“Dan—”
Danang langsung berjalan ke arah pintu, namun langkahnya terlihat berat dan masih limbung. Endang mengejarnya, menahan lengan anaknya.
“Mama ikut. Tapi bukan buat ngebantu kamu untuk membujuk Dina untuk membatalkan niatnya untuk bercerai. Tapi, mama ikut biar kamu gak tumbang di jalan. Mama nggak mau lihat kamu tidur di rumah sakit."
Danang berhenti. Menatap mamanya yang kesal, tapi jelas terlihat wajah khawatirnya.
"...Terima kasih, Ma."
"Tunggu, mama siap-siap dulu. Mama mau telpon sopir. Tidak mungkin mama bawa mobil. Kamu sudah pasti tidak bisa diharapkan."
Danang hanya tersenyum pahit mendengarnya, lalu membuka pintu perlahan. Udara pagi menyambutnya.
Udara pagi masih segar saat Dinda kembali dari jogging. Keringat membasahi pelipisnya, handuk kecil melingkar di leher. Ia menghentikan langkah ketika mel
Mobil melaju stabil di jalanan aspal yang mulai berganti dengan kontur berbatu khas pedesaan. Pemandangan sawah menghijau di kiri-kanan jalan. Namun, ketenangan alam itu kontras dengan suasana dalam mobil.Danang duduk bersandar di jok. Wajahnya kusut, pandangannya kosong menatap keluar jendela. Di sampingnya, Endang, mamanya, duduk dengan gelisah. Sesekali ia melirik ke arah putranya, lalu menghela napas panjang. Akhirnya, ia tak tahan lagi.“Dan,” panggil Endang dengan nada pelan tapi tegas.Danang tak menoleh. Hanya menjawab lirih, “Iya, Ma?”“Mama ikut kamu ke sini bukan berarti Mama setuju dengan semua yang kamu lakuin, ya.”Danang memejamkan mata sejenak. “Aku tahu, Ma… kalimat itu sudah berulang kali mama katakan."“Kalau tahu, jangan bikin Mama makin malu di depan kelua
“Dan—”Danang langsung berjalan ke arah pintu, namun langkahnya terlihat berat dan masih limbung. Endang mengejarnya, menahan lengan anaknya.“Mama ikut. Tapi bukan buat ngebantu kamu untuk membujuk Dina untuk membatalkan niatnya untuk bercerai. Tapi, mama ikut biar kamu gak tumbang di jalan. Mama nggak mau lihat kamu tidur di rumah sakit."Danang berhenti. Menatap mamanya yang kesal, tapi jelas terlihat wajah khawatirnya."...Terima kasih, Ma.""Tunggu, mama siap-siap dulu. Mama mau telpon sopir. Tidak mungkin mama bawa mobil. Kamu sudah pasti tidak bisa diharapkan."Danang hanya tersenyum pahit mendengarnya, lalu membuka pintu perlahan. Udara pagi menyambutnya.Udara pagi masih segar saat Dinda kembali dari jogging. Keringat membasahi pelipisnya, handuk kecil melingkar di leher. Ia menghentikan langkah ketika mel
Pintu depan terbuka, dan suara langkah sepatu terdengar masuk. Dinda baru pulang kerja, wajahnya sedikit letih tapi tetap tenang. Belum sempat ia masuk, baru berdiri depan pintu. Dia sudah disambut oleh suara Danang yang dingin.“Dinda!”Danang sudah berdiri di tengah ruang tamu, wajahnya gelap, sorot matanya penuh kemarahan menatap sang adik.Dinda menoleh cepat. “Mas?”“Kamu yang ambil buku nikah itu, kan?”Dinda terdiam sesaat, lalu menutup pintu perlahan.“Iya,” jawabnya jujur.“Lancang sekali kamu, Dinda!” Danang langsung melangkah mendekat. “Kamu sadar apa yang udah kamu lakuin? Karena kamu, Dina bisa gugat cerai Mas!”Dinda berdiri tenang. "Baguslah ”Danang melotot tak percaya. “Kamu ini adik
Endang dan Dinda menoleh cepat.“…kalau Dina datang.”“Kamu bilang apa barusan?” Endang menegakkan punggungnya, menatap Danang tajam.“Aku akan makan, kalau Dina datang ke sini. Aku enggak mau apa-apa. Enggak butuh siapa-siapa. Aku cuma mau lihat dia. Sekali aja. Kalau dia datang, aku janji akan makan.”Dinda menggeleng cepat. “Mas! Jangan kekanak-kanakan! Kak Dina itu bukan mainan! Kamu pikir bisa seenaknya disakiti, terus diminta datang begitu aja?!”Danang mengalihkan pandangan ke arah jendela. Suaranya rendah tapi jelas.“Aku tahu aku salah. Tapi... cuma dia yang bisa bikin aku bersemangat."Endang menghela napas keras, menepuk lututnya dengan tangan. “Ya Allah, Dan… Kamu ini keras kepala apa udah enggak waras?! Dina udah disakiti, udah pergi, dan kamu masih nun
Cahaya putih menyilaukan menari-nari di balik kelopak matanya. Danang membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat. Pandangannya masih buram, tapi samar-samar ia bisa melihat dua sosok di sisi ranjangnya.Dua pasang mata menatapnya tajam—penuh cemas dan amarah yang tertahan.Mamanya. Dan Dinda, adiknya.Danang mengerjap pelan, bibirnya bergerak pelan.“Ma… Din… aku… di mana?”Dinda menyilangkan tangan di dada, ekspresinya dingin tapi suaranya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.“Bukan neraka, Mas. Masih di dunia. Tepatnya… rumah sakit,” katanya ketus.Danang mengerutkan kening, mencoba mengingat apa yang terjadi. Lalu tiba-tiba semuanya berputar di kepala—kepalanya pusing, pandangan berkunang, lalu…Endang berdiri di depan ru
Pagi menjelang, sinar matahari mulai menyelinap dari sela tirai ruang tamu. Suasana rumah masih sunyi. Hanya suara televisi yang menyala sejak semalam, menayangkan acara berita pagi dengan volume pelan.Danang mengerjap pelan, membuka matanya yang berat. Tubuhnya terasa pegal karena semalaman tidur di sofa. Ia mencoba bangkit perlahan, namun seketika itu juga kepalanya terasa berat.“Uh…” keluhnya lirih.Ia menekan pelipisnya dengan tangan kanan yang bebas dari gips. Pandangannya mulai berkunang-kunang.“Apa aku masuk angin, ya…” gumamnya pelan.Ia mencoba berdiri, namun baru beberapa detik tegak, tubuhnya oleng. Ia terpaksa kembali duduk, menahan pusing yang makin menjadi."Ma..." panggilnya pelan, namun tak ada jawaban.Rumah benar-benar sepi. Endang, mamanya, memang pula