Silahkan kamu hidup sesukamu."
"Baik, Galang akan buktikan kalo Galang bisa hidup mandiri tanpa pemberian dari papa. Galang akan pergi dari rumah ini, dan tak akan kembali sebelum membuktikan kata·kata Galang."
Aku melirik sekilas ke mama. Sekilas tampak kesedihan di wajahnya. Beberapa butir air mata mengalir di pipi. Namun keputusan sudah ditetapkan. Aku menghampirinya, mencium tangannya dan berbalik pergi keluar dari rumah tempatku dibesarkan. Kumelangkah keluar pagar melewati mobil yang biasa kugunakan.Aku tak mungkin membawanya, karena itu juga pemberian papa.
Aku bergegas menuju jalan raya, mencegat taksi pertama yang melintas. Tujuan yang terlintas di pikiranku hanya satu, rumah Santi.
Di dalam taksi yang meluncur ke rumah Santi, aku baru sadar tidak membawa uang sepeser pun. Tidak apalah, nanti bisa pinjam uang Santi. Pikiranku masih tidak karuan. Emosi saat bertengkar dengan papa masih bergejolak di dada. Aku tak bisa berpikir apalagi merencanakan apa yang ingin kulakukan.Setelah tiba di tempat tujuan aku meminta sopir taksi menunggu sebentar. Aku menekan bel, hal yang sudah ratusan kali kulakukan. Tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda. Kudengar suara pintu dibuka dan muncul wajah Santi dengan senyum kecilnya. Kuminta dia membayar taksi. Santi agak terkejut, tapi dia tidak bertanya apa-apa. Setelah itu kami langsung mengobrol di tempat biasa.Kuceritakan semua yang terjadi sore ini. Santi mendengarnya tanpa menyela perkataanku. Setelah aku selesai, keheningan pun tercipta. Kulihat dia mempermainkan rambutnya, hal yang belum pernah ter
Fajar belum lagi menyingsing. Suasana jalan masih sangat sepi, hanya sesekali ada kendaraan yang lewat. Namun kami sudah memulai aktifitas rutin mencari barang rongsokan. Memang begitulah jam kerja pemulung. Secara kasat mata kami lebih rajin dari pekerja kantoran pada umumnya. Namun sayang kerajinan tidak menentukan besar penghasilan.Pak tua berjalan sedikit di depanku. Kuperhatikan sudah beberapa kali dia terbatuk. Beberapa hari ini kesehatannya memang sedang turun. Aku sudah melarangnya memulung, tapi dia tak mengindahkan. Sudah biasa, katanya.Suara adzan shubuh sayup-sayup terdengar. Tak terasa kami sudah bekerja hampir 2 jam. Rasa khawatirku semakin menjadi, pak tua berjalan makin perlahan dan batuknya pun semakin sering. Akhirnya yang kutakutkan pun terjadi. Pak tua berjalan sempoyongan, karung di genggamannya terlepas, lalu dia pun terjatuh tidak sadar
Matahari sudah mulai tinggi. Hampir semua pegawai pool telah datang. Bukan untuk bekerja, tapi untuk memastikan barang apa saja yang hilang. Beberapa sopir juga telah tiba. Mereka terkejut ketika mengetahui apa yang terjadi semalam.Tentu saja yang pertama tiba adalah pak satpam. Dia sangat kaget saat kuceritakan kejadian semalam. Mukanya langsung pucat pasi, untung saja dia tidak memiliki penyakit jantung. Setelah tenang dia langsung masuk kantor dan menelpon pemilik travel. Orang kedua yang dia telpon adalah Kang Asep. Sudah semalaman aku menyusun alasan apa yang akan kuberikan padanya. Namun saat dia datang aku hanya bisa berkata, "Maaf kang, saya telah membuat akang kecewa."Dan saat ini aku melihat Kang Asep sedang berbicara dengan pemilik travel. Sebelumnya salah seorang pegawai kantor memberikan secarik kertas pada bos. Sepertinya semua barang telah sele
Hari sudah semakin siang. Jalan-jalan juga semakin ramai. Suara bisingnya sayup-sayup terdengar dari lantai 3. Untungnya gedung ini ber-AC sehingga suara dari luar tidak terlalu mengganggu.Kami berdua masih terdiam. Pak Kepala dengan sabar memberikan waktu padaku untuk berpikir. Setelah yakin dengan jawabanku akhirnya aku berkata."Sebenarnya saya tidak terlalu peduli akan diterima atau tidak. Apapun hasilnya saya tetap akan dipenjara, di sini atau di LAPAS. Bahkan saya berpikir lebih baik di LAPAS. Di sana saya bisa bebas melakukan apa saja sedangkan di sini saya harus mengikuti semua aturan yang ada."Pak Kepala hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak tersinggung. Dia kembali bertanya."Jika demikian, kenapa kamu tetap mengajukan pinjaman?"
Suasana sore di kantor pengelola pesantren sudah sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan tempatnya, ada yang pulang ke rumah dan ada juga yang pergi ke masjid. Seperti biasa, hari itu memang ada pengajian sore di masjid dan banyak karyawan yang ikut menghadirinya.Di tengah kesunyian kantor, aku seperti disambar petir mendengar tuduhan bapak itu. Siapakah dia, dan siapa pula anak gadisnya. Aku tak pernah berhubungan intim dengan wanita manapun. Mana mungkin aku bisa menghamili seseorang. Dengan memberanikan diri akhirnya aku bertanya."Maaf pak, siapa nama anak bapak?"Jawaban dari pertanyaanku adalah tamparan di pipi. Dia semakin marah dan berteriak membentakku."Kurang ajar, masih pura-pura lupa. Atau jangan-jangan banyak gadis yang kau nodai sehingga kau tak
"Pak Kyai mengenalku? Dia percaya padaku?""Ya, tentu saja. Bahkan dia memiliki julukan untukmu. Santri Tanda Tangan, katanya. Sebenarnya semua santri di sini diawasi. Biasanya oleh santri yang posisinya dekat. Tapi kamu agak lain. Pak Kyai ingat karena saat ceramah shubuh kau selalu duduk di sudut dan tertidur. Itu di awal-awal. Setelah itu posisi dudukmu bergeser semakin ke depan."Aku tersenyum mendengar penjelasan itu. Ternyata aku diperhatikan. Kelak semua ini akan jadi kenangan indah yang tak terlupakan."Saya juga mengawasimu meski secara tidak sengaja." Pak Kepala melanjutkan. "Setiap lewat depan toko, saya selalu melihatmu sedang membaca. Saya jadi bertanya-tanya, sudah berapa buku yang kamu baca?""Hampir semua." Jawabku
Udara sore di lereng gunung merapi sudah mulai terasa dingin. Matahari sudah tak terlihat, tertutup oleh awan dan debu yang keluar dari kawah gunung. Akhir-akhir ini merapi memang semakin aktif, anjuran untuk mengungsi juga sudah diserukan pemerintah setempat. Tiba-tiba saja terdengar dentuman kencang diiringi oleh semburan abu dan awan vulkanik. Kulihat Mas Rangga keluar dari pondoknya membawa tas ransel. Kami memang sudah mempersiapkan barang bawaan jika memang sewaktu-waktu harus segera mengungsi. "Aku akan menjemput Pak Kyai, kamu jemput Ahmad di masjid ya." Mas Rangga memerintahkan. Aku langsung menuju masjid. Kulihat Ahmad Mustofa sedang berkutat dengan buku. Kuajak dia untuk mengungsi namun dia menolak karena masih ingin memilah buku-buku yang mau dibawa. Aku keluar dari masjid dan bertemu Mas Rangga di ge
Aku terperanjat mendengar kalimat itu. Lama setelah itu baru aku mengerti maksudnya."Tapi mas, bagaimana dengan keluarganya? Saya tidak bisa menjadi Ahmad Mustofa karena jika keluarganya tahu mereka akan sedih bahkan marah." Ucapku."Kamu tak perlu khawatir," kata Mas Rangga. "Dia sudah sebatang kara saat dibawa Pak Kyai ke sini. Aku tidak meragukan kemampuanmu, kau hanya tidak beruntung karena tidak memiliki ijazah. Ini kesempatan baik untukmu dan untuk pesantren ini. Tidak ada yang akan dirugikan dari kebohongan ini, yang ada hanya kebaikan. Semoga Allah meridhoi jalan ini."Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk setuju. Setelah Pak Kyai wafat dan bangunan pesantren rusak, otomatis aku tidak punya tempat tinggal lagi. Menjadi Ahmad Mustofa adalah pilihan terbaik buatku.