Share

BAGIAN 7. PERJANJIAN

Chat WA Mantan Istri Suamiku 7

"Menurut Mbak apa pantas mereka menuruti keinginan Mbak Hani itu? Anak sepuluh tahun sepertinya belum mengenal hal semacam itu Mbak, Nia mana tahu mobil mewah seharga ratusan juta." tuturku kembali, saat ini kami berdua masih berada di Cafe.

Mbak Dinda diam sejenak.

"Betul katamu Yas, Bibi dan Haris seharusnya tidak perlu melakukan hal berlebihan seperti itu. Tapi, kalau menurut pengamatan Mbak, sepertinya mereka sudah termakan omongannya Hani." imbuh Mbak Dinda.

Aku setuju dengan Mbak Dinda, semua ini memang karena Mbak Hani yang selalu muncul dan menjadi duri dalam pernikahan kami.

"Kejadian seperti inilah yang dari dulu Mbak takutkan, Yas. Makanya Mbak tidak ingin menikah dengan seorang duda, terlebih lagi yang sudah punya anak. Tapi kejadian ini malah menimpa kamu," tambahnya.

Bukan tanpa alasan bagiku untuk menikah dengan seorang pria berstatus duda anak satu, banyak pertimbangan yang telah aku pikirkan. Salah satunya sifat Mas Haris yang baik, dia juga bukan tipe orang yang ringan tangan dengan istrinya. Apalagi kala itu dia satu-satunya orang yang berani datang dan langsung melamar aku di hadapan Ayah dan Ibuku.

Sebenarnya Ibu agak kurang sreg dengan Mas Haris, salah satunya jelas karena status kami yang berbeda. Dia duda dan aku masih gadis, tapi berkat Ayah akhirnya Ibu pun menyetujui hubungan kami. Mungkin hal inilah yang menjadi kecemasan Ibu kala itu, aku juga tidak berpikir sejauh ini kalau ternyata menikah dengan duda itu sangat rumit.

"Iya Mbak, Yasmin benar-benar bingung sekarang."

Melepas Mas Haris atau justru berusaha untuk bertahan ditengah badai masalah?

"Tolong jangan hancurkan rumah tanggamu sendiri, jika itu terjadi Hani akan merasa menang, dia akan tertawa bahagia di tengah kesakitan kalian. Kamu hanya perlu membuat Haris sadar dengan semua kelakuannya ini, bertahanlah Yas." pinta Mbak Dinda dengan menangkupkan kedua tangannya didepan dada, membuat aku merasa tidak enak.

"Sepertinya tidak ada lagi yang bisa aku pertahankan, Mbak. Mungkin kali ini keinginan Mbak Hani tidak terwujud, tapi diwaktu yang akan datang dia pasti akan terus meminta ini dan itu." Pasrah, pikiranku juga sudah bergemelut dari tadi. Yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya aku mengatakan semua ini pada Ibuku, sementara dirinya tidak boleh banyak pikiran.

"Sebagai seorang Kakak Perempuan, aku memohon padamu Yas. Jangan buat Haris menjadi duda untuk yang kedua kalinya, Mbak akan membantumu jika kamu mau, Yas." pungkas Mbak Dinda memohon. Dahiku seketika mengernyit, Mbak Dinda ingin membantu aku? Dengan cara apa?

Dia langsung membisikkan beberapa hal padaku, jika cara itu tidak berhasil maka dirinya tidak akan memaksa aku kembali untuk tetap bertahan. Sebenarnya aku kurang yakin, namun akan ku ikuti sarannya.

Sekarang kami sudah berada dirumah Mbak Dinda, ditemani suaminya yang juga sudah duduk diruang tamu. Hanya menunggu kedatangan satu orang lagi.

Beberapa menit telah berlalu, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga kemari.

"Yasmin." Dia nampak terkejut ketika melihat aku sudah duduk dengan santai,

"Silahkan duduk Haris," ucap Mas Gito, suaminya Mbak Dinda.

Mas Haris yang awalnya kaget, akhirnya duduk di samping Mas Gito. Sementara aku dan Mbak Dinda berada dihadapan mereka berdua.

"Sebenarnya ada apa Mbak, Mas? Kenapa mengumpulkan aku dan yasmin dirumah kalian? Jika tidak ada yang penting, aku ingin mengajak Yasmin pulang. Ayo kita pulang, Dek!" ajaknya langsung menggandeng tanganku, sikapnya seolah-olah menunjukkan kalau tidak ada masalah diantara kami.

Aku tidak menjawab sepatah katapun ucapannya, tanganku pun langsung aku lepas dari pegangannya. Enak saja mau langsung gandeng-gandeng, memangnya aku truk gandeng apa!

"Duduklah dulu Haris!" ujar Mas Gito dingin namun penuh ketegasan.

"Iya Mas."

"Apa benar kamu ingin membelikan mobil untuk anakmu, Nia?" tanya Mbak Dinda mulai mengintrogasi dirinya.

"Em, iya Mbak." jawabnya setelah terdiam sesaat.

"Kenapa ingin memakai uang milik Yasmin?"

Bukannya menjawab pertanyaan Mbak Dinda, Mas Haris malah berbisik padaku.

"Apa saja yang sudah kamu katakan pada mereka berdua, Yasmin?! Kenapa kamu mengadu seperti anak kecil? Aku malu, Yas!"

"Kenapa berbisik-bisik pada Yasmin, hah? Jawab dulu pertanyaan Mbak-mu ini." tegas Mbak Dinda, hingga akhirnya aku tidak sempat menjawab bisikan Mas Haris.

Hening. Mas Haris tidak menanggapinya sama sekali, sedangkan kami masih menunggu jawaban apa yang akan keluar dari bibirnya.

"Kamu masih mencintai Hani?"

"Aku tidak mencintainya, Mbak. Semua ini aku lakukan hanya untuk Nia, anak semata wayangku!" ungkapnya cepat.

"Kamu pikir anak usia segitu mengerti barang-barang mewah, hah?! Jadi orang itu jangan bodoh Haris! Ingat Haris, Hani memilih bercerai dengan kamu karena gajimu cuma dua juta kala itu, bukan enam juta seperti sekarang!!!" bentak Mbak Dinda, tangannya juga tak kalah cepat menggebrak meja. Dia terlihat sangat berang saat ini, aku bahkan dibuat terperangah oleh aksinya.

"Kami tahu semua hal tentang kalian Haris, bukankah mantan istrimu itu lebih memilih menjadi simpanan bandot tua? Itu alasan utama kalian bercerai, apa kamu tidak ingat bagaimana dia menikah dengan bandot tua itu padahal masa Iddah nya saja belum selesai, HAH?!" hardik Mas Gito, menimpali ucapan istrinya.

Jujur aku baru tahu kalau Mas Haris dan Mbak Hani bercerai karena hal ini, karena setahuku Mas Haris bilang alasan mereka berpisah adalah karena tidak ada lagi kecocokan diantara mereka berdua. Hanya itu saja! Ternyata Mbak Hani sudah menikah lagi rupanya setelah bercerai dengan Mas Haris. Dan kini pernikahannya kandas kembali, itulah sebabnya dia kembali mengganggu kami.

"Dan lagi Haris, gaya hidup Hani itu sangat berlebihan. Apa kamu lupa kalau dulu dia banyak membuat hutang, semua itu hanya untuk gaya hidupnya dan rasa gengsi yang tinggi! Mbak sampai malu mengakuinya sebagai adik ipar kala itu, meskipun bukan adik ipar kandung!"

Oh jadi itu alasan yang sebenarnya kenapa mereka bisa bercerai, perlahan semuanya mulai terbuka dengan sendirinya.

"Aku ingat semua itu Mbak, Mas. Dan aku tidak ingin kembali rujuk dengan Hani, semua yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Nia. Mbak tahu sendiri kan bagaimana hidupku dulu? Hidup tanpa seorang Ayah itu berat Mbak, aku tidak ingin semua ini terjadi pada anakku. Walau bagaimanapun aku tetap menyayangi Nia." Akhirnya kalimat panjang itu keluar juga dari bibirnya.

"Mbak paham Haris, maka dari itulah Mbak menyuruhmu untuk datang kemari. Kamu perlu tahu kalau sekarang kamu punya istri, kamu juga harus menjaga perasaan Yasmin. Sayang dengan anak bukan berarti harus memaksakan diri, apalagi semua itu diluar kemampuan kamu!" tukas Mbak Dinda.

Pembicaraan ini benar-benar alot dan aku hanya menjadi pendengarnya.

"Sekarang ada dua pilihan untukmu, kamu ingin berubah atau berpisah dengan Yasmin?" ujar Mbak Dinda to the point. Mungkin dia juga lelah menasehati Mas Haris, karena pembicaraan ini tidak ada ujungnya.

"A-apa maksudmu, Mbak? Kamu ingin bercerai dengan aku, Dek?" Mas Haris beralih menatap ku, wajahnya nampak tidak percaya.

"Iya, mari kita bercerai Mas." sahutku cepat, tanpa pikir panjang.

Jenuh.

Aku sampai di titik itu, jika tidak ada yang bisa lagi kulakukan untuk apa bertahan di dalam rumah tangga yang tidak sehat ini. Bukan begitu?

Mas Haris makin syok kala mendengar jawaban singkat yang ku utarakan.

"Apa yang kamu lakukan, Dek? Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan? Aku tidak ingin berpisah denganmu, Yasmin."

"Aku yakin dan aku sadar seratus persen, Mas! Rumah tangga kita sudah tidak sejalan, lalu apalagi yang perlu aku pertimbangkan? Bercerai mungkin memang solusi yang terbaik," tuturku dengan raut wajah penuh keyakinan.

Mbak Dinda tersenyum sinis, sedangkan suaminya memilih untuk diam. Menyaksikan peristiwa yang lebih mirip dengan sebuah drama!

"Yasmin,"

"Hanya karena masalah kecil tentang mobil, kamu sampai bersikap seperti ini?" Mas Haris menatap wajahku dalam-dalam, mungkin mencari cela kalau aku sedang bermain-main. Padahal semua ini penuh dengan keseriusan!

"Ini bukan masalah kecil ataupun sepele Mas, sebagai seorang suami kamu sudah membuat aku kecewa. Kamu dan Ibu lebih memihak kepada Mbak Hani, mantan istrimu itu. Jika dia memang lebih penting bagi kalian maka lepaskanlah aku dan kembalilah padanya!" sergahku.

Mas Haris menggeleng kuat.

"Aku tidak akan melepaskan kamu, Yas. Aku juga tidak akan kembali pada Hani, kumohon mengertilah kondisiku sebagai seorang Ayah." pintanya, tapi tidak membuat aku luluh.

"Karena aku mengerti kondisimu, maka dari itu aku mengalah tentang uang nafkah yang selama ini kamu berikan Mas. Untuk Nia dan Mbak Hani tiga juta dan untukku, lebih tepatnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kita cuma dua juta. Kamu masih merasa aku kurang perhatian, Mas? Dimana lagi kekurangan ku sebagai seorang istri dan Ibu sambung?" Ucapanku sontak membuatnya membisu, SKAK MATT!

Semua itu memang kenyataannya!

"Kamu seorang laki-laki Haris, seorang pemimpin dalam rumah tangga. Jadi kamu perlu tegas pada mantan istrimu itu, dia hanya memanfaatkan kebaikan kalian selama ini!" papar Mbak Dinda, dirinya terus membantu aku. Menambah nan menguatkan segala pernyataan ku, meskipun dia sepupunya Mas Haris.

Setelah terdiam beberapa saat.

"Lalu apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak meminta cerai? Aku tidak bisa berpisah denganmu Yas." tukas Mas Haris.

"Aku tidak akan membelikan mobil itu, Yas. Percayalah padaku," tambahnya kembali berusaha menyakinkan aku.

"Itu tidak cukup, Mas. Kamu harus menyetujui perjanjian yang akan aku berikan!" seruku.

"A-apa maksudmu?"

"Jika kamu masih ingin bersamaku, biar aku yang mengatur semua kebutuhan Nia. Mulai dari biaya sekolahnya dan keperluan lainnya, kamu hanya perlu memberinya satu juta setiap bulannya sebagai uang belanjanya." ucapku mengutarakan semuanya.

"Hah? Bagaimana bisa begitu Yas, uang segitu tidak akan cukup untuk--,"

"Baiklah jika kamu tidak setuju, Mas. Tunggu saja beberapa waktu lagi, surat gugatan cerai akan tiba untukmu." potongku cepat.

Aku pasrah sekarang, jika Mas Haris tidak menuruti keinginanku maka cukup sampai disini saja hubungan kami. Itu tandanya dia tidak memilih aku bukan?

"Satu juta itu hanya untuk biaya makan Nia, Mas. Sedangkan untuk peralatan sekolah dan biaya sekolahnya biar aku yang membayarnya langsung tanpa perlu perantara Mbak Hani."

"Mbak setuju dengan Yasmin, kewajiban kamu itu hanya menafkahi Nia bukan Ibunya! Dia hanya mantan istrimu, Haris. Tidak ada kewajiban untuk Menafkahinya lagi, salah dia sendiri kenapa bercerai dengan bandot tua itu." jelas Mbak Dinda.

"Bila perlu kalian berdua lah yang mengambil hak asuh Nia."

Benar kata Mas Gito, aku tidak akan merasa keberatan jika Nia ikut tinggal bersama kami. Rasanya itu jauh lebih baik!

Mas Haris membeku, bibirnya membisu tanpa sepatah katapun. Aku masih menunggu keputusan apa yang akan dia lakukan, namun satu hal yang pasti. Jika perjanjian ini tidak ia sanggupi maka berakhir pula rumah tangga kami!

Cukup lama dirinya diam, berpikir keras tentang semua kenyataan yang harus dihadapi ini.

"Baiklah, tapi jangan pernah berpikir untuk menggugat aku Yas. Aku juga akan mengambil hak asuh Nia, kamu setuju kan Dek?" Aku mengangguk. Senyum juga segera terbit di sudut bibirku, syukurlah suamiku lebih memihak kepadaku bukan mantan istrinya.

Kita lihat saja Mbak Hani, apa yang akan terjadi denganmu setelah ini. Kamu tidak akan menang melawan aku!

Bantu support cerita ini ya Kak 🌻 🌻 🌻

Tinggalkan jejak di sini, ditunggu ya. Terima kasih banyak-banyak 🌻

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status