"Belikan apapun yang Prily suka." Begitulah pesan yang dikirimkan Gun ke ponselku sebagai tambahan peraturan.Masalahnya, aku bahkan tidak tahu apa yang Prily suka, dan aku bukan asistennya."Beliin aja tas mewah Mit, perempuan mana yang nggak suka dikasih barang-barang branded?" usul Mba Niken saat kami berada di studio syuting Master Chef. Mba Niken ini posisinya cukup mantap, dia manajer para celebrity Chef junior yang masih merintis atau baru debut, terhitung ada tiga seleb yang berada di bawah naungannya.Karena baru merintis para celebrity Chef itu cenderung nurut dan tidak banyak tingkah. Berbeda dengan Gun Saliba yang exclusive dan tidak ingin perhatian manajernya terbagi dengan selebriti lain."Tapi dia udah beliin itu sebagai hadiah milad tahun lalu, Mba."Gun sangat rewel jadi aku tidak ingin membuat kesalahan, aku bahkan sampai melakukan observasi ke akun sosmed Prily Priscilla untuk menemukan apa yang dia suka, dan malah menemukan satu story khusus yang dia simpan saat p
"Apa kamu pernah tidur dengan sa—hmp." Aku bangkit dan buru-buru membekap mulutnya lalu tersenyum canggung pada Mba Niken. Gun segera memberontak dan berusaha melepas tanganku, tapi dengan segenap kekuatan yang ada aku mencoba menarik lengannya menjauh."Maaf Mba, permisi."Mba Niken hanya melongo melihat tingkah absurd kami."Kamu berani berbuat nggak sopan sama saya Mita?" Gun bernapas tersengal ketika berhasil melepaskan bekapanku, matanya melotot judes karena sudah kutarik paksa."Bapak yang berani nggak sopan sama saya!" Kubalas dia dengan mata terbelalak, tidak kalah galak. "Ngapain Bapak ngomong begitu di depan Mba Niken?"Mohon maaf, hanya kami berdua, Tuhan, Ibunya dan mantan manajernya Luna yang tahu kami pernah memiliki hubungan. Lupakanlah soal Ibunya karena dari dulu beliau tidak pernah menyukaiku, sementara Luna sudah kabur keluar negeri karena menggelapkan pengahasilan Gun, jadi kini tersisa kami berdua dan Tuhan, dan aku jelas tidak ingin menambah daftar itu. Cukuplah
"Mita." Ya ampun, baru juga aku keluar dari tempat persembunyian, kini langsung berhadapan dengan Roy yang mendadak mendekat. "Apa kabar?" Apa kabar, apa kabar? Kenapa dia harus menggunakan basa-basi seperti ini? "Sehat." Aku menjawab seadanya. "Aku dengar kamu jadi manajer Gun." "Seperti yang kamu lihat." "Aku senang kamu bisa langsung dapat pekerjaan setelah resign," katanya. Lalu dia menggaruk tengguknya yang tidak gatal. Roy Dihan bertubuh menjulang, berkulit sawo matang khas mas-mas pribumi, dia punya bentuk bibir yang selalu tampak melengkung seolah sedang tersenyum meski hanya diam, pembawaannya pun ceria, persis seperti laki-laki brengsek. "Kalau nggak ada yang mau diomongin, aku permi—" "Sebentar." Dia mencekal lenganku yang akan melewati tubuhnya. Bukan belagu, tapi secara refleks aku segera menepis tangan itu, Roy langsung melepasnya dan mengangkat kedua tangan di udara. "Sorry... aku cuma mau minta maaf soal pertemuan terakhir kita, kontrak kerja kita nggak berak
Aku pulang untuk menjemput Hiro dan Naga dalam keadaan mood berantakan kemudian disuguhi pamandangan mengenaskan di halaman rumah Mama. Barang-barangnya berserakan di luar, panci-panci, lemari, bahkan kasurnya tergeletak begitu saja di ubin. "Apa yang terjadi?" tanyaku pada si kembar yang duduk di teras, dengan kantung belanjaan yang siang tadi masih mereka nikmati. "Kenapa kalian di luar tengah malam begini?" "Nenek harus pindah." Naga menyahut. "Lebih tepatnya diusir." Hiro mengoreksi. "Dia belum bayar kontrakan lima bulan, jadi harus angkat kaki." Kepalaku mendadak pening, belum sempat aku mengatasi masalah dengan Gun, kini Mama...? "Terus sekarang Neneknya mana?" Hiro mengangkat bahu sambil mengunyah keripik kentang. "Entah, dia pergi tadi naik mobil." "Lama perginya?" "Dari jam lima." Naga menjawab. Mataku melotot, itu artinya sudah hampir enam jam Mama meninggalkan anak-anakku. "Jadi daritadi kalian sendirian di sini?" "Kami nunggu Mama jemput." Astaga, ini awal tahu
"Mama keterlaluan ninggalin anak-anak aku sendirian, seenggaknya kalau Mama mau kabur, Mama kabarin aku biar aku jemput mereka." "Nggak sempat, kamu tau Mba Kin itu udah keburu mau menyita tas mewah Mama, harganya aja lebih dari lima belas juta, mana sudi Mama biarin dia ngerebutnya gitu aja." "Iya tapi mobil aku nyaris jadi jaminan Ma, kalau memang tas Mama harganya mahal, kenapa nggak dijual buat lunasin kontrakan?" "Apa?" Mama terdengar kalut dari seberang telepon. "Enak aja, jangan dong, ini tuh buat Mama arisan, buat Mama kondangan, kalau Mama jual nanti gimana penampilan Mama di depan teman-teman?" serunya. "Mama nggak mau kelihatan kayak gelandangan." "Nah, sekarang Mama jadi gelandangan beneran karena nggak punya tempat tinggal." "Siapa bilang Mama nggak punya tempat tinggal? Turun, Mama di lobi apartemen kamu sekarang." "Apa?" "Buruan, kamu mau Mama masuk tanpa kartu akses dan bikin keributan?" "Mama ngancem?" "Kamu nggak punya pilihan, anak-anak kamu masih butuh Mam
Aku baru tahu bahwa semalam Gun memberikan kejutan selamat ulang tahun untuk Prily. Dan karena acara puncaknya baru akan dilaksanakan lusa, kado yang kupilihkan pun baru akan dikirim belakangan. "Buruan, mana nasinya, kalian mau membuat customer menunggu?" Kini aku sedang menyaksikan laki-laki itu meraung, suaranya memekakan telinga ke sepenjuru ruangan, mengatasi suara masakan, memberi perintah agar anak buahnya bergerak lebih capat. "Brengsek kenapa warnanya pucat?" katanya nyaris melempar kembali semangkuk risotto yang diulurkan asistennya. "Buat ulang, siapa yang akan makan masakan gagal seperti ini?" Mata perempuan muda itu tampak berkaca-kaca, wajahnya merah padam, seperti kombinasi lelah dan takut. Dengan pasrah dia mengambil kembali mangkuk tersebut dan berjalan ke panci. Sebuah pemandangan yang menyedihkan, tapi kitchen memang keras, bahkan lebih menakutkan dibanding medan tempur. Jadi karena tidak ada jadwal syuting, aku diarahkan Ed untuk menunggu di restoran Gun yang
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bahan-bahan yang sudah tidak layak digunakan bisa lolos quality control, dan itulah yang membuat Gun murka. Semua orang yang bertanggung jawab dalam penyimpanan persediaan kemudian dipanggil, bahkan ahli gizi, rasanya tidak ada bagian dari kitchen yang tidak terkena bentakannya. Kami beruntung karena makanan itu tidak jadi disajikan, meski pelanggan kecewa, tapi Gun langsung bertindak dengan meminta maaf secara face to face dan memberi kompensasi berupa menggantinya dengan menu lain yang lebih proper dan harga dua kali lipat. Kehadirannya yang langsung turun tangan tentu membuat pelanggan merasa puas, di antara mereka bahkan ada yang menggunakan kesempatan itu untuk meminta tanda tangan dan foto. Aku hanya bisa berdecak takjub, bahkan para old money pun mengidolakannya. Namun tidak cukup sampai di situ, jamur tersebut juga sudah digunakan pada masakan lain. Salah seorang customer mengeluh gatal-gatal, Gun bersedia untuk bertanggung jawa
Aku bukannya tidak suka diajak pergi bersama, tapi Gun terlalu dadakan, terlebih acaranya malam ini. Karena aku bahkan belum mempersiapkan gaun untuk dikenakan.Buru-buru aku kembali ke Lumeno Ent, meminta bantuan Mba Niken, beruntung dia punya selusin pakaian, jadi di sinilah aku akhirnya. Sibuk mencari gaun yang sesuai dari koleksinya."Kenapa nggak ngabarin dulu sih?""Lo pikir gue bakalan di sini kalau tau mau pergi ke pestany Prily Mba?""Masalahnya Mit, lo harusnya udah sadar kalau Gun itu suka yang dadakan macam tahu bulat. Kayaknya dia memang suka bikin manajernya repot.""Nah, itu lo paham Mba.""By the way, dia nggak marah sama gue soal insiden yang terakhir kali?"Aku meringis. "Sejauh ini sih dia nggak ngomong apa-apa nggak tau besok."Dia ikut meringis kemudian mengoper one shoulder dress bernunsa pastel, ketika dikenakan gaun itu membalut ketat tubuhku."Makasih Mba, lo memang selalu bisa diandalkan."Mba Niken memberiku jempol sambil nyengir lebar setelah membantuku men
Tidak ada yang biasa-biasa saja dari Gun. Seharusnya aku ingat ini. Bahkan untuk mengungkapkan kebenaran, dia perlu melakukannya dengan cara yang bombastis di hadapan belasan pasang mata orang-orang penting Lumeno. Tapi aku salut karena dengan begini semua orang tahu aku tidak mencuri. "Itu nggak benar." Sebuah seruan terdengar dari arah tangga, lalu langkah kaki berhamburan. Zara, Lusi dan Mba Niken baru saja naik dan menyaksikan bukti-bukti kejahatan itu dipaparkan. Aku tahu orang-orang di sekitar kami terutama keluarga selalu membuat aku dan Zara bersaing, tapi aku tidak menyangka perempuan itu akan merendahkan dirinya seperti ini. Gun tidak repot-repot menoleh, dengan santai tetap menjelaskan. "Di hari ketika saya sedang sibuk di De Luca bersama Mita sebagai asisten Chef saya, perempuan ini bolak-balik masuk ke ruangan saya. Entah apa yang dia lakukan di sana saat jelas tau bahwa saya nggak ada di tempat. Alasannya, di
"Gimana dengan anak-anak Gun?" "Mereka nggak ada yang jemput?" "Pulang nanti mereka pasti kaget kalau aku nggak ada di rumah." "Titipkan pesan ke guru, katakan pada mereka kalau kamu ada pekerjaan penting." Case closed. Gun tidak bisa dibantah ketika dengan lembut mendorongku masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak bercanda. Tidak lama setelah panggilan, Ed tiba-tiba membunyikan bel di pintu. Asistennya itu membawakan beberapa lembar pakain ganti berupa jas dan kemeja baru untuk Gun. Sementara aku? Karena Gun terus mendesak. Mau tidak mau aku langsung mengubek-ubek lemari, mencari pakaian yang pantas. Maksudku, pesta seperti apa yang akan kami hadiri? Aku sepenuhnya clueless. Sedangkan Gun tidak memberitahu dan hanya meminta aku mengganti pakaian. Jadilah pilihanku jatuh pada ruched side midi skirt dipadukan atasan deep V berbahan satin, bernuansa bata. "Good." Gun hanya memuji singkat ketika aku meminta pendapatnya. Lalu dia buru-buru menggunakan dasi, enggan menatapku
Aku tidak paham sebenarnya kenapa permintaan Gun berubah, awalnya dia bilang hanya akan berkunjung, lalu tinggal di apartemen sampai makan malam. Dan sekarang, laki-laki itu ingin menginap. Harap dicatat ketika dia meminta, menggunakan kata 'boleh?' itu artinya sama saja 'harus' karena Gun tidak menerima penolakan. "Kamu mau tidur di mana?" tanyaku dari balik gigi yang terkatup rapat saat laki-laki itu sudah menjatuhkan diri di sofa setelah membantuku mencuci piring di westafel. Anak-anak sedang kusuruh masuk ke kamar, mengerjakan tugas. Meski sepertinya tadi aku melihat mereka mengintip dari celah pintu yang terbuka. "Jangan khawatirkan itu, saya orang yang fleksibel, di sofa pun bisa." Dan seakan ingin menunjukkan maksudnya, Gun menggenjot sofa, mencoba-coba tempat itu nyaman dan aman untuknya. Aku mendengus. "Kamu nggak bakal bisa tidur, di sini nggak kedap suara."
Gun benar-benar keras kepala. Dia memang tidak langsung datang dan mengganggu aktivitasku, tapi dia menempati janjinya untuk berkunjung saat makan malam. Namun sayang kehadirannya tidak disambut hangat oleh anak-anak. Begitu aku membuka pintu, Naga mendadak muncul dari balik bahuku dengan wajah coreng moreng, mengenakan topi pantai dan menggenggam senapan laras panjang. "Mama tiarap," perintahnya. Aku refleks melakukan yang dia teriakkan, kemudian senapan itu menyempotkan air tepat ke wajah Gun di balik punggungku. Mataku mendelik ngeri, aku sudah bersiap menerima omelan judes Gun saat menoleh dan melihat laki-laki itu ternyata berhasil menghindar dengan berjongkok. Bibirnya menyunggingkan senyum puas. "Musuh gagal dieksekusi." Naga terdengar kesal. Tapi itu adalah pengalih perhatian yang bagus karena di detik berikutnya, sebelum Gun berdiri tegak. Hiro muncul dari balik sofa lalu membombardirnya dengan tem
Karena aku tak kunjung merespon, dan hanya menarik embuskan napas dengan dada naik turun, Gun kembali bersuara. "Mita..." Perlahan dia menunduk, aku bisa merasakan napas hangatnya membayang di wajahku, ketika bibirnya semakin maju, aku sontak membuang muka. "Kamu bilang mau bicara, Gun." Detak jantungku terasa bertalu-talu, darah seperti mengalir deras dari tubuhku. Gun langsung berhenti. Dia diam cukup lama, seolah menyedot habis oksigen di sekeliling kami hingga aku merasa kesulitan bernapas. Lalu cengkeraman tangannya mengendur, kemudian tubuhnya perlahan mundur. Dia menyugar rambut, menatapku yang mematung. Tapi terlalu muluk jika berharap seorang Gun akan mudah menyerah, karena saat aku mulai bergerak untuk menjauh, dia mencekal lenganku kemudian bibirnya menyerbu bibirku. Gun menahan belakang kepalaku selagi mataku melotot dan berusaha mendorong dadanya mundur. Dia memangut lembut.
Aku mencoba melihat segalanya dalam sudut pandang yang positif. Selama diliburkan, aku bisa menjaga anak-anak tanpa perlu daycare atau orang lain, terlebih Mama yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Aku bahkan bisa membuatkan mereka bekal makan siang untuk dibawa ke sekolah. Lalu mengajak mereka berbelanja mingguan, dan yang paling penting karena mereka tidak ikut liburan bersama teman-teman lain ke kebun binatang. Aku bisa menyempatkan waktu untuk mengajak mereka ke sana. Hiro dan Naga menyambut gembira. Ketika mereka bertanya, kenapa Mama nggak kerja? Aku bisa berkelit dengan menjawab Mama sedang ambil cuti. Dan selayaknya anak berusia empat tahun mereka sangat senang, bakan berharap Mamanya akan cuti selama setahun penuh. Hiro yang biasanya mudah curiga, kali ini juga tidak banyak bertanya. Menghabiskan waktu bersamaku bagi mereka jauh lebih berharga dibandingkan harus memikirkan masalah lain. Sangat tipika
"Apalagi yang perlu dibicarakan, Gun?" Aku sudah lelah dengan drama pencurian ini, jika dia ingin mengkonfrontasi dan membuatku mengaku bahwa akulah yang mencuri barang miliknya, maka lebih baik Gun pergi daripada menghabiskan waktu. "Ke ruangan saya, atau ribut di sini." Namun Gun adalah Gun kan? Setiap kata-katanya tidak bisa dibantah mutlak, hingga ketika dia menggidikkan kepala agar aku mengikutinya, aku tidak memiliki pilihan selain nurut. Belum lagi jika kami ribut di koridor maka itu bisa menarik perhatian para karyawan. Dengan gontai aku memasuki ruangan Gun, merasa sedikit trauma ketika wanginya yang maskulin sontak menyerbu. Inilah tempat yang membuatku dituduh melakukan tindakan amoral. "Duduklah." Aku nurut. Gun melangkah tenang, membuka lemari bening yang berada di sudut ruangan. Mengeluarkan satu botol yang terlihat mahal, menuangkan isinya ke gelas kemudian mengulurkannya padaku. Kepalaku terangkat, bingung. "Aku—" "Minumlah, kamu butuh rileks sekarang." Dia k
Siapapun yang melihat pasti akan langsung sadar bahwa benda itu terbuat dari berlian. Bentuknya kecil seperti kancing manset pada umumnya, namun berkilauan. Aku bisa mendengar semua karwayan menahan napas. Harganya pasti di atas 1M, pantas saja Pak Punjab tampak senewen, meskipun Gun sempat tidak peduli. Mba Niken megap-megap tidak paham. "Saya nggak tau itu ada di sana." Semua pasang mata langsung menatapnya. "Itu barang kamu?" tanya Pak Punjab. "Y-ya," gagap Mba Niken. "Tapi saya nggak mencuri, dan saya juga nggak tau kenapa benda itu ada di dalam sana Pak." "Ini benar milik kamu kan, Gun?" tanya Zara. Aku mengangkat alis, menyadari dia memanggil Gun tanpa embel-embel Pak atau Chef seperti karyawan yang lain, akrab sekali, bund. "Seharusnya ada sepasang kan? Di mana yang satunya lagi?" "Saya nggak tau!" Mba Niken memekik. "Sebaiknya Anda bicara yang sopan." Gerald memperingatkan dengan tajam. "Nggak apa-apa, dalam keadaan seperti ini semua pasti tegang, dia berhak untuk mem
"Saya bukan mau menuduh kamu melakukan pencurian, tapi saya perlu melakukan konfirimasi apa yang kamu lakukan di dalam ruangan Gun." "Benar Pak, saya melihat dia keluar dari ruangan Chef Gun siang ini." Lusi tiba-tiba menyela, suaranya terdengar berapi-api. Pak punjab merentangkan tangan, meminta agar perempuan itu tidak memotong pembicaran. "Kita perlu memberikan Paramita waktu untuk menjelaskan." "Apanya yang perlu dijelaskan Pak? Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kok. Ketika saya tanya apa yang dia lakukan di sana karena Chef Gun sedang nggak ada. Mita sendiri kelihatan ketakutan, seolah dia baru kepergok melakukan sesuatu." Ya Tuhan. Tidak menuduh aku melakukan pencurian? Tapi jelas sekali kata-kata beliau justru menunjukkan yang sebaliknya. Aku bahkan tidak diminta duduk tanpa basa-basi. Di antara empat pasang mata, kecuali Gun, mereka menatapku menunggu jawaban. Punggungku panas dingin. "Apa maksud Bapak pencurian?" tanyaku, lidah terasa pahit saat mengatakan itu