Di dalam taksi yang meluncur ke rumah Santi, aku baru sadar tidak membawa uang sepeser pun. Tidak apalah, nanti bisa pinjam uang Santi. Pikiranku masih tidak karuan. Emosi saat bertengkar dengan papa masih bergejolak di dada. Aku tak bisa berpikir apalagi merencanakan apa yang ingin kulakukan.
Setelah tiba di tempat tujuan aku meminta sopir taksi menunggu sebentar. Aku menekan bel, hal yang sudah ratusan kali kulakukan. Tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda. Kudengar suara pintu dibuka dan muncul wajah Santi dengan senyum kecilnya. Kuminta dia membayar taksi. Santi agak terkejut, tapi dia tidak bertanya apa-apa. Setelah itu kami langsung mengobrol di tempat biasa.
Kuceritakan semua yang terjadi sore ini. Santi mendengarnya tanpa menyela perkataanku. Setelah aku selesai, keheningan pun tercipta. Kulihat dia mempermainkan rambutnya, hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sepertinya dia sedang gelisah dan bingung karena akan mengambil keputusan yang sulit.
"Lo mau gue berbuat apa lang." akhirnya dia berkata. Perkataannya sedikit membuatku terkejut, tapi tidak membuatku heran. Meski baru beberapa bulan, aku sudah mengenal wataknya dengan baik. Itu adalah jawaban dari sang juara lomba debat. Aku akan lebih heran jika dia bersikap melankolis.
"Gue gak mungkin ikut pergi sama lo. Kita siapa, lulus SMA aja belum. Jika kita nekat melakukan itu, kelak kita akan menyesal. Saat tuntutan hidup makin sulit kita akan sering bertengkar dan saling menyalahkan. Gue ga mau hidup sama lo dengan cara seperti itu."
Perkataan Santi seakan menamparku. Aku ingin menyanggahnya tapi kata-kata itu memang ada benarnya. Lagian aku tak akan menang adu argumen dengan titisan Soekarno itu. Akhirnya aku hanya berkata.
"Ok, gue akan berjuang sendirian. Gue akan ke sini lagi nanti kalo uda terbukti bisa hidup mandiri. Lo mau nunggu gue San?"
Sekali lagi Santi memainkan rambutnya suaranya pelan saat dia berkata.
"Gue ga bisa janji apa-apa lang."
"Kalo gitu gue pamit. Biar nasib yang akan menentukan jalan hidup kita. Selamat tinggal Santi." Aku langsung bangkit dan melangkah ke arah pagar.
"Lo mau ke mana lang, ke rumah Dika?" Suaranya agak tinggi mencoba menahan langkahku.
"Gak, numpang di rumah orang cuma bikin gue ga bisa mandiri." Aku menjawab tanpa menoleh kepadanya.
"Kalo gitu tunggu sebentar." Dia bangkit dari duduknya, masuk ke dalam dan tak lama kemudian kembali sambil membawa bungkusan. "Ini bekal makan siang gue. Tadi gue gak makan karena masih kenyang."
"Terima kasih San, sampai jumpa. Bye." Aku menerima bungkusan itu dan kembali melangkah ke luar pagar menjauhi rumah Santi. Banyak sekali kenangan di sini, tapi entah kapan aku akan kembali.
Kuberjalan tak tentu arah menyusuri trotoar diterangi lampu kota yang mulai menyala. Saat itu malam mulai menyelimuti bumi. Aku masih belum punya rencana apapun, jadi kubiarkan saja kaki ini melangkah sampai akhirnya perutku yang protes. Di depan ada halte bis dengan beberapa kursi kosong. Segera ku menuju ke sana, duduk di salah satu kursi tunggu dan membuka bungkusan pemberian Santi.
Makan siang itu sudah dingin, tapi rasanya cukup nikmat. Entahlah, mungkin karena pemberian Santi atau perutku yang kelaparan. Aku tersenyum kecut. Bungkusan tersebut tidak berisi air minum. Sepertinya sudah nasibku akan kehausan malam ini. Selesai menikmati makan malamku, aku bangkit dan mulai melangkah lagi. Entah mengapa kulakukan itu, mungkin agar semakin jauh dari rumahku dan rumah Santi.
Aku terus berjalan sampai kaki ini tak kuat lagi melangkah. Malam sudah mulai larut, toko-toko sudah banyak yang tutup. Saat tidak kuat lagi melangkah, kuhampiri toko yang sudah tutup. Kucari kardus tak terpakai di sekitar toko tersebut untuk dijadikan alas tidur. Setelah kutemukan kardus yang cukup bersih, segera kurebahkan tubuh yang memang sudah sangat lelah ini dan tak lama akupun terlelap.
Keesokan harinya, setelah gagal menjadi tukang parkir di toko tersebut, aku kembali melangkah tapi kali ini dengan satu tujuan. Aku harus mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kupertimbangkan apa yang kumiliki. Keahlianku hanya menyetir. Tapi aku tidak memiliki ijazah bahkan KTP juga tidak ada. Kurasa tidak ada seorangpun yang mau mempercayakan mobilnya padaku. Aku harus memikirkan pekerjaan lain. Tapi sebelumnya aku harus mencari sarapun dulu. Perutku sudah lapar, dan aku tak bisa berpikir dalam keadaan seperti itu.
Setelah mendapatkan sebungkus nasi, aku mencari tempat duduk untuk menyantapnya. Ternyata penghasilan menjadi tukang parkir, meski sesaat, cukup untuk membeli sarapan. Padahal uang sebesar itu biasanya kuberikan sebagai tips untuk pelayan di cafe langgananku. Harga makanan pinggir jalan ternyata sangat murah, bahkan aku masih diberikan sebungkus teh hangat. Thanks god, aku tak harus kehausan lagi.
Aku menikmati makan pagiku di persimpangan jalan yang cukup ramai. Mobil-mobil sudah mulai memadati jalan, mereka pasti para pekerja kantor yang berangkat pagi agar tidak terjebak macet. Saat lampu merah menyala, seorang anak menghampiri mobil tersebut, memainkan alat musik buatannya dan mulai bernyanyi. Tak lama kemudian kaca pintu mobil diturunkan dan anak tersebut mendapatkan upahnya. Begitu seterusnya sampai lampu hijau menyala.
Aku langsung menghitung penghasilan anak itu. Jika sekali lampu merah dia bisa mendapat upah dari 5 mobil, bayangkan berapa ratus mobil yang akan memberinya upah jika dia bekerja seharian. Pekerjaan ini sangat menjanjikan dan aku bisa melakukannya lebih baik dari anak itu. Aku bisa bermain gitar dan kata orang suaraku juga cukup bagus. Meski saat ini tak ada gitar, tapi alat musik anak itu juga hanya tutup botol yang dipipihkan yang menghasilkan suara dengan nada tak karuan. Aku pasti bisa lebih baik darinya.
Setelah anak itu pergi ke tempat lain, aku menggantikan posisinya. Saat lampu merah menyala, kuhampiri mobil dan mulai bernyanyi. Namun anehnya sampai lampu menyala hijau kaca mobil tidak juga diturunkan. Mungkin dia sedang tidak punya uang receh. Aku mencoba kembali, dan akhirnya menyerah saat tidak juga mendapat upah pada mobil kesepuluh. Aku kembali ke pinggir jalan dan mulai mengamati lagi. Setelah beberapa lama baru aku mengerti, ternyata profesi ini memiliki segmentasi usia. Untuk segmen usiaku harus menggunakan alat musik yang asli, minimal gitar. Aku harus mengumpulkan modal terlebih dahulu.
Setelah gagal menjadi pengamen aku mulai berpikir mencari profesi lain. Tapi sampai siang belum juga terpikirkan profesi yang bisa kulakukan tanpa modal dan syarat administrasi apapun. Akhirnya aku berjalan meninggalkan tempat itu. Selang beberapa lama aku melihat pak tua sedang beristirahat sambil minum. Di sampingnya ada karung besar penuh berisi macam-macam barang. Saat aku menatapnya dia menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Aden ngapain berdiri saja di situ. Sini duduk di samping bapak. Mau minum?"
Tawaran tersebut sangat menggoda, karena memang aku sudah sangat kehausan. Melihat ketulusannya aku langsung saja menerima tawaran itu. Setelah minum beberapa teguk aku mencoba mengobrol dengannya.
"Bapak tidak capek bawa karung sebesar ini?" Tanyaku sambil memegang karung itu.
"Ah, sudah biasa den. Lagian isinya juga cuma botol plastik yang masih laku dijual. Gak berat. Lumayan uangnya buat makan bahkan kalo hemat masih sisa. Soalnya pengepulnya baik, pemulung boleh tidur di lapaknya."
Aku langsung tertarik mendengar keterangan itu. Penghasilan untuk makan tanpa pengeluaran untuk tempat tinggal. Benar-benar profesi yang menjanjikan.
"Lapak bapak masih menerima pemulung?" Aku langsung mencoba melamar pekerjaan.
"Aden beneran mau jadi pemulung?" bapak itu bertanya agak heran.
"Saya gelandangan pak, gak punya pekerjaan dan tempat tinggal." jawabku jujur.
Pak tua itu berpikir sebentar namun akhirnya berkata. "Yuk ikut saya. Tapi nanti terserah bos ya yang memutuskan."
Aku berjalan mengikuti bapak itu. Dia menolak tawaranku membawakan karungnya. Sesampai di lapaknya, aku langsung diajak menemui seseorang. Bos lapak itu ternyata orang yang ceria dan suka bercanda. Dia sebenarnya tidak mau menerimaku, aku terlalu tampan katanya. Tapi karena dia kasihan pada bapak tua itu akhirnya aku dibolehkan tinggal di sana dengan syarat aku menemani pak tua itu saat memulung.
Demikianlah aku mendapatkan pekerjaan ketigaku. Kupikir lucu juga, aku menjadi pelajar belasan tahun saat tinggal bersama papa tapi menjalani tiga profesi dalam dua hari saat meninggalkan rumah. Ini adalah profesi terlamaku, sudah seminggu aku menjalaninya. Uangnya juga lumayan, saat ini aku sudah bisa membeli gitar.
Namun aku belum memikirkan profesi mengamen lagi, karena siapa tahu hasilnya lebih kecil. Yang pasti pengeluaran jadi bertambah karena harus menyewa tempat tinggal.
Aku selalu menemani pak tua memulung seperti perintah bos, tapi entah mengapa, aku merasa dia tidak suka hal itu. Awalnya kupikir karena kehadiranku membuat barang rongsokan yang dia dapat jadi berkurang. Tapi aku tidak yakin, sikapnya tidak menunjukkan ke arah itu. Dan akhirnya aku menemukan jawabnya. Namun untuk itu aku harus melewati satu peristiwa yang menyakitkan, peristiwa yang hampir merenggut nyawa.
Fajar belum lagi menyingsing. Suasana jalan masih sangat sepi, hanya sesekali ada kendaraan yang lewat. Namun kami sudah memulai aktifitas rutin mencari barang rongsokan. Memang begitulah jam kerja pemulung. Secara kasat mata kami lebih rajin dari pekerja kantoran pada umumnya. Namun sayang kerajinan tidak menentukan besar penghasilan.Pak tua berjalan sedikit di depanku. Kuperhatikan sudah beberapa kali dia terbatuk. Beberapa hari ini kesehatannya memang sedang turun. Aku sudah melarangnya memulung, tapi dia tak mengindahkan. Sudah biasa, katanya.Suara adzan shubuh sayup-sayup terdengar. Tak terasa kami sudah bekerja hampir 2 jam. Rasa khawatirku semakin menjadi, pak tua berjalan makin perlahan dan batuknya pun semakin sering. Akhirnya yang kutakutkan pun terjadi. Pak tua berjalan sempoyongan, karung di genggamannya terlepas, lalu dia pun terjatuh tidak sadar
Matahari sudah mulai tinggi. Hampir semua pegawai pool telah datang. Bukan untuk bekerja, tapi untuk memastikan barang apa saja yang hilang. Beberapa sopir juga telah tiba. Mereka terkejut ketika mengetahui apa yang terjadi semalam.Tentu saja yang pertama tiba adalah pak satpam. Dia sangat kaget saat kuceritakan kejadian semalam. Mukanya langsung pucat pasi, untung saja dia tidak memiliki penyakit jantung. Setelah tenang dia langsung masuk kantor dan menelpon pemilik travel. Orang kedua yang dia telpon adalah Kang Asep. Sudah semalaman aku menyusun alasan apa yang akan kuberikan padanya. Namun saat dia datang aku hanya bisa berkata, "Maaf kang, saya telah membuat akang kecewa."Dan saat ini aku melihat Kang Asep sedang berbicara dengan pemilik travel. Sebelumnya salah seorang pegawai kantor memberikan secarik kertas pada bos. Sepertinya semua barang telah sele
Hari sudah semakin siang. Jalan-jalan juga semakin ramai. Suara bisingnya sayup-sayup terdengar dari lantai 3. Untungnya gedung ini ber-AC sehingga suara dari luar tidak terlalu mengganggu.Kami berdua masih terdiam. Pak Kepala dengan sabar memberikan waktu padaku untuk berpikir. Setelah yakin dengan jawabanku akhirnya aku berkata."Sebenarnya saya tidak terlalu peduli akan diterima atau tidak. Apapun hasilnya saya tetap akan dipenjara, di sini atau di LAPAS. Bahkan saya berpikir lebih baik di LAPAS. Di sana saya bisa bebas melakukan apa saja sedangkan di sini saya harus mengikuti semua aturan yang ada."Pak Kepala hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak tersinggung. Dia kembali bertanya."Jika demikian, kenapa kamu tetap mengajukan pinjaman?"
Suasana sore di kantor pengelola pesantren sudah sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan tempatnya, ada yang pulang ke rumah dan ada juga yang pergi ke masjid. Seperti biasa, hari itu memang ada pengajian sore di masjid dan banyak karyawan yang ikut menghadirinya.Di tengah kesunyian kantor, aku seperti disambar petir mendengar tuduhan bapak itu. Siapakah dia, dan siapa pula anak gadisnya. Aku tak pernah berhubungan intim dengan wanita manapun. Mana mungkin aku bisa menghamili seseorang. Dengan memberanikan diri akhirnya aku bertanya."Maaf pak, siapa nama anak bapak?"Jawaban dari pertanyaanku adalah tamparan di pipi. Dia semakin marah dan berteriak membentakku."Kurang ajar, masih pura-pura lupa. Atau jangan-jangan banyak gadis yang kau nodai sehingga kau tak
"Pak Kyai mengenalku? Dia percaya padaku?""Ya, tentu saja. Bahkan dia memiliki julukan untukmu. Santri Tanda Tangan, katanya. Sebenarnya semua santri di sini diawasi. Biasanya oleh santri yang posisinya dekat. Tapi kamu agak lain. Pak Kyai ingat karena saat ceramah shubuh kau selalu duduk di sudut dan tertidur. Itu di awal-awal. Setelah itu posisi dudukmu bergeser semakin ke depan."Aku tersenyum mendengar penjelasan itu. Ternyata aku diperhatikan. Kelak semua ini akan jadi kenangan indah yang tak terlupakan."Saya juga mengawasimu meski secara tidak sengaja." Pak Kepala melanjutkan. "Setiap lewat depan toko, saya selalu melihatmu sedang membaca. Saya jadi bertanya-tanya, sudah berapa buku yang kamu baca?""Hampir semua." Jawabku
Udara sore di lereng gunung merapi sudah mulai terasa dingin. Matahari sudah tak terlihat, tertutup oleh awan dan debu yang keluar dari kawah gunung. Akhir-akhir ini merapi memang semakin aktif, anjuran untuk mengungsi juga sudah diserukan pemerintah setempat. Tiba-tiba saja terdengar dentuman kencang diiringi oleh semburan abu dan awan vulkanik. Kulihat Mas Rangga keluar dari pondoknya membawa tas ransel. Kami memang sudah mempersiapkan barang bawaan jika memang sewaktu-waktu harus segera mengungsi. "Aku akan menjemput Pak Kyai, kamu jemput Ahmad di masjid ya." Mas Rangga memerintahkan. Aku langsung menuju masjid. Kulihat Ahmad Mustofa sedang berkutat dengan buku. Kuajak dia untuk mengungsi namun dia menolak karena masih ingin memilah buku-buku yang mau dibawa. Aku keluar dari masjid dan bertemu Mas Rangga di ge
Aku terperanjat mendengar kalimat itu. Lama setelah itu baru aku mengerti maksudnya."Tapi mas, bagaimana dengan keluarganya? Saya tidak bisa menjadi Ahmad Mustofa karena jika keluarganya tahu mereka akan sedih bahkan marah." Ucapku."Kamu tak perlu khawatir," kata Mas Rangga. "Dia sudah sebatang kara saat dibawa Pak Kyai ke sini. Aku tidak meragukan kemampuanmu, kau hanya tidak beruntung karena tidak memiliki ijazah. Ini kesempatan baik untukmu dan untuk pesantren ini. Tidak ada yang akan dirugikan dari kebohongan ini, yang ada hanya kebaikan. Semoga Allah meridhoi jalan ini."Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk setuju. Setelah Pak Kyai wafat dan bangunan pesantren rusak, otomatis aku tidak punya tempat tinggal lagi. Menjadi Ahmad Mustofa adalah pilihan terbaik buatku.
Suasana kampus di waktu pagi terasa sunyi. Suara yang terdengar hanya kicauan burung-burung yang hinggap di dahan pohon. Wajar saja karena hari ini sudah memasuki libur semester. Hampir semua penghuni asrama sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal hanyalah mahasiswa yang ingin mengejar ketertinggalan, atau yang tidak punya rumah sepertiku.Tapi hari ini aku punya rencana untuk bepergian. Sudah satu semester aku menabung untuk mencicil hutangku pada pesantren. Sengaja aku pilih berkunjung ke sana pada kamis pagi, karena selain ingin membayar hutang aku juga merindukan suasana pengajian di sana. Jika perjalananku lancar, aku akan tiba saat siang hari sehingga bisa mengikuti pengajian kamis sore, kamis malam dan jum'at pagi.Entah mengapa ada perasaan bahagia menyelimuti diriku. Aku akan kembali ke Geger Kalong, seolah aku akan pulang kampung. Padahal