Pintu depan terbuka, dan suara langkah sepatu terdengar masuk. Dinda baru pulang kerja, wajahnya sedikit letih tapi tetap tenang. Belum sempat ia masuk, baru berdiri depan pintu. Dia sudah disambut oleh suara Danang yang dingin.
“Dinda!”
Danang sudah berdiri di tengah ruang tamu, wajahnya gelap, sorot matanya penuh kemarahan menatap sang adik.
Dinda menoleh cepat. “Mas?”
“Kamu yang ambil buku nikah itu, kan?”
Dinda terdiam sesaat, lalu menutup pintu perlahan.
“Iya,” jawabnya jujur.
“Lancang sekali kamu, Dinda!” Danang langsung melangkah mendekat. “Kamu sadar apa yang udah kamu lakuin? Karena kamu, Dina bisa gugat cerai Mas!”
Dinda berdiri tenang. "Baguslah ”
Danang melotot tak percaya. “Kamu ini adik
Pintu depan terbuka, dan suara langkah sepatu terdengar masuk. Dinda baru pulang kerja, wajahnya sedikit letih tapi tetap tenang. Belum sempat ia masuk, baru berdiri depan pintu. Dia sudah disambut oleh suara Danang yang dingin.“Dinda!”Danang sudah berdiri di tengah ruang tamu, wajahnya gelap, sorot matanya penuh kemarahan menatap sang adik.Dinda menoleh cepat. “Mas?”“Kamu yang ambil buku nikah itu, kan?”Dinda terdiam sesaat, lalu menutup pintu perlahan.“Iya,” jawabnya jujur.“Lancang sekali kamu, Dinda!” Danang langsung melangkah mendekat. “Kamu sadar apa yang udah kamu lakuin? Karena kamu, Dina bisa gugat cerai Mas!”Dinda berdiri tenang. "Baguslah ”Danang melotot tak percaya. “Kamu ini adik
Endang dan Dinda menoleh cepat.“…kalau Dina datang.”“Kamu bilang apa barusan?” Endang menegakkan punggungnya, menatap Danang tajam.“Aku akan makan, kalau Dina datang ke sini. Aku enggak mau apa-apa. Enggak butuh siapa-siapa. Aku cuma mau lihat dia. Sekali aja. Kalau dia datang, aku janji akan makan.”Dinda menggeleng cepat. “Mas! Jangan kekanak-kanakan! Kak Dina itu bukan mainan! Kamu pikir bisa seenaknya disakiti, terus diminta datang begitu aja?!”Danang mengalihkan pandangan ke arah jendela. Suaranya rendah tapi jelas.“Aku tahu aku salah. Tapi... cuma dia yang bisa bikin aku bersemangat."Endang menghela napas keras, menepuk lututnya dengan tangan. “Ya Allah, Dan… Kamu ini keras kepala apa udah enggak waras?! Dina udah disakiti, udah pergi, dan kamu masih nun
Cahaya putih menyilaukan menari-nari di balik kelopak matanya. Danang membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat. Pandangannya masih buram, tapi samar-samar ia bisa melihat dua sosok di sisi ranjangnya.Dua pasang mata menatapnya tajam—penuh cemas dan amarah yang tertahan.Mamanya. Dan Dinda, adiknya.Danang mengerjap pelan, bibirnya bergerak pelan.“Ma… Din… aku… di mana?”Dinda menyilangkan tangan di dada, ekspresinya dingin tapi suaranya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.“Bukan neraka, Mas. Masih di dunia. Tepatnya… rumah sakit,” katanya ketus.Danang mengerutkan kening, mencoba mengingat apa yang terjadi. Lalu tiba-tiba semuanya berputar di kepala—kepalanya pusing, pandangan berkunang, lalu…Endang berdiri di depan ru
Pagi menjelang, sinar matahari mulai menyelinap dari sela tirai ruang tamu. Suasana rumah masih sunyi. Hanya suara televisi yang menyala sejak semalam, menayangkan acara berita pagi dengan volume pelan.Danang mengerjap pelan, membuka matanya yang berat. Tubuhnya terasa pegal karena semalaman tidur di sofa. Ia mencoba bangkit perlahan, namun seketika itu juga kepalanya terasa berat.“Uh…” keluhnya lirih.Ia menekan pelipisnya dengan tangan kanan yang bebas dari gips. Pandangannya mulai berkunang-kunang.“Apa aku masuk angin, ya…” gumamnya pelan.Ia mencoba berdiri, namun baru beberapa detik tegak, tubuhnya oleng. Ia terpaksa kembali duduk, menahan pusing yang makin menjadi."Ma..." panggilnya pelan, namun tak ada jawaban.Rumah benar-benar sepi. Endang, mamanya, memang pula
Sementara itu, di waktu dan malam yang sama...Dina baru saja selesai melipat beberapa baju pesanan yang sedang dijahitnya. Mbak Tatik sudah lebih dulu naik ke lantai atas untuk beristirahat. Mungkin kini sudah terlelap.Setelah selesai, Dina naik dan melihat mbak Tatik sudah terlelap dalam tidurnya.Dina kemudian duduk di kasur dan bersandar di tembok. Ponselnya tergeletak di sebelah bantal. Berkali-kali ia melirik layar yang tetap kosong, berharap ada pesan yang masuk. Entah pesan siapa yang diharapkannya.Sang suami? Mungkin saja. Bagaimanapun, rasa cinta masih ada dalam hatinya.Tapi tak ada.Tapi tetap kosong.Ia menarik napas panjang, lalu berbaring. Lampu kamar belum ia matikan. Matanya menerawang ke langit-langit yang diam.Entah kenapa malam ini perasaannya lebih berat. Seperti ada sesuatu yang menghimp
Danang berjalan tertatih keluar dari mobil, dibantu oleh mamanya. Tangannya masih digips, perban melilit kepalanya. Rumah tampak sepi. Kosong.Endang menghela napas panjang.“Masih ngotot pulang ke rumah. Padahal kamu belum sepenuhnya pulih.”Danang membuka pintu pelan-pelan.“Rumah sendiri, Ma. Aku cuma mau istirahat di tempat yang familiar.”Begitu pintu terbuka, suasana rumah terasa asing menyambutnya. Tidak ada aroma masakan, tidak ada suara menyambut kepulangannya. Hening.Endang meletakkan tas di atas meja, lalu berdiri sejenak menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Sedangkan Danang berdiri di ambang pintu dengan tatapan mata kosong.Tiba-tiba terdengar suara dari luar pagar.“Mas Danang!”Bu Denok, tetangga sebelah, berdiri depan pagar dengan kantong belanja di tangan. Ia terlihat