Share

2. Kita teman

Jam pelajaran dimulai, dan suasana kelas yang awalnya riuh berubah menjadi hening saat guru mata pelajaran untuk jam pertama memasuki ruangan. Namun ada yang menarik perhatian, yaitu kehadiran seseorang pemuda di belakang guru. Para siswa laki-laki bertanya-tanya siapa pemuda itu, sementara siswa perempuan terlihat heboh dan terkesima melihat ketampanan pemuda tersebut.

Saat para siswa lain sedang asyik berbisik tentang orang itu, Rain malah terlihat tidak peduli. Wajahnya yang sebelumnya tampak ceria dan ramah berubah menjadi datar saat guru dan pemuda misterius itu masuk ke kelas.

Chandra, dialah penyebab raut wajah Rain berubah. Berbeda dengan Rain, Chandra terlihat tersenyum senang saat mengetahui kalau ia sekelas dengan Rain.

“Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan nama kamu.”

“Halo semua, perkenalkan aku Chandra. Aku tetangganya Rain,” ucap Chandra dengan semangat, menunjuk ke arah Rain. Seketika, semua mata tertuju pada Rain

Bego! Kenapa dia harus bilang kayak gitu! jerit batin Rain. Kini, dia harus menghadapi perhatian seluruh kelas yang tiba-tiba tertuju padanya.

"Oke, cukup perkenalan dari Chandra." Atensi siswa berubah ketika mendengar suara guru. "Semoga betah disini ya, Chan. Silahkan kamu duduk di sebelah Alif," ujar guru dengan senyuman ramah, menunjuk ke arah seorang pemuda yang duduk di barisan nomor 3.

Chandra mengangguk lalu berjalan ke kursinya. “Halo Rain,” bisik Chandra saat melewati bangku milik Rain.

***

Bel istirahat berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Ruang kelas terasa semakin sepi ketika siswa-siswa mulai meninggalkannya untuk menikmati istirahat. Rain, Khanza, dan Alif masih duduk di bangku mereka, menyaksikan Chandra yang dikelilingi siswi yang mencoba berkenalan atau meminta nomor teleponnya.

“Tetangga lo tuh Ra, bantuin sana,” ucap Alif yang dengan cepat mengungsi dari mejanya.

Rain terlihat acuh tak acuh. “Males banget bantuin tuh orang. Gue mau ke kantin, kalian ikut gak?” ia beranjak dari duduknya

“Kuy lah!” seru Khanza penuh semangat.

“Ikut dong,” timpal Alif.

Mereka bertiga meninggalkan kelas, meninggalkan Chandra yang berusaha keluar dari kerumunan siswi yang ingin berkenalan dengannya.

“Rain, tunggu,” seru Chandra berlari menyusul mereka. Ia berhenti di depan mereka dan mencoba menyisipkan diri ke dalam kelompok. "Mau ke kantin kan? Aku ikut ya."

Rain hampir menolak, tetapi Alif dengan semangatnya menjawab, "Bagus lah, tambah banyak, tambah rame. Seru!"

“Makasih ya, Alif."

Mereka berjalan bersama, Khanza dan Rain di depan, Alif dan Chandra di belakang. Chandra mencoba memperkenalkan diri kepada Khanza, "Eh, kamu siapa namanya? Kita belum kenalan."

”Gue Khanza.” Khanza menoleh dan mensejajarkan dirinya dengan Alif dan Chandra, sementara Rain masih di depan mereka.

“Lo beneran tetangga Rain?” tanya Khanza.

Chandra mengangguk. “Iya, bener.”

“Wah bisa apel tiap hari dong, wkwk,” timpal Alif. Chandra terlihat bingung, tapi tetap tertawa karena mendengar tawa Alif.

Rain berhenti, membuat teman di belakangnya berhenti.

“Kenapa Ra—”

Rain menendang kaki Alif dengan keras, membuat Alif berteriak kesakitan. Setelah itu Rain kembali melanjutkan langkahnya, mengabaikan tatapan-tatapan dari banyak siswa di koridor. Chandra segera menyusul Rain.

“Kan udah gue bilang, jangan ngomong kayak gitu. Kena kan Lo,” kata Khanza sambil tertawa, meninggalkan Alif yang kesakitan.

***

Rain dan Chandra tiba di kantin lebih dulu, diikuti oleh Khanza dan Alif. Mereka duduk di salah satu tempat kosong yang masih tersedia. Suasana kantin yang ramai dengan obrolan dan tawa siswa menjadi latar belakang mereka.

“Rain mau pesan apa? Biar aku yang pesenin ya,” kata Chandra.

“Gak." Yang diinginkan Rain bukan makanan, melainkan kepergian Chandra dari hadapannya. Chandra dan sikap sok akrabnya membuat Rain kesal.

“Kamu belum makan dari pagi loh.” Melihat perhatian dari Chandra pada Rain, membuat Khanza maupun Alif ingin berkomentar, tapi mengingat kejadian tadi membuat mereka mengurungkan niatnya. Sudahlah, mereka tak mau membuat Rain marah. Lebih baik mereka diam dan cukup menikmati drama dadakan yang terjadi di depan mereka.

Sementara di meja lain, para siswi sibuk berbisik-bisik melihat kedekatan Rain dan Chandra. Mereka membenarkan gosip yang beredar antara Rain dan Chandra.

“Jadi Rain—”

“Gue gak mau apa-apa. Cukup lo diem, itu aja." Meski tidak melihat Chandra pergi, melihatnya tidak bersuara rasanya lebih baik.

Chandra menuruti perkataan Rain dan langsung diam.

Melihat sepertinya drama kedua temannya sudah selesai, Khanza akhirnya buka suara.

“Jadi kalian gak mau pesen apa-apa?”

Rain dan Chandra langsung menggeleng.

“Yaudah kalo gitu, gue pesen sendiri aja.”

“Eh Za. Nitip ya, hehe.” Alif menyodorkan beberapa lembar uang kepada Khanza.

“Lo kan bisa jalan sendiri!” Khanza terlihat menolak Alif.

“Sakit nih.” Muka Alif memelas, ia juga memegang kakinya yang tadi ditendang Rain.

“Huft, dasar cewek.” Khanza mendengkus, lalu mengambil uang di tangan Alif. Ia lalu berjalan memesan makanan.

“Kek biasa ya Za,” ucap Alif sebelum Khanza benar-benar pergi.

Kini tersisa Chandra, Rain, dan Alif. Rain terlihat sibuk memainkan jarinya, Chandra yang memperhatikan Rain, dan Alif yang memperhatikan mereka berdua.

“Aku ke perpustakaan dulu ya," kata Chandra tiba-tiba memecah keheningan antara mereka.

"Lah, ngapain Chan? Emang lo tau?" tanya Alif penasaran.

"Aku tau kok, tadi sempat lewat sana. Kalian makan aja." Chandra beranjak meninggalkan Rain dan Alif.

Alif menatap ke arah Rain. "Dia kayaknya pergi gara-gara sikap lo, deh, Ra."

"Bagus."

"Apanya yang bagus? Loh, mana anak baru itu?" Khanza datang dengan membawa makanannya dan pesanan Alif.

"Pergi ke perpus." Alif mendekatkan makanannya dan kembali menatap Rain. "Lo kayaknya udah keterlaluan sama si Chandra Ra. Dia keliatan baik, dia juga kayaknya pengen deket sama Lo," ucap Alif sebelum memakan makanannya.

"Ya, mungkin. Kalo dia menjauh, malah bagus." Rain tidak peduli. Ia pergi meninggalkan Khanza dan Alif untuk memesan.

"Dia kenapa sih benci sama cowok?" tanya Alif.

Khanza menggeleng tanda tidak tahu. Ia tak mengerti apa yang ada dipikiran temannya itu. Sejak SMP ia memang selalu menjauhi laki-laki. Yang ada dipikirannya hanya buku dan belajar. Rain bilang ia tak mau berurusan dengan sesuatu yang ujung-ujungnya akan membuatnya sakit. Bahkan ia sempat bilang tak mau menikah, soal itu Khanza doakan semoga temannya ini memikirkan kembali.

***

Jam pelajaran telah usai sejak tadi. Rain berjalan ke luar sekolahnya. Ia memutuskan untuk berjalan pulang ke rumah. Ia tak mau merepotkan abangnya, karena tau akhir-akhir ini abangnya memiliki banyak tugas kuliah, maklum semester akhir. Sebenarnya teman-temannya sudah menawarkan untuk pulang bersama, tapi Rain menolak karena rumah kedua temannya itu tak searah dengan rumah Rain.

"Rain tunggu!" Chandra berlari menyusul Rain yang meninggalkannya begitu saja.

Rain tidak mempedulikan Chandra. Ia terus berjalan hingga akhirnya pemuda itu berhasil menyusulnya.

"Kamu gak naik angkot?" Chandra menyamakan langkahnya dengan Rain.

"Gak," jawab Rain singkat.

"Kenapa?"

"Males." Sebenarnya bukan hanya itu alasan Rain. Rain sedang mencoba menghemat uang jajannya, ia ingin menabung untuk membeli novel kesukaannya yang sebentar lagi akan terbit.

Chandra kembali bertanya, "tadi kamu makan kan?"

"Ya."

Cmhandra terlihat berpikir dan mencari pertanyaan agar perjalanan pulang mereka tidak terisi dengan keheningan. Ia tiba-tiba teringat perihal nomornya yang Rain blokir "Rain, nomorku masih kamu blok ya?"

"Gak." Jawaban yang masih singkat, karena Rain berharap Chandra berhenti berbicara.

"Bagus, nanti aku telepon kamu ya."

"Kita tetangga."

"Oh, kamu mau aku main ke rumah  kamu?" tanya Chandra dengan percaya diri.

"Gak gitu juga! Maksud gue kalo ada keperluan ngapain nelpon?! Lo bisa ke rumah kan! Kalo gak penting-penting banget gak usah ke rumah dan jangan nelpon gue!" geram Rain.

"Penting kok, aku mau bahas pelajaran. Ada materi yang gak aku ngerti. Jadi aku mau nanya kamu, bo ...." Chandra menghentikan perkataannya. Tiba-tiba saja ia merasa nyeri di bagian ulu hati.

Rain terus berjalan tanpa menyadari Chandra yang berhenti. Merasa aneh karena tidak mendengar suara Chandra, akhirnya Rain berhenti dan menoleh ke belakang. Ia melihat Chandra yang berjarak beberapa langkah darinya. Chandra terlihat menahan sakit, ia memegangi perutnya, dan wajahnya sudah dipenuhi keringat. Rain panik dan segera menghampiri Chandra.

"Lo kenapa?" tanya Rain, ia terlihat khawatir pada Chandra.

"Kayaknya maag ku kambuh," ucapan Chandra terdengar sangat lirih.

"Lo gak makan dari pagi?"

Chandra menggeleng.

Ada rasa bersalah di hati Rain. Jika saja ia tak bersikap seperti tadi, pasti Chandra akan makan bersamanya di kantin, dan tak akan begini jadinya.

Rain menuntun Chandra untuk duduk di bawah pohon. "Lo tunggu sini. Gue mau cari obat sebentar." Rain langsung bergegas pergi mencari obat untuk Chandra.

Tak selang berapa lama, Rain datang dengan membawa obat dan sebotol air mineral. "Nih, minum dulu."

Chandra menerima obat dan air dari Rain, lalu segera meminumnya.

"Lo tuh. Kalo udah tau punya penyakit maag, jangan sampe telat makan." Rain mengomel, walau sebenarnya ia khawatir.

"Maaf ya, jadi ngerepotin kamu kayak gini."

Rain hanya mengangguk. "Lo udah enakan belum?"

"Udah kok Ra. Makasih ya."

"Ya."

Rain dan Chandra kembali melanjutkan perjalanan mereka. Tak banyak pembicaraan antara mereka. Karena kali ini Chandra lebih banyak diam dan Rain pun tak mau memulai obrolan.

Setelah cukup lama berjalan, akhirnya mereka sampai. Rain berjalan menuju rumahnya, Chandra juga melakukan hal yang sama.

"Chan," panggil Rain, ia berdiri di depan pagar rumahnya dan menghadap ke arah Chandra.

Chandra yang baru akan membuka pagar rumahnya, menoleh ke arah Rain. "Kenapa Ra?"

"Maaf ya atas sikap gue hari ini." Mengingat apa yang terjadi pada Chandra, Rain merasa bersalah. Mungkin Alif benar, ia terlalu keterlaluan padahal Chandra bersikap baik padanya.

Chandra tersenyum, lalu menjawab, "engak apa-apa Ra, kita kan teman."

"Teman," lirih Rain.

"Tapi lebih bagus kalo lebih dari itu sih. Kayak pacar contohnya, atau suami. Pasti seru kalo kita nikah," ucap Chandra sembari tersenyum.

Baru saja Rain merespon baik Chandra, sifat menyebalkan Chandra kembali lagi.

"Gimana menurut kamu Ra?"

Tak ada jawaban. Rain langsung membuka pintu gerbangnya dan memasuki rumah.

"Ra nanti aku ke rumah kamu ya! Makasih yang tadi!" teriak Chandra karena Rain sudah memasuki rumahnya.

"Baru dateng bukannya salam, malah teriak-teriak." Chandra menoleh ke arah sumber suara, ia melihat adiknya berdiri dia depan pintu dengan tangan yang dilipat. Tubuh mungilnya bersender di pintu dan matanya menatap kesal Chandra.

"Assalamu'alaikum cantik." Chandra membuka pintu gerbang dan berjalan ke rumahnya.

"Waalaikumusalam."

Chandra masuk ke rumah melewati sang adik. Ia melemparkan tas ke sofa ruang tamu. Ia kemudian duduk, Chandra bersender dan memejamkan matanya.

"Tadi papa nelpon, nanya kabar kita." Adik Chandra ikut duduk di sofa ruang tamu.

"Gak usah dibahas. Blok aja." Mata Chandra masih terpejam.

Adik Chandra langsung diam. Tak lama ia kembali memanggil Chandra "Bang."

"Iya."

"Jangan nyakitin orang lain demi kesenangan lo." Fani menatap Chandra dengan pandangan tidak suka.

Chandra membuka matanya, ia tersenyum ke arah adiknya. "Anak kecil jangan ikut-ikut ya." Chandra menepuk-nepuk kepala adiknya, kemudian ia mengambil tas dan berjalan ke kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status