Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.
Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.
Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe
"Lia!"Nadipa berseru kesal, sementara yang dipanggil hanya berdeham singkat.“Hm?” jawab Lia tanpa menoleh, masih sambil mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Sedetik setelahnya dia bisa mendengar decakan yang sudah pasti dari Nadila.“Kalau jalan jangan main ponsel, ah! Kebiasaan.”“Bentar, Arga barusan chat.”“Bucinnya bisa ditunda dulu kali,” ejek Nadila.“Bentar, Arga barusan chat,” ucap Lia.Lia berhenti sejenak menuruti perintah Nadila. Lalu menjulurkan lidah. “Biarin.”Sementara di sampingnya Nadila mendengus sebal, Lia justru tertawa lepas. Seusai mengetikkan balasan dan mengirim pesan untuk Arga, Lia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Melangkah cepat menyusul Nadila yang sudah jauh di depannya.Lia berlari kecil di koridor kampus yang sudah cukup sepi sebab ini jam terakhir kelas.“Tungguin, woy!”Nad
“AAAA SENENG BANGET GUE ASLI!"Nadila segera melayangkan bantal ke arah temannya yang tengah memasuki fase gila karena cinta. “Berisik anjing!”“Nad, Nad lo harus liat nih!” Tidak mengacuhkan kata-kata Nadila, Lia tetap lanjut heboh sendiri tak henti-henti. Di tangannya memarkan sebuah foto hasil photobox denganㅡsiapa lagi kalau bukanㅡArga. “Liat, lucu banget kannnn?! Setelah setahun pacaran, ini first time loh Arga mau di ajak photobox pakai aksesoris aneh gini. Gila, pencapaian banget gue bisa bujuk orang yang nggak suka foto kayak Arga jadi mau di foto.”“Mana sih? Coba liat.” Nadila bertanya penasaran. Lia dengan semangat menyerahkan foto tersebut. Sejenak, Nadila diam mengamati. Keningnya berkerut heran sebelum akhirnya terbahak keras. “Sumpah lo kayak anak SMP baru pacaran. Kalau gue jadi Arga juga ogah kali disuruh pakai properti aneh gitu.”“Sengaja, buat kenang-kenangan.&rdqu
Lia memilih perpustakaan sebagai tempat untuk menunggu kelas berikutnya yang mulai dua jam lagi. Biasanya Lia akan memilih untuk pulang ke apartemen, namun karena malas dia tidak melakukan hal tersebut. Sembari menunggu, Lia menyempatkan untuk mengerjakan laporan selagi ada di perpustakaan.Sebuah earphone menyumbat kedua telinganya, memperdengarkan lagu yang menemani aktifitas Lia mengerjakan. Memang Lia terbiasa mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik. Biar tidak cepat bosan saja. Untuk beberapa lama, Lia tenggelam dalam dunianya sendiri. Entah sudah berapa lama dia duduk seraya menekuni laptop di depannya. Musik bernada tenang berjudul Baby Powder masih mengalun lembut kala mendadak, suara Jeneive tergantikan oleh suara dering telepon.Sejenak, Lia menghentikan semua aktivitasnya untuk mengangkat telepon yang ternyata berasal dari Nadila."Halo, kenapa Nad?""Lo ngilang kemana aja? Bentar lagi kelas ini.""Hah sumpah?" Lia
Setelah selesai dari kamar mandiㅡyang sumpah, antrinya sampai mengular hingga depan pintuㅡLia segera keluar untuk menyusul Nadila yang sedari tadi menunggunya.Mungkin, ada 10 menit dia mengantri. Bisa dipastikan, Nadila akan mengomel setelah ini. Nadila berkata bahwa akan menunggu di sofa di samping teater 3 tempat mereka menonton tadi. Jadi saat melihat perempuan itu duduk sembari bermain ponsel, Lia berangsur mendekat. Tanpa berniat duduk terlebih dahulu, dia menyenggol kaki Nadila pelan karena sepertinya Nadila tengah serius dengan ponselnya sampai tidak menyadari keberadaan Lia."Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan."Dan untuk yang kedua kalinya, Lagi-lagi Lia salah orang. Kalau orang yang dia pikir Nadila mendongakkan kepala dengan raut wajah wajah sebal. Bola mata Lia membesar seketika, berkali-kali dia membungkuk sebagai permintaan maaf."Maaf, maaf. Saya salah orang."Perempuan tersebut akhirnya m
Sesuai kesepakatan, Lia dan Arwin bertemu di cafe depan kampus mereka. Sejujurnya, Lia sedikit heran. Sepanjang dia mengenal Arwin, dia dan Arwin tidak pernah berbicara serius seperti ini. Bahkan, Lia dan Arwin tidak pernah bertemu hanya berdua saja. Mereka memang sering bertemu, tapi yang Lia maksud disini adalah berkumpul bersama Arga, bersama Nadila. Bukan privat seperti ini. Hal tersebut semakin membuat Lia yakin, bahwa apa yang Arwin katakan nanti merupakan hal yang serius. She has no clue. Sungguh. Lia tidak bisa menebak, hal apa yang akan Arwin bicarakan. Dia maupun Arwin tidak punya banyak hal yang perlu diceritakan satu sama lain, jadi Lia hanya berharap, apapun yang Arwin katakan nanti, bukanlah sesuatu yang buruk. Begitu memasuki cafe, netra Lia langsung bisa menangkap keberadaan Arwin yang tak jauh darinya. Lelaki dengan jaket jeans hitam dan kaos putih sebagai dalaman itu terlihat lebih santai, berbeda dengan Lia yang berdebar
"Ini lo kasih sambelnya berapa sendok sih?" Lia merasa lidahnya panas, seolah terbakar. Tangannya meraih gelas yang berisi es teh miliknya di meja, untuk kemudian dia teguk banyak-banyak. "Ini pedes banget Nad, asli!""Sesendok doang itu, Li." Nadila menyahut. "Kan lo minta sesendok."Mata Lia melebar. "Gue bilangnya setengah sendok!""Hah?" Nadila mengangkat alis, tampak seperti memikirkan ulang ucapan Lia tadi saat berpesan. "Iya ya? Nggak merhatiin gue tadi.""Elo ya kebisaan!""Iya-iya maap, nanti kalo nggak abis gue abisin deh, tenang." Nadila terkekeh."Itu mah enak di elo." Lia berdecak."Nanti gue beliin teh anget deh.""Bener ya?""Iya. Makanya cepet habisin. Kalau udah dingin jadi nggak enak."Pandangannya turun pada soto miliknya, yang baru dimakan setengah. Inilah derita orang tidak suka pedas. Sedari kecil, Lia memang tidak terbiasa makan makanan pedas. Tapi Lia juga bukan orang yang sama sekali
Lia tau seharusnya dia tidak perlu keluar berdua hanya dengan Arwin hanya untuk membicarakan tentang Arga.Tapi karena kebetulan Lia ingin membeli buku di Gramedia, dan Arwin yang katanya tengah ingin membeli sepatu futsal karena keadaan sepatunya yang hampir sekarat dan tidak memungkinkan untuk dipakai, mereka akhirnya sepakat untuk ke PIM weekend ini. Arwin tentu sudah memberitahu Nadila dan awalnya juga mengajak perempuan tersebut, namun Nadila berkata tidak bisa karena keluarga besarnya sedang berkumpul ke rumah dan Nadila mustahil keluar.Yang Nadila tidak tau, Arwin justru berakhir pergi berdua dengan Liaㅡyang mana jelas tidak akan Arwin beri tau karena jujur saja, mereka berdua takut Nadila bertanya macam-macam dan rahasia mereka tentang yang sedang menjalankan misi rahasia terbongkar."Lo mau beli sepatu apa, sih?" Lia bertanya seraya menyuapkan udon ke dalam mulutnya. Usai Lia membeli buku yang dia ingin beli di Gramedia, mereka setuju untuk
Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya. "You seems drunk." Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur. "I'm totally sober." Lia menukas tajam. "Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi