Fajar belum lagi menyingsing. Suasana jalan masih sangat sepi, hanya sesekali ada kendaraan yang lewat. Namun kami sudah memulai aktifitas rutin mencari barang rongsokan. Memang begitulah jam kerja pemulung. Secara kasat mata kami lebih rajin dari pekerja kantoran pada umumnya. Namun sayang kerajinan tidak menentukan besar penghasilan.
Pak tua berjalan sedikit di depanku. Kuperhatikan sudah beberapa kali dia terbatuk. Beberapa hari ini kesehatannya memang sedang turun. Aku sudah melarangnya memulung, tapi dia tak mengindahkan. Sudah biasa, katanya.
Suara adzan shubuh sayup-sayup terdengar. Tak terasa kami sudah bekerja hampir 2 jam. Rasa khawatirku semakin menjadi, pak tua berjalan makin perlahan dan batuknya pun semakin sering. Akhirnya yang kutakutkan pun terjadi. Pak tua berjalan sempoyongan, karung di genggamannya terlepas, lalu dia pun terjatuh tidak sadarkan diri.
Segera kulemparkan barang bawaanku. Aku cek nadinya, thanks god masih ada denyut kurasa. Sekitar 100 meter di depan ada taksi yang sedang mangkal. Kubopong tubuh pak tua sambil menuju ke sana dan berteriak memanggilnya. Setelah agak dekat akhirnya sopir taksi mendengar teriakanku dan melaju menghampiri.
Di dalam taksi pak tua perlahan membuka matanya. Dia masih sangat lemah tapi tetap berusaha untuk bicara. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit, tidak peduli apa yang akan terjadi di sana. Bahkan aku tak memikirkan berapa banyak uang di sakuku.
"Pergilah den, jangan jadi pemulung lagi." katanya perlahan. Aku sangat terkejut mendengarnya, apalagi di saat seperti ini.
"Bapak tidak suka padaku?" aku bertanya padanya. Meski kutahu dia masih lemah, aku harus mengetahui alasan permintaannya.
Bapak itu tersenyum lalu berkata.
"Aden sangat mirip anak saya. Dia ditinggal mati ibunya sejak kecil. Bapak sangat menyayanginya dan menuruti semua keinginannya. Dia akhirnya tumbuh jadi orang yang malas yang hanya bisa menghabiskan semua yang bapak miliki sampai tak tersisa. Setelah kami tidak memiliki apapun, dia tak bisa menahan tekanan hidup dan akhirnya bunuh diri."
Pak tua berhenti sejenak untuk mengumpulkan tenaga. Setelah beberapa lama diapun melanjutkan.
"Saya lihat aden mulai nyaman menjadi pemulung. Bapak takut aden jadi malas berusaha untuk menjadi lebih baik. Pasti aden bisa lebih dari sekedar jadi pemulung. Bapak sudah tua, tapi aden masih sangat muda. Pergilah dan cari pekerjaan lain."
Tak lama setelah pak tua selesai berbicara taksi tiba di rumah sakit. Aku langsung meminta sopir menuju UGD. Kulirik argo sekilas, dan ternyata nominal yang tertera persis sama dengan jumlah uang yang ada di saku. Hanya menyisakan sedikit. Segera kuserahkan semua ke sopir taksi dan tidak meminta kembalian."
Aku memapah pak tua dibantu sopir taksi masuk ke ruang UGD. Di dalam ada perawat jaga yang setelah melihat kami langsung mengambil kursi roda dan dengan sigap mendudukkan pak tua dan membawanya ke dalam. Aku diminta langsung ke tempat administrasi. Di sana aku diberika formulir dan diminta mengisinya.
Jantungku langsung berdegup kencang. Di formulir tertera isian data penanggung dan nilai uang jaminan. Aku tidak memiliki KTP dan uang sepeserpun. Setelah berpikir sejenak kuputuskan untuk mengikuti saran pak tua. Ya, aku akan pergi. Kuserahkan nasib pak tua kepada takdir, semoga Tuhan selalu melindunginya.
Aku meminta ijin ke bagian administrasi untuk keluar ruangan. Setelah itu aku menyelinap pergi dari rumah sakit. Sepertinya aku mengalami DejaVu. Sekali lagi kulangkahkan kaki tak tentu arah sampai akhirnya aku bertemu Kang Asep.
"Boi sudah makan belum?" Kang Asep kembali bertanya karena aku belum juga menjawabnya.
"Belum kang, aku tidak punya uang untuk beli makan." Jawabku sejujurnya. Kang Asep agak terkejut mendengarnya.
"Gampang, nanti saya yang traktir. Ayo kita ke warteg langganan saya." Kang Asep bangkit dari duduknya, akupun langsung mengikuti. Kami berjalan keluar pelataran masjid menuju tempat makan langganan Kang Asep. Saat itu warung sudah mulai sepi karena waktu istirahat para pekerja sudah selesai. Kami memilih makanan lalu mencari tempat duduk di sudut agar bisa mengobrol dengan leluasa.
"Coba cerita bagaimana kamu bisa sampai sini." Katanya padaku. Kuceritakan semua apa adanya, kecuali bahwa ayahku adalah orang kaya dan namaku bukanlah Boi. Kang Asep mendengarkan tanpa menyela. Setelah aku selesai baru dia berkata.
"Kalo mau jadi seniman jalanan bukan di sini tempatnya, tapi di Bandung. Sudah banyak yang sukses. Kalo mau kamu bisa ikut saya."
"Saya tidak kenal siapa-siapa di sana kang," kataku. Kang Asep tertawa mendengar jawabanku. Karena sambil makan, akhirnya dia tersedak. Baru setelah minum dia melanjutkan.
"Memangnya di sini kau kenal siapa. Orang tua sudah tidak mengakui, kekasihpun tak mau membantu. Aku mengerti kau berkata itu karena takut akan merepotkanku. Jangan khawatir, aku sudah punya tempat untukmu."
Kang Asep melanjutkan makannya sebentar sebelum melanjutkan.
"Dulu anak saya bantu-bantu di pool travel. Tugasnya cuma jaga malam, setelah security pulang. Paginya setelah security datang dia bisa berangkat sekolah. Tapi sekarang dia sudah lulus dan kerja di Bekasi. Karena memang tidak ada gajinya, hanya dapat makan malam dan sarapan saja. Kadang jika sopir sedang malas, anak saya diminta mencuci mobil dan diberi upah sekedarnya."
Aku lumayan tertarik mendengar keterangan itu. Mirip seperti lapak pemulung, aku tidak perlu menyewa tempat tinggal. Bahkan ini lebih baik karena sudah mendapat makan dua kali sehari. Aku juga bisa fokus meniti karir mengamenku di siang hari. Mungkin di awal-awal jadi pengamen jalanan, setelah bisa membuktikan kemampuan aku bisa mengisi di cafe-cafe sampai kelak aku akan memiliki grup band yang terkenal.
"Bagaimana, tertarik tidak?" pertanyaan Kang Asep memutus khayalanku.
"Mau kang, terima kasih." Jawabku.
"Nah gitu dong. Yuk kita berangkat. Jadwal saya sebentar lagi, semoga aja masih ada kursi buatmu."
Kang Asep bangkit dan membayar makan siang kami. Setelah itu kami keluar ke arah jalan raya. Mobil Kang Asep diparkir tidak jauh dari masjid. Dia menyuruhku menunggu dekat mobil lalu pergi untuk melapor ke petugas tiket. Selang beberapa lama dia kembali.
"Alhamdulillah penumpangnya ga penuh, jadi masih ada kursi kosong buatmu. Kita berangkat sekitar 15 menit lagi." Kang Asep kemudian mengajakku duduk di pinggir jalan dekat gerobak penjual minuman dan memesan dua cangkir kopi. Kami tak banyak bicara saat menikmati minuman itu.
Tak lama kemudian kami berangkat. Karena belum terlalu sore, jalan menuju Bandung masih lancar dan kami tiba di tujuan 2 jam kemudian. Setelah semua penumpang turun, Kang Asep langsung menuju pool. Saat tiba di sana, Kang Asep memperkenalkan aku kepada security, staf kantor dan terakhir pemilik travel.
Ternyata usia bos itu masih muda, sekitar beberapa tahun di bawah Kang Asep. Dia hanya menanyakan beberapa hal, setelah itu langsung mengijinkanku tinggal di sana. Satu hal yang ditekankan, bahwa pada malam hari semua aset yang ada di pool ini menjadi tanggung jawabku.
"Setelah ini kita ke rumahku, nanti malam baru kuantar kau ke sini lagi." Kang Asep menjelaskan sambil berjalan ke parkiran motor. Aku hanya mengangguk sambil mengikutinya. Tempat parkir terletak di belakang. Rata-rata sopir travel membawa motor dari rumahnya dan disimpan di pool saat mereka bertugas. Karena itu cukup banyak motor yang diparkir di sana.
Ternyata rumah Kang Asep hanya berjarak sekitar 15 menit dari pool. Aku diperkenalkan dengan istri dan anak gadisnya. Seperti dijelaskan sebelumnya, anak pertamanya sudah bekerja dan anak keduanya baru masuk SMA. Dia menyalamiku dengan malu-malu.
Aku dipersilahkan duduk di ruang tamu, kemudian Kang Asep masuk ke salah satu kamar. Tak lama kemudia dia keluar membawa tas ransel.
"Ini tas dan beberapa pakaian anakku yang sudah jarang dipakai. Aku akan berikan padamu asal kau mau mencuci mobilku."
"Terima kasih kang." Aku menerima tas itu sambil tersenyum. Kemudian Kang Asep meninggalkan ruang tamu lagi untuk pergi mandi. Dia juga menawariku, tapi dengan sopan kutolak tawaran itu. Aku akan mandi di pool saja, jawabku.
Setelah dia selesai aku diajak makan dan mengobrol di teras. Tak lama kemudian kami berangkat ke pool lagi. Kami tidak langsung ke sana. Kang Asep mengajakku ke suatu tempat terlebih dahulu.
"Ini adalah tempat makan para pegawai sekitar sini. Pada jam makan siang tempat ini ramai sekali. Mungkin kau bisa mencoba mengamen di sini."
Aku memperhatikan tempat itu. Memang cocok menjadi tempat nongkrong. Ada tempat makan resmi dan tenda untuk kaki lima. Suasananya juga cukup tenang karena tidak terletak di jalan utama.
Setibanya di pool, pak satpam sudah menunggu untuk menyerahkan kunci padaku. Dia menjelaskan bahwa masih ada beberapa mobil yang belum datang, sekitar beberapa jam lagi mungkin. Setelah itu aku ditinggal sendiri. Kukunci pintu gerbang dan langsung mencari kamar mandi. Bagiku, setelah lama menjadi gelandangan, tempat ini serasa seperti hotel.
Demikianlah aku menjalani kehidupan di kota ini. Siang hari aku menjadi pengamen, malamnya aku jaga di pool. Pengeluaranku sangat sedikit, hanya untuk makan siang. Bahkan aku tak perlu membeli gitar untuk mengamen karena ternyata gitar milik anak Kang Asep tidak dibawa saat dia meninggalkan pool ini.
Benar memang yang dikatakan Kang Asep. Bandung memang kota yang ramah kepada seniman jalanan. Penduduknya juga murah tangan kepada pengamen. Dan satu lagi kelebihannya, banyak gadis cantik di sini. Mulai dari pekerja kantor, mahasiswi sampai remaja seusiaku. Dan mereka sangat sopan kepada pengamen tidak memandang rendah profesi ini. Aku rasa aku akan betah di sini.
Meski sudah merasa cukup menjadi pengamen jalanan, aku tetap mencoba melamar ke cafe-cafe. Aku teringat pesan pak tua untuk selalu menjadi lebih baik. Kudatangi cafe yang ramai pengunjung dan meminta ijin untuk audisi. Beberapa langsung menolak, sebagian menjanjikan nanti saat dibutuhkan. Setelah bertanya ke beberapa tempat, ada cafe yang mau melakukan audisi. Waktunya setelah mereka tutup, sekitar jam 10 malam.
Awalnya aku agak ragu karena pada jam tersebut aku harus berada di pool. Namun akhirnya kusetujui juga. Kupikir aku hanya akan meninggalkan pool beberapa jam. Tak akan terjadi apa-apa. Pada malam yang ditentukan, kukunci pintu kantor dan menutup serta menggembok gerbang. Untungnya semua mobil telah kembali. Kupanggil ojek yang mangkal di depan dan langsung menuju cafe.
Audisi berjalan lancar. Mereka cukup terkesan dan berjanji akan segera menghubungi. Kuberikan nomor telepon kantor dan pamit pulang. Sepanjang perjalanan aku tersenyum-senyum sendiri mirip orang tidak waras.
Senyum tersebut langsung sirna saat tiba di gerbang. Aku yakin sudah menggemboknya, tapi sekarang gembok itu tak ada. Aku langsung masuk ke kantor dan mendapati pintunya sedikit terbuka. Aku mengecek lemari kecil berisi barang-barang berharga dan kudapati isinya telah hilang. Saat itu aku langsung merasa akan mendapat masalah.
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi