Share

Bab 2

Author: Lin shi
last update Last Updated: 2024-12-04 17:51:03

Dina teringat akan perubahan sikap Danang yang tiba-tiba. Kemarahan dan ejekan suaminya terhadap pakaiannya membuat Dina merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri.

Dengan hati-hati, Dina melepas pakaiannya dan mulai membasuh tubuhnya. Air hangat yang mengalir membuatnya sedikit lebih tenang, namun pertanyaan-pertanyaan masih terus berputar di benaknya.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Apa yang membuatmu berubah seperti ini?" bisik Dina, berharap suaminya akan segera kembali menjadi sosok yang dicintainya.

Setelah membersihkan diri, Dina mengenakan pakaian tidur yang nyaman. Dengan langkah pelan, ia kembali ke kamar dan memperhatikan Danang yang masih terlelap. Dina berharap, esok hari akan membawa perubahan yang lebih baik.

°°°°

Pagi itu, Dina terbangun lebih awal seperti biasanya. Ia bergegas menyiapkan sarapan, berharap Danang akan sarapan pagi. Namun, saat Dina memanggilnya, Danang hanya menjawab singkat bahwa ia harus cepat berangkat ke kantor.

"Aku ada pertemuan pagi ini," ucap Danang.

Dengan hati yang sedikit kecewa, Dina menatap sarapan yang telah dimasaknya dengan penuh cinta, namun hatinya sedikit kecewa. Suasana di rumah terasa begitu sepi dan coanggung, sangat berbeda dengan pagi-pagi biasanya yang dipenuhi kehangatan. Pagi ini, Danang hanya meminum kopi yang di buat Dina, tanpa menyentuh nasi goreng yang sudah di masaknya.

"Aku pergi, aku pulang malam. Aku tidak makan di rumah," kata Danang sebelum ia pergi meninggalkan Dina yang terpekur melihat kepergiannya.

Dina hanya bisa terdiam mendengar perkataan Danang. Hatinya terasa ngilu melihat suaminya itu pergi begitu saja tanpa memedulikan dirinya.

"Ada apa dengan Mas Danang? Semoga tidak seperti yang aku pikirkan," gumamnya.

Setelah membereskan dapur, Dina memutuskan untuk pergi berbelanja ke tukang sayur keliling. Ia ingin menyiapkan makan malam yang lezat untuk Danang, walaupun Danang mengatakan ia tidak makan di rumah. Tapi, Dina mengharapkan Danang makan di rumah.

Saat sedang memilih-milih sayuran segar, seorang tetangganya, Mba Denok datang untuk berbelanja juga.

"Selamat pagi, Dina," sapa Mbak Denok.

"Pagi mbak," balas Dina.

"Sudah dengar kabar, Dina?" tanya Ibu Denok dengan nada prihatin.

"Kabar apa, Mbak?" Dina balas bertanya, merasa penasaran.

Ibu Denok mendekatkan diri dan berbisik, "Katanya, tetangga kita, Ibu Sari, akan bercerai dengan suaminya."

Dina terkejut mendengar berita tersebut. "Benarkah? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada prihatin.

Mbak Denok menghela napas panjang. "Katanya, suami Mba Sari ketahuan selingkuh dengan wanita lain. Padahal mereka sudah lama menikah dan terlihat bahagia."

Dina terdiam, pikirannya kembali melayang pada perubahan sikap Danang belakangan ini. Apakah mungkin suaminya juga...? Tidak, Dina berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu.

"Kasihan sekali Mba Sari. Padahal mereka terlihat begitu serasi," gumam Dina, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.

Mbak Denok mengangguk sedih. "Iya, perselingkuhan memang bisa menghancurkan rumah tangga. Semoga saja Mba Sari bisa melewati ini dengan baik."

Percakapan itu membuat Dina semakin gelisah. Bayangan tentang kemungkinan Danang juga berselingkuh terus menghantui pikirannya. Dina harus segera mencari tahu kebenaran, sebelum semuanya terlambat.

Dina melanjutkan belanjanya, berusaha menyingkirkan kekhawatiran yang menggerogoti hatinya. Namun, pertanyaan-pertanyaan terus bergaung dalam benaknya, menuntut untuk segera dijawab.

Dina menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu. Namun, rasa cemas dan kekhawatiran terus menggerogoti hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya?

Sepanjang perjalanan pulang, Dina terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Apakah Danang juga memiliki wanita lain? Apakah Danang menyesal menikah dengannya yang hanya lulusan SMA, sedangkan Danang lulusan universitas.

Dina menghela napas berat. Ia harus segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Keharmonisan rumah tangganya tidak boleh rusak hanya karena sebuah kecurigaannya yang belum tentu benar.

"Mas Danang tidak selingkuh ! Pasti itu." Dina berusaha untuk menepis apa yang mendiami pikirannya.

Sementara itu, di kantin kantor, Danang menyantap sarapan paginya. Saat sedang menikmati makanannya, ia berpapasan dengan rekannya, Toni.

"Pagi, Danang," sapa Toni, lalu bergabung di meja Danang. "Kau sudah dengar soal acara ulang tahun perusahaan kita?"

Danang mengangkat wajahnya dari piring. "Acara apa?" tanyanya, sedikit terkejut.

"Nanti akan ada acara famili gathering. Semua karyawan diharapkan membawa keluarga," jelas Toni dengan antusias. "Pasti seru, kau bisa mengajak istri."

Mendengar itu, Danang terdiam sejenak. Ia belum pernah menceritakan kepada rekan-rekannya bahwa ia sudah menikah dengan Dina.

"Istri?" gumam Danang pelan. "Aku... belum tahu apakah bisa mengajak."

Toni mengerutkan kening. "Kenapa? Kau tidak punya istri?"

Danang merasa sedikit gugup. "Ah, itu... aku belum memastikan jadwalnya," elaknya.

Toni mengangguk-angguk, meskipun masih terlihat heran dengan sikap Danang. "Yah, pastikan saja kau bisa datang. Acara ini pasti menyenangkan jika kita bisa menghabiskan waktu bersama keluarga."

Danang hanya menggumamkan persetujuan, lalu kembali fokus pada sarapannya. Namun, pikirannya terus melayang pada Dina. Apakah ia akan mengenalkan Dina pada rekan-rekannya di kantor.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 189 Ending

    Ruangan sidang terasa sunyi. Hanya suara hakim yang memimpin sidang terdengar.“Karena tergugat tidak hadir dan telah memberikan kuasa penuh kepada kuasa hukumnya untuk menerima gugatan, serta telah menyatakan menerima permohonan penggugat, maka... Pengadilan Agama memutuskan untuk mengabulkan gugatan cerai penggugat, Dina Ardhiani, terhadap Danang Sahputra Prasetyo.”Ketukan palu hakim terdengar nyaring.Dina memejamkan mata, menahan air mata yang mengambang di pelupuk matanya. Di sampingnya, Vina menggenggam tangannya erat, memberi kekuatan.Semua keluar dalam keadaan campur aduk. Ada sedih dan ada perasaan lega.Di luar ruang sidang, Aini memeluk putrinya. “Sudah selesai, Nak. Sekarang kamu bisa mulai dari awal, tanpa luka yang sama.”"Bangkitlah, demi mereka." Hanum memeluk Dina."Semangat kak," ucap Deni."Strong Din," ujar Alma yang terus ada mendampinginya.Dina menganggukkan kepalanya menatap wajah-wajah yang selalu memberinya semangat.Dari pengadilan agama, Dina langsung men

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 188

    Ruangan rumah sakit itu dipenuhi aroma antiseptik. Suara detak alat monitor berdentum pelan, menghitung detak jantung Danang yang masih berbaring lemas di atas ranjang.Endang duduk di sisi ranjang dengan wajah murung, sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Sementara Dinda berdiri di dekat jendela, mondar-mandir dengan gelisah.Danang mengerang pelan. Kepalanya tampak berat dan matanya enggan terbuka. Ia sudah dua kali muntah dalam dua jam terakhir."Mas?" panggil Dinda cemas, menghampiri.Danang hanya menggeliat, memegangi kepalanya sambil mendesah kesakitan.Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk pelan lalu terbuka. Seorang dokter pria masuk, mengenakan jas putih dengan papan nama bertuliskan: dr. Reza – Sp.S (Spesialis Saraf). Di belakangnya, seorang perawat mendorong alat bantu portable."Bu Endang? Kami sudah lakukan

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 187

    Kelopak mata Danang perlahan terbuka. Cahaya lampu ruangan terasa menyilaukan, membuatnya menyipit. Napasnya masih berat, dadanya naik turun pelan. Untuk beberapa detik, ia hanya memandangi langit-langit, mencoba menyadari di mana ia berada.“Mas… Mas Danang…” suara lembut Dinda memanggil, terdengar serak menahan tangis.Endang yang duduk di sisi ranjang langsung berdiri. Matanya sembab, tapi kini menyala haru.“Alhamdulillah, kamu sadar, Nak…” ucapnya lirih.Danang memutar kepala perlahan, dan mulutnya bergerak.“Ma… aku… kenapa aku di sini?”Suara itu parau. Lirih. Hampir seperti bisikan.Dinda mendekat, menaruh tangannya di lengan Danang.“Mas… Mas tadi pingsan di pengadilan. Kita langsung bawa ke r

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 186

    Endang mulai panik.“Danang! DANANG!” teriaknya keras, berlari menghampiri.Danang mencoba berdiri tegak, tapi tubuhnya tak sanggup menahan beban emosi dan tekanan fisik yang memuncak. Dalam sekejap, ia terhuyung dan—BRUK!Tubuhnya ambruk menghantam lantai marmer pengadilan. Kepalanya nyaris membentur keras jika Dinda tak segera menahan bagian belakangnya. Namun tetap saja, tubuh itu jatuh lemas."DANANG!!" Endang menjerit. Suaranya menggetarkan udara. Orang-orang di sekitar langsung menoleh, beberapa berlari mendekat.Dinda berlutut, memegangi kakaknya dengan gemetar. "Mas! Mas, bangun! Jangan begini… Mas, bangun dong!" Suaranya pecah. Matanya berkaca-kaca.Endang menjerit ke arah petugas. “Tolong! Panggil ambulans! Anak saya pingsan!”Kerumunan mulai

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 185

    Setelah pembukaan persidangan oleh Majelis Hakim, sidang kedua dilanjutkan dengan agenda mediasi, sesuai aturan hukum agama yang berlaku. Hakim menunjuk Hakim Mediator yang berbeda dari Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini.Setelah proses administrasi selesai, baik Danang maupun Dina, masing-masing didampingi oleh pengacara mereka—Rani dan Vina—diminta masuk ke ruang mediasi yang terpisah dari ruang sidang utama. Namun, dalam ruang mediasi, hanya pihak yang bersengketa yang diperbolehkan hadir. Pengacara, keluarga, maupun pendamping tidak diperkenankan masuk.Di ruang mediasi:Hakim Mediator, seorang pria paruh baya dengan raut wajah tenang, membuka sesi dengan senyum ringan."Selamat pagi, Bapak Danang dan Ibu Dina. Saya ditugaskan sebagai mediator dalam perkara kalian. Tujuan mediasi ini adalah mencari titik temu dan rekonsiliasi, jika masih memungkink

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 184

    Pengadilan Agama pagi itu masih sepi. Hanya petugas keamanan dan beberapa staf yang tampak sibuk membuka berkas-berkas dan menyiapkan ruang sidang.Jam masih menunjukkan pukul delapan lebih sedikit saat mobil yang dikemudikan Dinda berhenti di halaman parkir. Danang turun dengan jas rapi dan wajah penuh harap. Di belakangnya, Endang menyusul keluar dari mobil."Masya Allah, Danang… ini belum juga mulai. Kamu bawa kita pagi-pagi sekali, orang kantor pengadilan juga belum siap semua," omel Endang, mamanya, sambil merapikan kerudungnya yang sedikit miring karena tergesa-gesa.Danang hanya diam. Tatapannya menatap ke arah gedung, lalu ke jam tangannya. Nafasnya pendek-pendek. Gugup jelas terbaca dari gerakan tangannya yang bolak-balik membetulkan letak dasi. Dia duduk, lalu berdiri celingukan melihat parkiran. Terlihat sekali ia gelisah.Dinda memandang sekeliling dan b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status