Setelah selesai dari kamar mandiㅡyang sumpah, antrinya sampai mengular hingga depan pintuㅡLia segera keluar untuk menyusul Nadila yang sedari tadi menunggunya.
Mungkin, ada 10 menit dia mengantri. Bisa dipastikan, Nadila akan mengomel setelah ini. Nadila berkata bahwa akan menunggu di sofa di samping teater 3 tempat mereka menonton tadi. Jadi saat melihat perempuan itu duduk sembari bermain ponsel, Lia berangsur mendekat. Tanpa berniat duduk terlebih dahulu, dia menyenggol kaki Nadila pelan karena sepertinya Nadila tengah serius dengan ponselnya sampai tidak menyadari keberadaan Lia.
"Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan."
Dan untuk yang kedua kalinya, Lagi-lagi Lia salah orang. Kalau orang yang dia pikir Nadila mendongakkan kepala dengan raut wajah wajah sebal. Bola mata Lia membesar seketika, berkali-kali dia membungkuk sebagai permintaan maaf.
"Maaf, maaf. Saya salah orang."
Perempuan tersebut akhirnya mengangguk singkat sebagai jawaban. Ekspresinya masih terlihat sangat kesal. Untuk yang satu ini Lia paham betul. Manusia mana yang tidak kesal dipanggil dengan sebutan binatang apalagi dengan orang yang tidak dikenal. Dalam hati Lia merutuki dirinya sendiri. Saking malunya, Lia langsung keluar dari area bioskop tanpa mencari Nadila dulu. Lia menunggu di depan pintu lalu menelepon Nadila untuk memberitahu keberadaannya.
Dalam hitungan detik, Nadila datang dengan raut jengkel. "Lo tuh ya, dibilang gue tunggu di sebelah teater malah ditinggal!"
"Gue salah orang tadi, sumpah! Keburu malu makanya gue langsung minggat."
"Kok bisa?"
"Ya bisa lah, pinter." Lia menjawab sarkastik. "Namanya salah orang ya semua orang pasti bisa. Mana tadi gue nyapanya songong banget lagi sambil gue tendang aja kakinya. Gue bilangnya, 'Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan' gitu, anjir! Mukanya auto sepet tuh orang, Nad."
"Geblek!" Nadila menoyor keningnya pelan walau tak ayal tertawa juga. Sembari mengobrol, mereka melanjutkan langkah menuju food court. "Lo perasaan sering banget salah orang."
"Masa sih? Gue ingetnya cuma 2 kali."
"Pikun."
"Emang berapa kali?"
"Berkali-kali."
"Serius, Nad!"
"Ya gue juga serius." Nadila membalas tak kalah ngototnya. "Lo aja yang pelupa. Faktor umur kali ya. Eh, lo bilang kan ingetnya cuma 2 kali, terus yang pertama salah orang sama siapa?"
"Mending lo nggak usah tau. Ini bahkan lebih-lebih parah dari yang tadi."
"Siapa sih?" Semakin dilarang, Nadila justru semakin penasaran. "Emang seberapa memalukan? Dari skala 1-10 ada di nomer berapa?"
"15."
"Bener-bener ya lo." Nadila geleng-geleng kepala. Di otaknya sudah terbayang betapa memalukan kejadian salah orang tadi. Salah orang barusan yang mau Lia ceritakan saja sudah cukup memalukan, apalagi yang tidak ingin Lia bagikan. Tapi jelas saja, Nadila tidak akan semudah itu untuk menyerah. Jadi, dia akan mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat Lia cerita. "Ayo dong, jangan buat gue penasaran. Siapa sih? Orangnya gue kenal nggak?"
Lia berdecak, kemudian berpikir sebentar. "Hm... kenal sih."
"Kok pakai 'sih'."
"Ya gue nggak yakin lo kenal orangnya apa nggak." Lia membalas. "Eh gini nggak, lo kenal sama semua temen Arwin yang waktu itu kita ketemuan di jembatan Tekum nggak?"
"Kenal."
"Oh, yaudah. Berarti kenal."
"OOHHH, JADI ORANGNYA ADA DI ANTARA MEREKA?" Nadila memekik heboh. "Kalau Arwin sama Arga nggak mungkin. Berarti antara Mahen atau Azka ya? Ngaku!"
Sementara Lia mengernyit, mencoba mencerna perkataan Nadila. Kan Lia tidak memberi tau siapa orangnya, tapi Nadila kenapa bisa tau?
"Kok lo tau sih?"
"Sumpah, otak lo itu ada fungsinya apa nggak sih? Kan tadi lo nggak yakin gue kenal orangnya apa enggak, terus lo tanya gue kenal sama semua temennya Arwin yang secara nggak langsung lo ngasih tau gue kalau orangnya itu ada di antara mereka!" Nadila menjelaskan secara menggebu-gebu. Lia mendesah berat. Bodoh juga ternyata dia. "Hayo hayo siapa hayo?"
"Berisik."
"Ih, ngaku nggak?"
Nadila menyerang dengan menusuk perutnya membuat Lia bergerak tak menentu agar terhindar dari serangan Nadila. "Nad! Geli tau!"
"Ya makanya kasih tau!"
"Oke fine!" Lia berkata final. Tusukan Nadila di perutnya pun seketika terhenti. "Tapi gue nggak akan sebut nama. Lo tebak aja sendiri."
"Ya, oke. Sekarang cepat cerita."
"Inget waktu gue seneng banget mau ketemu sama Arga sampai nyusulin dia ke Teknik kan? Nah, waktu diparkiran, gue lihat orang berdiri di belakang mobil Arga. Mana dia bawa jas lab juga, gue makin yakin kalau emang Arga. Niatnya pengen gue kagetin, gue jalan diem-diem, terus gue peluk. Waktu dia balik dan tau ternyata salah orang, rasanya seluruh bumi ini ingin ku tenggelamkan."
"Tolol sumpah tolol, Li!" Nadila terbahak keras. "Tapi sumpah, lo bener-bener tolol. Bisa-bisanya salah peluk orang? Parah dah."
"Ya bisa lah, buktinya gue kejadian. Kan sebelum ketemu di jembatan itu gue nggak kenal. Maksud gue, gue tau kalau dia temen Arga soalnya dia waktu itu juga mau ngembaliin jas lab Arga yang ketinggalan. Gue tau sebatas itu, itupun dia yang bilang. Dia temen Arga yang mana gue mana tau. Lo tau sendiri temennya Arga kayak biji kuaci saking banyaknya. Nggak bisa dihitung. Nah, waktu di jembatan itu gue baru tau namanya abis dikenalin Arga. Sumpah sih, gue pengen kabur tapi nggak bisa."
"Pantesan ya lo semangat banget waktu gue ajak balik." Nadila memutar bola mata. "Tapi lo keterlaluan kalau nggak tau Azka sama Mahen, sumpah."
"Emang kenapa?"
"Ya mereka kan temen deketnya Arga, dongo! Gimana lo bisa nggak tau sih? Peka dikit dong sama sekitar, Lia."
"Nad, lo tau sendiri kalau Arga social butterfly. Kenalannya dimana-mana. Dia sekalinya nongkrong rame banget saking banyaknya orang. Gue beberapa kali di ajak main sama temennya aja nggak pernah betah karena sumpah, kalau udah ngumpul berisiknya minta ampun. Mana gue kalo di ajak nongkrong sama komplotannya, herannya orangnya itu ganti-ganti." Lia menjelaskan seraya mengurut keningnya, ikut pusing sendiri. "Ya lo mikir aja lah. Gue jarang ikut kumpul sama tongkrongannya, sekalinya ngumpul orangnya udah beda. Otak gue mana bisa ingat."
"Tapi, yang gue maksud ini pacar lo sendiri loh, bukan orang lain. Lo wajar kalau nggak tau circle pertemanan orang lain, tapi lo sama Arga udah berapa bulan sih? Setahun lebih kan? Dan lo nggak tau temen deketnya siapa aja? Wah, parah sih lo. Lo setahun ngapain aja coba sama Arga."
"Mon maaf, dikira otak gue sejenius Albert Einstein apa."
"Duh, gue jadi kasihan deh sama otak lo. Beneran karatan kayaknya. Ingat nama sama wajah orang aja nggak bisa. Buruan periksa gih."
"Sialan! Nyesel gue cerita."
Nadila terkekeh. Menyeretnya cepat untuk masuk ke dalam food court. "Mari kita makan!"
Saat sedang mengantri, Lia menempatkan mengecek ponsel yang dari tadi belum dia buka. Berjaga-jaga kalau saja Arga mengirimkan pesan. Namun, satu pun tidak ada pesan masuk dari Arga. Lia menghela napas, mungkin benar lelaki itu sedang sibuk. Lia beralih menjawab pesan-pesan yang lain, dan agak terkejut saat mengetahui Arwin mengiriminya pesan baru beberapa menit yang lalu.
Lia segera membalas.
@lia
[bisa]
[dimana?"
Balasan Arwin datang tidak lama kemudian.
@arwin
[cafe depan kampus gimana? Jam 5]
@lia
[oke]
Sesuai kesepakatan, Lia dan Arwin bertemu di cafe depan kampus mereka. Sejujurnya, Lia sedikit heran. Sepanjang dia mengenal Arwin, dia dan Arwin tidak pernah berbicara serius seperti ini. Bahkan, Lia dan Arwin tidak pernah bertemu hanya berdua saja. Mereka memang sering bertemu, tapi yang Lia maksud disini adalah berkumpul bersama Arga, bersama Nadila. Bukan privat seperti ini. Hal tersebut semakin membuat Lia yakin, bahwa apa yang Arwin katakan nanti merupakan hal yang serius. She has no clue. Sungguh. Lia tidak bisa menebak, hal apa yang akan Arwin bicarakan. Dia maupun Arwin tidak punya banyak hal yang perlu diceritakan satu sama lain, jadi Lia hanya berharap, apapun yang Arwin katakan nanti, bukanlah sesuatu yang buruk. Begitu memasuki cafe, netra Lia langsung bisa menangkap keberadaan Arwin yang tak jauh darinya. Lelaki dengan jaket jeans hitam dan kaos putih sebagai dalaman itu terlihat lebih santai, berbeda dengan Lia yang berdebar
"Ini lo kasih sambelnya berapa sendok sih?" Lia merasa lidahnya panas, seolah terbakar. Tangannya meraih gelas yang berisi es teh miliknya di meja, untuk kemudian dia teguk banyak-banyak. "Ini pedes banget Nad, asli!""Sesendok doang itu, Li." Nadila menyahut. "Kan lo minta sesendok."Mata Lia melebar. "Gue bilangnya setengah sendok!""Hah?" Nadila mengangkat alis, tampak seperti memikirkan ulang ucapan Lia tadi saat berpesan. "Iya ya? Nggak merhatiin gue tadi.""Elo ya kebisaan!""Iya-iya maap, nanti kalo nggak abis gue abisin deh, tenang." Nadila terkekeh."Itu mah enak di elo." Lia berdecak."Nanti gue beliin teh anget deh.""Bener ya?""Iya. Makanya cepet habisin. Kalau udah dingin jadi nggak enak."Pandangannya turun pada soto miliknya, yang baru dimakan setengah. Inilah derita orang tidak suka pedas. Sedari kecil, Lia memang tidak terbiasa makan makanan pedas. Tapi Lia juga bukan orang yang sama sekali
Lia tau seharusnya dia tidak perlu keluar berdua hanya dengan Arwin hanya untuk membicarakan tentang Arga.Tapi karena kebetulan Lia ingin membeli buku di Gramedia, dan Arwin yang katanya tengah ingin membeli sepatu futsal karena keadaan sepatunya yang hampir sekarat dan tidak memungkinkan untuk dipakai, mereka akhirnya sepakat untuk ke PIM weekend ini. Arwin tentu sudah memberitahu Nadila dan awalnya juga mengajak perempuan tersebut, namun Nadila berkata tidak bisa karena keluarga besarnya sedang berkumpul ke rumah dan Nadila mustahil keluar.Yang Nadila tidak tau, Arwin justru berakhir pergi berdua dengan Liaㅡyang mana jelas tidak akan Arwin beri tau karena jujur saja, mereka berdua takut Nadila bertanya macam-macam dan rahasia mereka tentang yang sedang menjalankan misi rahasia terbongkar."Lo mau beli sepatu apa, sih?" Lia bertanya seraya menyuapkan udon ke dalam mulutnya. Usai Lia membeli buku yang dia ingin beli di Gramedia, mereka setuju untuk
Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya. "You seems drunk." Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur. "I'm totally sober." Lia menukas tajam. "Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi
Love is not cruel We cruel Love is not a game We have made a game Out of love ㅡ Rupi Kaur *** Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. "Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini." "Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau." "Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!" "Iya iya maaf, aku salah." "Ya emang kamu salah!" "Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila." "Tapi aku sakit hati tau!" "Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai
@arga[lia, aku benar-benar nyesel][please... forgive me?]"Hah! Apa-apaan nih?"Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya.Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus."Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa."Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjel
"Sekarang, bicara."Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa."Sebenernya lo mau apa?""Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit."Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri."Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang.Sarah... muak jadi nomor dua.Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun ala
"Karena kebetulan, yang kepilih request dua-duanya titip salam pakai lagunya The 1975, gue gabungin sekalian aja ya." "Bener." Lia mengangguk tanda setuju pada ucapan Dimas, meski tau orang-orang tidak akan mengetahuinya. "Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?" "Gue juga, asli. Makanya gue seneng banget waktu tau ada yang titip salam pakai lagu band kesayangan gue." Dimas menjawab penuh semangat. Terlihat jelas dari nada bicaranya yang berubah exited tiba-tiba. "Gue paling suka Be My Mistake, Li. Lo apa?" "Falling For You. Nggak bosen-bosen demi apapun." Lia tertawa ringan. "Nah, ini ada yang titip salam buat Sisca Ilpol angkatan 19. Kesukaan lo nih, Falling for you by The 1975." Dimas mulai menyebutkan titipan salam pertama dari dua titipan salam yang terpilih. Radio Kampus hanya menerima dua salam untuk setiap sesi. "Sis, diharap setelah lo de