Share

Mediumship

Hari ini distro cukup ramai. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan para karyawan kelelahan. Karenanya Taksa memutuskan menutup distro lebih cepat karena nanti malam adalah jadwal mereka membuat konten. Berarti Taksa, Asep, Mahes, dan Bagas akan tidur pagi. Setidaknya sekarang ia bisa beristirahat barang sejenak sembari menunggu Bagas dan Asep pulang.

"Sa, gue mau ngomong serius," ucap Mahes di sela kesibukannya menyiapkan kamera dan beberapa barang lainnya untuk keperluan mengambil video nantinya. 

"Ngomong aja."

"Entah gambaran masa lalu atau sebatas mimpi, gue lihat bangunan. Rumah tua, tempat di mana kalung itu bersimbah darah." Taksa mengerutkan dahinya dan membuat alisnya menukik ke bawah. Ia merasa ada yang aneh dari ucapan Mahes. 

"Rumah tua? Di depannya ada pohon besar bukan? Jendelanya besar-besar, model lawas pokoknya," papar Taksa sembari mengingat-ingat gambaran rumah yang mungk gkin dimaksud Mahes. 

"Lo dapat pengelihatan juga?"

Taksa mengangguk mantap. "Bukan cuma rumah, tapi keberadaan kita di sana ganggu pikiran gue awal-awal dikasih gambaran."

"Gue curiga sama rumah itu. Gimana buat konten besok kita ke sana? Sekalian cari tau apa hubungannya kita sama rumah itu." Mahes menutup tas kamera dan mengambil tempat duduk di samping Taksa yang serdiri sembari memasukkan beberapa makanan dalam tempat makan. 

***

Waktu menunjukkan tengah malam, sekelompok pemuda memasuki rumah kosong yang sudah lama tak terpakai dan terbengkalai. Di tangan masing-masing membawa senter, ada satu pemuda yang membawa kamera untuk merekam aksi mereka. 

"Kita mulai. Oke, opening."

"Selamat malam, kali ini kita mendatangi rumah yang sudah lama kosong dan terbengkalai. Bisa dilihat langsung bagaimana kondisi rumah ini."

Asep berbicara di depan kamera, setelah itu Mahes yang bertugas merekam mengambil gambar-gambar bagian rumah itu. 

Angin yang awalnya berembus bersahabat kini lenyap. Hening, sunyi, dan cukup mencekam. Hawa aneh itu mulai menyapa mereka. Ada rasa terintimidasi yang dirasakan Asep. Bulu kuduk Bagas sudah berdiri sejak tadi, tapi karena gengsinya ia mencoba berani. 

Tiba-tiba layar kamera buram. Hal itu hanya terjadi beberapa detik sebelum kamera kembali normal. Namun, saat sudah normal pemandangan berbeda membuat Mahes memundurkan kaki beberapa langkah ke belakang. Di sana Asep berdiri dengan wajah dan tatapan berbeda dari sebelumnya. Sebelum terjadi hal yang tak diinginkan Mahes segera mematikan kamera dan mendekati Asep untuk mengecek keadaannya. Sementara itu Bagas panik dan memilih membawa tas kamera. Mahes dan Taksa membawa Asep kembali ke mobil. 

"Sep. Sep, lo kenapa?" diguncangkannya tubuh Asep dari mulai pelan sampai cukup bertenaga. Namun, tak ada perubahan. Tatapan mata Asep kosong dan tubuhnya mulai dingin. 

Dengan cepat Taksa membawa mobil pergi meninggalkan rumah itu dan segera ke indekos Seto. Pak Kiai belum pulang dan masih tinggal di sana, hal itu mereka ketahui dari Seto yang bercerita bahwa pakliknya ada menetap di sana sementara untuk tujuan yang ia sendiri tak mengetahuinya. 

***

Pak Kiai menaruh tangannya di kepala Asep, lalu bergerak sampai ujung kaki tanpa menyentuhnya sembari mulutnya berkomat-kamit merapal doa. Setelahnya Asep tersadar, di dudukkannya dan beri air putih. 

"Lo enggak apa-apa, Sep? Apa yang lo rasain?" tanya Bagas khawatir.

Alih-alih menjawab Asep justru mengajukan pertanyaan kepada pak Kiai. "Apa yang terjadi, Pak? Kemampuan apa ini?"

Dengan senyuman pak Kiai menjawab, "Kamu memiliki kemampuan mediumship. Bukan hanya bisa berkomunikasi kamu bisa menjadi perantara untuk mereka menyampaikan sesuatu." 

"Maksudnya, Pak? Saya belum paham." Asep masih mencoba mencerna informasi yang baru saja ia terima. Ia masih bingung dan belum paham. Bukankah berbicara dengan mereka ia sudah menjadi perantara? Lalu apa maksud sebenarnya mediumship itu. 

"Mediumship adalah kemampuan di mana ragamu dipinjam untuk digunakan roh lain agar bisa berkomunikasi. Jadi saya bisa berbicara dengan roh tertentu melalui jasadmu. Meski begitu kamu tetap bisa mengendalikan tubuhmu sendiri. Kamu juga bisa memilih untuk digunakan pada siapa. Hal itu bisa kamu kuaisai kalau mau belajar. Di awal memang akan seperti itu, kamu belum bisa memilih roh mana yang memasuki tubuhmu dan bagaimana cara agar tubuh tak dikuasai sepenuhnya." Mendengar penjelasan pak Kiai Asep tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. 

"Seperti beberapa konten kreator horor di youtube, ya, Pak?" tanya Mahes. Menurut penjelasan pak Kiai, ia menyimpulkan seperti apa seorang mediumship dari yang sudah ia lihat dalam beberapa konten horor. 

"Saya tidak tahu, tapi mungkin iya."

"Pak, apa yang sebenarnya terjadi kepada kami. Kenapa ini terasa sangat tiba-tiba? Lalu bukankah aneh kami berempat memiliki kemampuan berbeda hampir dalam waktu yang bersamaan? Tidak masuk di akal," ucap Taksa dengan wajah serius. 

"Saya sudah bilang. Ini bukan tiba-tiba. Bukan pula kalian mendapatkan kemampuan ini bersama dalam waktu yang bersamaan. Kalian sudah memilikinya sejak lahir." 

Mereka Bagas dan Mahes membulatkan mata dan sedikit membuka mulut karena terkejut. Taksa dan Asep sudah biasa mendengarnya, sebab Asep memang sejak kecil sudah istimewa dan Taksa ia sedikit tahu dari pak Kiai waktu pertama kali datang ke rumah beliau. Namun, tetap saja baginya itu tak masuk akal, karena sebelum ini ia tak percaya dengan hal seperti itu. 

"Saya hanya menjadi perantara untuk membangunkan kemampuan kalian yang lama tertidur."

"Maksud Bapak ini apa?" Mahes kali ini yang mengutarakan rasa penasarannya. 

"Entah karena apa saya tidak tahu jelas. Kemampuan kalian sengaja dikunci, mungkin itu untuk kebaikan kalian. Namun, sekarang waktu yang tepat untuk membukanya. Saya merasa jika kalian memerlukannya."

"Benar kecurigaan gue saat di rumah pak Kiai itu," gumam Taksa amat pelan. 

"Saya tahu di kepala kalian banyak pertanyaan. Tapi saya tak mampu menjawabnya. Kalian sendirilah yang akan mencari tahu. Bukan dari saya, mungkin dari orang tua kalian. Karena sedari kecil mereka yang merawat. Pasti mereka juga tahu alasannya mengapa disembunyikan dari kalian."

Pak Kiai menatap satu persatu wajah pemuda itu, ia memiliki firasat buruk soal mereka. "Pesan saya, berhati-hatilah dan juga gunakan kemampuan kalian untuk kebaikan. Khusus untuk Mas Taksa, saya harap Mas bisa bijak dalam mengambil segala keputusan. Pertimbangkan baik buruknya di kemudian hari. Jangan terbawa emosi dan nafsu dalam mengambil keputusan itu."

***

Taksa duduk sendirian di teras rumah, udara pagi hari yang dingin tak mengusiknya. Juga angin berembus yang memainkan rambutnya yang sedikit panjang. Bisa dilihat dengan jelas bahwa saat ini ia sedang melamun. Asep yang melihat itu merasa kasihan. Ada rasa penasaran yang harus dituntaskan, tetapi di sisi lain ada amarah yang sedang berusaha dikendalikan. Pulang ke rumah adalah hal yang paling dihindari Taksa selama ini. 

Bagas yang melihat Asep diam di depan pintu menghampirinya. Hendak bertanya, tatapi ia urungkan. Ia mengikuti arah pandangan Asep saat ini. Bagas pun menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Ia mengerti kenapa Asep memilih tak menghampiri Taksa. "Kita aja yang balik, dia di sini aja. Enggak tega gue lihat dia kayak gitu," bisiknya pada Asep. 

Enggan menjawab, Asep memilih pergi. Meninggalkan Bagas dengan dengusan kesal."Kampret banget anak itu," kesalnya. Taksa menoleh saat mendengar kekesalan Bagas. Sementara Bagas yang kepergok memperhatikannya sedari tadi memilih menunjukkan deretan giginya dan belalu pergi tanpa mengucap sepatah kata. 

"Gue harus gimana? Enggak bisa lo kasih tau semuanya?" Taksa menatap penjaganya yang sekarang duduk di kursi sampingnya. 

"Saya tak memiliki hak untuk menjelaskannya, Tuanku. Hal ini juga salah satu proses untuk Tuan."

"Gue risih. Jangan bicara tuan tuan gitu. Santai aja. Lagipula gue enggak tahu harus panggil lo dengan sebutan apa. Ditambah gue bukan majikan yang bisa lo panggil dengan sebutan tuan."

"Kamu sama seperti kakekmu, sama persis," ujarnya diakhiri kekehan membuat Taksa ikut tersenyum. Tiba-tiba ia merindukan kakeknya itu. 

Ia sudah sedikit lupa tentang rupa kakeknya. Hal itu terjadi karena kakeknya meninggal saat ia masih kecil. Namun, sampai sekarang ia masih suka mendapat hal-hal yang tak terduga dari orang yang setia bekerja untuk kakeknya. Kadang saat ulang tahunnya ia mendapat foto dirinya dan kakek itu. Lalu beberapa buku kuno yang ia tak mengerti bahasanya. Taksa menyimpan itu dengan baik, karena menurutnya kasih sayang kakeknya ada bersama barang-barang itu. 

"Rumah tua. Gue yakin, pasti ada hubungannya sama rumah tua." Taksa beranjak setelah mengucapkan itu. 

"Kita harus segera pulang sekarang. Untuk distro biar Seto yang urus." Mahes, Asep, dan Bagas terkejut dengan apa yang Taksa ucapkan. 

"Apa maksud lo. Kenapa mendadak?"

"Kalau perkiraan gue bener. Kita akan menghadapi sesuatu yang tak terduga. Lebih baik kita segera tahu jawabannya." Setelah mengucapkan itu Taksa meninggalkan mereka dengan kepala penuh pertanyaan. 

"Dia kenapa? Kok aneh," ujar Mahes menatap punggung Taksa yang menghilang di balik pintu kamar. 

"Gue rasa dia tahu sesuatu. Cuma dia belum yakin. Kita harus nurut, gue mencium bau-bau petualangan," tutur Asep dengan riang. Asep memang sangat suka dengan hal-hal berbau petualangan. Petualangan di sini bukanlah seperti biasanya, tetapi petualangan menyangkut hal-hal tak masuk di akal. 

"Gue enggak suka saat lo bilang soal petualangan," sinis Bagas menutup pembicaraan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status