Share

5. Trust Issues

Sesuai kesepakatan, Lia dan Arwin bertemu di cafe depan kampus mereka. 

Sejujurnya, Lia sedikit heran. Sepanjang dia mengenal Arwin, dia dan Arwin tidak pernah berbicara serius seperti ini. Bahkan, Lia dan Arwin tidak pernah bertemu hanya berdua saja. Mereka memang sering bertemu, tapi yang Lia maksud disini adalah berkumpul bersama Arga, bersama Nadila. Bukan privat seperti ini. Hal tersebut semakin membuat Lia yakin, bahwa apa yang Arwin katakan nanti merupakan hal yang serius.

She has no clue. Sungguh. 

Lia tidak bisa menebak, hal apa yang akan Arwin bicarakan. Dia maupun Arwin tidak punya banyak hal yang perlu diceritakan satu sama lain, jadi Lia hanya berharap, apapun yang Arwin katakan nanti, bukanlah sesuatu yang buruk.

Begitu memasuki cafe, netra Lia langsung bisa menangkap keberadaan Arwin yang tak jauh darinya. Lelaki dengan jaket jeans hitam dan kaos putih sebagai dalaman itu terlihat lebih santai, berbeda dengan Lia yang berdebar-debar. Dilihat dari tidak adanya tas yang menyertai, besar kemungkinan Arwin sudah selesai kelas dari tadi. Tanpa berlama-lama, Lia segera berjalan menghampiri dan menarik kursi tepat di depan lelaki itu. 

"Hai." Lia menyapa. "Udah nunggu lama?"

Mengetahui Lia datang, ponsel di genggaman langsung Arwin letakkan. "Nggak kok. Gue juga barusan dateng."

"Jadi lo mau ngomong apa?" Tanpa basa-basi, Lia langsung menembak. "Just make it fast."

"Nggak bisa." Arwin menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia menarik napas dalam sebelum dihembuskan berat. "Nggak bisa, Lia. Ini bahkan nggak semudah itu."

"Win, lo jangan buat gue takut ya."

Melihat ekspresi Arwin yang berubah keruh, Lia tidak bisa menahan degup jantungnya untuk tidak berdegup kencang. Jantungnya terpompa cepat dengan alasan yang Lia sendiri belum temukan jawabannya. Lia hanya berharap, apa yang dia harapkan tadi terkabulkan. Semoga Arwin disini tidak membawa berita buruk untuknya. Tapi baru saja Lia berpikir begitu, harapannya harus pupus disaat Arwin membuka suara. 

"Ini tentang temen gue." Arwin berkata tegas. Tidak ada keraguan dalam nadanya. Namun, nadanya memelan di kalimat kedua. "Ini tentang pacar lo."

Tenggorokan Lia tercekat. "Maksud lo... Arga?"

Arwin tidak menjawab, melainkan mengangguk. 

"Kenapa?" Lia bertanya, nadanya sedikit menuntut. "Arga kenapa?"

"Lo mau jawaban jujur atau bohong?"

"Jangan main-main, Arwin."

"Gue curiga Arga selingkuh."

"Loㅡ" Lia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Kepalanya pening seketika. Ucapan Arwin barusan berdampak terlalu besar. Rasanya, Lia ingin memaki Arwin saat ini juga.  Mendongak, Lia menatap Arwin tajam. "Dengan alasan apa lo nuduh cowok gue selingkuh?"

"Lia, listen. Gue paham lo shock. Tapi Lia, lo harus dengerin gue baik-baik karena gue yakin lo nggak akan sanggup kalau gue ceritain lagi." Arwin menatap Lia sendu. "Gue bisa mulai kan?

Perlahan, meski tidak yakin, Lia mengangguk.

Lia ersenyum pahit, berusaha tersenyum seakan dia baik-baik saja walau nyatanya tidak. 

Tidak ada perempuan yang baik-baik saja mendengar kata 'selingkuh' dari hubungan mereka kecuali mereka memang sudah tidak saling cinta. Demi apapun, hal seperti ini adalah hal yang paling sebisa mungkin dihindari dalam sebuah hubungan. Sesuatu yang dianggap mengerikan oleh sebagian orang. Tapi kita juga tidak boleh terlena dan beranggapan bahwa hal semacam perselingkuhan tidak akan terjadi dalam hubungan kita sendiri. Karena hal itu jelas salah. Salah besar. Akan selalu ada celah, seharmonis apapun hubungan kalian. 

"Tapi sebelum itu, gue mau mastiin sesuatu dulu." Arwin memulai. "Gue mau nanya, apa menurut lo, Arwin aneh akhir-akhir ini?"

Tanpa berpikir, Lia menjawab tegas. "Nggak."

"Oke. Lo tau kan kalau Arga sibuk belakangan ini?"

"Pertanyaan lo konyol." Lia tertawa sarkastik. "Sebagai pacarnya, jelas gue tau Arwin. Dia sibuk di lab, sibuk nugas, sibuk organisasi. Nggak jarang dia pulang kesorean, bahkan kemaleman."

"Oke. Arga pernah bohong ke lo?"

"Nggak."

"Sekalipun?"

"Ever."

"Tapi Arga pernah bohong ke gueㅡke teman-temannya."

"Gue nggak peduli."

"I swear you're gonna change your mind after this." Arwin mengetuk meja dengan tempo pelan, seakan tengah memikirkan ucapannya matang-matang. "Gue tau lo nonton sama Nadila kemarin."

Lia diam, menunggu Arwin meneruskan. 

"Gue tau sebenarnya lo pengen nonton sama Arga, bukan Nadila."

"Arga nggak bisa."

"Oh. Why he can't?"

Nada Arwin terdengar meremehkan. Dan Lia benci menghadapi Arwin yang seperti ini. "Arga ada acara keluarga."

"Kedengeran kayak anak SD yang lagi cari alasan buat mau bolos ya."

"Arwin, you don't have toㅡ"

"Acara keluarganya di rumah gue?"

"Maksud lo?"

"Arga, Mahen, Azka di rumah gue kemarin. Dan lo tau apa? Main PS." Arwin bisa melihat sepercik kilatan marah di netra Lia, yang berusaha perempuan itu tahan mati-matian agar tidak terlihat. Arwin menghela napas, mendekat pada Lia dan menelungkupkan tangan di meja. Arwin berujar serius. "Dia kemarin pulang duluan, buru-buru. Sebelum itu, dia sempat telfonan sama seseorang. Tau jawaban Arga setelah ditanya kenapa pulang? Lia."

Kini, ganti Arwin yang tertawa sarkastik. 

"Girl, gue juga bakal terus dibohongi kalau beberapa menit setelahnya, Nadila nggak telfon gue. Bilang kalau dia lagi sama lo."

Lia tanpa sadar mengepalkan tangannya erat di atas meja. Sebagai bentuk penahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Satu fakta. Satu kebohongan. Dan bisa membuat Lia jadi sekacau ini. 

"Lia, Arga memang temen gue. Tapi lo juga temen gue." Arwin meraih tangan Lia untuk dia buka, lalu Arwin tepuk perlahan. "Gue nggak akan ngebela Arga kalau dia emang salah, sekalipun dia temen gue. Gue masih waras, Li."

"Tapiㅡ"

"Tapi bukannya terlalu cepat buat menyimpulkan Arga selingkuhan hanya dari satu kebohongan?"

Kata-kata yang ingin Lia ucap dibabat habis oleh Arwin. 

Arwin tersenyum miring. "Nggak. Gue mikirin ini semaleman, dan tuduhan gue bukan tanpa alasan. Lo tauㅡkita tau, kalau Arga sibuk belakangan ini. Of course, salah satu alasannya karena tugas. Tapi, apa kita tau alasan lainnya?"

Lia membisu.

"Gue nggak tau dia begini ke lo apa nggak, tapi Arga lebih sering ngecek hape. Dia sering banget telat waktu kita berempat janjian. Ketika gue, Mahen, Azka lagi ngobrol, Arga sibuk sama ponselnya sendiri. Waktu kita lagi main, dia sering banget diteror telfon dan juga di spam pesan. Gue tau itu bukan lo, kan?"

Lia menarik napas dalam, tidak ingin menatap Arwin. "Siapa aja yang tau?"

"Cuma kita berdua."

"Mahen, Azka, Nadila?"

"Lia, gue masih orang. Bukan ban bocor." Arwin memutar bola mata malas. Hal tersebut bisa membuat Lia tertawa, meskipun singkat. "Nadila, she know nothing. Mahen sempet curiga waktu kemaren Arga pulang buru-buru. Tapi kayaknya dia nggak kepikiran sampai sana. Kalau Azka, jujur, gue nggak tau. Azka ada di tim netral. Dia nggak kelihatan mihak siapapun. Gue juga nggak bisa nebak jalan pikirannya bakal kemana." 

"Kalau lo?"

"Gue?" Arwin menarik seringai tipis. "I'm surely right behind your back."

Lia akhirnya tersenyum. Senyum yang terlihat benar-benar tulus. "Arwin, makasih. I really be thankful for having a friend like you."

"You can count on me, Li. Always."

Ketika Lia mengatakan dia benar-benar bersyukur bisa mempunyai teman layaknya Arwin, she really mean it. Tidak ada yang bisa menggambarkan seberapa kacaunya perasaannya sekarang, namun di saat bersamaan, Lia lega. Mempunyai seseorang yang dipercaya dan bisa diandalkan, definisi tersebut menurut Lia adalah Arwin. Lia rasa, Nadila benar-benar beruntung bisa menemukan laki-laki seperti Arwin. Bagi Lia, keduanya sama-sama berharganya.  

Lia hampir menangis. Semata-mata bukan hanya karena sikap tulus Arwin padanya, tapi mengetahui fakta mengerikan tentang Arga, ternyata juga sesakit itu.

Lia menatap Arwin lekat, tangisnya ia samarkan dalam senyuman. "Win, gue boleh meluk lo nggak sih?"

"Eits, jangan dong." Arwin memasang tampang jahil. Sikap penuh keseriusannya tadi hilang dalam sekejab, kembali ke Arwin yang cengengesan seperti biasanya. "Gini juga gue masih inget Nadila."

Lia melemparnya dengan gumpalan tisu. "Sialan lo."

Pukul setengah 6 sore, saat matahari kembali ke peraduan, dalam sebuah cafe, mereka tertawa bersama.

***

Jujur, semenjak pembicaraannya dengan Arwin dua hari lalu, harus Lia akui pandangannya terhadap Arga perlahan berubah. Perlahan, rasa kepercayaan Lia pada lelaki tersebut terkikis sedikit demi sedikit. Meskipun begitu, Lia sebisa mungkin tetap menunjukkan sikap seperti biasanya. Seolah tidak ada yang berubah di antara mereka. Seolah Lia seperti tidak diberi fakta besar bahwa kekasihnya dicurigai sedang mendua. Tapi untuk Lia, hal itu berdampak cukup besar padanya. 

Dua hari terakhir, dia lebih sering diam. Ketika bersama teman-temannya, pikirannya malah melanglang buana. Lia lebih sering gelisah tanpa alasan yang jelas dan jam tidurnya jadi kacau berantakan. Lia juga jadi sering melamun, contohnya sekarang. 

Siang ini, Lia berada di plotter yang letaknya tidak jauh dari kampus untuk mengeprint tugas. Ada cukup banyak lembar yang harus di print. Maka tidak heran jika memakan waktu yang cukup lama. Karena dia sendirian dan jelas tidak ada teman yang bisa di ajak untuk mengobrol, lagi-lagi Lia memanfaatkannya dengan melamun. Lia tau ada hal yang jauh lebih berguna daripada melamun, bermain ponsel contohnya. Sebab bagi Lia, bermain ponsel jelas lebih berfaedah daripada memikirkan Arga. Karena jika Lia sudah melamun, pikirannya pasti tidak akan jauh-jauh dari Arga. 

Untung saja, tepukan di bahu krinya membuyarkannya dari lamunan. Lia menoleh kaget, menemukan Erisha berdiri sambil menyengir di belakangnya. 

"Heh, gue liatin daritadi ngelamun aja. Ngelamunin apaan sih? Kesambet mampus lo."

Lia terkekeh. Pandangannya jatuh pada kertas A3 yang tengah Erisha bawa. "Lagi banyak pikiran aja. Eh, lo mau ngeprint juga?" 

"Ah, iya. Lelet banget ya print-annya." Erisha melongokkan kepala, melihat alat print yang sedari tadi baru menyelesaikan tiga kertas. Kemudian pandangannya beralih pada Lia sebelum memicingkan mata, seakan tengah menilik wajah Lia. Erisha berdecak pelan. "Lo bener-bener lagi banyak pikiran ya. Kantong mata lo kelihatan banget, Lia. Lo sehari tidur berapa jam sih?"

Berapa jam ya? Lia juga tidak tau.

"Nggak tau. Nggak ngitungin juga."

"Kenapa? Lo ada masalah?" Erisha bertanya, terlihat khawatir. "Kalau ada masalah cerita aja nggak papa kali, Li. Siapa tau gue bisa bantu. Kayak sama siapa aja."

Lia terdiam sebentar, tidak langsung menjawab. 

Meskipun jarang bertemu karena beda jurusan, Lia dulu pernah sedekat itu dengan Erisha. Dulu, mereka pernah dekat karena sama-sama masuk Radio Kampus. Namun, semenjak Erisha sibuk dengan organisasi, perempuan itu memilih untuk keluar. Semenjak itu, Lia dan Erisha jarang bertemu lagi. Karena satu-satunya penyebab mereka bisa dekat secara tidak langsung sudah Erisha putus sendiri. Meski demikian, mereka beberapa kali keluar bersama ataupun sekedar makan bersama saat tidak sengaja bertemu di kantin FISIP. 

Sementara Lia Ilkom, Erisha di HI. 

Ah, berbicara tentang HI, Lia jadi teringat tentang Sarah. Semenjak kejadian di kantin beberapa hari lalu, Lia dan Sarah belum sempat untuk bertemu lagi. Keduanya sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, mereka cukup sering bertukar pesan ataupun sekedar membalas Instastory. 

Lia beralih menatap Erisha. Apa dia bertanya tentang Arga pada Erisha saja ya. Mengingat mereka sama-sama anak BEM. Sebenarnya, sudah dari kemarin Lia ingin menanyakan pekara itu pada Salsa atau Sarah. Tapi dipikir lagi, mereka tidak cukup dekat sampai tahap dimana bisa saling membagi rahasia. Apalagi, Lia dan Sarah belum lama bertemu kembali. Bodohnya, Lia tidak pernah terpikirkan untuk bertanya pada Erisha. Apa Lia tanyakan sekarang saja mumpung mereka bertemu?

Menarik napas dalam, Lia memutuskan untuk bertanya saja. Jika terus menunda, Lia tidak tau kapan dia dan Erisha bisa bertemu lagi. "Rish, gue mau tanya."

"Tentang apa?" Erisha menjawab cepat. 

"Tentangㅡ" Duh, Lia agak tengsin. Apa iya dia harus mengumbar hubungannya dengan Arga yang sedang tidak baik-baik saja? Tapi, setidaknya Lia paham bahwa Erisha bukan orang yang suka membocorkan rahasia orang lain. Setidaknya di tangan Erisha, rahasia Lia aman. Lia hanya harus menanggung malunya saja. "Gue mau nanya tentang Arga."

Erisha mengernyit. "Arga pacar lo?"

"Iya."

"Lo ada masalah ya sama dia?"

"Ya... gitu deh. Agak renggang dikit." Lia meringis, mengangkat bahunya tak acuh. "Dia kalau di BEM gimana sih? Sibuk banget?

"Gimana ya?" Erisha terlihat berpikir. "Arga di BEM biasa aja sih. Nggak ada yang aneh. Sibuk? Nggak juga. Malah kayaknya Arga break bentar dari BEM deh, soalnya gue jarang kelihatan. Tapi emang beberapa kali masih nyamperin. Apalagi udah semester 6. banyak yang break juga kok Li, bukan Arga aja. Gue juga bentar ini kayaknya mau break juga."

Mendengar penuturan Erisha, pikirannya mendadak goyah. Erisha bilang, tidak ada sikap aneh apapun dari Arga. Sementara Arwin berkata, perubahan Arga terlihat cukup signifikan. 

"Oh, gitu ya..."

"Emang lo ada masalah apa sama Arga?" Erisha bertanya kembali. "Masalahnya serius?"

"Nggak tau. Ah bodo lah, pusing!" Lia jadi sebal sendiri. Pikirannya benar-benar kalut. "Pusing banget gue mikirin Arga, Sha. Nggak ada abisnya."

"Yaelah, kayak anak baru pacaran aja lo. Bicarain baik-baik sana sama Arga, selesaiin juga."

"Elo mah gampang ngomong."

"Ya gampang namanya juga ngomong pake lidah, nggak bertulang. Kalau ngelakuin tuh jelas susah." Erisha membalas seraya memukul kepalanya pelan dengan gulungan kertas A3. "Saran gue sih bicarain langsung sama orangnya, Li. Daripada lo terus diem kan? Yang ada malah numpuk spekulasi-spekulasi nggak berdasar. Kalau udah gitu mana ada abisnya. Dan secara nggak sadar, otak kita membuat pikiran-pikiran buruk itu datang sendiri."

Bahkan ketika sampai di kampus, kata-kata Erisha terus terngiang di benaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status