Raka melanjutkan perjalanannya dengan langkah hati-hati, berusaha mengikuti arah yang ditunjuk oleh anak kecil tadi. Pepohonan tinggi di sekitarnya semakin rapat, dan udara terasa semakin dingin meskipun matahari masih bersinar di atas kepala. Suara alam—desiran angin, gemericik air, dan kicau burung—menciptakan harmoni yang menenangkan, tetapi Raka tidak bisa sepenuhnya merasa aman. Perasaan bahwa ia sedang diikuti semakin kuat, seolah ada banyak pasang mata yang mengamati setiap gerakannya dari balik bayang-bayang pepohonan.
Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar dari kejauhan. Langkah-langkah itu cepat dan teratur, seperti milik orang-orang yang terlatih. Raka berhenti sejenak, tubuhnya membeku. Ia mencoba bersembunyi di balik pohon besar, berharap tidak terlihat. Namun, suara itu semakin dekat, dan tak lama kemudian, sekelompok prajurit muncul dari balik pepohonan.
Prajurit-prajurit itu mengenakan pakaian kuno—baju besi ringan yang terbuat dari kulit dan logam, serta celana pendek yang diikat dengan sabuk kulit. Mereka bersenjatakan tombak panjang dengan mata tombak yang mengkilap, serta pedang pendek yang terselip di pinggang mereka. Wajah mereka keras dan waspada, matanya tajam seperti elang yang siap menyerang mangsa. Di kepala mereka terdapat ikat kepala sederhana dengan simbol-simbol yang mirip dengan ukiran di gua tempat Raka menemukan cermin perunggu.
"Siapa kau?" bentak salah satu prajurit, suaranya keras dan penuh otoritas. Mata mereka tertuju pada Raka, penuh kecurigaan. Salah satu prajurit maju selangkah, tombaknya teracung ke arah Raka, ujungnya hanya beberapa inci dari dadanya.
Raka berdiri tegak, mencoba tampak tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. "Namaku Raka," katanya pelan, menggunakan bahasa Jawa Kuno yang ia kuasai. "Aku... aku tersesat."
Namun, jawaban itu hanya membuat prajurit-prajurit itu semakin curiga. Salah satu dari mereka maju selangkah, memeriksa tas punggung Raka dengan kasar. Ketika mereka menemukan peralatan modern seperti senter dan kamera, mereka semakin curiga. Salah satu prajurit mengangkat kamera Raka, matanya menyipit saat ia memeriksa benda itu.
"Apa ini?" tanya prajurit itu, suaranya dingin dan penuh ketidakpercayaan. "Benda apa ini? Seperti barang dukun!"
"Bukan, itu hanya alat untuk... mencatat sesuatu," jawab Raka, suaranya bergetar. Ia menyadari bahwa penjelasannya tidak akan masuk akal bagi orang-orang ini. Teknologi modernnya benar-benar asing bagi mereka.
Salah satu prajurit lainnya mendekat, matanya menyipit dengan curiga. "Kau bilang kau bukan dari sini, tapi pakaianmu aneh, dan benda-benda ini tidak seperti apa pun yang pernah kami lihat. Apakah kau penyihir? Atau mata-mata dari kerajaan musuh?"
"Tidak!" bantah Raka cepat, mengangkat kedua tangannya sebagai tanda bahwa ia tidak membawa senjata. "Aku hanya seorang pelancong. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini."
Namun, kata-katanya tidak dihiraukan. Prajurit-prajurit itu saling bertukar pandang, wajah mereka penuh keraguan. Salah satu dari mereka melangkah mendekat, tombaknya teracung lebih dekat ke arah Raka. "Kau bicara dengan aksen aneh. Kau pasti bukan orang biasa. Kau mungkin utusan dewa-dewi, atau mungkin kutukan bagi kerajaan kita."
Sebelum Raka bisa menjawab, salah satu prajurit yang memegang kamera tiba-tiba melompat mundur, wajahnya penuh ketakutan. "Lihat!" teriaknya, menunjuk ke arah kamera di tangannya. "Benda ini... bercahaya!"
Semua mata tertuju pada kamera itu. Memang, cahaya samar mulai memancar dari lensa kamera, seolah-olah benda itu memiliki kehidupan sendiri. Prajurit-prajurit itu mundur beberapa langkah, tombak mereka teracung ke arah Raka dengan sikap defensif.
"Lihat! Aku sudah bilang dia penyihir!" seru salah satu prajurit, suaranya penuh ketakutan. "Dia membawa alat-alat sihir!"
Raka mencoba menjelaskan, tetapi suaranya tenggelam dalam gemuruh protes dan bisikan prajurit-prajurit itu. Salah satu dari mereka berbisik kepada pemimpin kelompok, "Mungkin dia memang utusan dewa-dewi. Lihat aura aneh di sekitarnya. Kita tidak boleh membunuhnya."
Pemimpin prajurit itu tampak ragu-ragu, tetapi akhirnya ia mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada yang lain untuk menangkap Raka. "Bawa dia ke istana," kata pemimpin itu dengan nada dingin. "Biarkan Resi Agung Darmaja yang memutuskan nasibnya."
Beberapa prajurit langsung maju, mencoba menahan lengan Raka dengan erat. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya masih lemah setelah perjalanan yang melelahkan. Ia menyadari bahwa perlawanan tidak akan membantu dalam situasi ini.
"Kalian salah paham!" protes Raka, suaranya penuh ketegangan. "Aku bukan musuh kalian!"
Namun, prajurit-prajurit itu tidak mendengarkannya. Mereka mengepungnya dan secara perlahan selangkah demi selangkah, para prajurit itu semakin mempersempit ruang geraknya. Di Momen tersebut, ia mencoba memahami apa yang terjadi. Ia menyadari bahwa ia telah terseret ke dunia yang sangat berbeda dari dunia modern—sebuah dunia yang dipenuhi oleh tradisi kuno, kepercayaan mistis, dan konflik politik.
Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan
Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh
Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l
Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang
Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka
Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu