"Gun, Gun, Gundul, Gundul pacul, cul..."
Aku menggigit dalam pipi, berusaha untuk tidak menyemburkan tawa selagi mendengarkan Hiro bernyanyi. Dari seberang ruangan Gun langsung melirik judes. Hiro membalas polos. "Apa? Kami juga ada lomba nyanyi," katanya tanpa dosa lalu dengan semangat menekan keyboard mainan di pangkuan. Suara tangga nada langsung terdengar nyaring. "Do, mi, do, mi, fa, sol sol." "Naga ikut-ikutan masing-masing memegang satu. "Gun... dul, Gun... dul. Pacul, cul." "Tempelengan..." Naga menyambung. "Wungi, wungi, wakul, kul." "Selempengan." "Hei." "Apa? Memangnya kami nggak boleh latihan nyanyi?" Hiro nyolot. "Lirik yang kalian nyTubuhku terasa akan rontok. Setelah malam pertama cosplay jadi patung. Malam kedua, yang sengaja kuhabiskan berlama-lama membuat pizza bersama si kembar, sialnya Gun tetap menunggu saat aku masuk ke kamar. Walaupun dia adalah tipikal yang bisa langsung terlelap saat memejamkan mata tapi sulit rasanya untuk tidak menyadari kehadiran sosoknya di sampingku. Ujungnya aku tetap kaku. Kini di tengah hiruk-pikuk, dengan apron yang sudah penuh noda saus dan tepung. Tangan sibuk mengatur plating Ravioli Ricotta e Spinaci untuk meja nomor 8, aku mencoba berkonsentrasi, menangkap instruksi terakhir dari saus-chef lain yang sedang menyiapkan pasta. "Meja 12 pesan Fettuccine alla Bolognese, extra parmesan. Meja 5 minta Seafood Risotto, no wine!" "Got it!
"Gun, Gun, Gundul, Gundul pacul, cul..." Aku menggigit dalam pipi, berusaha untuk tidak menyemburkan tawa selagi mendengarkan Hiro bernyanyi. Dari seberang ruangan Gun langsung melirik judes. Hiro membalas polos. "Apa? Kami juga ada lomba nyanyi," katanya tanpa dosa lalu dengan semangat menekan keyboard mainan di pangkuan. Suara tangga nada langsung terdengar nyaring. "Do, mi, do, mi, fa, sol sol." "Naga ikut-ikutan masing-masing memegang satu. "Gun... dul, Gun... dul. Pacul, cul." "Tempelengan..." Naga menyambung. "Wungi, wungi, wakul, kul." "Selempengan." "Hei." "Apa? Memangnya kami nggak boleh latihan nyanyi?" Hiro nyolot. "Lirik yang kalian ny
Mimpiku benar-benar aneh, random, abstrak dan mengandung kekacauan. Semalaman aku insomnia, gelisah mencari posisi yang pas dan akhirnya terlalu tegang untuk bergerak. Tapi sepertinya Gun menikmati itu karena dia tidak berhenti menggoda. Dia sengaja menakut-nakutiku seperti aku yang menakut-nakuti Hiro dan Naga. Mengancam dengan menerjang lalu menjatuhkan kepalanya di bahuku, kemudian tertawa renyah dan merdu sebelum membisikkan kata-kata yang membuatku merona. Dan meskipun dia menepati janjinya untuk tidak menggangu, tapi kata-katanya sudah membuatku sekaku gagang sapu. Begitu terbangun pinggangku terasa pegal-pegal, dan matahari sudah merangkak naik ke tempat yang tinggi. Tunggu dulu... Matahari meninggi? Aku langsung melompat bangkit, tersungkur karena kaki terbelit selimut. Aku mengaduh pelan, kepala terasa pening karena dipaksa langsung bangun. Kamar itu dalam keadaan kosong, buru-buru aku menuruni undakan. Suara sandalku menggema ke seluruh ruangan. "Hiro Na
Tikus yang terperangkap, entah kenapa aku merasa itulah ungkapan yang tepat untuk gambaran situasi kami. Gun sangat tenang, tidak ada tanda-tanda dia bercanda, gugup, atau bahkan ragu-ragu. Dia begitu percaya diri, berjalan santai ke walk in closet yang berada di hadapan kami, lalu perlahan membuka kancing kemeja. Aku langsung melengos. "Aku akan cari kamar lain," kataku menelan ludah. Berusaha merapikan degup jantung. Rumah ini sangat besar, tidak mungkin tidak ada kamar kosong lain yang bisa kugunakan. Kalau perlu aku akan dengan senang hati ditempatkan di paviliun. Atau di mana pun tidak masalah selama itu jauh dan tidak bersama Gun Saliba. "Madrid pasti bisa bantu aku bawa barang-barang itu pindah, kan?" Tapi meskipun aku mengatakannya dengan percaya diri, tungkaiku terasa goyah saat melangkah menuju pintu. Suara Gun yang rendah dan berat terdengar menyahut. "Mereka sudah berada di kamar masing-masing." Sialan. Kenapa sih dia tidak menutup pintu kalau mau menangga
Hujan turun mengguyur Ibukota di hari kepindahan kami ke rumah Gun. Terakhir kali aku meninggalkan tempat ini, aku berjanji tidak akan menginjakkan kaki lagi di sini. Namun dunia selalu punya cara yang unik membuat kami kembali. Dan setelah apa yang terjadi, di sinilah kami akhirnya, memandang bangunan modern abu-abu besar yang semakin lama semakin tampak mengagumkan. Karena banyaknya barang dan pakaian yang harus dipacking. Maka kami membutuhkan waktu seharian. Dan meskipun Gun sudah memberikan libur, tapi tetap saja ujungnya aku sibuk beres-beres bersama si kembar. Sehingga kami baru sampai setelah makan malam. Hiro dan Naga diam saja, mereka tidak banyak bicara selama dalam perjalanan. Hiro sibuk membaca komik detektif conan, yang tidak kupahami apakah dia mengerti atau tidak. Sedangkan Naga sibuk memutar lagu-lagu anak random melalui ponsel yang kupinjamkan. Lagu telur dadar sedang mengalun ceria ketika mobil berhenti tepat di depan pintu kayu yang terlalu sempurna, ter
Kami berhasil menjemput Hiro dan Naga tepat waktu. Telat sedikit melewati makan siang sebenarnya. Tapi mereka sedang asik main kejar-kejaran saat kami tiba. Keringat mengucur dari pelipis membasahi seragam mereka hingga kelihatan kinclong. Lalu sama-sama berlari untuk menumbur tubuhku. "Mama, Dimas udah bisa perkalian dua, tapi baru sampai lima." "Mama tadi ada anak ayam masuk ke dalam kelas, tapi nggak bawa telur." "Di sana ada anak kucing, Ma." "Ada empat Ma, banyak kan? Tapi anak kucing itu dimakan sama Ibunya—" "Bukan dimakan, digendong." "Dimakan, aku lihat dimakan." "Mereka mau nyebrang." "Terus ketabrak, jadi dimakan sama Ibunya." "Nggak dimakan, digendong!" "Mama kita mau beli ice cream?" "Apa kita boleh pelihara kucing Ma?" Ya ampun, bisa tidak mereka lebih tenang? Sangat menggemaskan mendengar keduanya berebutan bicara, saling tumpang tindih meminta perhatian. Bisa ditebak siapa ngomong yang mana? "Oke, kucing memang bisa memakan anak mereka, ta
"Selamat atas pertunangan kalian." Nada suara Pak Punjab terdengar sopan. Tapi di ujungnya ada nada ironi yang tidak berusaha disembunyikan. Kami duduk bertiga di meja bundar dalam ruang VVIP De Luca. Beliau kelihatan sehat dalam kemeja linen putih gading, rambut keperakannya disisir rapi ke belakang, duduk di kursi beludru seperti raja yang tengah memeriksa pasukan. Berbicara dengan beliau meskipun yang terakhir kali berjalan dengan baik tapi masih meninggalkan rasa trauma seperti duri ikan yang tersangkut di tenggorokan. Apalagi beliau tidak sendirian. Ada dua orang pengawal yang bersamanya. Berdiri agak jauh di belakang, mengapit di kanan dan kiri mengenakan kacamata hitam. Tanpa sadar aku bergidik. "Saya harus terbang langsung dari London sesaat setelah menerima berita konfrensi pers kalian," katanya sambil memotong lasagna
Gun membuat pesta sederhana. Sebuah kompensasi untuk merayakan pertunangan kami, ucapan selamat berdengung tanpa henti, yang tentu saja tidak diketahui oleh para staf bahwa ini hanya tunangan pura-pura. Di tengah dapur, meja stainless besar disulap menjadi buffet dadakan. Ada mini cake cokelat berbentuk hati, piring kecil berisi bruschetta dan croissant sisa tes menu, dan sebotol sparkling juice non alkohol yang sudah terbuka setengah. Kami kompak bersulang untuk kesuksesan De Luca, meskipun saat baru akan menikmati candaan. Dia mendentingkan gelas, meminta seluruh perhatian. "Oke, terima kasih untuk ucapan selamatnya, saya sangat senang sejauh ini kalian bisa diajak bekerja sama. Tapi sepuluh menit lagi order masuk, jadi kembali ke pos masing-masing!" Semua langsung bubar seperti kecoak disinari senter. Aku melotot sambil menggeleng-geleng kecil. "Kenapa?" t
"Ini nggak mungkin, Gun." "Kamu sudah mengulangi perkataan yang sama sebanyak lima belas kali." "Di sana banyak paparazi, itu sama aja dengan mempersilakan mereka buat mengambil foto-foto Hiro dan Naga." "Rumah saya sudah steril, Jerikho sudah mengirim timnya ke perusahaan paparazi itu untuk menarik anak buahnya kalau nggak mau berurusan dengan hukum." "Mereka pasti bakal cari cara lain, di luar rumah kamu misalnya?" "Penjagaan sudah diperketat Mita." "Aku tetap nggak setuju." "Kalau pun mereka nggak ada, netizen yang akan dengan senang hati menjadi paparazi dadakan. Kamu pikir setelah konfrensi pers kemarin kalian masih bisa bebas ke mana-mana sendiri?" Aku menatapnya ngeri. "Semuanya sudah berubah, mulai saat ini kamu harus terbiasa melihat wajah kali