Share

Bab 8

Penulis: Lin shi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-14 15:59:33

"Yoga ingin mengajakku bertemu, bagaimana ini ? Aku sudah janji dengan Dina," gumam Danang. Rasa kebingungan mencengkram hatinya, karena ia sudah berjanji kepada Dina untuk menghabiskan waktu bersama.

"Oh ya, pagi ini aku bertemu dengan Yoga. Sore aku akan pergi dengan Dina," ucap Danang dengan suara tegas, membuat keputusan yang sulit namun penting. Tidak ingin mengecewakan Dina, Danang berkomitmen untuk tetap memenuhi janjinya kepada istri tercintanya.

Dina kemudian keluar dari kamar mandi, rambutnya yang sedikit basah disisirnya asal dan wajahnya diberi sedikit bedak. Dengan tampilan segar, dia bergabung di meja makan bersama Danang. Dina kemudian mengambilkan nasi untuk sang suami dengan mulut tertutup rapat, menunjukkan kepedulian dan kasih sayangnya kepada sang suami, walaupun hatinya sedang sedih.

Tanpa bicara, Dina mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya dan Danang dengan perlahan. Suasana di meja makan terasa hening, hingga tiba-tiba Danang menghentikan makannya dan berbicara kepada Dina, "Din, kita pergi sore saja ya, hari ini. Mas ada janji dengan teman," kata Danang sambil menatap wajah Dina.

Dina, tanpa sepatah kata pun, hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanggapannya. Tapi, dalam hati Dina penuh dengan kekecewaan.

Keduanya kemudian melanjutkan makan mereka dengan hening, mencoba untuk menikmati hidangan di hadapan mereka.

Setelah makan, Danang pergi dan Dina hanya bisa melihatnya pergi dari balik tirai jendela. Dina memperhatikan kepergian Danang dengan rasa campur aduk yang sulit diungkapkan. Namun, perhatiannya teralihkan saat ia mendengar suara ponselnya berbunyi.

"Ya, Alma," sahut Dina saat menjawab panggilan telepon dari temannya.

"Oke, aku bisa datang," kata Dina dengan suara ramah kepada Alma.

Setelah menyelesaikan percakapan dengan Alma, Dina memutuskan untuk menuju ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Langkah-langkahnya terasa ringan, karena terlalu semangat untuk bertemu dengan sang sahabat. Dina melupakan kegundahannya melihat kepergian Danang.

Setelah mengganti pakaian, Dina meninggalkan rumah dengan naik ojek untuk bertemu dengan Alma di salah satu kafe. Saat ia melangkah masuk ke dalam kafe, Dina disambut oleh senyuman hangat dari Alma yang duduk di salah satu meja di sudut kafe.

Alma melambaikan tangannya, dan Dina melangkah mendekati di mana Alma duduk.

"Dina! Senang bertemu denganmu, lagi," sapa Alma sambil bangkit dari kursinya untuk menyambut Dina.

Senyuman di wajah Alma mencairkan sedikit kekhawatiran dan kegelisahan yang masih menghantui Dina. Dina dan Alma duduk di meja kafe yang ditempati oleh berbagai macam tanaman hijau, menciptakan suasana yang segar dan hangat di sekitarnya. Mereka memulai percakapan dengan tawa kecil dan senyum yang tulus, saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing.

Alma mengambil paper bag yang dibawanya dan memberikannya pada Dina dengan senyuman cerah di wajahnya. "Din, ini kain yang ingin kujadikan baju," ucap Alma penuh antusiasme.

Dina menerima paper bag tersebut dengan cermat, lalu perlahan mengeluarkan kain yang terbungkus di dalamnya. "Kainnya sangat bagus, Alma. Semoga aku bisa menjahitnya dengan baik," ucap Dina dengan sedikit keraguan dalam suaranya, merasa kurang percaya diri dengan kemampuannya dalam menjahit baju.

"Kau pasti bisa, Dina. Kau terlalu merendah diri," kata Alma dengan penuh keyakinan, mencoba memberikan semangat kepada Dina. "Aku kan tidak pernah menjahit baju untuk orang," sahut Dina dengan jujur, menunjukkan keraguan yang masih menghantui pikirannya.

"Kau jahit baju untukmu, kan? Kau kan juga orang," sambung Alma dengan candaan ringan, mencoba untuk mengalihkan suasana menjadi lebih ceria.

Dina menampilkan senyum lembut menghias bibirnya, dan kemudian berkata, "Kau bercanda saja ya, Alma."

"Hidup itu jangan terlalu serius, Din, cepat tua," ucap Alma sambil tertawa.

"Iya, iya, iya, aku enggak akan terlalu serius," balas Dina sambil ikut tersenyum.

Dina menyentuh kain dengan lembut, merasakan tekstur dan keindahan motifnya sambil tersenyum. "Sangat bagus, lembut lagi," ucap Dina dengan penuh apresiasi akan kain yang diberikan oleh Alma untuk dijahit menjadi baju.

Dina menambahkan, "Pasti, mahal."

"Hei, kau jangan takut menjahitnya, Din. Kain murahannya ini, jangan bilang mahal," kata Alma mencoba memberikan keyakinan kepada Dina untuk melakukan apa yang diinginkannya.

"Kain murahan atau mahal, kita harus hati-hati kan, Alma," balas Dina.

Setelah selesai membahas kain untuk baju tersebut, Alma kemudian bertanya kepada Dina, "Kau ada kesibukan apa lagi, Dina, hari ini?" ujarnya dengan rasa ingin tahu.

"Hmm, tidak ada," jawab Dina sambil memikirkan rencananya untuk hari itu, "Kenapa?" tanyanya balik pada Alma.

Kemudian, "Jalan yuk. Kita kan sudah lama tidak jalan," ajak Alma dengan semangat. 

Dina merenung sejenak, mengingat janji dengan Danang padanya, namun setelah mempertimbangkan, ia memutuskan, "Oke, ayo."

"Ayo, ke mana kita ? shopping? Nonton? Bagaimana? Nonton yuk, mau kan?" kata Alma dengan penuh semangat, mengajak Dina untuk bersenang-senang. Dina tersenyum, merasa senang dengan ajakan Alma. "Oke," jawab Dina sambil mengikuti kegembiraan Alma.

Dina dan Alma pun bergegas meninggalkan kafe menuju petualangan hari itu, siap untuk menikmati momen bersama dan menciptakan kenangan baru. Keduanya melangkah menuju mobil Alma.

"Hebatnya kau sekarang ya, Alma, bisa bawa mobil," kata Dina dengan kagum. 

"Kita harus mengikuti perkembangan zaman, Din."

"Kita harus bisa melakukan apapun sendiri," kata Alma dengan mantap, "Kau juga harus belajar mobil," lanjutnya kepada Dina.

"Untuk apa aku belajar mobil? Aku kan tidak punya mobil?" balas Dina dengan tertawa kecil mendengar perkataan Alma.

"Kan, sekarang kau tidak punya mobil, Din.  Mungkin suatu hari kau bisa punya mobil," balas Alma, merangsang Dina untuk berpikir lebih jauh tentang kemungkinan di masa depan.

Saat percakapan mereka terhenti, sejenak. Dina merasakan getaran ponselnya dalam tas. Dengan cepat, ia mengambil ponsel dari dalam tas dan melihat pesan yang masuk dari sang suami, Danang. Dengan ekspresi serius, Dina membaca pesan itu dalam hati..

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 189 Ending

    Ruangan sidang terasa sunyi. Hanya suara hakim yang memimpin sidang terdengar.“Karena tergugat tidak hadir dan telah memberikan kuasa penuh kepada kuasa hukumnya untuk menerima gugatan, serta telah menyatakan menerima permohonan penggugat, maka... Pengadilan Agama memutuskan untuk mengabulkan gugatan cerai penggugat, Dina Ardhiani, terhadap Danang Sahputra Prasetyo.”Ketukan palu hakim terdengar nyaring.Dina memejamkan mata, menahan air mata yang mengambang di pelupuk matanya. Di sampingnya, Vina menggenggam tangannya erat, memberi kekuatan.Semua keluar dalam keadaan campur aduk. Ada sedih dan ada perasaan lega.Di luar ruang sidang, Aini memeluk putrinya. “Sudah selesai, Nak. Sekarang kamu bisa mulai dari awal, tanpa luka yang sama.”"Bangkitlah, demi mereka." Hanum memeluk Dina."Semangat kak," ucap Deni."Strong Din," ujar Alma yang terus ada mendampinginya.Dina menganggukkan kepalanya menatap wajah-wajah yang selalu memberinya semangat.Dari pengadilan agama, Dina langsung men

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 188

    Ruangan rumah sakit itu dipenuhi aroma antiseptik. Suara detak alat monitor berdentum pelan, menghitung detak jantung Danang yang masih berbaring lemas di atas ranjang.Endang duduk di sisi ranjang dengan wajah murung, sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Sementara Dinda berdiri di dekat jendela, mondar-mandir dengan gelisah.Danang mengerang pelan. Kepalanya tampak berat dan matanya enggan terbuka. Ia sudah dua kali muntah dalam dua jam terakhir."Mas?" panggil Dinda cemas, menghampiri.Danang hanya menggeliat, memegangi kepalanya sambil mendesah kesakitan.Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk pelan lalu terbuka. Seorang dokter pria masuk, mengenakan jas putih dengan papan nama bertuliskan: dr. Reza – Sp.S (Spesialis Saraf). Di belakangnya, seorang perawat mendorong alat bantu portable."Bu Endang? Kami sudah lakukan

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 187

    Kelopak mata Danang perlahan terbuka. Cahaya lampu ruangan terasa menyilaukan, membuatnya menyipit. Napasnya masih berat, dadanya naik turun pelan. Untuk beberapa detik, ia hanya memandangi langit-langit, mencoba menyadari di mana ia berada.“Mas… Mas Danang…” suara lembut Dinda memanggil, terdengar serak menahan tangis.Endang yang duduk di sisi ranjang langsung berdiri. Matanya sembab, tapi kini menyala haru.“Alhamdulillah, kamu sadar, Nak…” ucapnya lirih.Danang memutar kepala perlahan, dan mulutnya bergerak.“Ma… aku… kenapa aku di sini?”Suara itu parau. Lirih. Hampir seperti bisikan.Dinda mendekat, menaruh tangannya di lengan Danang.“Mas… Mas tadi pingsan di pengadilan. Kita langsung bawa ke r

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 186

    Endang mulai panik.“Danang! DANANG!” teriaknya keras, berlari menghampiri.Danang mencoba berdiri tegak, tapi tubuhnya tak sanggup menahan beban emosi dan tekanan fisik yang memuncak. Dalam sekejap, ia terhuyung dan—BRUK!Tubuhnya ambruk menghantam lantai marmer pengadilan. Kepalanya nyaris membentur keras jika Dinda tak segera menahan bagian belakangnya. Namun tetap saja, tubuh itu jatuh lemas."DANANG!!" Endang menjerit. Suaranya menggetarkan udara. Orang-orang di sekitar langsung menoleh, beberapa berlari mendekat.Dinda berlutut, memegangi kakaknya dengan gemetar. "Mas! Mas, bangun! Jangan begini… Mas, bangun dong!" Suaranya pecah. Matanya berkaca-kaca.Endang menjerit ke arah petugas. “Tolong! Panggil ambulans! Anak saya pingsan!”Kerumunan mulai

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 185

    Setelah pembukaan persidangan oleh Majelis Hakim, sidang kedua dilanjutkan dengan agenda mediasi, sesuai aturan hukum agama yang berlaku. Hakim menunjuk Hakim Mediator yang berbeda dari Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini.Setelah proses administrasi selesai, baik Danang maupun Dina, masing-masing didampingi oleh pengacara mereka—Rani dan Vina—diminta masuk ke ruang mediasi yang terpisah dari ruang sidang utama. Namun, dalam ruang mediasi, hanya pihak yang bersengketa yang diperbolehkan hadir. Pengacara, keluarga, maupun pendamping tidak diperkenankan masuk.Di ruang mediasi:Hakim Mediator, seorang pria paruh baya dengan raut wajah tenang, membuka sesi dengan senyum ringan."Selamat pagi, Bapak Danang dan Ibu Dina. Saya ditugaskan sebagai mediator dalam perkara kalian. Tujuan mediasi ini adalah mencari titik temu dan rekonsiliasi, jika masih memungkink

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 184

    Pengadilan Agama pagi itu masih sepi. Hanya petugas keamanan dan beberapa staf yang tampak sibuk membuka berkas-berkas dan menyiapkan ruang sidang.Jam masih menunjukkan pukul delapan lebih sedikit saat mobil yang dikemudikan Dinda berhenti di halaman parkir. Danang turun dengan jas rapi dan wajah penuh harap. Di belakangnya, Endang menyusul keluar dari mobil."Masya Allah, Danang… ini belum juga mulai. Kamu bawa kita pagi-pagi sekali, orang kantor pengadilan juga belum siap semua," omel Endang, mamanya, sambil merapikan kerudungnya yang sedikit miring karena tergesa-gesa.Danang hanya diam. Tatapannya menatap ke arah gedung, lalu ke jam tangannya. Nafasnya pendek-pendek. Gugup jelas terbaca dari gerakan tangannya yang bolak-balik membetulkan letak dasi. Dia duduk, lalu berdiri celingukan melihat parkiran. Terlihat sekali ia gelisah.Dinda memandang sekeliling dan b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status