Aku baru tahu bahwa semalam Gun memberikan kejutan selamat ulang tahun untuk Prily. Dan karena acara puncaknya baru akan dilaksanakan lusa, kado yang kupilihkan pun baru akan dikirim belakangan. "Buruan, mana nasinya, kalian mau membuat customer menunggu?" Kini aku sedang menyaksikan laki-laki itu meraung, suaranya memekakan telinga ke sepenjuru ruangan, mengatasi suara masakan, memberi perintah agar anak buahnya bergerak lebih capat. "Brengsek kenapa warnanya pucat?" katanya nyaris melempar kembali semangkuk risotto yang diulurkan asistennya. "Buat ulang, siapa yang akan makan masakan gagal seperti ini?" Mata perempuan muda itu tampak berkaca-kaca, wajahnya merah padam, seperti kombinasi lelah dan takut. Dengan pasrah dia mengambil kembali mangkuk tersebut dan berjalan ke panci. Sebuah pemandangan yang menyedihkan, tapi kitchen memang keras, bahkan lebih menakutkan dibanding medan tempur. Jadi karena tidak ada jadwal syuting, aku diarahkan Ed untuk menunggu di restoran Gun yang
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bahan-bahan yang sudah tidak layak digunakan bisa lolos quality control, dan itulah yang membuat Gun murka. Semua orang yang bertanggung jawab dalam penyimpanan persediaan kemudian dipanggil, bahkan ahli gizi, rasanya tidak ada bagian dari kitchen yang tidak terkena bentakannya. Kami beruntung karena makanan itu tidak jadi disajikan, meski pelanggan kecewa, tapi Gun langsung bertindak dengan meminta maaf secara face to face dan memberi kompensasi berupa menggantinya dengan menu lain yang lebih proper dan harga dua kali lipat. Kehadirannya yang langsung turun tangan tentu membuat pelanggan merasa puas, di antara mereka bahkan ada yang menggunakan kesempatan itu untuk meminta tanda tangan dan foto. Aku hanya bisa berdecak takjub, bahkan para old money pun mengidolakannya. Namun tidak cukup sampai di situ, jamur tersebut juga sudah digunakan pada masakan lain. Salah seorang customer mengeluh gatal-gatal, Gun bersedia untuk bertanggung jawa
Aku bukannya tidak suka diajak pergi bersama, tapi Gun terlalu dadakan, terlebih acaranya malam ini. Karena aku bahkan belum mempersiapkan gaun untuk dikenakan.Buru-buru aku kembali ke Lumeno Ent, meminta bantuan Mba Niken, beruntung dia punya selusin pakaian, jadi di sinilah aku akhirnya. Sibuk mencari gaun yang sesuai dari koleksinya."Kenapa nggak ngabarin dulu sih?""Lo pikir gue bakalan di sini kalau tau mau pergi ke pestany Prily Mba?""Masalahnya Mit, lo harusnya udah sadar kalau Gun itu suka yang dadakan macam tahu bulat. Kayaknya dia memang suka bikin manajernya repot.""Nah, itu lo paham Mba.""By the way, dia nggak marah sama gue soal insiden yang terakhir kali?"Aku meringis. "Sejauh ini sih dia nggak ngomong apa-apa nggak tau besok."Dia ikut meringis kemudian mengoper one shoulder dress bernunsa pastel, ketika dikenakan gaun itu membalut ketat tubuhku."Makasih Mba, lo memang selalu bisa diandalkan."Mba Niken memberiku jempol sambil nyengir lebar setelah membantuku men
"Ada masalah?" Ed mengulang pertanyaan, tangannya dengan kuat menahan bahuku. Aku buru-buru berdiri tegak merasa berterima kasih. Berusaha tenang dan tidak gemetar. "Di mana Gun?" tanyaku, karena tidak menemukan sosoknya. "Dia sudah menunggu di hotel." "Kamu—" "Saya di sini disuruh menjemput kamu." Oke, aku segera menuruti keinganannya dan masuk ke limousine yang pintu penumpangnya sudah terbuka. Ed segera memutar dan duduk di sisi lain. Perjalanan kulalui dengan perasaan gelisah, aku tidak habis pikir bagaimana Mama bisa berkhianat, terlebih dia tahu keuanganku sedang tidak baik-baik saja. Namun yang membuatku lebih khawatir adalah anak-anak. Mereka pasti terkejut menyaksikan rumah berantakan, dan sekarang mereka sendirian di apartemen. "Ada apa?" Seolah bisa membaca ekspresiku yang gusar Ed kembali bertanya. Tapi pantang untukku membagi masalah pada orang lain, terlebih kami belum terlalu dekat, jadi aku hanya meringis. "Apa tempatnya jauh?" "Kita akan sampai dalam dua j
Jika bukan sedang gusar karena anak-anak, mungkin aku akan salut dengan bagaimana cara Gun berkendara, dia gesit seolah jalanan Ibu Kota kini menjadi lintasan balap tapi tetap taat aturan dan berada di kecepatan yang masih diperbolehkan. "Mama akan di sana sebentar lagi, Naga, kamu sama Mas Hiro ya?" Pesan suara itu kukirim pada mereka selama perjalanan agar anak-anakku lebih tenang, meski sebenarnya akulah yang lebih perlu ditenangkan. Setelah Naga melakukan panggilan, aku belum sempat menjawab atau bertanya, sambungan langsung terputus dan saat aku mencoba melakukan panggilan ulang, ponselnya sudah dinonaktifkan. Kini pesan suaraku pun hanya ceklis satu, aku meremas benda pipih itu dengan gelisah, begitu sampai di gedung apartemen aku segera melompat dari mobil dan berlari menuju unit kami, bisa kurasakan Gun mengekori di belakang, dia berhenti di meja resepsionis, berbicara ringkas, meminta petugas untuk menghubungi pihak berwajib dan bersiaga akan adanya sesuatu yang berbahay
Tidak ada makanan di kulkas karena tempat itu sudah diacak-acak oleh debt collector dan dua algojonya. Hal itu terjadi saat Hiro dan Naga sedang membuat sandwich, itulah sebabnya kenapa kaos mereka penuh saos. Dan tiba-tiba pintu dibuka paksa oleh debt collector hingga alat kombinasi password terlepas dari engselnya. Mereka mengobrak-abrik tempat tinggal kami mencari Mama, dan berpikir bahwa Mama sedang bersembunyi sehingga semua barang-barang menjadi sasaran. Aku benar-benar marah dengan cerita si kembar, tidak masalah jika Mama mau memanfaatkan aku untuk mendapatkan uang, tapi kenapa dia harus membahayakan Hiro dan Naga, bahkan berniat menjadikan jaminan dan dibawa oleh debt collector? "Petugas sudah mengkonfirmasi melalui CCTV tiga orang yang masuk ke apartemen kamu." Gun memberi informasi ketika para pihak berwajib datang lalu membantuku menghadapi mereka. Para pengawalnya bersama Ed pun datang dan kini berjaga mengelilingi unit kami hingga menjadi perhatian penghuni lain. "Se
"Gun, sebentar." Tapi Gun tidak membutuhkan penolakan, dengan keras kepala dia membawa Naga masuk ke mobilnya, dan yang lebih tidak bisa ditoleransi adalah Ed membawa Rolls Royce Phantom, sehingga Naga tampak antusias saat melompat masuk ke sana. Padahal bukan ini mobil yang tadi dia bawa saat mengantarku ke apartemen, berapa banyak sebenarnya mobil yang dia punya? "Kamu di belakang Naga." "Siap Chef." Dengan patuh anakku nurut dan berpindah ke jok belakang. Hiro melotot di sisiku, harga diri, gengsi dan penasaran sepertinya sedang bergelut menjadi satu dalam dada anak itu. "Mama..." Dia menatapku dengan alis bertaut seolah aku seharusnya menyeret Naga keluar. Anak itu memang lebih mudah untuk dibujuk. "Kita harus bicara." Akhirnya aku memutar dan berdiri di depan Gun, tepat sebelum dia melompat ke sisi pengemudi. "Apalagi yang harus dibicarakan Mita?" "Kami nggak mungkin tinggal di rumah kamu." "Jadi di mana kalian akan tinggal?" "Aku akan cari airnb di dekat sini, selama
"Aku rasa itu pertanyaan yang terlalu pribadi." Akhirnya susah payah aku menjawab di tengah hening yang tercipta. Gun tampak seperti mengembuskan napas berat. "Sorry," katanya kaku. "Saya nggak bermaksud untuk membuat kamu teringat kenangan buruk, tapi mereka masih sangat kecil." Gun juga tidak memiliki Papa, sudah meninggal saat dia masih berusia sepuluh tahun, mungkin Gun sedang berpikir bagaimana anak-anak kecil seperti si kembar sudah tidak mendapatkan kasih sayang seorang Papa. Gun mungkin berpikir dan mencoba melihat situasinya seperti dirinya dulu yang kehilangan. Tapi itu justru membuat dadaku sesak, perasaan bersalah karena tidak pernah membagi kabar bahwa mereka adalah anak-anaknya kembali menggelayuti bahuku seperti jubah. "Maaf..." Gun sontak menoleh, alisnya terangkat, aku buru-buru meralat. "Ya, itu udah lama terjadi." Perjalanan bersamanya entah kenapa terasa lama, atau mungkin karena aku gelisah dan bolak-balik mengecek arloji, saat mobil melaju di jalan
Gun benar-benar keras kepala. Dia memang tidak langsung datang dan mengganggu aktivitasku, tapi dia menempati janjinya untuk berkunjung saat makan malam. Namun sayang kehadirannya tidak disambut hangat oleh anak-anak. Begitu aku membuka pintu, Naga mendadak muncul dari balik bahuku dengan wajah coreng moreng, mengenakan topi pantai dan menggenggam senapan laras panjang. "Mama tiarap," perintahnya. Aku refleks melakukan yang dia teriakkan, kemudian senapan itu menyempotkan air tepat ke wajah Gun di balik punggungku. Mataku mendelik ngeri, aku sudah bersiap menerima omelan judes Gun saat menoleh dan melihat laki-laki itu ternyata berhasil menghindar dengan berjongkok. Bibirnya menyunggingkan senyum puas. "Musuh gagal dieksekusi." Naga terdengar kesal. Tapi itu adalah pengalih perhatian yang bagus karena di detik berikutnya, sebelum Gun berdiri tegak. Hiro muncul dari balik sofa lalu membombardirnya dengan tem
Karena aku tak kunjung merespon, dan hanya menarik embuskan napas dengan dada naik turun, Gun kembali bersuara. "Mita..." Perlahan dia menunduk, aku bisa merasakan napas hangatnya membayang di wajahku, ketika bibirnya semakin maju, aku sontak membuang muka. "Kamu bilang mau bicara, Gun." Detak jantungku terasa bertalu-talu, darah seperti mengalir deras dari tubuhku. Gun langsung berhenti. Dia diam cukup lama, seolah menyedot habis oksigen di sekeliling kami hingga aku merasa kesulitan bernapas. Lalu cengkeraman tangannya mengendur, kemudian tubuhnya perlahan mundur. Dia menyugar rambut, menatapku yang mematung. Tapi terlalu muluk jika berharap seorang Gun akan mudah menyerah, karena saat aku mulai bergerak untuk menjauh, dia mencekal lenganku kemudian bibirnya menyerbu bibirku. Gun menahan belakang kepalaku selagi mataku melotot dan berusaha mendorong dadanya mundur. Dia memangut lembut.
Aku mencoba melihat segalanya dalam sudut pandang yang positif. Selama diliburkan, aku bisa menjaga anak-anak tanpa perlu daycare atau orang lain, terlebih Mama yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Aku bahkan bisa membuatkan mereka bekal makan siang untuk dibawa ke sekolah. Lalu mengajak mereka berbelanja mingguan, dan yang paling penting karena mereka tidak ikut liburan bersama teman-teman lain ke kebun binatang. Aku bisa menyempatkan waktu untuk mengajak mereka ke sana. Hiro dan Naga menyambut gembira. Ketika mereka bertanya, kenapa Mama nggak kerja? Aku bisa berkelit dengan menjawab Mama sedang ambil cuti. Dan selayaknya anak berusia empat tahun mereka sangat senang, bakan berharap Mamanya akan cuti selama setahun penuh. Hiro yang biasanya mudah curiga, kali ini juga tidak banyak bertanya. Menghabiskan waktu bersamaku bagi mereka jauh lebih berharga dibandingkan harus memikirkan masalah lain. Sangat tipika
"Apalagi yang perlu dibicarakan, Gun?" Aku sudah lelah dengan drama pencurian ini, jika dia ingin mengkonfrontasi dan membuatku mengaku bahwa akulah yang mencuri barang miliknya, maka lebih baik Gun pergi daripada menghabiskan waktu. "Ke ruangan saya, atau ribut di sini." Namun Gun adalah Gun kan? Setiap kata-katanya tidak bisa dibantah mutlak, hingga ketika dia menggidikkan kepala agar aku mengikutinya, aku tidak memiliki pilihan selain nurut. Belum lagi jika kami ribut di koridor maka itu bisa menarik perhatian para karyawan. Dengan gontai aku memasuki ruangan Gun, merasa sedikit trauma ketika wanginya yang maskulin sontak menyerbu. Inilah tempat yang membuatku dituduh melakukan tindakan amoral. "Duduklah." Aku nurut. Gun melangkah tenang, membuka lemari bening yang berada di sudut ruangan. Mengeluarkan satu botol yang terlihat mahal, menuangkan isinya ke gelas kemudian mengulurkannya padaku. Kepalaku terangkat, bingung. "Aku—" "Minumlah, kamu butuh rileks sekarang." Dia k
Siapapun yang melihat pasti akan langsung sadar bahwa benda itu terbuat dari berlian. Bentuknya kecil seperti kancing manset pada umumnya, namun berkilauan. Aku bisa mendengar semua karwayan menahan napas. Harganya pasti di atas 1M, pantas saja Pak Punjab tampak senewen, meskipun Gun sempat tidak peduli. Mba Niken megap-megap tidak paham. "Saya nggak tau itu ada di sana." Semua pasang mata langsung menatapnya. "Itu barang kamu?" tanya Pak Punjab. "Y-ya," gagap Mba Niken. "Tapi saya nggak mencuri, dan saya juga nggak tau kenapa benda itu ada di dalam sana Pak." "Ini benar milik kamu kan, Gun?" tanya Zara. Aku mengangkat alis, menyadari dia memanggil Gun tanpa embel-embel Pak atau Chef seperti karyawan yang lain, akrab sekali, bund. "Seharusnya ada sepasang kan? Di mana yang satunya lagi?" "Saya nggak tau!" Mba Niken memekik. "Sebaiknya Anda bicara yang sopan." Gerald memperingatkan dengan tajam. "Nggak apa-apa, dalam keadaan seperti ini semua pasti tegang, dia berhak untuk mem
"Saya bukan mau menuduh kamu melakukan pencurian, tapi saya perlu melakukan konfirimasi apa yang kamu lakukan di dalam ruangan Gun." "Benar Pak, saya melihat dia keluar dari ruangan Chef Gun siang ini." Lusi tiba-tiba menyela, suaranya terdengar berapi-api. Pak punjab merentangkan tangan, meminta agar perempuan itu tidak memotong pembicaran. "Kita perlu memberikan Paramita waktu untuk menjelaskan." "Apanya yang perlu dijelaskan Pak? Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kok. Ketika saya tanya apa yang dia lakukan di sana karena Chef Gun sedang nggak ada. Mita sendiri kelihatan ketakutan, seolah dia baru kepergok melakukan sesuatu." Ya Tuhan. Tidak menuduh aku melakukan pencurian? Tapi jelas sekali kata-kata beliau justru menunjukkan yang sebaliknya. Aku bahkan tidak diminta duduk tanpa basa-basi. Di antara empat pasang mata, kecuali Gun, mereka menatapku menunggu jawaban. Punggungku panas dingin. "Apa maksud Bapak pencurian?" tanyaku, lidah terasa pahit saat mengatakan itu
Apartemen kami ternyata sudah rapi, tempat itu sudah tidak dipasang garis polisi. Dan ruang tamunya yang acak-acak dengan perabotan terbalik serta pecah belah sudah dibersihkan dan ditata seperti semula. Aku hanya perlu menyimpan barang-barang kami di kamar masing-masing, membujuk Hiro dan Naga untuk tidur kemudian istirahat. Walaupun aku sendiri insomnia. Bangun-bangun, kepalaku terasa berat, badanku sakit semua seperti habis digebuki. Aku mandi dengan menahan nyeri, kemudian menyadari aku melupakan jadwal pertemuan bersama Miss Clara. "Nggak pa-pa kok Mam, kalau memang masih sibuk, kami maklum. Silakan datang kalau Mama kembar nggak sibuk ya." Aku menggumamkan terima kasih untuk pengertiannya. Lalu meninggalkan anak-anak di kelas. Mengabaikan tatapan kepo dari trio Ibu Nuri, Yuli, dan Yuni. "Ibu-Ibu foto jalan-jalan kemarin sudah dikirim ke grup ya, silakan dicek. Ini saya juga punya bingkisan untuk Ibu-Ibu di rumah, tapi untuk yang ikut-ikut aja." Ibu Nuri mengumumkan di depa
Aku segera melompat bangkit dari kursi, jantung berdebar penuh antisipasi. Mata mendelik nyalang menatapnya. "Apa maksud kamu?" Gun menyesap air putih di meja, gerakannya begitu tenang terkendali, sikap judes yang selalu diperlihatkannya mendadak hilang digantikan sikap dingin, tak tersentuh dan tak terbantah. Seolah dia telah sepenuhnya berubah dari Gun yang dulu pernah kukenal, menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. "Kamu mengerti apa yang saya maksud," jawabnya lambat-lambat. Telingaku berdenging panjang, alarm tanda bahaya menyala. "Kamu bercanda kan, Gun?" "Do I look like I am joking?" Tapi ini sama sekali tidak masuk akal, bahuku merosot lemas, mundur selangkah. Gun bukan laki-laki pemaksa, aku tahu dia sangat galak, judes, dan sulit ditangani. Sebagai pengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD) Gun selalu menuntut kesempurnaan, dia tidak akan bisa bekerja sama dengan orang-orang lamban. Hanya saja, sepanjang kami berpacaran, tidak pernah sekalipun dia
Sesuai dugaan, aku memang tidak bisa begitu saja memutus kontrak menjadi manajer Gun, apalagi pindah dengan entengnya menjadi asisten chef. Stres. Aku merasa seolah baru saja dioper dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Tapi apa daya, aku cuma cungpret (kacung kampret) yang bisa disuruh-suruh. Gun bahkan tidak ambil pusing meskipun dia sepertinya kesal, namun raut wajahnya tetap santai tanpa minta maaf. "Sama saja kan, mau kamu jadi manajer ataupun asisten chef saya. Kalau nggak ada syuting kamu bisa balik menjadi asisten. Kalau ada syuting kamu bisa menemani saya. Fleksibel, semua aman." Gila, kenapa sejak awal dia tidak mengatakan ini? Dan justru membuatku terperosok dalam jurang? "Masalah libur gimana?" "Kita akan tetap pada kesepakatan awal Mita." Aku menahan diri untuk tidak mengumpat. Lemas sebadan-badan. Merasa baru saja dipermainkan. Apakah Gun sengaja melakukannya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi masalah lain yang lebih memdesak adalah posisiku pun terancam.