Dina merasa kecewa dan sedih saat membaca pesan dari Danang yang memberitahukan bahwa ia tidak bisa pergi sore karena ada keperluan mendadak dengan temannya. Rasa kecewa dan kerinduan yang terpendam mulai menguasai hati Dina. "Bukan sekali ini kau ingkari janjimu, Mas. Aku seharusnya jangan terlalu berharap dengan janjimu, Mas," batin Dina sambil merenungkan secara dalam.
Alma, yang peka terhadap perubahan wajah Dina, memilih untuk tetap diam. Dia merasa bahwa Dina perlu ruang dan waktu untuk mengekspresikan perasaannya sendiri. Bercermin pada persahabatan mereka yang kuat, Alma memilih untuk memberikan dukungan dan keberanian kepada Dina untuk berbagi dengan sukarela jika ia merasa perlu.
Sampai di mall, Alma membawa Dina untuk berbelanja baju. "Ini bagus untukmu, Din. Ini juga bagus, Din," ucap Alma dengan antusias sambil menunjukkan beberapa pilihan baju yang menurutnya bagus.
Dina menatap baju-baju tersebut dengan ragu. "Ah tidak, aku tidak suka, Alma," kata Dina menolak apa yang ditawarkan oleh Alma, merasa bahwa pilihan baju tersebut tidak sesuai dengan selera dan gaya pribadinya.
Dan, Dina menambahkan, "Terlalu terbuka juga."
Alma terus membujuk, "Din, ini bagus, ini lagi mode sekarang. Terbuka sedikit saja." Namun, Dina tetap pada pendiriannya,"Ah tidak, aku tidak suka," ucap Dina sambil mendorong baju yang dipaksakan oleh Alma ke tubuhnya, menunjukkan ketegasan dalam merasa bahwa itu bukanlah pilihannya.
"Hei, kau ini—" kata Alma. Lalu, Alma dengan paksa menarik tangan Dina ke dalam ruang pas untuk mencoba baju yang ia yakini bagus. "Tidak, Alma. Aku tidak mau," kata Dina dengan tegas, menolak dengan jelas.
Namun, dengan ketegasan Alma, Dina akhirnya terpaksa mengikuti langkah Alma masuk ke dalam ruang pas.
"Kau itu harus di paksa !" Kata Alma dengan memberikan senyum manis pada Dina yang cemberut.
"Cepat coba bajunya, pasti bagus di tubuhmu," kata Alma sambil mendorong tubuh Dina masuk ke ruang ganti dan menutup pintunya.
Dina melihat baju yang diberikan oleh Alma dan merasa tidak nyaman begitu melihatnya. "Ih, baju apa ini? Aku kok tidak nyaman melihatnya," ucap Dina dengan perasaan bingung dan kebingungan yang terpancar dari ekspresinya, menunjukkan bahwa baju itu mungkin tidak sesuai dengan selera dan gayanya.
Dina memperhatikan setiap detail dari baju yang dipegangnya. Baju tersebut memiliki desain unik, dengan hanya memiliki satu lengan, tali di bahunya, dan dilengkapi dengan cardigan di bagian luarnya. Dengan warna dan motif yang mencolok, baju tersebut tampak begitu berbeda dan eksentrik.
"Begitu pendek."
Dina memperhatikan baju tersebut dengan rasa heran dan ketidakpastian. Desain yang tidak lazim dan konvensional dari baju itu menimbulkan kebingungan dalam pikirannya. Ia bertanya-tanya bagaimana ia bisa merasa nyaman dan percaya diri saat mengenakan pakaian yang begitu beda dari biasa yang dikenakannya.
Tok... tok
Alma mengetuk dan dengan suara sedikit keras, Alma memanggil dari luar, "Dina, sudah selesai? Keluarlah!"
"Sabar!" sahut Dina dengan sedikit kekesalan dari dalam ruang ganti.
"Lama sekali, Din," kata Alma yang tidak sabar menunggu Dina mencoba baju yang dipilihnya.
"Iya, sabar. Sulit sekali bajunya, entah baju apa yang kau suruh coba ini," ucap Dina di dalam ruang ganti dengan sedikit keluh kesah, sambil mencoba memakai baju yang disarankan oleh Alma yang ternyata sulit untuk dipakai.
Alma menunggu dengan gelisah di luar ruang ganti, merasa sedikit khawatir dengan lamanya waktu yang Dina habiskan di dalam. "Kenapa lama sekali dia ganti baju? Apa dia bingung cara makainya? Semoga tidak kesulitan, baju tadi tidak ribet." Alma berharap Dina tidak kesulitan dalam mencoba baju-baju yang dipilihnya. Sementara itu, Dina berusaha dengan gigih untuk menyesuaikan diri dengan baju yang dipilih oleh Alma, meskipun mengalami sedikit kesulitan saat memakainya.
Setelah selesai, Dina mematutkan dirinya di depan cermin dan melihat pakaian yang dikenakannya, Dina melihat dirinya depan cermin, "Ih, pendek sekali bajunya. Ini lagi, begitu terbuka," ucapnya sambil membenarkan cardigan yang dipakainya. Dina merasa tidak nyaman dengan cardigan yang terbuka di bagian depannya tanpa kancing, sehingga ia memegang cardigan agar tidak terbuka.
"Ah, aku tidak nyaman memakainya. Baju ini tidak cocok untukku, "ucap Dina dalam hati, menggambarkan perasaan yang tengah ia rasakan di dalam.
Tok... tok.. tok
"Din, sudah selesai?" tanya Alma lagi dari luar.
"Iya, iya, iya, sebentar," jawab Dina dari dalam ruang ganti.
Lalu, Dina melangkah ke pintu untuk keluar, namun ia ragu. Malu akan penampilannya membuatnya enggan keluar dari ruang ganti. Dengan cepat, ia membuka pintu dan berdiri di ambang pintu, tidak mau benar-benar keluar karena rasa malu yang memenuhi dirinya.
"Ayo cepat keluar, Din ! Aku nggak sabar ingin lihat," kata Alma
"Tidak, aku tidak mau," jawab Dina dengan cepat.
Dina sudah hampir satu jam duduk di taman. Saat menjaga Danang, ia lebih suka duduk di luar. Dia malas untuk satu ruangan dengan Danang, saat Danang tidak tidur. Jika dia lihat Danang tidur, baru Dina masuk. Ponsel Dina berdering saat ia sedang duduk taman rumah sakit, tak jauh dari kamar Danang. Nama “Tante Hanum” terpampang di layar. Dina segera mengangkatnya.“Assalamu'alaikum , Tante?”“Walaikumsalam Dina, kamu sibuk? Tante mau ketemu. Bisa kita ngobrol?”Dina menarik napas. “Saya di rumah sakit, Tante.”Hanum langsung panik. “Hah? Kamu sakit, Nak?”“Bukan. Mas Danang, Tante. Dia kecelakaan, sempat dioperasi. Sekarang dirawat di sini.”“Ya Allah… Tante ke sana sekarang.”Sambungan terputus setelah Dina mengatakan ruma
Deni dan Johnny baru saja turun dari angkot sepulang sekolah. Karena Deni hari ini tidak bawa motor. Depan pos ronda dekat rumahnya. Pak Johan, salah satu tetangga yang cukup dikenalnya duduk di pos ronda, memanggilnya.“Den, kamu sudah dengar kabar di pasar tadi pagi?” tanyanya sambil menatap Deni dengan wajah serius.Deni mengernyit. “Kabar apa, Pak?”Pak Johan menoleh kanan kiri, lalu berbisik, “Itu, soal juragan Zuki yang ngomong aneh-aneh soal ibumu.”Deni terdiam. Wajahnya langsung berubah. “Maksud Bapak apa?”“Dia bilang di depan orang-orang kalau ibumu janda, dan… ya, nadanya enggak pantas. Banyak yang dengar,” kata Pak Johan pelan."Bapak tidak bohong?""Nggaklah Den. Untuk apa bapak bohong. Bapak ini sudah kenal lama dengan almar
"Kamu mengetahuinya, Dinda?" tanya Dina dengan tatapan mata memicing tajam.Dinda menghela napas, lalu menatap lurus ke depan. “Aku pernah lihat, Kak… Mas Danang bersama seorang wanita. Mereka kelihatan… mesra. Terlalu dekat untuk dikatakan sekadar teman biasa.”Ucapan itu menusuk langsung ke jantung Dina. Ia terdiam, wajahnya memucat. Seketika ingatannya melayang pada gambar yang ia terima beberapa waktu lalu—foto Danang dengan seorang perempuan. Foto yang membuat hatinya remuk dan pikirannya penuh pertanyaan, siapa yang mengirimya.Dina menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Kapan kamu lihat mereka?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.“Beberapa minggu lalu,” jawab Dinda. “Aku nggak yakin awalnya. Rasanya, tidak mungkin Mas Danang berbuat begitu. Aku mengikutinya dan melihat kemesraan keduanya. Tidak mun
"Kalian ngobrol saja, Ibu mau keluar sebentar," kata Endang sebelum meninggalkan kamar perawatan Danang. Ia memberi ruang bagi Danang dan ketiga rekannya untuk berbincang.Begitu pintu tertutup, Yoga langsung duduk di kursi dekat ranjang, sementara Toni dan Rudy berdiri santai di sisi lain tempat tidur."Gila, Dan. Kencang sekali motormu, sampai tangan patah" ujar Toni, menatap Danang prihatin."Iya, tangan patah, bro? Gimana ceritanya?" tanya Rudy penasaran.Danang menghela napas pelan. "Kecelakaan motor malam-malam. Gue sendiri nggak ingat jelas kejadiannya gimana. Tahu-tahu udah di rumah sakit.""Dengar-dengar ada pendarahan juga, ya?" Yoga bertanya sambil mencondongkan badan sedikit ke depan."Iya, kecil sih. Tapi cukup bikin gue nggak sadar cukup lama," jawab Danang pelan, mencoba tetap tenang meski tubuhnya masih terasa lemas
Aini melangkah cepat keluar dari pasar. Tas belanjaannya ia genggam erat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat jemarinya yang mencengkeram kain belanja. Nafasnya memburu, bukan karena lelah, tapi karena hatinya masih bergemuruh oleh ucapan Juragan Zuki.Ia memilih duduk di bangku kayu tua di bawah pohon ketapang, tak jauh dari parkiran pasar. Tempat itu agak sepi, hanya beberapa orang lalu lalang. Dari sana, ia bisa melihat orang-orang yang datang dan pergi, tapi pikirannya melayang jauh.“Aku janda, iya. Tapi bukan berarti aku kehilangan harga diri.”Tatapan Aini menerawang. Ia teringat wajah suaminya, Abdi, yang meninggal beberapa bulan lalu karena serangan jantung. Hidup sebagai janda bukan hal yang ia pilih. Tapi ia menjalani semua ini dengan tegar, demi anak-anaknya.“Aku harus kuar. Jangan masukkan dalam hati apa yang dikatakan juragan Zuki," gumamnya lirih, hampir
Danang yang tengah berbaring dengan selang infus di tangan langsung menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Tatapan matanya melembut saat melihat sosok istrinya masuk. Mata mereka bertemu sejenak—dan dalam diam, banyak yang ingin disampaikan, namun tak satupun kata terucap.Dina berdiri di ujung ranjang, menjaga jarak. Tubuhnya tegang, dan dia tak berani menatap Danang terlalu lama.“Dina…” suara Danang pelan, serak, namun penuh harap. “Mendekatlah…”Dina terdiam, masih menatap kaki ranjang. “Aku di sini.”“Kenapa kamu di situ? Dekatlah,” kata Danang dengan suara lirih, matanya memohon agar Dina mendekatinya.Perlahan, Dina melangkah lebih dekat, tapi tetap menjaga batas. Ia berdiri di sisi ranjang, memeluk tasnya erat-erat di depan dada.Danang menatap wajah