Share

Chapter 5

Ray mencolek dari belakang bahunya. Reihan menghentikan gerakan penanya di buku agenda. Matanya beralih fokus pada Ray yang sudah duduk di samping kanannya.

“Sebentar lagi aku ulang tahun,” senyum senang tersungging. “Rencananya aku mau rayain di restoran, undang teman-teman sekelasku, Bu Maya, Riyan dan Zahra. Boleh, ya, aku pinjam restorannya Sabtu depan?”

“Sabtu?” suara Reihan terdengar keberatan.

“Kenapa? Nggak bisa?” raut wajah Ray seketika berubah masam.

“Maaf, Ray, nggak bisa. Restoran mau aku pake untuk melamar Angela.”

Ray langsung beranjak dari duduknya. Matanya melotot marah.

“Kapan aku memberi restu kakak bisa menikah dengan Angela?!

“Apa yang salah dengan Angela?” Reihan berusaha untuk tetap bersikap tenang.

“Fine, kakak tetap pilih dia. Aku yang keluar dari apartemen ini!”

Reihan hanya mampu menatap hampa punggung adiknya yang menjauh. Tak lama terdengar bantingan pintu yang keras dari lantai atas. Reihan hembuskan napas perlahan untuk menenangkan hati agar emosi tidak tersulut. Apa yang salah dengan Angela hingga Ray begitu membencinya?

*****

Ray berjalan gontai ke halaman belakang sekolah menuju pohon mangga tempat dia biasa bersantai menghabiskan waktu istirahat atau sepulang sekolah. Dia masih badmood karena rencana lamaran kakaknya. Matanya menyipit ketika melihat Zahra yang tengah duduk di bawah pohon mangga beralaskan tikar miliknya.

“Sendirian aja.” Ray duduk di samping Zahra. Dia perhatikan wajah sahabatnya itu. Nampak tidak bersemangat.

“Aku udah nggak tahan sama Martin,” Ucap Zahra pelan. “Aku ngobrol sama cowok yang cuma teman sekelas aja diributin. Padahal aku nggak ada hubungan apa-apa sama cowok itu. Dia posesif banget.”

“Aku,”

“Aku udah bilang, aku setuju kamu putus sama Martin.”

Zahra dan Ray sontak menoleh ke belakang ketika sepasang tangan mengalung di bahu mereka. Riyan datang dengan senyum sumringahnya.

“Asal nyambung kayak kabel,” Ujar Ray.

“Kalau nunggu jawabanmu kelamaan. Keburu botak. Saingan sama Kepala Sekolah.” Riyan melepaskan kalungan lengannya. Duduk di sebelah Zahra. “Udah putus aja, daripada batin tersiksa.”

“Tapi aku masih sayang dia.”

Ray dan Riyan kompak menghela napas. Maklum akan sifat labil cewek.

“Cewek mah gitu. Hari ini ngomong benci, besok ngomong cinta, benci, cinta. Terus aja gitu sampai ini pohon mangga berbuah durian.” Cibir Riyan.

“Riyan jahat. Harusnya kasih saran baik.”

“Ra, Riyan sudah kasih saran ke kamu. Kamu yang plin-plan.”

“Kalian jahat banget sama aku.” Bibir Zahra manyun.

“Mending ente mandi kembang tengah malam, siapa tahu dapat wangsit.”

Zahra tersenyum malu sembari memukul bahu Ray. “Dasar Ray PA.”

“Balik, yuk. Ngantuk, nih,” ajak Riyan.

“Nggak, deh, aku nanti aja.” Ray membuka buku ekonominya.

“Aku juga nanti aja.”

“Kalian, ya, ternyata,” Riyan manggut-manggut. “Ngomong aja kalau mau pacaran.”

Zahra reflek menjambak rambut Riyan, membuat pemiliknya mengaduh keras. Riyan mengelus-elus kepalanya yang lumayan sakit.

“Aku sumpahin kalian bakal jadi suami istri.” Riyan ambil langkah seribu sebelum kena lagi jambak maut Zahra.

“Memang mulut somplak.”

Zahra tertawa geli. Dia mengeluarkan album foto kecil dari tasnya. “Hadiahku buat kamu. Aku nggak bisa kasih barang mahal. Itu juga aku buat sendiri. Kamu bisa simpan foto-foto orang yang kamu sayangi di album itu.”

“Makasih banyak, Ra.” Ray menerima hadiah itu dengan rasa haru. “Aku nggak butuh barang mahal. Asal kamu tetap mau bersahabat sama aku, itu udah lebih dari cukup. Dulu waktu aku masih bandel, hanya kamu dan Riyan yang masih mau dekat sama aku.”

“Gimana kita nggak mau dekat sama kamu, tiap hari kamu bawa makanan enak.”

Ray tersenyum sebal lalu berbalik badan. Zahra menyandarkan punggungnya pada punggung Ray.

“Ray, jangan pergi dulu, ya. Aku pengin tidur sebentar.”

Ray membuka buku ekonomi, berusaha konsentrasi pada materi yang dibacanya. Namun yang dia baca sedari tadi hanya kalimat pertama pada halaman buku itu. Dia ingin menghibur Zahra tapi tidak tahu bagaimana caranya. Dalam hati hanya mampu mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya.

*****

Maya turun dari taksi. Dia masuk ke lobby mall. Jari-jemarinya lancar mengetik pesan ke Nani. Sahabatnya itu memberitahu kemungkinan sampai sepuluh atau lima belas menit lagi karena macet. Maya memutuskan untuk jalan-jalan dulu.

Dia menatap takjub berbagai store dengan brand-brand ternama. Barang-barang yang dijual pasti harganya jutaan. Kalau dia sampai beli bisa puasa sebulan dirinya. Senyumnya berangsur pudar ketika melihat sosok yang dikenalnya berjalan bergandengan tangan dengan sang kekasih. Kakinya tanpa sadar mengikuti langkah mereka. Hatinya terbakar cemburu saat sang kekasih mencium pipi orang itu.

Dia cepat-cepat menghapus air matanya yang luruh seketika. Berusaha menguatkan hati. Dia juga bingung kenapa bisa seperti ini. Hatinya merasa tidak terima Reihan memiliki kekasih. Rasa ingin memisahkan mereka begitu besar. Padahal dia sudah memutuskan untuk membuang rasa itu. Ternyata tak mudah. Reihan sudah masuk ke hatinya.

Dering ponsel mengagetkannya. Nani sudah sampai. Dia segera kembali menuju lobby mall.

“Maaf, ya, macet banget tadi. Padahal aku udah berangkat setengah jam lebih awal.”

“Kalau nggak macet bukan Jakarta dong namanya.” Kelakar Maya.

Mereka menuju store perhiasan dengan brand ternama. Nani mengambil pesanan cincin pernikahannya. Maya menatap takjub cincin indah itu. Nani mencobanya dan merasa puas dengan hasilnya.

“Maya makasih ya, kamu mau nemenin aku. Padahal kamu baru pulang kerja.”

“Yaelah Nani, aku seneng bisa nemenin kamu. Sekalian refreshing.”

“Kita ke food court, yuk. Lapar. Setelah itu lanjut jalan lagi.”

Mereka menuju food court di lantai atas. Banyaknya makanan justru membuat mereka bingung. Akhirnya mereka memutuskan membeli fast food karena sedang tidak ingin makan berat. Mereka membawa nampan berisi makanan ke meja food court. Maya tertegun ketika sadar siapa orang di sebelah mejanya.

“Eh, Chef Reihan,” Sapa Nani.

“Panggil nama aja. Lebih enak dengernya.” Pinta Reihan.

Nani mengangguk. Reihan mengenalkan mereka pada kekasihnya.

“Maya gurunya Ray?” Angela memastikan.

“Kok kamu tahu?”

“Iya. Waktu itu kita ketemu di apartemen, cuma nggak kenalan.”

“Oiya, kapan?”

“Waktu aku ke apartemen kamu. Kamu ke kamar ambil kunci mobil, Maya ke ruang tamu.”

Reihan mengangguk-angguk. “Kamu masih mau makan lagi?”

“Nggak.”

“Kalau gitu, kita duluan, ya.” Pamit Reihan pada mereka.

Mata Maya nanar melihat kemesraan mereka. Reihan memeluk pinggang kekasihnya. Maya sadar dirinya tidak sebanding dengan kekasih Reihan. Sebagai wanita, dia mengakui Angela memiliki tubuh yang indah. Baik dari bentuk maupun kulit. Tangannya bahkan sangat halus saat dia bersalaman tadi.

Maya menghabiskan makanannya tanpa selera. Semangatnya hilang entah ke mana. Dia ijin ke toilet. Di bilik toilet dia menangis dalam diam. Dia ambil tisu di tas. Menghapus air mata yang terus mengalir. Kenapa hatinya begitu rapuh? Dia juga tidak tahu. Dia hanya merasa sangat kehilangan.

Maya cuci muka dan merapikan riasannya. Dia menemui sahabatnya di luar. Senyum tersungging agar Nani tidak khawatir. Mereka lanjut jalan menghabiskan sore itu.

*****

Rasa sesak yang Maya rasakan, akhirnya membuat dia curhat pada Nani. Dia biarkan dirinya terlihat rapuh. Air matanya bahkan mengalir dan sulit dihentikan.

Nani mencoba menghibur sahabatnya yang patah hati. Dia bahkan merekomendasikan beberapa teman cowok yang menurutnya cocok dengan sahabatnya itu. Namun, hanya penolakan yang didapat.

“Kamu mau jadi perebut pacar orang?”

“Sebelum janur kuning melengkung.”

“Maya, sadar,” Nani menepuk pelan bahu sahabatnya. “kamu sama saja nyakitin hati wanita lain.”

Maya menutup wajahnya, malu. Rasa sukanya pada Reihan yang berlebihan sudah membuatnya berpikir tidak waras.

“Setelah kontrak selesai, aku mau balik ke Malang.”

“Serius?” Nani menatap tak percaya sahabatnya. “Aku mau rekomendasikan kamu untuk jadi guru tetap di sekolah. Masa hanya karena cinta bertepuk sebelah tangan, kamu nyerah begini.”

“Bukan gitu, Nan. Kasihan Mama dan papaku di Malang ngurus cucu-cucu mereka. Pasti kerepotan.” Maya memberikan alasan yang masuk akal.

Nani menghela napas tak percaya. “Lebih baik kamu pikirkan lagi keputusanmu itu. Jangan gegabah. Aku nggak mau kamu salah langkah.”

Maya memeluk sahabatnya. “Maafin aku, ya, udah bikin repot kamu. Padahal kamu udah perjuangin aku untuk bisa kerja di sekolah nenekmu itu.”

“Semangat dong. Memang cowok cuma Reihan aja di dunia ini?” Nani menjawil ujung hidung Maya.

Maya mengerucutkan bibirnya. “Tapi dia bikin hatiku deg deg ser gimana gitu.”

“Jaman kuliah juga ngomongnya gitu pas naksir sama Ilham, Toni, Randy.”

“Ih, itu masih monyet.” Maya terkikik geli. “Reihan beda.”

“Terserah kamu bedanya di mana, bagiku sama aja.”

Maya tersenyum malu. Rasa bertepuk sebelah tangan memang sakit, tapi mumpung belum terlanjur dalam, lebih baik lepaskan. Dia tidak mau menyakiti hati wanita lain dengan mengedepankan nafsu untuk memiliki pria yang dia sukai. Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuknya.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status