Meracik secangkir teh panas untuk sang ayah menjadi sebuah kewajiban bagi Wulan di kala sore menjelang. Menghabiskan waktu ditemani sebuah kipas yang terbuat dari anyaman bambu tipis dalam genggaman tangan kanannya, pak Bandi tersenyum menatap ke depan, dimana sawah hijau luas teebentang. Sawah milik keluarga yang turun temurun di wariskan kepada anak cucu mereka. Pak Bandi sebagai keturunan ketiga dari kakek buyutnya berhasil menjadikan sawah meluas dari yang hanya sehektar, kini beliau memiliki 3 hektar. Sukses dengan bisnis padinya, Pak Bandi tak pernah hidup berfoya-foya. Selalu mengajarkan putri-putrinya untuk delalu hidup sederhana. Dan pengajaran itu menjadikan kedua putrinya sebagai pribadi-pribadi yang matang. Santi dan Wulan. Dua putri Pak Bandi. Perempuan-perempuan cantik yang berwawasan dewasa. Santi, seorang wanita dewasa berusia 25 tahun, bekerja sebagai guru muda di salah satu sekolah menengah pertama kota kecil
Wulan membasuh tubuhnya dengan air yang sebenarnya segar namun terasa dingin di tubuhnya. Sangat dingin hingga membuat dirinya menggigil. Meriang. Sepertinya Wulan merasa tubuhnya sedikit meriang. Cepat-cepat menyelesaikan kegiatan mandi sorenya yang sedikit terlambat, Wulan segera memakai pakaian ganti yang tadi dibawanya. Kurang hangat, masih terasa dingin. Batinnya. Menyampirkan handuk berbulu halus warna merah tua di samping kamar mandi, Wulan segera meninggalkan tempat itu dan bergegas memasuki kamarnya. Melihat sekeliling sembara berjalan, masih sepi. Tatapannya tertuju keluar dimana sang ayah masih setia duduk menikmati sorenya yang bahagia, hati Wulan meratap. Tak memedulikan apapun, Wulan bergegas memasuki kamar dan membuka selimut tebalnya. Meringkuk di bawah selimut sambil memejamkan mata. Terasa semakin dingin. Teringat bagaimana ia menghabiskan sorenya dengan tangis. Mata berurai air yang mengalir deras tanpa bisa dicegah. Wulan semakin mem
Siang itu Wulan mematut dirinya didepan cermin berkali-kali. Menunjukkan pandangan tak puas atas penampilannya. Berkali-kali berputar, menarik dan menghembuskan nafas keras. Sebuah ketidakpuasan terlihat di wajahnya. Tyas yang setiap harinya menemani Wulan di Rumah Hias tempat gadis itu menyalurkan bakat, mengernyitkan dahi. Tidak seperti kebiasaan Wulan. Gadis manis itu sangat jarang bersolek. Tapi siang ini, ada perubahan yang sangat kentara. "Mau kemana Lan? Tumben amat." Wulan melirik Tyas sesaat lalu kembali mematut dan menyempurnakan riasan. Sedikit pemerah bibir untuk bibirnya yang sudah merah. Memberikan sentuhan glossy sehingga bibirnya terlihat bercahaya. "Gimana Yas? Udah pantas belum sih keluar begini?" Tanya Wulan yang masih meragukan penampilannya. Harus sempurna, batinnya. "Maksudnya Lan? Apanya yang pantas dan gak pantas?" Tyas masih belum mengerti ke arah mana pertanyaan Wulan. "Ya pantas apa gak penampilan
"Bu Santi, minta tolong cetakkan data-data murid yang menerima bantuan kemarin." Ucap seseorang dengan seragam abu memasuki ruangan dimana Santi berada. Kantor ruangan guru. "Baik bu, segera saya cetakkan." Jawab Santi singkat dan segera membuka file dalam laptop yang terbuka di depannya. Santi Wardani, putri pertama pak Bandi. Seorang guru muda cantik yang menjadi salah satu staf di sebuah sekolah menengah pertama. Sebagai putri pertama, ia merasa mendapatkan sebuah kewajiban untuk memberikan yang terbaik atas dirinya untuk keluarganya. Ia tahu bahwa sang ayah tak pernah meminta apalagi menuntutnya. Tapi pemikiran itu sudah terpatri di benaknya semenjak ia beranjak dewasa. Bahwa arti posisi anak pertama adalah posisi rentan, dimana ia harus menjadi sebuah tauladan dan memikul kewajiban sebagai pemangku nama keluarga untuk dijaga sebaik-baiknya. Tak pernah keluar dari jalurnya sebagai anak pertama yang pantas dibanggakan. Tak pernah membantah semua petu
Wulan tak bisa memejamkan matanya barang sejenak. Air mata terus mengalir dan membanjiri bantal yang saat ini tengah didekapnya. Ingin pergi keluar menemui sahabatnya tapi jalan akses keluar hanya satu. Dan ia akan melewati dua orang yang saat ini tengah berbincang di teras depan. Sehingga tak mungkin bagi dirinya menyembunyikan sembab di wajah. Menyalahkan diri sendiri karena tak mampu menyembunyikan sakit di hatinya. Menyalahkan diri sendiri karena harus memiliki rasa untuk pria yang bukan miliknya. Menyalahkan diri sendiri karena bukan dirinya yang mendapatkan kesempatan berharga itu. Dan menyalahkan dirinya yang memiliki hati yang tak baik sehingga tak ikut merasakan bahagia untuk kakak semata wayangnya. Bukan adik yang baik sehingga tak mampu merayakan berita bahagia bersama sang kakak. Mulai membenci dirinya sendiri. Mulai mengutuk dirinya sendiri. 'Tok.tok.tok." Wulan menghentikan tangisnya saat memdengar suara pintu kamar di ketuk.
Wulan berdiri mematung di depan jalan menuju ke rumahnya. Hatinya gamang saat akan melangkahkan kaki. Terbayang di benaknya pertemuan kedua keluarga. Santi dan Langit duduk berdampingan seolah raja dan ratu sehari. Sesak merayapi. Menelan ludah dengan susah payah, Wulan memejamkan mata dan bertekad menguatkan hati demi kakak tercinta. Sebesar apapun rasa cinta yang ia miliki untuk pri yang akhirnya bukan miliknya sangat tak sepadan dengan cinta yang dimiliki kakak perempuannya. Menguatkan hati, Wulan melangkah dengan hati berdebar. Semakin dekat dengan tujuan, hati Wulan semakin berdebar tak menentu. 'Tuhan kuatkan aku.' Bisiknya. Terlihat dari jauh sebuah kendaraan yang sangat dikenalnya. Kendaraan roda empat milik Langit yang pernah ia tumpangi. Tangannya mengepal erat, tubuhnya terasa dingin. Wulan merasa hawa malam ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Kakinya menapak ke anak tangga satu persatu. Telinganya menangkap percakapa
Wulan terdiam, tak bersuara. Berdiri mematung menatap Langit yang kini menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Langit bergerak, berjalan perlahan mendekati Wulan. berhenti tepat di depan gadis itu dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Menunggu. Memandangnya tajam, ada rasa tak senang saat mengingat gadis mungil di depannya tak mengakui hubungan bahwa mereka telah saling mengenal. Wulan memutar otak, mencari alasan yang masuk dalam logika. Menundukkan kepala sambil memilin jari jemarinya. "Ak-aku hanya tidak merasa nyaman kalau mbak Santi tahu kita sudah saling mengenal sebelumnya." kata Wulan lirih. "Lagipula, kita baru bertemu dua kali. Dan itu tidak bisa dibilang kita berteman kan? Dan saat kita bertemu juga selalu secara kebetulan." lanjut Wulan membela diri. "Ralat, 3 kali kalau-kalau kamu melupakan saat kita makan siang bersama." Langit menegaskan. Wulan tersentak, lupa. Bukan, dia hanya salah menghitung.
Menaikkan satu tungkai kakinya untuk bertumpuk ke kaki lainnya, Langit menyandarkan tubuh pada punggung sofa yang lembut. Menatap Wulan dengan pandangan datar, ia melipat kedua lengan di depan dadanya. “Kenapa tidak mungkin?” tanyanya datar. Wulan masih tidak bisa mempercayai pernyataan Langit, kini ia disodori sebuah pertanyaan yang membuatnya dilema. “Tidak mungkin. Ya tidak mungkin… Begitulah.” jawab Wulan lirih menundukkan kepala. “Kenapa tidak m