Share

Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta
Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta
Penulis: Lin shi

Bab 1

Penulis: Lin shi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-04 17:40:24

Dina menyambut Danang dengan senyuman hangat saat dia pulang dari kantor. Namun, senyuman itu tak dibalas oleh suaminya. Danang berjalan melewati Dina dengan wajah yang terlihat tak senang.

"Kemana uang yang aku berikan untukmu?" tanya Danang tajam, tanpa menatap wajah istrinya.

"Aku gunakan untuk berbelanja, Mas," jawab Dina dengan lembut.

Mendengar jawaban Dina, ekspresi Danang berubah. Dia melirik pakaian daster yang dikenakan oleh Dina, lalu menyentuhnya dengan nada mengejek. "Belanja? Belanja apa? Pakaian murahan seperti ini?"

Dina tertegun. Tatapan dan nada suara Danang yang penuh kemarahan membuat hatinya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Danang bersikap demikian?

"Mas, ada apa? Apa yang salah?" tanya Dina dengan lembut, berusaha mencari tahu alasan di balik perubahan sikap suaminya belakangan hari ini.

Namun, bukannya menjawab, Danang hanya mendengus pelan dan berjalan meninggalkan Dina menuju kamar. Dina bingung dengan perubahan sang suami yang tidak seperti biasanya.

Dina bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi? Apakah masalah keuangan yang membuat Danang marah? Atau ada sesuatu yang lain? Dina merasa harus mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu suaminya. Berbagai pertanyaan itu menghuni kepala Dina, wanita dua puluh tiga tahun yang baru enam bulan merasakan manisnya berumah tangga dengan Danang, pria berusia dua puluh sembilan tahun. Mereka menikah bukan karena perjodohan, melainkan karena cinta pada pandangan pertama menurut Danang.

Sepeninggal Danang, Dina terdiam, masih bingung dengan sikap dan kemarahan suaminya. Dia memandang pakaian daster yang dikenakannya dengan perasaan was-was.

"Apa yang salah dengan bajuku? Bukankah ini bagus?" gumam Dina, mencoba mencari tahu apa yang membuat Danang tiba-tiba marah.

Dina selalu berusaha menjadi istri yang baik, membelanjakan uang dengan hemat dan memilih pakaian yang sesuai dengan kenyamanannya. Namun, sikap Danang yang mengejek dan tidak menyukai pakaiannya membuat Dina merasa tidak yakin dengan apa yang dilakukannya pada keuangannya yang dikelolanya.

Perlahan-lahan, perasaan bersalah dan khawatir mulai merayapi hati Dina. Apa yang salah? Apa yang telah dilakukannya sehingga membuat Danang marah? Atau mungkin ada sesuatu yang disembunyikan oleh sang suami?

Setelah merenung sejenak mengenai perubahan sang suami, Dina memutuskan untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam, berharap Danang akan merasa lebih baik setelah makan. Namun, kerisauan tetap memenuhi benaknya. Apakah semua ini pertanda dari sesuatu yang lebih besar?

Di dalam kamar, Danang duduk termenung. Rasa bersalah mulai merayap, namun gejolak emosi dan kemarahan yang dirasakannya mengalahkan semua itu.

Danang terduduk di ranjang, gelisah dengan ucapannya sendiri kepada Dina. Ia merasa bersalah telah menyinggung istrinya dan bersikap kasar. Namun, gejolak dalam dirinya yang ingin Dina berubah sesuai keinginannya sulit untuk ditahan.

"Aku tidak bermaksud menyakiti perasaannya," gumam Danang, memijat pelipisnya. Tapi di sisi lain, bayangan istrinya yang berpakaian sederhana terus mengganggu pikirannya.

Sebagai seorang manajer di perusahaan ternama, Danang merasa malu jika harus memperkenalkan Dina dengan gaya hidup yang terlalu kampungan. Ia ingin Dina tampil lebih glamor, agar sesuai dengan statusnya sebagai istri seorang eksekutif.

"Dina harus berubah. Dia harus belajar berpenampilan lebih baik, seperti istri-istri teman kantorku," gumam Danang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa tindakannya adalah benar.

Namun, di dalam hatinya, Danang tahu bahwa Dina adalah wanita baik yang selalu mencoba memahami dan mendukungnya. Meskipun sederhana, Dina adalah istri yang setia dan penuh kasih.

Danang menghela napas berat. Akankah ia mampu menyeimbangkan tuntutan gaya hidup dan mempertahankan cinta yang telah terjalin dengan Dina selama enam bulan ini.

"Apa yang harus aku lakukan? Sudah sering aku katakan padanya, untuk merubah penampilan. Tapi, dia tetap tidak berubah. Apa uang lima juta setiap bulan, kurang?" batin Danang.

Setelah selesai memasak, Dina perlahan melangkah menuju kamar. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar, namun ternyata pintu kamar terkunci.

"Dikunci," gumam Dina sedikit heran, karena biasanya kamar tidak pernah dikunci oleh Danang jika ia berada di dalam.

Akhirnya, Dina mengetuk pintu kamar.

Tok... Tok... Tok...

Dina mengetuk pintu kamar dengan lembut.

"Mas... Mas Danang, sudah waktunya makan malam. Ayo kita makan mas," ujarnya dengan lembut.

Tak ada jawaban dari dalam. Dina menunggu sejenak, berharap Danang akan keluar dan mereka bisa makan dengan tenang seperti biasa. Namun, ruang hening masih menjawab panggilannya.

Dina menghela napas perlahan. Ia tahu Danang mungkin masih marah atau terlalu lelah untuk bergabung dengannya. Dengan sedikit kecewa, Dina memutuskan untuk tidak menggangu Danang.

Saat Dina sedang menata meja makan, tiba-tiba Danang muncul dari kamar. Dina menoleh dengan harapan melihat Danang dalam keadaan lebih baik, namun ekspresi Danang masih tampak gelisah dan tidak nyaman.

"Ayo kita makan, mas ," kata Dina hati-hati.

Danang terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada ragu, "Aku... nanti saja. Aku masih ada pekerjaan."

Dina mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaan dalam hatinya. "Baiklah, nanti kalau sudah selesai, katakan, Mas. Biar aku hangatkan sayurannya."

Dengan langkah berat, Danang kembali masuk ke kamar, meninggalkan Dina yang terdiam di dapur. Dina menghela napas, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya.

Dina menatap meja makan yang telah ditata rapi dengan makanan lezat yang dimasaknya. Tapi, kursi di hadapannya tetap kosong, mengingatkannya akan ketidakhadiran Danang untuk makan bersama.

Dengan hati yang sedikit terluka, Dina mulai menyantap makanannya seorang diri. Setiap suapan terasa hambar, tidak lagi semanis biasanya ketika mereka makan bersama.

"Kenapa, Mas Danang?" gumam Dina dalam hati. "Belakangan ini sikapnya begitu berubah. Apa ada masalah dengan pekerjaannya?"

Dina mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya mengganggu suaminya. Apakah ada masalah di kantor? Atau mungkin ada sesuatu yang lain yang membebani pikirannya?

Dina menghela napas panjang. Ia ingin sekali mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, agar bisa membantu Danang menyelesaikannya. Sebagai istri, Dina selalu berusaha menjadi sandaran bagi Danang, tempat dia bisa berbagi dan mencurahkan segala bebannya.

Namun, kali ini Danang tampak menjauh dan enggan terbuka. Dina merasa khawatir, sekaligus sedih melihat perubahan sikap suaminya yang semakin hari semakin dingin.

Dina perlahan menghabiskan makanannya, berharap Danang akan segera keluar dari kamar dan bergabung dengannya. Namun, harapan itu tampaknya harus kembali tertunda.

Setelah menyelesaikan makan malamnya seorang diri, Dina membereskan dapur dan perlahan berjalan menuju kamar. Hatinya masih dipenuhi kekhawatiran akan perubahan sikap Danang.

Saat Dina membuka pintu kamar, dilihatnya Danang sudah berbaring memunggungi pintu, tampak tertidur pulas. Dina menghampiri sisi ranjang dan memperhatikan wajah suaminya yang terlihat lelah.

"Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu, Mas?" bisik Dina lirih, tangannya dengan lembut menyentuh rambut Danang.

Dina menghela napas panjang. Ia ingin sekali mengetahui apa yang membuat Danang berubah menjadi dingin dan tidak bersemangat seperti ini. Sebagai istri, Dina sangat ingin bisa membantu Danang mengatasi masalahnya.

Sebelum membaringkan diri di ranjang, Dina memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Ia berjalan menuju kamar mandi, berharap air hangat dapat menenangkan pikirannya yang dipenuhi kekhawatiran.

Saat bercermin, Dina memperhatikan pantulan dirinya. Pakaian daster sederhana yang tadi dikritik Danang masih melekat di tubuhnya. Dina menghela napas, menyentuh kain halus itu dengan lembut.

"Apa yang salah dengan pakaianku?" gumamnya pelan. "Bukankah Mas Danang selalu bilang dia menyukai gaya berpakaianku yang sederhana?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rina Dwi
makanya, bawa istrimu ke butik, belanjain dia sesuai tuntutan jabatanmu.. trs spa, make over di salon dan sediakan art utk istrimu biar dia ga kucel..!!! seorang manager kok ga bisa komunikasi. memangnya istrimu peramal yg bisa baca pikiranmu..?
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
salah sendiri mencari istri wanita kampungan yg sederhana. kenapa mau menikahinya. harusnya kau modali istrimu itu biar sesuai dg mau mu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 141

    Dina sudah hampir satu jam duduk di taman. Saat menjaga Danang, ia lebih suka duduk di luar. Dia malas untuk satu ruangan dengan Danang, saat Danang tidak tidur. Jika dia lihat Danang tidur, baru Dina masuk. Ponsel Dina berdering saat ia sedang duduk taman rumah sakit, tak jauh dari kamar Danang. Nama “Tante Hanum” terpampang di layar. Dina segera mengangkatnya.“Assalamu'alaikum , Tante?”“Walaikumsalam Dina, kamu sibuk? Tante mau ketemu. Bisa kita ngobrol?”Dina menarik napas. “Saya di rumah sakit, Tante.”Hanum langsung panik. “Hah? Kamu sakit, Nak?”“Bukan. Mas Danang, Tante. Dia kecelakaan, sempat dioperasi. Sekarang dirawat di sini.”“Ya Allah… Tante ke sana sekarang.”Sambungan terputus setelah Dina mengatakan ruma

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 140

    Deni dan Johnny baru saja turun dari angkot sepulang sekolah. Karena Deni hari ini tidak bawa motor. Depan pos ronda dekat rumahnya. Pak Johan, salah satu tetangga yang cukup dikenalnya duduk di pos ronda, memanggilnya.“Den, kamu sudah dengar kabar di pasar tadi pagi?” tanyanya sambil menatap Deni dengan wajah serius.Deni mengernyit. “Kabar apa, Pak?”Pak Johan menoleh kanan kiri, lalu berbisik, “Itu, soal juragan Zuki yang ngomong aneh-aneh soal ibumu.”Deni terdiam. Wajahnya langsung berubah. “Maksud Bapak apa?”“Dia bilang di depan orang-orang kalau ibumu janda, dan… ya, nadanya enggak pantas. Banyak yang dengar,” kata Pak Johan pelan."Bapak tidak bohong?""Nggaklah Den. Untuk apa bapak bohong. Bapak ini sudah kenal lama dengan almar

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 139

    "Kamu mengetahuinya, Dinda?" tanya Dina dengan tatapan mata memicing tajam.Dinda menghela napas, lalu menatap lurus ke depan. “Aku pernah lihat, Kak… Mas Danang bersama seorang wanita. Mereka kelihatan… mesra. Terlalu dekat untuk dikatakan sekadar teman biasa.”Ucapan itu menusuk langsung ke jantung Dina. Ia terdiam, wajahnya memucat. Seketika ingatannya melayang pada gambar yang ia terima beberapa waktu lalu—foto Danang dengan seorang perempuan. Foto yang membuat hatinya remuk dan pikirannya penuh pertanyaan, siapa yang mengirimya.Dina menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Kapan kamu lihat mereka?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.“Beberapa minggu lalu,” jawab Dinda. “Aku nggak yakin awalnya. Rasanya, tidak mungkin Mas Danang berbuat begitu. Aku mengikutinya dan melihat kemesraan keduanya. Tidak mun

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 138

    "Kalian ngobrol saja, Ibu mau keluar sebentar," kata Endang sebelum meninggalkan kamar perawatan Danang. Ia memberi ruang bagi Danang dan ketiga rekannya untuk berbincang.Begitu pintu tertutup, Yoga langsung duduk di kursi dekat ranjang, sementara Toni dan Rudy berdiri santai di sisi lain tempat tidur."Gila, Dan. Kencang sekali motormu, sampai tangan patah" ujar Toni, menatap Danang prihatin."Iya, tangan patah, bro? Gimana ceritanya?" tanya Rudy penasaran.Danang menghela napas pelan. "Kecelakaan motor malam-malam. Gue sendiri nggak ingat jelas kejadiannya gimana. Tahu-tahu udah di rumah sakit.""Dengar-dengar ada pendarahan juga, ya?" Yoga bertanya sambil mencondongkan badan sedikit ke depan."Iya, kecil sih. Tapi cukup bikin gue nggak sadar cukup lama," jawab Danang pelan, mencoba tetap tenang meski tubuhnya masih terasa lemas

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 137

    Aini melangkah cepat keluar dari pasar. Tas belanjaannya ia genggam erat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat jemarinya yang mencengkeram kain belanja. Nafasnya memburu, bukan karena lelah, tapi karena hatinya masih bergemuruh oleh ucapan Juragan Zuki.Ia memilih duduk di bangku kayu tua di bawah pohon ketapang, tak jauh dari parkiran pasar. Tempat itu agak sepi, hanya beberapa orang lalu lalang. Dari sana, ia bisa melihat orang-orang yang datang dan pergi, tapi pikirannya melayang jauh.“Aku janda, iya. Tapi bukan berarti aku kehilangan harga diri.”Tatapan Aini menerawang. Ia teringat wajah suaminya, Abdi, yang meninggal beberapa bulan lalu karena serangan jantung. Hidup sebagai janda bukan hal yang ia pilih. Tapi ia menjalani semua ini dengan tegar, demi anak-anaknya.“Aku harus kuar. Jangan masukkan dalam hati apa yang dikatakan juragan Zuki," gumamnya lirih, hampir

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 136

    Danang yang tengah berbaring dengan selang infus di tangan langsung menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Tatapan matanya melembut saat melihat sosok istrinya masuk. Mata mereka bertemu sejenak—dan dalam diam, banyak yang ingin disampaikan, namun tak satupun kata terucap.Dina berdiri di ujung ranjang, menjaga jarak. Tubuhnya tegang, dan dia tak berani menatap Danang terlalu lama.“Dina…” suara Danang pelan, serak, namun penuh harap. “Mendekatlah…”Dina terdiam, masih menatap kaki ranjang. “Aku di sini.”“Kenapa kamu di situ? Dekatlah,” kata Danang dengan suara lirih, matanya memohon agar Dina mendekatinya.Perlahan, Dina melangkah lebih dekat, tapi tetap menjaga batas. Ia berdiri di sisi ranjang, memeluk tasnya erat-erat di depan dada.Danang menatap wajah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status