Semuanya tertawa melihatku terjungkal, kecuali kekasihku yang sigap menghampiri. Duh, malangnya nasib."Bang! Bangun! Rika gak bisa makan tanpa Abang!" ucap Rika khawatir. Hah? Gak bisa makan tanpa aku? Apa maksudnya, ya?"Kamu bisa makan sama siapa saja, Dek," balasku lemah. Rika menggeleng dengan cepat."Kalau makan sama Abang, aku semakin bersemangat. Mending gak usah makan kalau gak sama ayah dari calon anakku ini." Semangatku langsung penuh mendengar penuturan istriku yang semakin bisa merayu."Ayo makan kalau gitu, Dek," ajakku, mengabaikan orang yang tidak bersimpati padaku."So sweet." Emak, Santo dan istri tercintanya kompak menyoraki. Aku mencibir dan kembali ke pondok dengan menggandeng istriku yang sekarang, kalau yang mantan sih, ke laut aja.Mereka masih sibuk
"Bang! Rika minta maaf ya kalau selama ini belum bisa jadi istri yang baik," ucap Rika setalah makan siang. Belakangan ini, kami sering mengobrol sebelum tidur dan saling maaf-maafan agar dosa-dosa kami berguguran dari celah-celah jari. Tapi, ini kan masih siang. Apa ibu hamil besar ini akan sering minta maaf karena memikirkan perjuangan yang akan ia hadapi?Aku meraih pucuk kepala istriku dan menciumnya pelan. "Iya, Dek. Abang maafin," balasku tersenyum ramah.Tiada angin tiada hujan, karena kami berada di dalam kamar, bebas gangguan alam. Tiba-tiba, Rika mendorong dadaku dan wajahnya juga merengut. Apa kata-kataku ada yang salah? Perasaan semuanya baik-baik saja."Jadi … maksud Abang, Rika itu istri yang tidak baik?" balasnya ngegas. Astaga! Mulutku menganga dan bernafas dengan tak beraturan. Aku harus bisa memilih diski eh diksi yang tepat kalau sudah bicara dengan tu
Lebih dua jam aku terperjara dan tidak berkutik di salon ini, mengikuti dua perempuan yang paling kucintai dan aku harus terima diapa-apain. Kuku yang sering luput dari perhatianku karena sibuk bekerja pun dibersihkan. Duh, aku tak tahu nama-nama perawatannya dan lebih baik tidak tahu. Kalau aku sampai ahli tentang urusan yang digandrungi para wanita ini, aku bisa diledek teman-temanku. Biarlah aku bagian urusan mencari modal ke salon.Wajahku berminyak tapi bukan karena minyak sawit. Rambutku juga klimis karena sering kuolesi minyak goreng. Selain hemat, juga agar lalat tergelincir. Semuanya semakin aduhai setelah dianu-anuin. Dan yang paling menggelikan, aku khusus diservis seorang laki-laki bergaya perempuan. Biar gak dosa kalau bersentuhan secara sengaja maupun tidak disengaja, kata Emak.Aku sangat deg-degan karena takut saat Emak juga menyuruhnya untuk memijitiku. Duh, jangan sampai deh dia khilaf melihat
Hampir setengah jam kuhabiskan bertapa di toilet warung yang katanya kafe itu. Asli, toiletnya bersih dan dilengkapi cermin besar di depannya. Astaga! Perutku tidak begitu sakit sih, tapi karena nenggunakan toilet duduk sambil bercermin, aku gak mau melihat raut wajahku yang berkurang ketampananya. Kuusahakan agar wajahku tetap menawan walaupun sedang buang air besar. Alhasil, Rika sampai menggedor pintu toilet ini. Hmmm ... sepertinya dia khawatir dengan keselamatan kekasih hati, belahan jiwanya ini."Bang! Abang baik-baik saja, kan?" seru Rika. Aku mempercepat gerakanku tanpa melihat kaca itu lagi. Perempuan hamil tidak boleh cemas berlebihan. Kusudahi ritual kali ini dan keluar dengan menggunakan kaki kanan duluan. Keningku mengernyit karena melihat keberadaan istriku di depan toilet yang rusak."Rika! Abang di sini!" seruku. Rika berputar dan berjalan cepat ke arahku.
Sepulang dari mesjid, menunaikan ibadah sholat isya, mataku bersiborok dengan mobil yang sama yang dipakai oleh Ari dan Nifa waktu itu. Adik sama adik iparku tidak pengertian sama sekali. Udah tahu kalau aku punya Emak yang usil, ditambah lagi mereka ngerusuh. Kalau Rika udah lahiran, aku bakal dianggurin lama loh.Aku pun mengucap salam dan masuk dengan hati yang berkecamuk. Awas saja kamu Nifa, aku akan mencubit telingamu. Kalau Ari, kutonjok saja nanti bajunya. Ya, sesama laki-laki yang tertindas, kami harus saling support. Kalaupun dia mau kesini, pasti karena perintah istrinya, Emak atau maminya.Aku melihat Emak dan Rika sedang sibuk di dapur. Dari gelagatnya, bukan Emak yang menyuruh adik perempuanku itu kemari. Kalau udah tahu sebelumnya, mereka sudah menyiapkan makanan sedari tadi. Rika dan Emak di dapur, kalau gitu yang sedang berdoa itu pasti Nifa.Aku berjinji
Kamar ini sudah harum dan rapi, tapi semuanya sia-sia setelah aku melakukan kesalahan yang tak terduga. Rika sudah cape membereskan isi lemari, sedangkan aku dalam sekejap telah merusaknya. Kasihan istriku tercinta. Aku akan mencoba membereskan lipatan baju ini biar terkesan sebagai suami yang sayang istri.Selepas sholat shubuh, aku tidak ikut nimbrung dengan para perempuan itu, sedangkan Papi Bendi memilih main game. Orang tua edan. Astaga! Semoga saja aku tidak seperti itu bila sempat memiliki usia sampai menua.Aku mengeluarkan satu pintu isi lemari yang merupakan baju-baju Nyonya Hadi Wijaya. Yang penting pakaiannya dulu, kalau bajuku tidak terlalu penting. Astaga! Bagaimana cara melipatnya ini?Aha! Google. Aku mulai melihat cara melipat pakaian dan ternyata gampang saat ditonton tapi sulit diaplikasikan. Aku mulai memisahkan pakaian yang masih bagus lipatannya dan
"Kapan mertua Nifa itu pulang, Mak? Hadi mau kerja loh," gerutuku. Emak mencubit perutku pelan dan akan memulai ceramahnya."Kamu ini ya, gak sopan banget. Kalau tamu datang, harusnya kamu bersyukur masih ada orang yang mau berkunjung ke rumah sederhana kita. Akan menyedihkan kalau orang takut bertamu. Baru semalam di sini, kamu udah nanya kapan balik," cerocos perempuan yang memakai daster lengan panjang ini. Ini masih hal biasa yang harus kudengarkan jika melakukan kesalahan.Aku tahu kalau bertamu lazimnya tiga hari, tapi aku heran saja dengan tingkah keduanya yang datang tiba-tiba. Padahal, anak menantu dan cucunya tak ikut. Apa segitu kangennya mereka pada Emak? Atau Emak punya daya magnet untuk menarik kedua besannya."Mereka gak dengar kok, Mak," kilahku. Kedua tamu kami sedang menonton serial drama korea dan sibuk membaca terjemahan dengan bantuan kaca mata. Duh, enggak bange
"Abang pulang dulu, Santo! Kamu urus semuanya," seruku dan berlari ke motor. Aku tak memedulikan pertanyaan Santo lagi yang kayak wartawan. Walau dalam keadaan khawatir, aku harus menormalkan detak jantungku dan membaca doa sebelum berkendara. Semoga Emak baik-baik saja.Jarak yang tidak terlalu jauh serta jalalan yang lengang membuatku bisa cepat sampai ke rumah. Aku mengernyitkan kening melihat sang permaisuri menghentikanku."Abang! Kamu sudah datang?" tanya Rika dengan santainya. Pertanyaan unfaedah. Suaminya udah di depan mata, tetap aja ditanya apa sudah pulang. Istriku memang telah terkontaminasi keanehan sifat mertuanya."Udah, Dek. Mana Emak, Dek? Ada apa dengannya?" cecarku karena Rika menghadangku di dekat pagar. Apa Emak sakit dan dibawa ke rumah sakit? Tapi kenapa ekspresi wanita hamil ini biasa saja?"Ayo, antar Rika ke toko Maem