Share

Chandra
Chandra
Author: _penamati

1. Arya Chandra Sasmita

Rain merebahkan dirinya di kasur dan mulai memejamkan mata. Ia dan keluarganya baru saja pindah rumah ke rumah yang lebih besar. Badannya pegal setelah seharian memindahkan dan menata barang-barang. Beruntung hanya sisa sedikit barang yang belum dirapikan. Jadi besok mereka tidak akan sesibuk hari ini. Karena Rain juga harus sekolah besok, ia pun tak bisa lama-lama membantu keluarganya.

Mata Rain terbuka perlahan saat menyadari ponselnya berdering. Tangan Rain berusaha meraih ponsel yang terletak di atas nakas. Dahinya berkerut saat melihat nomor tidak dikenal yang menghubunginya. Rain segera duduk dan mengangkat panggilan itu, takut ada hal yang penting yang ingin disampaikan.

"Halo. Selamat malam?" Rain berbicara dengan lembut.

"Halo."

Rain sedikit terkejut mendengar suara seorang pemuda di seberang. Seingatnya, ia tak memiliki teman lelaki. "Ini siapa ya?" tanya Rain dengan penasaran.

"Aku Chandra, calon suamimu." Pemuda di seberang tertawa.

Rain langsung mematikan sambungan teleponnya dan memblokir nomor itu. "Pasti ulah anak-anak kelas!" Kesalnya. Memang banyak dari teman kelas Rain yang menyebarkan nomornya, mereka berkata ingin membantu Rain mendapatkan pacar. Menurut mereka Rain terlalu anti pada laki- laki dan harus dibantu.

Setelah memarahi anak-anak di grup kelas, Rain kembali merebahkan dirinya. Namun tiba-tiba ponsel Rain kembali berdering, membuatnya berdecak kesal. "Siapa sih?! Ganggu!" Dengan kasar, ia mengambil ponselnya.

Lagi-lagi panggilan itu datang dari nomor yang belum Rain simpan. Rain terlihat ragu untuk mengangkatnya, ia takut nomor itu sama seperti panggilan sebelumnya.

Setelah beberapa detik membiarkan panggil itu, Rain berusaha menepis kecurigaannnya. Ia mengangkat kembali panggilan itu. "Halo?" ucapnya.

"Kenapa di blok-"

Belum selesai pemuda di seberang berbicara, Rain langsung mematikan panggilannya dan kembali memblokir nomor tersebut. Panggilan itu berasal dari orang yang sama. Rain benar-benar kesal dan memilih mematikan ponselnya agar tidak ada yang mengganggunya lagi. Setelahnya ia kembali melanjutkan istirahatnya yang sempat tertunda.

Namun, ketenangan Rain kembali terusik saat mendengar ketikukan pintunya. "Rain, buka pintunya," ucap sang bunda yang berada di luar kamar.

Rain bangun dari tidurnya, mata cokelatnya menatap ke arah pintu kamar. mau istirahat aja susah! teriak batin Rain.

"Sebentar Bun." Rain beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar. "Kenapa Bun?" tanya Rain setelah membuka pintunya.

"Itu loh, ada tamu di bawah. Katanya mau ketemu kamu."

Rain mengerutkan dahinya. Tamu? Tak mungkin ada temannya yang kerumah malam-malam, kalaupun ada mereka pasti akan menghubunginya dulu. Rain terlihat penasaran. "Siapa Bun?"

"Tetangga depan rumah."

Jawaban bundanya membuat Rain semakin bingung, pasalnya ia belum mengenal tetangga sekitar rumahnya. Hari itu memang hari pertama ia berada di sana. "Kok bisa cari aku? Kan aku belum ngenalin diri ke tetangga-tetangga?"

"Mana bunda tau, udah temui aja dulu. Siapa tau penting kan?"

Rain akhirnya menurut dan turun kebawah. Ia melihat seorang pemuda seumurannya yang duduk sendirian. Di depan pemuda itu sudah ada secangkir teh, mungkin bunda Rain yang membuatkannya. Rain sendirian menemui tamu itu. Sang bunda entah kemana, mungkin saja ke kamar untuk beristirahat. Malam memang belum terlalu larut, tapi keluarga Rain tidur lebih cepat karena kelelahan.

Rain duduk di depan pemuda itu. "Siapa? Dan ada perlu apa?" Rain langsung menanyakan keperluan pemuda itu tanpa basa-basi. Ia lelah dan ingin kembali merebahkan tubunya.

Pemuda itu tersenyum ramah menyambut Rain. "Aku yang kamu blok tadi. Kenapa nomorku kamu blok?"

Rain langsung teringat kejadian yang baru saja terjadi. Seingat Rain, pemuda itu bernama Chandra. "Gak penting." Rain menatap Chandra dengan malas.

"Eh, penting, siapa tau butuh bantuanku. Kita tetangga, jadi pasti saling butuh." Chandra masih menunjukkan senyum manisnya.

"Gak butuh," tekan Rain. Ia sangat kesal pada Chandra. Sudah tiga kali Rain diganggu olehnya.

"Manusia itu makhluk sosial, gak bisa hidup sendirian. Pasti butuh bantuan dari orang lain."

Penjelasan Chandra hanya di anggap angin lalu b bagi Rain. Gadis itu menanggapinya tanpa minat. "Udah tau."

"Kalo nama aku pasti kamu belum tau." Chandra menaik-turunkan alisnya.

Rain rasanya ingin menghantam wajah Chandra dengan bantal sofa, ia semakin muak dengan Chandra. "Udah." Ia berharap percakapan mereka berakhir.

"Nama lengkapku? Tau gak?" Chandra masih berusaha mengakrabkan diri.

Rain diam, berusaha menahan emosinya. Ia ingin rasanya mengusir laki-laki itu.

"Gak tau kan, kenalin aku Arya Chandra Sasmita." Chandra mengulurkan tangannya, Rain tak membalasnya. Ia terlihat tak berminat. Chandra pun menurunkan tangannya, tapi tetap tersenyum.

"Udah kan? Pintu keluarnya ada disana." Rain menunjuk ke arah pintu keluar.

"Bentar, tehnya belum habis. Mubadzir." Chandra tertawa kecil.

"Udah malem," Rain mengingatkan, ia ingin Chandra segera pergi.

"Emang udah malem, pas aku dateng juga udah malem." Chandra perlahan meniup uap dari teh yang masih panas sebelum akhirnya meminumnya. "Eh, ngomong-ngomong. Nomorku jangan kamu blok ya, simpan aja. Siapa tau kita bisa akrab gitu."

"Asal Lo pulang!" Rain kehilangan kesabaran. Ia menaikkan nada bicaranya.

Chandra seperti tidak terpengaruh dan tetap santai menikmati tehnya. "Yaudah, aku pulang. Jangan di blok, loh, ya."

Rain diam dan menatapnya tajam, seolah mengusir Chandra tanpa bicara.

Chandra segera meminum tehnya dengan cepat. "Udah habis, aku pulang dulu ya. Makasih minumannya. Kalo boleh jujur sih aku lebih suka jus jeruk daripada teh."

Rain menghela nafas kasar. Sepertinya ia harus ekstra sabar menghadapi pemuda di depannya.

Chandra berdiri dan mulai berjalan, diikuti oleh Rain yang mengikuti di belakangnya. Langkah-langkah mereka mengarah ke teras. Saat Chandra mencapai teras, Rain bersiap untuk menutup pintu. Namun, Chandra cepat berbalik dan menahannya.

Chandra memberikan penjelasan terkait nomor telepon. Ia meminta Rain hanya menyimpan nomor pertama yang merupakan nomornya, sedangkan nomor kedua adalah milik adik Chandra. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pembicaraannya, Rain menyela dengan cepat, "Iya, cepet pulang!" Suara Rain terdengar tegas

"Oke, thanks. Aku-"  Belum selesai Chandra berbicara, Rain langsung menutup pintu.

Suara kunci berputar mengisyaratkan akhir percakapan. Rain merasa lega setelah Chandra pergi, ia sungguh ingin segera beristirahat.

***

Rain sudah bersiap menggunakan seragam sekolahnya. Ia melihat dirinya cermin sekali lagi, memastikan tak ada yang kurang atau berlebihan.  Setelah merasa siap, Rain langsung menggendong tasnya dan turun ke bawah.

Rain terkejut saat Chandra tiba-tiba ada di rumahnya. Chandra terlihat akrab dengan keluarganya. Matanya menatap tak suka ke arah  Chandra, apalagi saat ia teringat kejadian semalam. Dengan langkah kesal Rain berjalan ke arah meja makan.

Chandra menatap Rain, ia terbius dengan penampilan Rain. Seragam yang dipakainya terlihat cocok dengan kulit Rain yang putih. Tak lupa make up natural menghiasi wajah Rain.

"Rain, sini duduk. Ini Chandra, tetangga kita. Kamu udah kenal kan?" jelas ayah Rain.

Rain segera duduk, menuruti perkataan ayahnya. Ia terlihat penasaran dengan kehadiran Chandra di rumahnya. "Kok Chandra ada di sini?" tanya Rain.

"Iya. Dia katanya mau berangkat bareng kamu. Hari ini hari pertama dia pindah ke sekolah kamu Rain. Kamu seneng kan? Sekarang kamu gak perlu nunggu Abang kamu lagi. Apalagi akhir-akhir ini tugasnya tambah banyak." Kini bunda Rain yang berbicara.

Rain terdiam, ia tak percaya pada penjelasan sang Bunda. Rain melirik ke arah Chandra, pemuda itu terlihat tersenyum kepadanya. Senyum yang menjengkelkan bagi Rain. Rain sudah membayangkan hari-harinya akan suram karena kedatangan Chandra.

"Ayo makan Ra, dari tadi diem aja,“ ujar Bunda Rain.

"Em, Rain makan di sekolah aja Bun. Sekarang Rain piket, jadi harus berangkat lebih pagi." Rain sebenarnya berusaha menghindari Chandra.

"Gitu ya. Yaudah, jangan sampe lupa makan ya," pesan Bunda Rain.

"Siap Bunda!" ucap Rain, tak lupa dengan senyumannya. Rain segera berpamitan kepada kedua orangtuanya, lalu pergi meninggalkan meja makan.

"Yaudah, Chandra juga berangkat ya Tan, Om." Chandra berdiri dan menyalami kedua orangtua Rain satu persatu. Setelah berpamitan, Chandra langsung bergegas menyusul Rain.

***

Rain berjalan cepat. Ia tak mau berangkat dengan Chandra, jadi ia memutuskan untuk naik angkutan umum.

“Rain tunggu!” teriak Chandra.

Rain semakin mempercepat langkahnya bahkan nyaris berlari saat mendengar suara Chandra, sementara Chandra berlari mengejar Rain.

“Rain, tunggu!” Chandra berhasil meraih tangan Rain dan menghentikan gadis itu.

“Apa sih!” Rain segera melepaskan tangan Chandra.

“Kita kan mau berangkat bareng. Kenapa kamu jalan sendirian?" Chandra masih terlihat terengah karena baru saja mengejar Rain. "Mendingan naik motor aku daripada jalan kayak gini, capek.”

“Gue gak mau jalan sama lo!” tolak Rain dengan cepat.

“Kan gak jalan. Kita naik motor.”

Rain mengatur nafasnya, agar emosinya tetap stabil. Ia lupa kalau ia berbicara dengan pemuda aneh seperti Chandra. “Maksud gue, gue gak mau berangkat bareng lo," jelas Rain.

“Kenapa Rain?” tanya Chandra, terlihat raut kecewa di wajahnya saat mendengar perkataan Rain.

“Karena...” Rain menghentikan kalimatnya. Ia juga bingung kenapa ia tak mau berangkat bersama Chandra. Rasa jengkel tiba-tiba saja muncul saat melihat keakraban Chandra dengan orang tuanya, apalagi mengingat sikap aneh Chandra kemarin malam.

“Karena apa Rain?” tanya Chandra lagi.

“Ah, udahlah. Pokoknya gue gak mau berangkat bareng lo!” Rain kembali melanjutkan langkahnya yang sempat dihentikan Chandra.

Chandra berjalan menyusul Rain, ia mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Rain.

“Kenapa lo ngikutin gue!” Rain terlihat kesal, namun ia tetap melangkahkan kakinya.

“Setiap manusia itu punya hak masing-masing kan. Kamu berhak gak suka saat aku ngikutin kamu, tapi aku juga berhak kan mau ngapain aja," jelas Chandra dengan santainya.

Rain berjalan sambil menunduk ia memijat pelan kepalanya. Menghadapi laki-laki seperti Chandra butuh banyak kesabaran. Chandra selalu saja menemukan jawaban tidak masuk akal yang membuat Rain terdiam.

***

Rain dan Chandra kini berada di dalam angkutan umum. Mereka duduk bersebelahan dengan posisi yang berdempetan. Hal ini terjadi karena angkot yang sudah penuh namun sang kernet tetap memaksa penumpang untuk naik dengan berkata masih ada ruang yang kosong.

Bau keringat, parfum, bahkan rokok pun menjadi satu membuat kepala Rain pening. Di depan Rain ada seorang ibu-ibu yang membawa tas belanja, sepertinya ibu itu ingin pergi ke pasar. Di sebelah ibu itu terdapat seorang lelaki berkemeja putih dan menggunakan kacamata tebal sedang mendekap sebuah tas. Ada pula seorang wanita yang sedang memangku anaknya, sang anak terlihat tidak nyaman dengan keadaan didalam angkot, bahkan anak itu sempat menangis.

Beberapa menit berlalu akhirnya Rain sampai di tujuannya, beruntung jarak sekolah dengan rumahnya yang sekarang cukup dekat. Ia segera memberhentikan angkotnya, karena ingin segera keluar dari sana.

Rain keluar diikuti Chandra di belakangnya. Saat ingin membayar, Chandra menghentikannya.

"Biar aku aja."

Rain tak menjawab. Ia segera pergi meninggalkan Chandra yang sedang membayar.

"Rain, tunggu." Chandra menyamakan langkahnya dengan Rain.

Rain terlihat tak memperdulikan Chandra, meskipun Chandra terus mengoceh dan mengikuti Rain. "Bisa gak sih lo diem!" kesal Rain, beberapa siswa melihat ke arahnya.

Chandra langsung diam. Ia menutup rapat bibirnya.

"Ra--"

Rain menghentikan langkahnya. Ia menghadap ke arah Chandra. "Gue mau ke kelas, lo ke ruang kepala sekolah."

"Tapi Ra--"

"Lo tinggal lurus aja dari sini, ada perpus lo belok kiri, setelah itu lurus lagi, pasti lo nemu ruang kepala sekolah, ada tulisannya. Ruang kepala sekolah bersebelahan sama ruang guru," jelas Rain. Ia ingin Chandra segera pergi dari hadapannya.

"Bisa diulangi lagi Ra, aku lupa," pinta Chandra. Penjelasan Rain terlalu cepat.

"Lo tuh ya! Padahal tinggal... Ah, udahlah!" Rain menarik tangan Chandra supaya mengikutinya. Langkahnya cukup cepat membuat Chandra hampir terjatuh karena tak bisa mengimbangi langkah Rain. Beberapa siswa di koridor memperhatikan mereka, lebih tepatnya memperhatikan Chandra. Beberapa siswa perempuan langsung bergosip dan membahas paras Chandra. Alis yang tebal, kulit putih, serta hidung yang mancung dipadukan dengan bibir tipis berwarna pink alami, membuat seluruh pandangan teralihkan padanya. Mereka pun bertanya-tanya apa hubungan Chandra dan Rain.

Rain menghentikan langkahnya karena mereka telah sampai di depan ruang kepala sekolah. Rain langsung melepaskan tangan Chandra dan berjalan kembali ke kelasnya.

"Makasih Rain!" Chandra agak berteriak karena Rain yang mulai menjauh.

***

Rain terlihat sibuk menyalin PR milik salah satu temannya. Rain sebenarnya pintar namun karena kesibukannya akhir-akhir ini ia jadi tak sempat mengerjakan PR.

"Ra, gue denger lo tadi bareng cowok ya?" tanya Khanza, ia adalah teman Rain sejak SMP, selain itu Khanza adalah penjaga Rain di sekolah. Meski cantik dan bermata indah, gadis dengan rambut sebahu itu ahli dalam hal bela diri dan membuat pemuda yang ingin mendekatinya akan berpikir dua kali. Meski begitu Khanza bukanlah Rain yang selalu menjauhi dan enggan berhubungan dengan hampir semua laki-laki.

“Anak baru,” jawab Rain acuh.

“Anak baru? Sekolah tinggal beberapa bulan lagi, masih ada aja anak baru? Kenapa dia gak nunggu lulus aja dulu?"

"Mana gue tau." Rain masih tidak peduli.

Khanza mencoba memahami sahabatnya. Ada yang berbeda dari Rain hari ini. Apalagi saat memasuki kelas, Rain sudah memasang wajah kusut. "Lo kayaknya gak suka bahas tuh orang. Ada masalah sama dia?"

Rain tak menjawab, ia terlihat sibuk menulis karena jam pelajaran akan segera dimulai. Bersamaan dengan itu seorang siswa, baru saja memasuki kelas.

“Eh Lif, lo tau berita tentang anak baru gak?” tanya Khanza pada siswa itu.

“Tau dong, Alif gitu loh.” Siswa yang bernama Alif itu menepuk dadanya bangga.

“Raja gosip,” sambung Rain.

“Ish, Rain. Kok gitu sih sama Alif.” Alif yang semula terlihat bangga, kini mengerucutkan bibirnya karena perkataan Rain. Meski seorang lelaki, Alif lebih bertingkah seperti perempuan. Gaya bicara dan teman sepergaulannya kebanyakan adalah perempuan. Disekolah Alif dikenal sebagai rajanya gosip, semua gosip disekolahnya selalu Alif ketahui. Padahal jika bersikap normal layaknya laki-laki biasanya, Alif pasti sudah memiliki banyak penggemar. Wajah yang tampan dipadukan dengan tubuh yang proporsional, membuat Alif tampak sempurna. Apalagi jika ia tersenyum, rasanya dunia teralihkan pada senyumnya.

“Jadi cerita gak nih?” Khanza terlihat menunggu jawaban Alif.

“Pasti dong. Ngegosip pagi-pagi itu menyenangkan, hehe.” Alif langsung mengambil posisi di dekat Khanza dan Rain. Ia duduk di kursi sebelah Rain. “Jadi anak yang baru masuk itu namanya Chandra. Denger-denger sih dia bukan pindah tapi dikeluarin dari sekolahnya yang lama,” jelas Alif, ia memelankan kalimat terakhirnya hingga nyaris berbisik.

Hal itu menarik perhatian Rain, ia sempat berhenti menulis ketika mendengar kata 'dikeluarkan'. Mana mungkin lelaki seperti Chandra dikeluarkan dari sekolahnya, tapi bisa jadi guru di sekolah Chandra sudah habis kesabaran menghadapi sikap Chandra yang seperti itu. Tanpa sadar ia mendekatkan tubuhnya pada Alif dan Khanza, agar mendengar suara Alif lebih jelas.

"Mau ikut gosip juga Ra?"

Ucapan Khanza membuat Rain terkejut. Ia segera menjauh dan kembali melanjutkan tugasnya.

“Hihi, Rain sok-sok an gak mau ngegosip, padahal sebenernya kepo kan? Apa jangan-jangan bener berita itu?"

Rain menoleh kembali pada Alif. "Berita apa?"

"Chandra itu pacar Rain ya?" bisik Alif.

Rain langsung menatap Alif dengan tajam, tapi Alif malah tertawa karena perubahan raut wajah Rain.

"Bener kan ... aduh!" Alif langsung mengadu kesakitan setelah buku Rain mengenai wajahnya. "Bukan Alif yang nyebarin gosip itu Ra, Alif denger dari anak-anak lain." Alif mengerucutkan bibirnya dan mengelus hidungnya yang kesakitan.

Suara tawa Khanza terdengar senang, saat melihat Alif yang kesakitan. Sementara itu, si pelempar terlihat tidak peduli meski korbannya berusaha menjelaskan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status