Share

4. Random Conversation

Setelah selesai dari kamar mandiㅡyang sumpah, antrinya sampai mengular hingga depan pintuㅡLia segera keluar untuk menyusul Nadila yang sedari tadi menunggunya. 

Mungkin, ada 10 menit dia mengantri. Bisa dipastikan, Nadila akan mengomel setelah ini. Nadila berkata bahwa akan menunggu di sofa di samping teater 3 tempat mereka menonton tadi. Jadi saat melihat perempuan itu duduk sembari bermain ponsel, Lia berangsur mendekat. Tanpa berniat duduk terlebih dahulu, dia menyenggol kaki Nadila pelan karena sepertinya Nadila tengah serius dengan ponselnya sampai tidak menyadari keberadaan Lia.

"Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan."

Dan untuk yang kedua kalinya, Lagi-lagi Lia salah orang. Kalau orang yang dia pikir Nadila mendongakkan kepala dengan raut wajah wajah sebal. Bola mata Lia membesar seketika, berkali-kali dia membungkuk sebagai permintaan maaf.

"Maaf, maaf. Saya salah orang."

Perempuan tersebut akhirnya mengangguk singkat sebagai jawaban. Ekspresinya masih terlihat sangat kesal. Untuk yang satu ini Lia paham betul. Manusia mana yang tidak kesal dipanggil dengan sebutan binatang apalagi dengan orang yang tidak dikenal. Dalam hati Lia merutuki dirinya sendiri. Saking malunya, Lia langsung keluar dari area bioskop tanpa mencari Nadila dulu. Lia menunggu di depan pintu lalu menelepon Nadila untuk memberitahu keberadaannya. 

Dalam hitungan detik, Nadila datang dengan raut jengkel. "Lo tuh ya, dibilang gue tunggu di sebelah teater malah ditinggal!"

"Gue salah orang tadi, sumpah! Keburu malu makanya gue langsung minggat."

"Kok bisa?"

"Ya bisa lah, pinter." Lia menjawab sarkastik. "Namanya salah orang ya semua orang pasti  bisa. Mana tadi gue nyapanya songong banget lagi sambil gue tendang aja kakinya. Gue bilangnya, 'Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan' gitu, anjir! Mukanya auto sepet tuh orang, Nad."

"Geblek!" Nadila menoyor keningnya pelan walau tak ayal tertawa juga. Sembari mengobrol, mereka melanjutkan langkah menuju food court. "Lo perasaan sering banget salah orang."

"Masa sih? Gue ingetnya cuma 2 kali."

"Pikun."

"Emang berapa kali?"

"Berkali-kali."

"Serius, Nad!"

"Ya gue juga serius." Nadila membalas tak kalah ngototnya. "Lo aja yang pelupa. Faktor umur kali ya. Eh, lo bilang kan ingetnya cuma 2 kali, terus yang pertama salah orang sama siapa?"

"Mending lo nggak usah tau. Ini bahkan lebih-lebih parah dari yang tadi."

"Siapa sih?" Semakin dilarang, Nadila justru semakin penasaran. "Emang seberapa memalukan? Dari skala 1-10 ada di nomer berapa?"

"15."

"Bener-bener ya lo." Nadila geleng-geleng kepala. Di otaknya sudah terbayang betapa memalukan kejadian salah orang tadi. Salah orang barusan yang mau Lia ceritakan saja sudah cukup memalukan, apalagi yang tidak ingin Lia bagikan. Tapi jelas saja, Nadila tidak akan semudah itu untuk menyerah. Jadi, dia akan mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat Lia cerita. "Ayo dong, jangan buat gue penasaran. Siapa sih? Orangnya gue kenal nggak?"

Lia berdecak, kemudian berpikir sebentar. "Hm... kenal sih."

"Kok pakai 'sih'."

"Ya gue nggak yakin lo kenal orangnya apa nggak." Lia membalas. "Eh gini nggak, lo kenal sama semua temen Arwin yang waktu itu kita ketemuan di jembatan Tekum nggak?"

"Kenal."

"Oh, yaudah. Berarti kenal."

"OOHHH, JADI ORANGNYA ADA DI ANTARA MEREKA?" Nadila memekik heboh. "Kalau Arwin sama Arga nggak mungkin. Berarti antara Mahen atau Azka ya? Ngaku!"

Sementara Lia mengernyit, mencoba mencerna perkataan Nadila. Kan Lia tidak memberi tau siapa orangnya, tapi Nadila kenapa bisa tau?

"Kok lo tau sih?"

"Sumpah, otak lo itu ada fungsinya apa nggak sih? Kan tadi lo nggak yakin gue kenal orangnya apa enggak, terus lo tanya gue kenal sama semua temennya Arwin yang secara nggak langsung lo ngasih tau gue kalau orangnya itu ada di antara mereka!" Nadila menjelaskan secara menggebu-gebu. Lia mendesah berat. Bodoh juga ternyata dia. "Hayo hayo siapa hayo?"

"Berisik."

"Ih, ngaku nggak?"

Nadila menyerang dengan menusuk perutnya membuat Lia bergerak tak menentu agar terhindar dari serangan Nadila. "Nad! Geli tau!"

"Ya makanya kasih tau!"

"Oke fine!" Lia berkata final. Tusukan Nadila di perutnya pun seketika terhenti. "Tapi gue nggak akan sebut nama. Lo tebak aja sendiri."

"Ya, oke. Sekarang cepat cerita."

"Inget waktu gue seneng banget mau ketemu sama Arga sampai nyusulin dia ke Teknik kan? Nah, waktu diparkiran, gue lihat orang berdiri di belakang mobil Arga. Mana dia bawa jas lab juga, gue makin yakin kalau emang Arga. Niatnya pengen gue kagetin, gue jalan diem-diem, terus gue peluk. Waktu dia balik dan tau ternyata salah orang, rasanya seluruh bumi ini ingin ku tenggelamkan."

"Tolol sumpah tolol, Li!" Nadila terbahak keras. "Tapi sumpah, lo bener-bener tolol. Bisa-bisanya salah peluk orang? Parah dah."

"Ya bisa lah, buktinya gue kejadian. Kan sebelum ketemu di jembatan itu gue nggak kenal. Maksud gue, gue tau kalau dia temen Arga soalnya dia waktu itu juga mau ngembaliin jas lab Arga yang ketinggalan. Gue tau sebatas itu, itupun dia yang bilang. Dia temen Arga yang mana gue mana tau. Lo tau sendiri temennya Arga kayak biji kuaci saking banyaknya. Nggak bisa dihitung. Nah, waktu di jembatan itu gue baru tau namanya abis dikenalin Arga. Sumpah sih, gue pengen kabur tapi nggak bisa."

"Pantesan ya lo semangat banget waktu gue ajak balik." Nadila memutar bola mata. "Tapi lo keterlaluan kalau nggak tau Azka sama Mahen, sumpah."

"Emang kenapa?"

"Ya mereka kan temen deketnya Arga, dongo! Gimana lo bisa nggak tau sih? Peka dikit dong sama sekitar, Lia."

"Nad, lo tau sendiri kalau Arga social butterfly. Kenalannya dimana-mana. Dia sekalinya nongkrong rame banget saking banyaknya orang. Gue beberapa kali di ajak main sama temennya aja nggak pernah betah karena sumpah, kalau udah ngumpul berisiknya minta ampun. Mana gue kalo di ajak nongkrong sama komplotannya, herannya orangnya itu ganti-ganti." Lia menjelaskan seraya mengurut keningnya, ikut pusing sendiri. "Ya lo mikir aja lah. Gue jarang ikut kumpul sama tongkrongannya, sekalinya ngumpul orangnya udah beda. Otak gue mana bisa ingat."

"Tapi, yang gue maksud ini pacar lo sendiri loh, bukan orang lain. Lo wajar kalau nggak tau circle pertemanan orang lain, tapi lo sama Arga udah berapa bulan sih? Setahun lebih kan? Dan lo nggak tau temen deketnya siapa aja? Wah, parah sih lo. Lo setahun ngapain aja coba sama Arga."

"Mon maaf, dikira otak gue sejenius Albert Einstein apa."

"Duh, gue jadi kasihan deh sama otak lo. Beneran karatan kayaknya. Ingat nama sama wajah orang aja nggak bisa. Buruan periksa gih."

"Sialan! Nyesel gue cerita."

Nadila terkekeh. Menyeretnya cepat untuk masuk ke dalam food court. "Mari kita makan!"

Saat sedang mengantri, Lia menempatkan mengecek ponsel yang dari tadi belum dia buka. Berjaga-jaga kalau saja Arga mengirimkan pesan. Namun, satu pun tidak ada pesan masuk dari Arga. Lia menghela napas, mungkin benar lelaki itu sedang sibuk. Lia beralih menjawab pesan-pesan yang lain, dan agak terkejut saat mengetahui Arwin mengiriminya pesan baru beberapa menit yang lalu. 

Lia segera membalas.

@lia

[bisa]

[dimana?"

Balasan Arwin datang tidak lama kemudian. 

@arwin

[cafe depan kampus gimana? Jam 5]

@lia

[oke]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status