Maya menyandarkan kepala pada bahu tunangannya. Dia bahagia bisa menghabiskan waktu bersama. Handoko memeluknya dari samping.
“Sayang, kamu beneran nggak mau jalan-jalan? Mumpung weekend ini aku luang.”“Nggak, kayak gini aja sudah cukup.” Maya mengangkat sandaran kepalanya. Dia menatap penuh cinta wajah kekasihnya.Handoko mengecup kening Maya. “Maaf, ya, selama kamu di Jakarta, aku terlalu sibuk dengan pekerjaan jadi kurang memperhatikan kamu. Maafkan kelakuan ibu aku yang sudah nyakitin hati kamu.”“Yang penting sekarang ibu kamu sudah ngerti dan nggak ada halangan lagi bagi kita untuk menikah.”Handoko memeluk mesra Maya. Bibirnya mengecup kening lalu turun kedua pipi. Saat akan mencium bibir, Maya menahan dengan tangan. Dia meminta maaf. Sebagai gantinya dia mengecup tangan Maya.“Sampai kita menikah, ya, Sayang.” Ucap Maya lembut. Handoko mengangguk mengerti.Tak munafik, dia juga ingin merasakan ciuman itu. Tapi eMaya menahan napas ketika tubuh itu memerangkapnya di tembok. Tangan kiri pria itu memeluk pinggangnya. Tangan kiri meraih dagunya. Bibir pria itu mendarat di pipi. Maya memejamkan mata menikmati sentuhan lembut itu.“Reihan,” ucapnya pelan.Matanya terbuka, menatap sayang mata teduh itu. Kedua tangannya mengalung mesra ke tengkuk. Wajah mereka semakin dekat. Bibir bersatu tanpa permisi. Matanya terpejam lagi merasakan kelembutan bibir Reihan. Dia membuka diri menerima seluruh perhatian pria itu. Ciuman yang dia nantikan selama ini. Hanya dengan sentuhan di bibir, Reihan mampu membangkitkan gairahnya. Bibirnya terus meminta perhatian lebih.Tubuhnya terangkat dalam gendongan. Dia menautkan kedua kakinya di pinggang pria itu. Tangannya menekan kepala Reihan agar ciuman mereka semakin dalam. Tubuhnya dibaringkan perlahan di ranjang.“Reihan, aku sayang kamu.”Bibir mereka saling terpagut kembali. Dia sangat menikmati ciuman ini. Dia suka. D
Ardi dan Rachel bermain bola besar di halaman depan restoran. Ardi tertawa ketika Rachel jatuh karena tidak kuat menahan laju bola yang menggelinding ke arahnya. Dia menghampiri Rachel dan membantunya berdiri. Mereka bermain lagi. Kali ini bola menggelinding ke arah parkiran mobil. Ardi berlari kecil mengambilnya. Tangannya hendak menyentuh bola besar itu namun tangan yang lain sudah lebih dulu mengambilnya.“Hati-hati mainnya, Sayang.” Pria itu membelai lembut kepala Ardi.“Iya, Om.” Ardi menerima bola besarnya dari pria itu. “Terima kasih, Om.”“Siapa namanya?”“Ardi.”Pria itu memandangi Ardi untuk beberapa saat. Mata Ardi mengingatkannya pada wanita itu.“Om pamit, ya, Ardi main lagi. Kapan-kapan kita ketemu lagi.”Ardi mengangguk dan melambaikan tangan sebagai balasan untuk pria tersebut. Mobil melaju meninggalkan restoran.“Ardi, jangan sembarangan ngomong sama orang yang nggak kita kenal. Kalau Papa tahu
Zahra mendekati tunangannya yang tengah membaca koran pagi. Matanya mengarah pada cangkir teh di meja yang sudah berkurang setengah. Tandanya sebentar lagi Martin akan berangkat kerja.“Ada yang mau aku omongin. Bisa fokus dulu ke aku?” ucapnya manja.Martin melipat korannya. Matanya beralih fokus pada tunangannya. Zahra memberanikan diri menatap mata elang itu.“Aku bosan di rumah.”“Lalu?”“Aku butuh hiburan.”“Seperti?”“Boleh nggak aku ikut Ray dan Riyan syuting ke Bogor?”“Berapa lama?”“Mungkin 2 sampai 3 hari. Kalau misal lebih dari 3 hari, aku langsung pulang. Nanti aku hubungi supir untuk minta jemput.”Zahra memperhatikan wajah Martin yang cenderung akan menolak permintaannya.“Boleh, ya? Please, Sayang.”Martin membelai lembut pipi Zahra. “Ok, aku ijinkan. Tapi hanya 2 hari.”“Iya, nggak apa-apa. Itu juga sudah cukup buat aku. Makasih, Sayang.”Zah
Ardi dan Rachel naik ke kasur Reihan dengan boneka beruang besar. Mereka memanggil-manggil Papa mereka dengan heboh. Reihan keluar dari kamar mandi.“Kalau beruangnya ikut bobo di sini, Papa bobo di mana?”“Beruangnya di pinggir jagain kita.” Ardi meletakan boneka beruangnya di pinggir tempat tidur. Begitu juga dengan Rachel.Reihan merebahkan diri di tengah-tengah mereka. Dia menaikkank selimut.“Papa, sebentar lagi kita liburan sekolah. Piknik, yuk.” Usul Rachel. “Mau ke mana?”“Ke mana, ya? Nurut Papa ke mana?”“Papa juga bingung. Nanya Om Ray aja nanti.”Terdengar ketukan di pintu. Ray masuk untuk meminjam charger ponsel. Reihan menunjuk laci bufet.“Ray, anak-anak bentar lagi liburan sekolah. Enaknya liburan ke mana?”“Nanti aku pikirin dulu tempat yang asyik buat piknik kita.”“Papa, boleh telepon Tante Maya? Mau ngucapin selamat bobo.”Reihan mengambil ponselnya dan me
Reihan menatap satu persatu orang-orang di hadapannya. Permintaan kompak dari mereka untuk ikut liburan ke Malang membuatnya sedikit heran.“Kalian serius mau ikut ke Malang buat liburan?” Mereka mengangguk kompak. “Ini liburan anak kecil, nggak ada seru-serunya.”“Aku nggak bisa dipisahkan dari Ray.” Ujar Riyan. “Butuh refreshing juga, masa kerja mulu.”“Shafira butuh refreshing juga? WO siapa yang tanggung jawab?”“Kak, setahun ini aku nggak liburan ke mana-mana. Fokus cari cuan. Mumpung kalian mau liburan, ikut dong. Untuk kerjaan, karyawan-karyawan aku bisa diandalkan. Mereka sudah tahu jobdesk masing-masing.”“Adam kenapa ikut juga? Bukannya kamu lagi banyak kerjaan. Kemarin bilang kasus numpuk.”“Yang pengacara di kantor bukan cuma aku. Masa iya aku yang ngerjain semua. Maksudnya kasus numpuk itu keseluruhan kasus di kantor. Kayak yang Riyan bilang, butuh refreshing. Penat banget nanganin kasus.”“Helen ngapain iku
Reihan tak percaya melihat Zahra yang datang ke bandara dengan enam bodyguard yang membawa enam koper besar. Mereka mau liburan bukan pindah rumah.“Ray kasih tahu mendadak. Jadi aku bawa barang-barangku seadanya aja.”Definisi seadanya ala Zahra yang membuat Reihan hanya mampu tersenyum tipis. Dia tidak bisa membayangkan berapa koper yang akan dibawa bila tidak diberitahu mendadak.Sampai di Malang mereka naik mobil menuju rumah Nenek Nani. Dua anaknya banyak bertanya ini itu sepanjang jalan. Mata mereka tetap terjaga walau Reihan menyarankan mereka untuk tidur sebentar melepas lelah. Iringan mobil berhenti di depan pagar bambu bercat kuning gading. Rumah besar dengan halaman yang luas. Samping kiri halaman ditumbuhi banyak bunga mawar dan melati. Di samping kanan halaman ditanami singkong dan cabai. Nenek Nani dan beberapa pembantu menyambut mereka. Mereka saling berkenalan satu sama lain.“Nenek kamu tinggal sama pembantu-pembantu aja
Hari itu, Reihan tidak banyak bicara namun pandangan matanya tak pernah lepas dari Maya. Dia juga sengaja selalu berada di dekat wanita itu. Hatinya melonjak senang ketika mereka selfie dengan anak-anak, Maya menumpukan jari-jemari yang saling bertaut di bahu kirinya. Reihan memutuskan untuk menunjukkan perhatiannya pada wanita itu.“Lebih cantik kalau rambutnya pendek.” Reihan memperhatikan Maya yang sedang menyisir rambut panjangnya.Maya memasukkan sisir ke dalam tasnya. “Dari kemarin pengin banget potong rambut. Gerah juga rambut panjang.”Reihan merasa canggung ketika Maya menatapnya. Maya menempelkan jari telunjuk di bibir tanda agar diam. Wajah itu mendekat membuat jantung Reihan berdetak cepat. Jari-jemari Maya sampai di kepalanya.“Ada apa?” tanya Reihan pelan.“Ada ubanmu yang kelihatan.” Maya berhasil memegang sehelai uban incarannya.Reihan menggeser duduknya dengan cepat. Maya menggeram gemas uban incarannya berhasil
Reihan dan Maya tersenyum bahagia melihat mereka yang menyambut di rumah Maya. Reihan mendekat pada adiknya. Dia peluk Ray dengan penuh sayang. Air matanya tanpa sadar mengalir. “Makasih, ya, kamu memang bakat jadi sutradara. Akting kalian luar biasa.” Melepaskan pelukannya.“Selamat, ya, Kak Rei, aku yakin nggak bakal ada surat panggilan lagi dari sekolah.”Maya memeluk Nani dan mengucapkan terima kasih. Mereka menangis bahagia untuk beberapa saat.“Jadi aku dan Ardi sudah boleh manggil Tante Maya dengan sebutan Mama?”Mereka mengiyakan. Ardi dan Rachel memeluk Maya dan memanggilnya mama.Di pendopo rumah Nenek Nani, mereka saling bertukar cerita. Reihan terkejut saat tahu Maya sudah punya rasa padanya sejak masih jadi guru Ray.“Aku nggak sengaja baca curahan hati di kertas kuning yang terselip di buku grammar bahasa inggris.” Ray berusaha mengingat isinya. “Kamu ya kamu, peremuk rasaku, Reihan Yudhistira.” Maya menut