Share

Chapter 4

Kehadiran Maya membawa perubahan besar dalam hidup Ray. Dia semakin semangat belajar. Para guru yang selama ini meremehkan terpukau dengan kemampuannya meningkatkan semua nilai mata pelajaran. Dia juga mampu menyelesaikan soal-soal matematika kelas IPA. Mata pelajaran bahasa Inggris menjadi favoritnya. Dia bisa menggoda gurunya itu dengan membenarkan pengucapan bahasa Inggris beraksen British. Di dalam kelas gurunya itu akan tersenyum dan berterima kasih atas koreksi yang diberikan. Namun, setelah jam pelajaran selesai, dia akan dihukum mengerjakan soal-soal ujian nasional beberapa tahun lalu. Tentu saja sambil menyantap bekalnya dan memuji masakan kakaknya.

Reihan melihat dari balik pintu menuju ruang makan, keakraban Ray dan Maya. Tidak seperti guru dan murid, tapi kakak dan adik. Saat Ray meminta ijin agar Maya menemaninya belajar di akhir pekan, dia langsung setuju. Nilai-nilai adiknya naik ke level sempurna. Ray bahkan sudah tidak pernah pulang larut malam. Surat panggilan dari sekolah juga tidak pernah mampir lagi.

“Dimakan dulu camilannya.” Reihan meletakkan sepiring bika ambon di meja makan.

“Bu Maya, ayo, sikat habis,” Canda Ray. Maya mengulum senyum malu. “Yaelah jaim banget di depan Kak Rei.” Berdehem penuh arti. “Kak Rei, yang sering habisin bekalku sebenarnya Bu Maya. Bilangnya nyicip, tapi sampai 90%.”

Maya memukul bahu Ray sedikit keras. Matanya melotot memperingatkan. Ray terkikik geli.

“Kalau gitu besok aku buatin bekalnya double.” Reihan tersenyum simpul.

“Nggak Rei, nggak usah. Makasih banyak. Aku bisa bawa bekal sendiri.”

Ting tong

Bel apartemen berbunyi. Reihan pamit untuk membuka pintu. Seorang wanita dengan mini dress coklat muda berdiri di depan pintu apartemennya. Reihan tersenyum senang menyambut kedatangan kekasihnya.

“Kok, nggak kasih tahu kalau mau datang?” membuka pintu lebih lebar.

“Tadi aku ke rumah teman, terus aku pengin ketemu kamu, kangen.”

“Pakai mantel bajumu. Ada Ray,” Bisiknya. “Kamu tahu sendiri sifatnya.” Kekasihnya segera memakai mantel baju coklat tua.

Tepat saat itu Ray muncul di ruang tamu. Hal menyebalkan yang tidak pernah mau dilihatnya. Matanya memberikan pandangan merendahkan pada kekasih kakaknya. Dia mengambil charger ponsel di sofa lalu menghilang secepat mungkin dari ruang tamu. Reihan menghela napas menyadari pandangan Ray pada kekasihnya.

“Maaf, ya, atas kelakuan adikku yang nggak sopan.” Wanita itu mengangguk mengerti. “Kita jalan-jalan aja, gimana?”

“Ide bagus.”

“Aku ambil dulu kunci mobil di kamar.” Setengah berlari menaiki tangga menuju kamarnya di atas.

Mata wanita itu tertuju pada tas wanita biru tua di sofa satuan. Hatinya diselimuti rasa ingin tahu siapa pemilik tas itu.

“Oh, maaf, saya kira nggak ada orang di sini,” Ucap Maya sembari menyunggingkan senyum ramahnya.

Matanya memperhatikan wanita di hadapannya. Cantik sempurna. Itulah yang terlintas pertama dipikirannya. Tubuh wanita itu tinggi semampai. Kulitnya seputih susu. Matanya bulat indah. Lekukan bibirnya sempurna seperti di iklan lipstick. Hidung bangirnya menambah apik rupa wajahnya. Rambutnya yang panjang setengah punggung dibuat ikal besar. Penampilannya bahkan lebih berkelas dibandingkan artis-artis yang sering muncul di layar TV. Pasti wanita ini berasal dari keluarga yang sangat kaya raya. Kebanyakan orang bilang kalangan jetset.

Wanita itu membalas senyumnya. Maya mengangkat tas biru tuanya. Ketika akan melangkah meninggalkan ruang tamu, suara si wanita menghentikannya.

“Maaf, Anda siapa?” ada nada menyelidik dalam suara itu.

Maya balikkan badan. “Saya gurunya Ray.” Wanita itu tersenyum kembali. “Mari.”

Di ruang makan, Ray menggenggam pensilnya dengan rasa geram. Sudah berulang kali dia bilang agar kakaknya mengakhiri hubungan dengan wanita itu, tapi tak sedikitpun diindahkan. Apa hebatnya wanita itu hingga pantas menjadi kakak iparnya kelak?

“Ray, aku pergi dulu, ya,” Pamit Reihan. “Jam sembilan malam aku udah pulang.”

“Hm.”

Balasan singkat terasa tidak enak di telinga Reihan. “Mau titip sesuatu?” tanyanya lembut.

“Nggak.”

“Ok, kalau gitu aku pergi dulu, ya. Maya titip Ray.”

Sepeninggal Reihan, pikiran Maya dipenuhi dengan pertanyaan siapa wanita di ruang tamu. Matanya menatap dinding, seolah jawabannya ada di sana. Hatinya seketika merasa sedih saat sadar siapa wanita itu. Kekasih Reihan.

“Bu Maya, muka ibu pucat. Ibu sakit?”

“Oh,” Maya meraba wajahnya. “Nggak.”

“Bu, belajarnya sampai sini aja. Saya capai. Pengin istirahat.”

“Ok, kalau gitu ibu pamit pulang.”

“Saya antar ibu pulang, sekalian saya mau ke rumah Riyan.”

“Nggak usah, Ray. Ibu naik kendaraan umum aja. Soalnya mau mampir pasar.”

“Kalau gitu saya antar sampai halte.”

“Ok.”

Maya merasa ada patahan di hatinya. Ingin melarang tapi tak punya hak untuk mengatur kehidupan seseorang. Haruskah merapal doa jelek demi berakhirnya hubungan itu? Atau berdoa baik agar Reihan dibukakan mata hatinya? Tapi dibukakan dari apa? Apa salah wanita itu?

Beberapa bis sudah berhenti dan melaju kembali dari halte. Namun dirinya masih mematung. Seseorang mencolek bahunya. Dia tersadar.

“Ibu mau ke mana? Dari tadi saya perhatikan diam aja. Jangan suka ngelamun. Nanti jadi incaran copet.”

Maya hanya tersenyum. Dia segera naik bis yang baru tiba. Rasa tak mengenakan di hati membuat fokusnya hilang. Ini tak benar.

Sesampainya di kostan, dia terkejut melihat Nani sudah ada di depan gerbang. Dia cek ponsel dan melihat beberapa panggilan tak terjawab ada di layar.

“Maaf ya, tadi di jalan. HP aku silent.”

“Jalan, yuk. Nonton, makan,”

“Kamu nggak ngedate sama tunanganmu? Ini malam minggu.”

Nani tersenyum malu. “Orang sibuk mana punya waktu buat kencan. Dia lagi ke luar kota.”

“Tapi aku ganti baju dulu, ya.”

Nani mengangguk. Mereka masuk kostan. Maya mengganti kaos dan celana jeans dengan blus biru tua favoritnya. Mereka berangkat ke mall dengan mobil Nani. Walau tubuhnya agak lelah namun jalan-jalan di mall membuat moodnya lumayan membaik. Perasaannya pada Reihan baru pada tahap naksir, lebih baik dia sudahi sebelum berlanjut ke tahap yang lebih jauh.

*****

Reihan menggandeng tangan kekasihnya saat masuk lift apartemen. Dia menekan tombol 20 di lift. Terdengar notifikasi pesan di ponsel. Reihan mengeceknya. Ray memberitahu menginap di rumah Riyan. Dia mengijinkan dan menyampaikan salam untuk orangtua Riyan.

Reihan duduk di sofa melepas lelah. Angela mengambilkan air mineral kemasan botol di kulkas beserta gelas. Reihan minum seteguk untuk membasahi tenggorokan.

“Kamu kenapa lihatin aku mulu?”

“Kamu manis, bawaannya jadi pengin nempel kayak semut.”

Reihan tertawa geli. Dia belai lembut kepala Angela. “Belajar gombal dari siapa?”

“Ada deh.”

Angela mengalungkan lengan ke tengkuknya. Bibirnya langsung mendarat lembut di bibir merah itu. Perlahan gerakan bibirnya mendapat balasan. Gairahnya naik dengan cepat. Dia tak lagi mencium tapi melumat bibir Angela. Diangkatnya tubuh langsing itu untuk duduk di pangkuan. Sejenak mereka saling tatap lalu menyatukan bibir kembali.

“Kamu pulang kalau aku sudah tidur, ya,” Pinta Angela manja.

“Kamu nggak kaget pas bangun tiba-tiba aku nggak ada?”

“Sebenernya sedih, sih. Berasa ditinggal pergi tanpa pamit.”

“Aku nginep sini boleh?”

“Nanti adikmu marah.”

“Dia nginep tempat temennya.”

“Yang bener?”

“Iya.” Reihan mengecup ringan bibir Angela. “Jadi besok kita bisa sarapan bareng.”

Angela tersenyum senang. “Besok aku pengin sarapan sama pancake keju.”

Reihan mengangguk sembari beranjak dari duduk dengan Angela di gendongan. Wajahnya menerima banyak kecupan ringan. Didudukkannya Angela di tepi wastafel kamar mandi.

“Rei, kamu pengin aku pakai apa malam ini?” Goda Angela.

“Nggak pakai apa-apa,” Balas Reihan. Mereka terkekeh bersama.

Reihan menurunkan Angela dari tepi wastafel. Mereka sikat gigi dan cuci muka. Reihan keluar lebih dulu untuk berganti pakaian dengan piyama. Dia gantung kemeja dan celana jeans di tiang gantungan khusus pakaian. Berbaring di ranjang menunggu sang kekasih. Tak lama Angela keluar dengan balutan tank top dan hot pants. Dia rentangkan tangan, menerima pelukan kekasihnya. Reihan dekap erat tubuh langsing itu dan menepuk-nepuk pelan punggung Angela.

“Rei, jangan pernah tinggalkan aku.”

“Nggak akan pernah sayang. Aku cinta banget sama kamu.”

Reihan mengecup lembut kening Angela. Dia kembali dekap tubuh itu. Kali ini Angela membalas dengan mengeratkan pelukan.

“Rei,”

“Kenapa lagi?”

Angela melonggarkan pelukan. “Aku susah tidur. Badanku lelah tapi mataku sulit untuk terpejam.”

“Kamu lagi mikirin apa?”

Angela tak menjawab. Mata indah itu justru menatap lama matanya. Jari-jemari Angela meraba pipi kirinya. Reihan mengecup telapak tangan kekasihnya. Bibir mereka kembali bersatu dalam ciuman yang lebih intim. Suaranya semakin berat saat menyebut nama sang kekasih. Dia balik posisi menindih tubuh Angela. Bibirnya menikmati leher dan bahu, menghisapnya hingga memerah.

“Mora, mora, ya mora,”

“Mora? Siapa dia?” bibir Reihan berhenti menciumi pangkal leher Angela.

“Maksudku more, lagi,”

Reihan paham maksud Angela. “Aku kira nama cowok lain.”

“Sorry, kalau ngomong Inggris lidahnya jadi belibet. Bukan turunan bule.”

Reihan tersenyum mengerti. Mereka kembali saling memberi kenikmatan melalui ciuman. Dia biarkan sang kekasih menguasainya.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status