"Yoga ingin mengajakku bertemu, bagaimana ini ? Aku sudah janji dengan Dina," gumam Danang. Rasa kebingungan mencengkram hatinya, karena ia sudah berjanji kepada Dina untuk menghabiskan waktu bersama.
"Oh ya, pagi ini aku bertemu dengan Yoga. Sore aku akan pergi dengan Dina," ucap Danang dengan suara tegas, membuat keputusan yang sulit namun penting. Tidak ingin mengecewakan Dina, Danang berkomitmen untuk tetap memenuhi janjinya kepada istri tercintanya.
Dina kemudian keluar dari kamar mandi, rambutnya yang sedikit basah disisirnya asal dan wajahnya diberi sedikit bedak. Dengan tampilan segar, dia bergabung di meja makan bersama Danang. Dina kemudian mengambilkan nasi untuk sang suami dengan mulut tertutup rapat, menunjukkan kepedulian dan kasih sayangnya kepada sang suami, walaupun hatinya sedang sedih.
Tanpa bicara, Dina mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya dan Danang dengan perlahan. Suasana di meja makan terasa hening, hingga tiba-tiba Danang menghentikan makannya dan berbicara kepada Dina, "Din, kita pergi sore saja ya, hari ini. Mas ada janji dengan teman," kata Danang sambil menatap wajah Dina.
Dina, tanpa sepatah kata pun, hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanggapannya. Tapi, dalam hati Dina penuh dengan kekecewaan.
Keduanya kemudian melanjutkan makan mereka dengan hening, mencoba untuk menikmati hidangan di hadapan mereka.
Setelah makan, Danang pergi dan Dina hanya bisa melihatnya pergi dari balik tirai jendela. Dina memperhatikan kepergian Danang dengan rasa campur aduk yang sulit diungkapkan. Namun, perhatiannya teralihkan saat ia mendengar suara ponselnya berbunyi.
"Ya, Alma," sahut Dina saat menjawab panggilan telepon dari temannya.
"Oke, aku bisa datang," kata Dina dengan suara ramah kepada Alma.
Setelah menyelesaikan percakapan dengan Alma, Dina memutuskan untuk menuju ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Langkah-langkahnya terasa ringan, karena terlalu semangat untuk bertemu dengan sang sahabat. Dina melupakan kegundahannya melihat kepergian Danang.
Setelah mengganti pakaian, Dina meninggalkan rumah dengan naik ojek untuk bertemu dengan Alma di salah satu kafe. Saat ia melangkah masuk ke dalam kafe, Dina disambut oleh senyuman hangat dari Alma yang duduk di salah satu meja di sudut kafe.
Alma melambaikan tangannya, dan Dina melangkah mendekati di mana Alma duduk.
"Dina! Senang bertemu denganmu, lagi," sapa Alma sambil bangkit dari kursinya untuk menyambut Dina.
Senyuman di wajah Alma mencairkan sedikit kekhawatiran dan kegelisahan yang masih menghantui Dina. Dina dan Alma duduk di meja kafe yang ditempati oleh berbagai macam tanaman hijau, menciptakan suasana yang segar dan hangat di sekitarnya. Mereka memulai percakapan dengan tawa kecil dan senyum yang tulus, saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing.
Alma mengambil paper bag yang dibawanya dan memberikannya pada Dina dengan senyuman cerah di wajahnya. "Din, ini kain yang ingin kujadikan baju," ucap Alma penuh antusiasme.
Dina menerima paper bag tersebut dengan cermat, lalu perlahan mengeluarkan kain yang terbungkus di dalamnya. "Kainnya sangat bagus, Alma. Semoga aku bisa menjahitnya dengan baik," ucap Dina dengan sedikit keraguan dalam suaranya, merasa kurang percaya diri dengan kemampuannya dalam menjahit baju.
"Kau pasti bisa, Dina. Kau terlalu merendah diri," kata Alma dengan penuh keyakinan, mencoba memberikan semangat kepada Dina. "Aku kan tidak pernah menjahit baju untuk orang," sahut Dina dengan jujur, menunjukkan keraguan yang masih menghantui pikirannya.
"Kau jahit baju untukmu, kan? Kau kan juga orang," sambung Alma dengan candaan ringan, mencoba untuk mengalihkan suasana menjadi lebih ceria.
Dina menampilkan senyum lembut menghias bibirnya, dan kemudian berkata, "Kau bercanda saja ya, Alma."
"Hidup itu jangan terlalu serius, Din, cepat tua," ucap Alma sambil tertawa.
"Iya, iya, iya, aku enggak akan terlalu serius," balas Dina sambil ikut tersenyum.
Dina menyentuh kain dengan lembut, merasakan tekstur dan keindahan motifnya sambil tersenyum. "Sangat bagus, lembut lagi," ucap Dina dengan penuh apresiasi akan kain yang diberikan oleh Alma untuk dijahit menjadi baju.
Dina menambahkan, "Pasti, mahal."
"Hei, kau jangan takut menjahitnya, Din. Kain murahannya ini, jangan bilang mahal," kata Alma mencoba memberikan keyakinan kepada Dina untuk melakukan apa yang diinginkannya.
"Kain murahan atau mahal, kita harus hati-hati kan, Alma," balas Dina.
Setelah selesai membahas kain untuk baju tersebut, Alma kemudian bertanya kepada Dina, "Kau ada kesibukan apa lagi, Dina, hari ini?" ujarnya dengan rasa ingin tahu.
"Hmm, tidak ada," jawab Dina sambil memikirkan rencananya untuk hari itu, "Kenapa?" tanyanya balik pada Alma.
Kemudian, "Jalan yuk. Kita kan sudah lama tidak jalan," ajak Alma dengan semangat.
Dina merenung sejenak, mengingat janji dengan Danang padanya, namun setelah mempertimbangkan, ia memutuskan, "Oke, ayo."
"Ayo, ke mana kita ? shopping? Nonton? Bagaimana? Nonton yuk, mau kan?" kata Alma dengan penuh semangat, mengajak Dina untuk bersenang-senang. Dina tersenyum, merasa senang dengan ajakan Alma. "Oke," jawab Dina sambil mengikuti kegembiraan Alma.
Dina dan Alma pun bergegas meninggalkan kafe menuju petualangan hari itu, siap untuk menikmati momen bersama dan menciptakan kenangan baru. Keduanya melangkah menuju mobil Alma.
"Hebatnya kau sekarang ya, Alma, bisa bawa mobil," kata Dina dengan kagum.
"Kita harus mengikuti perkembangan zaman, Din."
"Kita harus bisa melakukan apapun sendiri," kata Alma dengan mantap, "Kau juga harus belajar mobil," lanjutnya kepada Dina.
"Untuk apa aku belajar mobil? Aku kan tidak punya mobil?" balas Dina dengan tertawa kecil mendengar perkataan Alma.
"Kan, sekarang kau tidak punya mobil, Din. Mungkin suatu hari kau bisa punya mobil," balas Alma, merangsang Dina untuk berpikir lebih jauh tentang kemungkinan di masa depan.
Saat percakapan mereka terhenti, sejenak. Dina merasakan getaran ponselnya dalam tas. Dengan cepat, ia mengambil ponsel dari dalam tas dan melihat pesan yang masuk dari sang suami, Danang. Dengan ekspresi serius, Dina membaca pesan itu dalam hati..
Deni menelan ludah, seolah kata-kata yang ingin ia sampaikan tersangkut di tenggorokan. Ia menggeser posisi duduknya sedikit, pandangannya menghindari mata bundanya. "Itu, Bun..." ucapnya pelan, suaranya terdengar penuh keraguan, nyaris bergetar.Aini semakin memperhatikan perubahan raut wajah Deni, sorot matanya mulai dipenuhi kecemasan. Ia tidak suka ketika anaknya bersikap seperti ini—seperti ada sesuatu yang berat yang ingin disampaikan tetapi masih ditahan."Apa, Deni? Dina sakit?" tanyanya, nada suaranya kini berubah menjadi sedikit khawatir.Deni menggeleng cepat, tetapi tetap tidak langsung berbicara. Ia menarik napas panjang, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia ungkapkan.Aini semakin tidak tenang melihatnya. Ia menggeser duduknya lebih dekat, lalu meraih tangan Deni dan men
Danang bangkit dari duduknya, dadanya terasa sesak saat mendengar suara isakan lirih dari kamar tamu. Isakan yang begitu halus, tetapi terasa menyayat, seolah setiap tangis yang ditahan oleh Dina menghantam kesadarannya dengan pukulan yang tidak terlihat.Langkahnya berat saat ia mendekati pintu kamar tamu, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk melangkah lebih dekat. Hatinya bergetar, penuh penyesalan, penuh ketidakpastian.Dengan ragu, ia mengetuk pintu kamar dengan lembut."Tok… tok… Din… Dina…" panggilnya, suaranya bergetar, tidak seperti biasanya.Namun, tidak ada sahutan dari dalam. Hanya keheningan yang terasa semakin tebal, semakin menghimpit.Danang menelan ludah, lalu mengetuk pintu sekali lagi, kali ini sedikit lebih kuat. "Tok… tok… D
Aini duduk termenung di teras rumahnya, menatap langit yang mulai berubah warna menjelang senja. Udara terasa lembab, seolah ikut membebani pikirannya yang sudah penuh dengan kegelisahan.Tangannya perlahan mengelus dadanya, mencoba meredakan ketidaknyamanan yang tiba-tiba muncul. Ada rasa sesak, rasa yang sulit dijelaskan. Bukan hanya fisik, tetapi juga batin yang terasa berat."Ada apa ini? Perasaanku tidak nyaman... Apa jantungku bermasalah?" batinnya, mulai diliputi kecemasan.Aini menutup matanya, berusaha mengatur napas yang tiba-tiba terasa lebih pendek dari biasanya. Pikirannya melayang ke berbagai arah, tetapi yang paling kuat adalah ketakutannya terhadap sesuatu yang mungkin akan terjadi."Allah, jangan buat hamba sakit sekarang ini. Suami hamba sudah Engkau ambil, jangan sampai hamba juga dipanggil sekarang ini..."
Danang duduk termenung di teras depan rumah, matanya menatap lurus ke jalanan yang sepi.Ia teringat kata-kata Deni sebelum masuk mobil menuju terminal bus. Kata-kata yang begitu sederhana, tetapi menghantamnya tanpa ampun."Kembalikan Kak Dina, jika Mas sudah tidak mencintainya lagi. Sebab, tak ada kerajaan yang bisa bertahan dengan dua ratu berada didalamnya."Danang tertegun, dadanya terasa sesak. Ia tidak menyangka Deni akan mengatakan hal itu—seolah mengetahui semuanya, seolah melihat sesuatu yang selama ini ia tutupi dengan berbagai alasan dan kebohongan."Deni tahu? Sejak kapan? Apa selama ini dia diam sambil memperhatikan? Atau, Dina mengatakannya?""Tidak mungkin Dina yang mengatakan. Dina menutupinya."Ia menggenggam jemarinya di atas lutut, perasaan tidak nyaman mulai menjalar dalam dirinya.
Dina menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya yang mulai memuncak. Ia menatap Danang dengan mata yang penuh ketegasan, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Apa maumu, Mas?" tanyanya lirih, tetapi nadanya tetap tegas.Danang mendekat sedikit, tatapannya penuh harap. "Kita seperti dulu, Din. Saling cinta, jangan ada pertengkaran," ucapnya dengan suara pelan, seolah mencoba meraih kembali sesuatu yang telah lama hilang.Dina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak menghadirkan kehangatan—melainkan kepahitan. Ia menghela napas sebelum menjawab, suaranya tenang, tapi dingin. "Itu tidak mungkin, Mas. Ketika sudah terjadi pengkhianatan pada janji suci pernikahan, tidak mungkin kita baik-baik saja."Ia menatap lurus ke mata Danang, memastikan lelaki itu memahami sepenuhnya. "Mas, kita pisah, ya," katanya deng
Matahari belum menampakkan sinarnya, dan suara azan subuh berkumandang dari masjid, menembus keheningan pagi. Di dalam kamar, suasana terasa menegang. Dina baru saja menyelesaikan sholat Subuh, tubuhnya bergerak tenang saat ia melipat sajadah dan membuka mukenanya.Namun, ketenangan itu bertolak belakang dengan tatapan tajam yang mengarah kepadanya. Danang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan bersedekap di dada, wajahnya penuh ketegangan yang sulit disembunyikan. Sorot matanya tak lepas dari Dina, tetapi Dina memilih untuk mengabaikannya, pura-pura tak terganggu oleh keberadaan lelaki itu."Kemana semalam?" Suara Danang akhirnya memecah keheningan, nadanya tajam, penuh tuntutan."Mall," sahut Dina singkat, tanpa sedikit pun berniat menjelaskan lebih jauh.Danang mengembuskan napas kasar. "Kenapa tidak pamit? Apa tanganmu
Langkah kaki terdengar pelan saat tiga orang masuk ke dalam rumah. Mata mereka langsung tertuju pada Danang, yang tertidur dalam posisi duduk di sofa ruang tamu. Televisi masih menyala, menampilkan tayangan yang sudah tidak lagi ia perhatikan. Kepalanya sedikit tertunduk ke samping, napasnya teratur, seolah telah menunggu terlalu lama hingga akhirnya tertidur dalam kelelahan.Deni melangkah lebih dekat, ragu sejenak sebelum akhirnya."Kak," panggil Deni dengan nada pelan, ragu apakah harus membangunkan Danang atau tidak. Dina, yang berdiri di sampingnya, hanya menghela napas pendek, matanya menatap Danang tanpa ekspresi yang jelas. Wajahnya tetap tenang, tapi dalam hatinya ada sesuatu yang mengendap—perasaan yang sulit dijelaskan. "Masuk saja, biar kakak yang membangunkannya," katanya tegas pada Deni dan Johnny, suaranya dingin dan tak terbantahkan.&n
Dinda menggigit bibir bawahnya dengan gelisah, tatapannya tidak lepas dari Rizal. "Mas, apa sebaiknya aku bilang saja pada Kak Dina?" tanyanya ragu, suaranya terdengar bimbang. Ada harapan dalam matanya, berharap Rizal dapat memberinya kepastian.Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, suaranya hampir berbisik. "Aku sudah kirim foto Mas Danang dengan wanita itu pada Kak Dina... Tapi sekarang aku takut. Takut kalau itu malah membuat Kak Dina bingung dan terluka."Rizal terdiam. Ia mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa panas, merasa berat untuk memberikan jawaban. Ia tahu betapa pentingnya hal ini bagi Dinda, tapi ia juga tidak ingin membuatnya semakin terbebani. Matanya menghindari tatapan Dinda, mencari kata-kata yang tepat."Kok diam, Mas?" Dinda kembali bertanya, nadanya semakin terdengar cemas. Ia mengerutkan alis, mencoba membaca apa yang ada di pikiran Rizal. "Mas bingung, ya?" la
Danang memacu motornya dengan kecepatan yang semakin meningkat. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi ia tidak peduli. Semangatnya untuk segera memberikan hadiah itu kepada Dina mendorongnya untuk terus melaju. Sesekali, ia merogoh saku jaketnya, memastikan kotak kecil berisi kalung liontin tetap aman di tempatnya."Dina, tunggu kedatanganku!" serunya, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin motor. Pikirannya dipenuhi bayangan wajah Dina yang tersenyum saat menerima hadiah tersebut.Saat ia tiba di depan rumah, kegembiraannya perlahan berubah menjadi kebingungan. Rumah itu tampak gelap gulita, tidak ada satu pun lampu yang menyala. Danang mematikan mesin motornya dan turun dengan tergesa-gesa, mengerutkan kening saat menatap rumah yang sepi. "Kenapa rumah gelap begini?" gumamnya, rasa khawatir mulai menjalar di hatinya.Ia merogoh saku celananya, mengambil ku