“Ah…”Langkah kaki Nayra terpaksa berhenti. Seketika ia mematung kaku karena menangkap suara desahan yang mengganggu indra pendengarannya. Semakin lama suara feminin itu kian membuatnya gila.Tubuh Nayra meremang. Kini Nayra melangkahkan kaki menuju jendela yang langsung mengekspos kamar miliknya bersama sang suami. Begitu menyaksikan jendela dengan tirai yang tersingkap, Nayra tercekat. Tubuhnya bergetar, dadanya sesak seperti dihunus tombak.Tangis Nayra pecah begitu saja. Sontak tangannya langsung membungkam bibirnya agar suaranya tak meledak keluar. Dengan pikiran panas serta emosi yang membuncah, Nayra segera meraih ponsel dari dalam saku celananya.“Astaga!”desisnya dengan mulut terkatup rapat. Sumpah serapah memenuhi isi kepalanya saat ini.Melangkah dan membuka pintu pelan, Nayra baru tahu jika motor Guna memang sengaja dimasukkan ke dalam ruang tamu. Nayra menggigit bibirnya yang bergetar. Sambil memeluk tubuhnya sendiri, ia berjalan tertatih-tatih menuju ke depan pintu kamar
Ida mulai tersulut emosi, lantas berpaling ke arah Nayra yang terlihat tersiksa karena cengkeraman tangan Guna pada lengannya."Nggak, Bu. Jangan percaya sama Guna! Guna justru berselingkuh di kamar kami! Aku serius, Bu!" Nayra berusaha membela diri. Kedua pipinya masih basah."Nayra, kamu itu sudah umur 23 tahun, harus bisa lebih dewasa sedikit! Jangan apa-apa dibilang selingkuh!" gertak Ida."Bu, aku punya bukti! Sungguh." Nayra tergugu."Nayra, kamu jangan fitnah aku di depan Ibu! Cepat, mana ponselmu, jangan sampai aku melakukan tindakan yang lebih jauh!" Guna menggoyangkan tubuh Nayra dengan keras akibat amarahnya yang semakin tak terbendung.Menyadari usahanya sia-sia, Guna lantas mendorong tubuh Nayra hingga membentur dinding. Ia langsung berhambur menuju ke dalam kamar Nayra demi menemukan ponsel wanita tersebut dan menghapus rekam jejaknya di sana.Nayra tak tinggal diam. Ia segera berlari demi menghadang Guna. Ida pun tak mau berdiam diri. Wanita paruh baya itu melangkahkan
Pagi ini Nayra tercenung di kursi teras halaman rumahnya. Kejadian kemaren berjalan cepat seperti mimpi, bahkan sejujurnya ia masih belum siap menerima itu semua.Bagaimanapun, Nayra dan Guna sudah membangun bahtera rumah tangganya selama tiga tahun.Nayra memijat sebelah pelipisnya. Semalam ia sama sekali tidak tidur. Pikirannya kalut, tidak siap memikirkan bagaimana dirinya menyandang status janda dan kembali menjadi beban kedua orang tuanya.Nayra lalu menghela napas sembari memandang ke langit kebiruan nan berhias awan. "Kenapa pernikahanku jadi begini?"Rasanya campur aduk. Dada Nayra masih sesak, sedang kedua matanya bengkak karena tangisnya sepanjang malam.Nayra tahu, ia masih sangat mencintai Guna. Guna adalah separuh hidupnya dari awal pertemuan mereka. Sosok pria manis yang dapat menggait hatinya untuk pertama kali. Guna memang cinta pertama bagi Nayra.Pria mancung dan memiliki bibir tebal, Guna sangat mempesona saat itu. Pria tersebut tak sengaja bertemu dengannya di sebu
Nayra sudah cukup sabar menghadapi ibunya selama ini. Wanita itu terus saja memperlakukan Nayra dan ayahnya semena-mena.Nayra ingat tujuh tahun yang lalu, saat Budi yang masih bugar tiba-tiba mengajak seorang wanita dengan rambut hitam legam sebahu ke rumah tepat 40 hari kematian ibunya sendiri.Nayra terperanjat, juga kecewa terhadap keputusan ayahnya membawa wanita tersebut."Posisi Ibu tidak akan pernah bisa tergantikan, Yah!" pekik Nayra yang masih berusia 16 tahun saat itu.Budi menghela napas. Perlahan ia membujuk Nayra yang tidak menyukai kehadiran Ida. Setelah Nayra berlari ke kamar dengan berurai air mata, Budi menatap nanar ke arah Ida yang merupakan penyembuh rasa kehilangannya terhadap sang istri.Kulit cerah kuning langsat, rambut ikal warna hitam, juga alis tebal milik Ida membuat Budi langsung jatuh hati. Manik legam kedua mata Ida menyorotkan sebuah kekhawatiran.Budi menepuk bahu Ida pelan, berusaha menyampaikan sebuah janji bahwa ia akan mencoba berbicara dengan ana
Pria itu mendongak, lalu tersenyum ramah kepada Nayra."Mbak Nayra Eka Sania ya? Silakan masuk, Mbak." Pria tersebut menunjuk kursi hadap di depannya.Nayra menelan salivanya. Perlahan ia melangkahkan kaki menuju kursi itu dan mendudukkan tubuhnya. Ini pertama kali ia melakukan wawancara kerja.Meskipun Nayra merupakan lulusan sarjana, Guna tidak mau Nayra bekerja setelah mereka menikah. Jadi, hari ini adalah pengalaman pertamanya hingga membuat kegugupan melanda Nayra seketika.Pria tersebut kemudian melanjutkan. "Tadi saya sudah membaca sekilas dokumen Mbak. Hmm, ya…" Ia mengangguk memandangi beberapa kertas di depannya. "Oh, iya. Saya belum memperkenalkan diri saya ya?"Nayra meresponnya dengan tersenyum simpul. Sementara pria di hadapannya sudah mengulurkan tangan menyeberangi meja di depan. Nayra menyambut tangan itu."Saya Arvin, selaku asisten dari Presdir sendiri," ujarnya mantap di sela jabat tangan mereka.Kedua mata Nayra melebar takjub. Lalu mengangguk dan tersenyum kembal
"Hei, tunggu dulu! Kurang ajar!" pekik Nayra begitu melihat kondisi baju yang tengah ia pakai.Nayra menggerutu, tidak mungkin ia kembali lagi ke rumah demi mengganti pakaiannya. Nayra sudah mencapai lebih dari separuh perjalanannya.Tak ingin membuang waktu, Nayra segera mengejar mobil itu."Heh, tanggung jawab!"Namun percuma, si pengendara tidak bisa mendengar teriakan Nayra. Mobil mewah warna hitam berkilat tersebut tetap melaju kencang meninggalkan Nayra yang berlari dengan napas terengah-engah.Nayra sempat melihat nomor plat mobil yang menyebabkan kesialannya pagi ini. Ia tahu jika si pemilik pasti orang kaya karena beberapa kombinasi angka dan huruf di plat mobil itu membentuk sebuah nama."Aldo?" Nayra mencoba menebak nama sang pemilik.Nayra tetap memacu kakinya cepat, sehingga ia beruntung dapat mencapai perusahaan saat ini.Begitu mendekat, Nayra terperanjat. Kedua mata dengan iris warna cokelatnya membulat sempurna. Tampak mobil dan plat nomor yang sama terparkir rapi di
Nayra membeku di tempat. Tatapan pria itu seakan sanggup membunuhnya sekarang juga. Tubuhnya meremang lantas segera menyelinap kembali ke dalam toilet.Sementara Pria bernama Aldo beserta orang-orangnya terus berderap. Arvin yang berada jauh di belakang rombongan tersebut terlihat bingung. Ia hendak memanggil Nayra, namun seketika ia urungkan karena yang lainnya berlalu begitu cepat.Kini tangan Nayra mencengkeram tepi wastafel kuat. Kedua matanya mengerjap sambil mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.Nayra menggigit bibir bawahnya. Ia lalu mendongak dan memandang cermin. Di pantulan cermin itu, ia dapat melihat raut mukanya yang takut dan khawatir."Apa aku sudah gila?" Nayra bergerak gelisah. Ia lalu menuntun langkahnya ke sana ke mari dengan frustasi.Nayra mencoba menjernihkan pikirannya yang sedang keruh. "Sebentar. Aldo itu ternyata presdir di sini? Bukannya namanya Alfredo? Eh, Aldo, Alfredo…" gumamnya sembari menggigit jari beberapa kali."Astaga!" Sontak Nayra menu
Arvin meneguk ludah, lalu membuka mulut hendak bicara. Namun ia urungkan karena Nayra mendahuluinya."Sa-saya dipecat, Pak?" Suaranya parau menunjukkan kekecewaan.Kedua mata sipit Aldo menatap Nayra nyalang. Ia lalu mendengus dan membuang muka. Malas untuk bicara dengan karyawan yang menurutnya tidak berguna dan membuang-buang waktunya saja."Pak, sebenarnya tidak ada yang melamar posisi sekretaris Anda kecuali Mbak ini," aku Arvin akhirnya.Aldo tertegun. Ia lantas memandang ke arah Arvin, meminta penjelasan lebih lanjut kepada pria berkacamata tersebut."Apa maksudmu? Yang benar saja?!" sembur Aldo keras."Iya, Pak. Maka dari itu saya langsung menerima Mbak Nayra." Arvin membungkukkan badan lagi. "Saya minta maaf, Pak."Aldo mengatupkan rahangnya. Ia berkacak pinggang sembari terlihat berpikir. Wajahnya sangat serius.Sementara itu, Nayra melirik Aldo yang tepat berada di depannya. Setelah ia amati, secara fisik Aldo memang mirip dengan Pak Nugroho.Kulit putih, mata sipit tajam, a